Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH STRATEGI PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH

MAKALAH STRATEGI PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan bank syariah di Indonesia pasca krisis 1997 hingga sekarang merupakan sesuatu yang menarik dicermati. Banyak syariah seakan membiaskan pola ekonomi baru berbasis Islam yang punya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hingga memasuki awal tahun 2007 telah berdiri 3 bank umum syariah dan 25 bank konvensional yang membuka unit usaha syariah serta 107 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Hasilnya Pangsa pasar perbankan syariah pada tahun awal tahun 2007 ini, telah mencapai 1,6 % dari total pangsa pasar perbankan di Indonesia. Dan melalui program akselerasi Bank Indonesia diharapkan pada desember 2008 pangsa pasar perbankan syariah sudah mencapai 5,25% dari total pangsa pasar perbankan nasional.
Sejalan dengan itu, Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, telah menempatkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia, Selain negara Indonesia menurut Grafik Islamc Finance Country Indeks (IFCI,)2011, menjadikan negara urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah, juga mengalami peningkatan peranan industri keuangan syariah dengan ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$ 7,2 miliar.
Seiring dengan perkembangan sampai dengan bulan Februari 2012 berdasarkan data Direktorat Perbankan Syariah BI tahun 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa total aset perbankan syariah mencapai Rp. 149,3 triliun (BUS & UUS Rp. 145,6 triliun dan BPRS Rp. 3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1% dari posisi tahun sebelumnya. Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan rata-rata sebesar 40,2% pertahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7% pertahun. Oleh karena itu, industri perbankan syariah dijuluki sebagai the fastest growing industry di satu sisi. Di sisi lain akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dari pertumbuhan perbankan nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional menjadi 4,0%. Jika tren pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20% dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana strategi pengembagan perbankan syariah
2.        Bagaimana prospek pengembagan perbankan syariah pendekatan pasar

C. Tujuan Penulisan
1.        Mengetahui strategi pengembagan perbankan syariah
2.        Mengetahui prospek pengembagan perbankan syariah pendekatan pasar
  
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.[1]
Menurut Heri Sudarsono, bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain, bank sslam (bank syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas permbayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[2]
Sedangkan menurut Perwataatmadja, dan Muhammad Syafi’i Antonio menjelaskan bank syari’ah, adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syair’ah Islam khusunya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktek-praktek yang mengandung unsur riba, kemudian diganti dan pembiayaan perdagangan.[3]
Dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sudah dijelaskan secara rinci tentang pengertian perbankan syariah, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 sebagai berikut:
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.[4]
Berdasarkan dari uraian pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa bank syariah merupakan suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial iintermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund/surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, tentunya disesuaikan dengan prinsip Islam.

B. Dasar Hukum Bank Syariah
Dasar hukum pelaksanaan bank syariah antara lain sebagai berikut:
1.   Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4.   Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
5.   Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
6.   UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah, sekaligus sebagai legitimasi hukum dalam mengoperasionalkan perbankan syariah.

C. Produk Dan Sistem Opersasional Bank Syariah
Bank syariah juga dapat menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Adapun fungsi dan peran bank syariah, antara lain sebagai:
1.        Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi;
2.        Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana;
3.        Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4.        Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.[5]
Sehubungan dengan hal itu, dalam mengelola usahanya perbankan syariah memiliki produk-produk dan sistem operasionalnya, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 19 ayat (1) sebagai berikut:

Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
1.        Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
2.        Menghimpun dana dalam bentuk nvestasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
3.        Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
4.        Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
5.        Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
6.        Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
7.        Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
8.        Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah;
9.        Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip Syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
10.    Membeli surat berharga berdasarkan prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
11.    Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan prinsip Syariah;
12.    Melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip Syariah;
13.    Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip Syariah;
14.    Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip Syariah;
15.    Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
16.    Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
17.    Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
Merujuk pada poin-poin ayat yang tercantum dalam pasal 19 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa produk-produk bank Syariah, secara umum beroperasi dalam penghimpunan, pembiayaan dan jasa, yang terdiri dari; mudharabah, musyarakah, wadi’ah, istishna, ijarah, hawalah, salam, istishna, dan kafalah.
Dari uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa produk bank syariah terdir atas tiga bagian penting yakni prodak penghimpunan dana dengan prinsip wadiah terdiri dari (giro wadiah dan tabungan wadiah) sedangkan prinsip mudharabah terdiri dari (tabungan mudharabah, giro mudharabah dan deposito mudharabah), penyaluran dana dengan prinsip jual beli terdiri dari (muzhara’ah, istisna, salam dan ijarah) sedangkan penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil terdiri dari (mudharabah dan musyarakah). Produk bank syariah tentang jasa adalah terdiri dari wakalah, kafalah, sharf, rahn, dan hiwalah.[7]

D. Strategi Pengembagan Perbankan Syariah
Kaitannya dengan strategi pengembangan terdapat beberapa faktor secara signifikan menjadi pendorong peningkatan kinerja industri perbankan syariah, baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan, sebagai berikut; Pertama, ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank syariah. Kedua, gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat. Ketiga, upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional, yakni pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan anjungan tunai mandiri (ATM), mobile banking maupun internet banking.
Faktor keempat adalah pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun 2009-2010.[8]
Sedangkan menurut Abdul Ghofur Anshori, pelaksanaan sistem syariah pada perbankansyariah dapat dilihat dari 2 (dua) prespektif yakni perspektif mikro dan perspektif makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menghendaki bahwasemua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola denganintegritas tinggi dan sangat hati-hati. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikromeliputi;
1.        Shiddiq, yaitu memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Nilai ini mencerminkan bahwa pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankn cara-cara yang diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (Shubhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram);
2.        Tabligh, dimana secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi pengguna jasa perbankan syariah;
3.        Amanah, artinya menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik dana dan pengelola dana investasi (mudharib);
4.        Fathanah, yaitu memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang ditetapkan oleh bank termasuk didalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab (masuliyah).[9]
Sedangkan dari perspektif makro, nilai-nilai syariah menghendaki perbankan syariah harus berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan memenuhi hal-hal, sebagai berikut:
1.        Kaidah zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan hartanya.
2.        Kaidah pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity based financing) dan melarang riba
3.        Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil.
4.        Kaidah pelarangan gharar (uncertainty), mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan.[10]
Berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah tersebut, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produkdan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi.
Selanjunya strategi yang digunakan dalam upaya pengembangan perbankan syariah terdiri dari empat faktor penting, yakni ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses, gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah, upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) dan produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah.

E. Prospek Pengembagan Perbankan Syariah Pendekatan Pasar
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia sekaligus sebagai global player keuangan syariah sangat besar. Hal tersebut ditopang oleh faktor-faktor antara lain: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.[11]
Dari faktor pendukung tersebut, maka dapatlah dipastikan perbankan syariah akan menjadi lembaga keuangan sekaligus sebaga sarana intermediasi dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Perkembangan bank syariah di Indonesia pasca krisis 1997 hingga sekarang merupakan sesuatu yang layak dicermati, ia seakan membiaskan pola ekonomi baru berbasis Islam yang punya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selanjutnya perkembangan bank syariah, hingga memasuki awal tahun 2007 telah berdiri 3 bank umum syariah dan 25 bank konvensional yang membuka unit usaha syariah serta 107 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Hasilnya Pangsa pasar perbankan syariah pada tahun awal tahun 2007 ini, telah mencapai 1,6 % dari total pangsa pasar perbankan di Indonesia. Dan melalui program akselerasi Bank Indonesia diharapkan pada desember 2008 pangsa pasar perbankan syariah sudah mencapai 5,25% dari total pangsa pasar perbankan nasional.[12]
Berdasarkan hasil capaian tersebut, dapat disejajarkan dengan negara-negara Islam yang sedang gencarnya melaksanakan perbankan syariah, sehingga Indonesia menjadi urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah. Juga mengalami peningkatan peranan industri keuangan syariah dengan ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$ 7,2 miliar.[13]
Seiring dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, telah menempatkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia. Hal tersebut, mengungkapkan prospek perkembangan Bank Syariah mampu bersaing dengan negara yang telah maju, dengan bukti menjadi urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah.[14]
Selanjutnya perkembangan perbankan syariah sampai dengan bulan Februari 2014, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara.[15]
Disisi lain akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dari pertumbuhan perbankan nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional menjadi 4,0%. Jika trend pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20% dalam kurun waktu 10 tahun kedepan.[16]
Selaku regulator, Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa maslahat bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.[17]
Jadi, idealnya bank syariah adalah bank bagi hasil yang mengedepankan konsep loss and profit sharing dalam pegembangan produknya. Dalam pengembangannya ia menggunakan konsep mua’malah Islamiyah ala Indonesia yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional), lalu prakteknya diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan menciptakan suatu mekanisme perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif bagi umat seluruh alam.[18]
Merujuk pada uraian tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa, ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang. Hal ini secara objektif kembali menunjukkan kelemahan bank syariah sebagai bank bagi hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya, seakan tidak sesuai dengan visi pengembangannya yaitu ”Terwujudnya sistem perbankan syariah yang sehat, kuat, dan istiqamah terhadap prinsip syariah dalam kerangka keadilan, kemaslahatan dan keseimbangan, guna mencapai masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual (falah).[19]
Jadi, secara rinci perlu diadakannya langkah transformasi kearah keseimbangan pasar yang ideal dalam mengembangkan perbankan syariah yang kompetitif. Penerapan solusi melalui pendekatan mekanisme pasar secara eksplisit akan melibatkan setidaknya 4 macam golongan yaitu: nasabah/masyarakat, kompetitor/bank konvensional, praktisi perbankan syariah dan pemerintah.
Langkah transformasi ini dapat dilakukan melalui inovasi pendekatan fungsi pasar yaitu melalui penguatan fungsi supply (kualitas dan kuantitas perbankan syariah) dan peningkatan kuantitas demand (masyarakat sebagai nasabah dan pelaku industri). Sedangkan kompetitor sebagai variabel substitusi dari perbankan syariah yang bersifat negatif dan regulasi pemerintah sebagai variabel lain yang idealnya mesti bersifat positif. Keseimbangan inilah yang kelak diharapkan mampu memberi fondasi yang kokoh bagi pengembangan bank syariah kedepannya sehingga mempunyai kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Juga prospek perkembangan industri perbankan syariah nasional kedepan antara lain akan dipengaruhi oleh perkembangan permintaan masyarakat dan penyediaan jasa perbankan syariah oleh perbankan dan/atau investorserta faktor-faktor yang mempengaruhi keduasisi supply dan demand. Dari sisi demand dapat dilihat dari seberapa besar kelompok masyarakat yang menginginkan keberadaan dan kesediaan menggunakan jasa perbankan syariah. Sedangkan dari sisi supply dapat dilihat dari minat investor untuk masuk industri perbankan syariah dan perkembangan jaringan kantor serta membaiknya kinerja keuangan dan profesionalisme perbankan syariah.[20]
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, pada prisipnya pengembangan bank syariah selain dalam rangka merealisasikan nilai-nilai Islam dalam realisasi praktek keuangan syariah kepada umat Islam, akan tetapi pengembangan bank syariah diarahkan kepada pangsa pasar secara umum atau rahmatan lil ’alamin, tanpa terbatas oleh segmentasi nasabah idealis, sealigus sebagai lembaga intermediasi pengguna dan peyalur dana, serta jasa lainnya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut;
Strategi pengembangan perbankan syariah dilakukan dengan cara: ekspansi jaringan kantor perbankan syariah pada tempat strategi, gencarnya program edukasi dan sosialisasi produk terhadap masyarakat, upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) dengan pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan (ATM), mobile banking maupun internet banking, dan pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah.
Sedangkan prospek pengembangan perbankkan syariah dengan pendekatan pasar telah dilaksanakan dengan bukti; pada tahun 2014, bank syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Selain itu, dapat disejajarkan dengan negara Arab dan Malaysia pada urutan keempat yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan bank syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Halim. Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015, ‘Makalah”, diseminarkan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 Jakarta: tanggal 13 Oktober 2015.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek Jakarta: Gema Insani, 2001.
Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Muhammad. Manajemen Dana Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2004
Muslehuddin, Mohammad. Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Saefuddin, A. M. Membumikan Ekonomi Islam, Cet. I; Jakarta: PT. PPA Consultans, 2011.
Suharto, dkk. Konsep,            Produk            Dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001.
Sutjipto, Hady. Menyoroti Kebijakan Moneter dalam Membangun Perekonomian Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2004
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.



[1] Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 103.
[2] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Ekonisia,2004),h.1
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 61.
[4] Lihat pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[5] Suharto, dkk., Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 24.
[6] Lihat pasal 19 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
[7] Muhammad Antonio Syafii, Evaluasi dan Penetaan Praktek Perbankan Syariah (Yogyakarta: STIE, 1997), h. 5.
[8] Halim Alamsyah, Perkembangan dan Prospek, h. 4.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 170.
[10] Ibid., h. 171.
[11] Lihat, Halim Alamsyah, Perkembangan dan Prospek, h. 1. Lihat pula Iman Sugema, Islamic Banking: The Facts and Challenges. (Makalah dipresentasilkan pada acara Second, 2007), h. 7.
[12] Hady Sutjipto, Menyoroti Kebijakan Moneter dalam Membangun Perekonomian Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2004), h. 2
[13]  Lihat data Maris Strategies & the Banker, 2010
[14] Lihat Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011
[15] Lihat data Direktorat Perbankan Syariah BI Tahun 2014
[16] Lihat Halim Alamsyah, Perkembangan dan Prospek, h. 4
[17] A. M Saefuddin, Membumikan Ekonomi Islam (Cet. I; Jakarta: PT. PPA Consultans, 2011), h. 232.
[18] Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 2004), h. 1.
[19] Nasirwan Ilyas, The New Blueprint and Strategic Initiatives for Acceletaring Indonesian Banking.Directorate of Islamic Banking dipresentasikan pada acara SEconD 2007, h 11.
[20] Mohammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 15.

MAKALAH KONDISI DARURAT YANG DI PERBOLEHKAN OLEH ISLAM KAIDAH ADZORUROTU TUBIKHUL MAKHDZUROT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya, kemunculan hukum-hukum islam itu adalah dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan manusia dan memelihara kepentingan, baik yang bersifat khusus maupun umum. Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan: Menjaga kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga kehormatanya, menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya.
Syariat islam adalah merupakan syariat terakhir yang membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan syariat itu Allah telah memberikan beberapa keistimewaan, antara lain; hal-hal yang bersifat umum, abadi dan meliputi segala bidang. Didalamnya telah diletakkan dasar-dasar hukum bagi manusia dalam memecahkan segala permasalahan.
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita . Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam makalah ini penulis akan membahas kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
B. Rumusan Masalah
1.        Apa itu kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
2.        Kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
C. Tujuan Penulisan
1.        Dapat memahami kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
2.       Dapat memahami kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.



BAB III
PEMBAHASAN

Tak ada sejumput keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak heran jika seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.
Oleh sebab itu, cendekia muslim mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis. Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah mempelajari berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid Al-Kuliyyah Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu cabang penerapan dari kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.

A. Kedudukan Kaidah

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

B. Dalil Kaidah

Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran.[1] Di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Artiya : “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”[2]
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artiya : “Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[3]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
Artiya : “Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
Diantara landasan kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.”[5]

C. Makna Kaidah

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[6]
Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[7]
Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.

D. Penerapan Kaidah[8]

Di antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
1.      Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya.
2.     Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat.
3.       Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa.
4.       Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya.
5.   Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya.
6.    Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia dalam keadaan mampu.

E. Syarat Darurat[9]

Namun perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini. Di antara lain:
1.        Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.
2.        Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.
3.   Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
4.        Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
5. Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa bangkai diharamkan untuk dimakan. Akan tetapi diakhir ayat tersebut, Allah memberikan peluang kepada manusia untuk memakan bangkai dalam keadaan terpaksa. Dalam pandangan penulis, pengertian dharurat harus diperjelas agar manusia tidak seenaknya melakukan perbuatan (memakan makanan) yang diharamkan dengan alasan terpaksa. Ulama berbeda pendapat tentang pengertian dharurat. Di antara ulama yang menjelaskan pengertian dharurat adalah Abu Bakaral-Jashash, al-Suyuti, dan Muhammad Abu Zahrah.
Menurut Abu Bakar al-Jashash, dharurat adalah :
خوف الضراراوالهلاك علىى النفس او بعض الاعضاء بترك الاكل
Artiya : Kekhawatiran akan adanya kesulitan atau kesukaran jiwa atau sebagaian anggota badan bila tidak memakan (yang diharamkan).”
Ulama Malikiyah menjelaskan bahawa yang dimaksud dharurat adalah :
الخوف على النفس من الهلاك علما وظنا
Artiya : Kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa, baik secara menyakinkan (ilmu) maupun dugaan.”
Defenisi yang dibuat oleh ulama di atas menunjukkan bahwa dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Salah satu contoh dharurat dalam bidang pidana adalah dua orang berlayar menggunakan kapal kecil. Di tengah lautan, kapal yang mereka tumpangi tenggelam, akhirnya yang bisa dipegangi hanya sebuah papan yang hanya mampu menahan beban satu orang saja. Dalam keadaan demikian, keduanyta boleh berjuang untuk mendapatkan papan tersebut. Kalau tidak demikian, berdasarkan dugaan kuat, keduanya akan mati. Oleh karena itu, salah seorang diantara mereka dapat menyelamatkan diri dan salah seorangnya meninggal dunia. Demikian salah satu contoh dharurat dalam jinayah atau pidana.
Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :[10]
1.      Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinya menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
2.      Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
3.      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Di antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, Al-Maidah : 105, Al-An’Am : 145, artinya menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
  2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
  3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Adapun kaidah yang setara dengan kaidah keterpaksaan membolehkan hal yang Terlarang :
1.        Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
2.        Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
3.      Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum.
4.        Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.
5.        Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
6.        Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.
7.  Setiap keringanan yang dibolehkan karena daruratatau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
8.   Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan itu milik kami. Kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak untuk per baikan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Karim, Abdul. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Al-Kautsar
Solihin, Bunyana. Kaidah Hukum Islam dalam Tertib dan Fungsi Legislasi Hukum dan Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kreasi Total Media. Cetakan Ke-I




[1] Abdu Karim, l. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Al-Kautsar. hlm. 108
[2] QS. Al-An’am 119
[3] QS. Al-Baqarah 173
[4] QS. Al-Ma’idah: 3
[5] HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158.
[6] Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. hlm 80.
[7] As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm 256.
[8] Al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4. hlm 233
[9] Las-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm. 250
[10] Djuzuli. Kaidah-Kaidah Fikih. (Jakarta: Kencana. 2007). Cet.2