MAKALAH STRATEGI PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan bank syariah di Indonesia pasca
krisis 1997 hingga sekarang merupakan sesuatu yang menarik dicermati. Banyak
syariah seakan membiaskan pola ekonomi baru berbasis Islam yang punya
kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hingga memasuki awal tahun 2007
telah berdiri 3 bank umum syariah dan 25 bank konvensional yang membuka unit
usaha syariah serta 107 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Hasilnya Pangsa pasar
perbankan syariah pada tahun awal tahun 2007 ini, telah mencapai 1,6 % dari
total pangsa pasar perbankan di Indonesia. Dan melalui program akselerasi Bank
Indonesia diharapkan pada desember 2008 pangsa pasar perbankan syariah sudah
mencapai 5,25% dari total pangsa pasar perbankan nasional.
Sejalan dengan itu, Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, telah
menempatkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan
kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia
dan Saudi Arabia, Selain negara Indonesia menurut Grafik Islamc Finance Country
Indeks (IFCI,)2011, menjadikan negara urutan keempat negara yang memiliki
potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah, juga
mengalami peningkatan peranan industri keuangan syariah dengan ranking total
aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13
pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$ 7,2 miliar.
Seiring dengan perkembangan sampai dengan bulan
Februari 2012 berdasarkan data Direktorat Perbankan Syariah BI tahun 2012,
industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum
Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan
kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan
bahwa total aset perbankan syariah mencapai Rp. 149,3 triliun (BUS & UUS
Rp. 145,6 triliun dan BPRS Rp. 3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1% dari
posisi tahun sebelumnya. Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi
pertumbuhan yang tinggi dengan rata-rata sebesar 40,2% pertahun dalam lima
tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata pertumbuhan perbankan nasional
hanya sebesar 16,7% pertahun. Oleh karena itu, industri perbankan syariah
dijuluki sebagai the fastest growing
industry di satu sisi. Di sisi lain akselerasi pertumbuhan perbankan
syariah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dari pertumbuhan perbankan
nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional
menjadi 4,0%. Jika tren pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah
tersebut dapat dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat
mencapai 15%-20% dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana strategi pengembagan perbankan syariah
2.
Bagaimana prospek pengembagan perbankan syariah pendekatan pasar
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui strategi pengembagan perbankan syariah
2.
Mengetahui prospek pengembagan perbankan syariah pendekatan pasar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang
menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan
jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.[1]
Menurut Heri Sudarsono, bank syariah adalah bank
yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Dengan kata lain, bank
sslam (bank syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas permbayaran serta peredaran
uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[2]
Sedangkan menurut Perwataatmadja, dan Muhammad
Syafi’i Antonio menjelaskan bank syari’ah, adalah bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip Syari’ah Islam, yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti
ketentuan-ketentuan Syair’ah Islam khusunya yang menyangkut tata cara
bermuamalat secara Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah
Islam adalah praktek-praktek yang mengandung unsur riba, kemudian diganti dan
pembiayaan perdagangan.[3]
Dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, sudah dijelaskan secara rinci tentang pengertian
perbankan syariah, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 sebagai berikut:
Perbankan Syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.[4]
Berdasarkan dari uraian pengertian-pengertian
tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa bank syariah merupakan suatu
badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial iintermediaries), yang
menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund/surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) dalam bentuk kredit dan
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak,
tentunya disesuaikan dengan prinsip Islam.
B. Dasar Hukum Bank Syariah
Dasar
hukum pelaksanaan bank syariah antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
6. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah,
sekaligus sebagai legitimasi hukum dalam mengoperasionalkan perbankan syariah.
C. Produk Dan Sistem Opersasional Bank Syariah
Bank syariah
juga dapat menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Adapun fungsi
dan peran bank syariah, antara lain sebagai:
1.
Manajer
investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi;
2.
Investor
yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang
dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan
prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang
disepakati antara bank dan pemilik dana;
3.
Penyedia
jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non syariah sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4.
Pengemban
fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman
kebajikan (qardhul hasan) sesuai
ketentuan yang berlaku.[5]
Sehubungan dengan hal itu, dalam mengelola usahanya perbankan syariah
memiliki produk-produk dan sistem operasionalnya, sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 19 ayat
(1) sebagai berikut:
Kegiatan usaha Bank
Umum Syariah meliputi:
1.
Menghimpun
dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
2.
Menghimpun
dana dalam bentuk nvestasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
3.
Menyalurkan
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
akad musyarakah, atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
4.
Menyalurkan
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah,
Akad salam, Akad istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
5.
Menyalurkan
pembiayaan berdasarkan Akad qardh
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
6.
Menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah
berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
7.
Melakukan
pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;
8.
Melakukan
usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah;
9.
Membeli,
menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip Syariah, antara
lain, seperti akad ijarah, musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
10. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip
Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
11. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga
berdasarkan prinsip Syariah;
12. Melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu akad yang berdasarkan prinsip Syariah;
13. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan
surat berharga berdasarkan prinsip Syariah;
14. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip Syariah;
15. Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan
Akad wakalah;
16. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
17. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di
bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
Merujuk pada poin-poin ayat yang tercantum dalam
pasal 19 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan tersebut di atas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa produk-produk bank Syariah, secara umum beroperasi dalam
penghimpunan, pembiayaan dan jasa, yang terdiri dari; mudharabah, musyarakah, wadi’ah, istishna, ijarah, hawalah,
salam, istishna, dan kafalah.
Dari uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan
bahwa produk bank syariah terdir atas tiga bagian penting yakni prodak
penghimpunan dana dengan prinsip wadiah terdiri dari (giro wadiah dan tabungan
wadiah) sedangkan prinsip mudharabah terdiri dari (tabungan mudharabah, giro
mudharabah dan deposito mudharabah), penyaluran dana dengan prinsip jual beli
terdiri dari (muzhara’ah, istisna, salam
dan ijarah) sedangkan penyaluran dana
dengan prinsip bagi hasil terdiri dari (mudharabah
dan musyarakah). Produk bank syariah
tentang jasa adalah terdiri dari wakalah,
kafalah, sharf, rahn, dan hiwalah.[7]
D. Strategi Pengembagan Perbankan Syariah
Kaitannya dengan strategi pengembangan terdapat beberapa faktor secara
signifikan menjadi pendorong peningkatan kinerja industri perbankan syariah,
baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan, sebagai
berikut; Pertama, ekspansi jaringan
kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di
bank syariah. Kedua, gencarnya
program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan
perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat. Ketiga, upaya peningkatan kualitas
layanan (service excellent) perbankan
syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional, yakni
pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan anjungan tunai mandiri
(ATM), mobile banking maupun internet banking.
Faktor keempat adalah pengesahan beberapa produk perundangan
yang memberikan kepastian hukum dan
meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga
UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah
mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi
11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun 2009-2010.[8]
Sedangkan menurut Abdul Ghofur Anshori, pelaksanaan sistem syariah pada
perbankansyariah dapat dilihat dari 2 (dua) prespektif yakni perspektif mikro
dan perspektif makro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menghendaki
bahwasemua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola
denganintegritas tinggi dan sangat hati-hati. Nilai-nilai syariah dalam
perspektif mikromeliputi;
1.
Shiddiq,
yaitu memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang
menjunjung tinggi nilai kejujuran. Nilai ini mencerminkan bahwa pengelolaan
dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankn cara-cara yang diperkenankan
(halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (Shubhat) terlebih lagi yang
bersifat dilarang (haram);
2.
Tabligh,
dimana secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat
mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan
sosialisasi sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah
semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat bagi
pengguna jasa perbankan syariah;
3.
Amanah,
artinya menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam
mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik
dana dan pengelola dana investasi (mudharib);
4.
Fathanah,
yaitu memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan
kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat resiko yang
ditetapkan oleh bank termasuk didalamnya adalah pelayanan yang penuh dengan
kecermatan dan kesantunan (ri’ayah)
serta penuh rasa tanggung jawab (masuliyah).[9]
Sedangkan
dari perspektif makro, nilai-nilai syariah menghendaki perbankan syariah harus
berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan memenuhi hal-hal, sebagai
berikut:
1.
Kaidah
zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi
dibandingkan hanya menyimpan hartanya.
2.
Kaidah
pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity based financing) dan melarang riba
3.
Kaidah
pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang
investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil.
4.
Kaidah
pelarangan gharar (uncertainty),
mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan
menghindari ketidakjelasan.[10]
Berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah tersebut,
sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah
perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh
masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Dengan positioning
khas perbankan syariah sebagai “lebih dari sekedar bank” (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produkdan jasa
keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih
bervariasi.
Selanjunya strategi yang digunakan dalam upaya
pengembangan perbankan syariah terdiri dari empat faktor penting, yakni
ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan
kemudahan akses, gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat
mengenai produk dan layanan perbankan syariah, upaya peningkatan kualitas
layanan (service excellent) dan
produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas
pasar keuangan syariah.
E. Prospek Pengembagan Perbankan Syariah
Pendekatan Pasar
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar,
sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan
syariah di dunia sekaligus sebagai global
player keuangan syariah sangat besar. Hal tersebut ditopang oleh
faktor-faktor antara lain: (i) jumlah
penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah;
(ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang
solid; (iii) peningkatan sovereign credit
rating Indonesia menjadi investment
grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor
keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber
daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.[11]
Dari faktor pendukung tersebut, maka dapatlah
dipastikan perbankan syariah akan menjadi lembaga keuangan sekaligus sebaga sarana
intermediasi dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Perkembangan bank syariah di Indonesia
pasca krisis 1997 hingga sekarang merupakan sesuatu yang layak dicermati, ia
seakan membiaskan pola ekonomi baru berbasis Islam yang punya kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selanjutnya perkembangan bank syariah, hingga
memasuki awal tahun 2007 telah berdiri 3 bank umum syariah dan 25 bank
konvensional yang membuka unit usaha syariah serta 107 Bank Perkreditan Rakyat
Syariah. Hasilnya Pangsa pasar perbankan syariah pada tahun awal tahun 2007
ini, telah mencapai 1,6 % dari total pangsa pasar perbankan di Indonesia. Dan
melalui program akselerasi Bank Indonesia diharapkan pada desember 2008 pangsa
pasar perbankan syariah sudah mencapai 5,25% dari total pangsa pasar perbankan
nasional.[12]
Berdasarkan hasil capaian tersebut, dapat
disejajarkan dengan negara-negara Islam yang sedang gencarnya melaksanakan
perbankan syariah, sehingga Indonesia menjadi urutan keempat negara yang
memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah.
Juga mengalami peningkatan peranan industri keuangan syariah dengan ranking
total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan
ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$ 7,2 miliar.[13]
Seiring dengan semakin berkembangnya perbankan
syariah, Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, telah
menempatkan Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri
keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia. Hal tersebut,
mengungkapkan prospek perkembangan Bank Syariah mampu bersaing dengan negara
yang telah maju, dengan bukti menjadi urutan keempat negara yang memiliki
potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah.[14]
Selanjutnya perkembangan perbankan syariah
sampai dengan bulan Februari 2014, industri perbankan syariah telah mempunyai
jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan
155 BPRS, dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di
hampir seluruh penjuru nusantara.[15]
Disisi lain akselerasi pertumbuhan perbankan
syariah yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dari pertumbuhan perbankan
nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional
menjadi 4,0%. Jika trend pertumbuhan
yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat
dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20%
dalam kurun waktu 10 tahun kedepan.[16]
Selaku regulator, Bank Indonesia memberikan
perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan
perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan
syariah akan membawa maslahat bagi
peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan
sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan,
senantiasa menggunakan underlying transaksi
di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang
bersifat spekulatif (gharar) sehingga
mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global.
Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap
terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa
manfaat yang lebih adil bagi semua
pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun
pihak bank selaku pengelola dana.[17]
Jadi, idealnya bank syariah adalah bank bagi
hasil yang mengedepankan konsep loss and profit sharing dalam pegembangan
produknya. Dalam pengembangannya ia menggunakan
konsep mua’malah Islamiyah ala Indonesia yang diijtihadkan MUI (Majelis Ulama’
Indonesia) melalui DSN (Dewan Syariah Nasional), lalu prakteknya diawasi oleh
DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga akan menciptakan suatu mekanisme
perbankan yang diharapkan mampu memberi kemaslahatan objektif bagi umat seluruh
alam.[18]
Merujuk pada uraian tersebut, maka dapatlah
dipahami bahwa, ketertarikan nasabah pada perbankan syariah masih didominasi
oleh faktor idealitas bukan objektifitas kualitasnya, hingga mereka lebih
tertarik menggunakan pembiayaan jangka pendek yang beresiko lebih kecil
dibandingkan mudharabah atau musyarakah yang bersifat jangka panjang.
Hal ini secara objektif kembali menunjukkan kelemahan bank syariah sebagai bank
bagi hasil dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan produk-produknya, seakan
tidak sesuai dengan visi pengembangannya yaitu ”Terwujudnya sistem perbankan
syariah yang sehat, kuat, dan istiqamah terhadap prinsip syariah dalam kerangka
keadilan, kemaslahatan dan keseimbangan, guna mencapai
masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual (falah)”.[19]
Jadi, secara rinci perlu diadakannya langkah
transformasi kearah keseimbangan pasar yang ideal dalam mengembangkan perbankan
syariah yang kompetitif. Penerapan solusi melalui pendekatan mekanisme pasar
secara eksplisit akan melibatkan setidaknya 4 macam golongan yaitu:
nasabah/masyarakat, kompetitor/bank konvensional, praktisi perbankan syariah
dan pemerintah.
Langkah transformasi ini dapat dilakukan melalui
inovasi pendekatan fungsi pasar yaitu melalui penguatan fungsi supply (kualitas dan kuantitas perbankan
syariah) dan peningkatan kuantitas demand
(masyarakat sebagai nasabah dan pelaku industri). Sedangkan kompetitor sebagai
variabel substitusi dari perbankan syariah yang bersifat negatif dan regulasi
pemerintah sebagai variabel lain yang idealnya mesti bersifat positif.
Keseimbangan inilah yang kelak diharapkan mampu memberi fondasi yang kokoh bagi
pengembangan bank syariah kedepannya sehingga mempunyai kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi bangsa. Juga prospek perkembangan industri perbankan
syariah nasional kedepan antara lain akan dipengaruhi oleh perkembangan
permintaan masyarakat dan penyediaan jasa perbankan syariah oleh perbankan
dan/atau investorserta faktor-faktor yang mempengaruhi keduasisi supply dan demand. Dari sisi demand
dapat dilihat dari seberapa besar kelompok masyarakat yang menginginkan
keberadaan dan kesediaan menggunakan jasa perbankan syariah. Sedangkan dari
sisi supply dapat dilihat dari minat
investor untuk masuk industri perbankan syariah dan perkembangan jaringan
kantor serta membaiknya kinerja keuangan dan profesionalisme perbankan syariah.[20]
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, pada
prisipnya pengembangan bank syariah selain dalam rangka merealisasikan
nilai-nilai Islam dalam realisasi praktek keuangan syariah kepada umat Islam,
akan tetapi pengembangan bank syariah diarahkan kepada pangsa pasar secara umum
atau rahmatan lil ’alamin, tanpa
terbatas oleh segmentasi nasabah idealis, sealigus sebagai lembaga intermediasi
pengguna dan peyalur dana, serta jasa lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut;
Strategi pengembangan perbankan syariah
dilakukan dengan cara: ekspansi jaringan kantor perbankan syariah pada tempat
strategi, gencarnya program edukasi dan sosialisasi produk terhadap masyarakat,
upaya peningkatan kualitas layanan (service
excellent) dengan pemanfaatan akses
teknologi informasi, seperti layanan (ATM), mobile banking maupun internet banking, dan pengesahan beberapa produk
perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar
keuangan syariah.
Sedangkan prospek pengembangan perbankkan
syariah dengan pendekatan pasar telah dilaksanakan dengan bukti; pada tahun
2014, bank syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS),
24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan kantor
mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Selain
itu, dapat disejajarkan dengan negara Arab dan Malaysia pada urutan keempat
yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Halim. Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah
Indonesia: Tantangan Dalam
Menyongsong MEA 2015, ‘Makalah”, diseminarkan pada Milad Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-8 Jakarta: tanggal
13 Oktober 2015.
Anshori, Abdul Ghofur.
Perbankan Syariah Di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Antonio, Muhammad
Syafi’i. Bank Syari’ah Dari Teori ke
Praktek Jakarta: Gema Insani, 2001.
Departemen Pendidikan
Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cet.. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Muslehuddin, Mohammad.
Sistem Perbankan Dalam Islam,
Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Saefuddin, A. M. Membumikan Ekonomi Islam, Cet. I;
Jakarta: PT. PPA Consultans, 2011.
Suharto, dkk. Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional Bank Syariah,
Jakarta: Djambatan, 2001.
Sutjipto, Hady. Menyoroti Kebijakan Moneter dalam Membangun Perekonomian
Syariah di Indonesia, Yogyakarta:
Fakultas Ekonomi UII, 2004
Republik Indonesia. Undang-Undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[1] Departemen Pendidikan
Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Cet.. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 103.
[3] Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke
Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 61.
[5] Suharto, dkk., Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syariah (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 24.
[7] Muhammad Antonio
Syafii, Evaluasi dan Penetaan Praktek
Perbankan Syariah (Yogyakarta: STIE, 1997), h. 5.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 170.
[11] Lihat, Halim Alamsyah,
Perkembangan dan Prospek, h. 1. Lihat
pula Iman Sugema, Islamic Banking: The Facts and Challenges. (Makalah dipresentasilkan
pada acara Second, 2007), h. 7.
[12] Hady Sutjipto, Menyoroti Kebijakan Moneter dalam Membangun
Perekonomian Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII,
2004), h. 2
[19] Nasirwan Ilyas, The New Blueprint and Strategic Initiatives
for Acceletaring Indonesian Banking.Directorate of Islamic Banking dipresentasikan
pada acara SEconD 2007, h 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar