Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH KONDISI DARURAT YANG DI PERBOLEHKAN OLEH ISLAM KAIDAH ADZORUROTU TUBIKHUL MAKHDZUROT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya, kemunculan hukum-hukum islam itu adalah dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan manusia dan memelihara kepentingan, baik yang bersifat khusus maupun umum. Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan: Menjaga kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga kehormatanya, menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya.
Syariat islam adalah merupakan syariat terakhir yang membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan syariat itu Allah telah memberikan beberapa keistimewaan, antara lain; hal-hal yang bersifat umum, abadi dan meliputi segala bidang. Didalamnya telah diletakkan dasar-dasar hukum bagi manusia dalam memecahkan segala permasalahan.
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita . Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam makalah ini penulis akan membahas kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
B. Rumusan Masalah
1.        Apa itu kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
2.        Kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
C. Tujuan Penulisan
1.        Dapat memahami kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
2.       Dapat memahami kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.



BAB III
PEMBAHASAN

Tak ada sejumput keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak heran jika seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.
Oleh sebab itu, cendekia muslim mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis. Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah mempelajari berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid Al-Kuliyyah Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu cabang penerapan dari kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.

A. Kedudukan Kaidah

Ulama bersilang pendapat mengenai di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain sebagainya.

B. Dalil Kaidah

Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran.[1] Di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Artiya : “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”[2]
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artiya : “Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[3]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam keadaan darurat, dengan firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
Artiya : “Siapa yang terpaksa mengonsumsi makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
Diantara landasan kaidah ini dari hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia berada di neraka.”[5]

C. Makna Kaidah

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.[6]
Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[7]
Kesimpulannya, hal-hal yang dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.

D. Penerapan Kaidah[8]

Di antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
1.      Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya.
2.     Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat.
3.       Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa.
4.       Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat selainnya.
5.   Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya.
6.    Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan ia dalam keadaan mampu.

E. Syarat Darurat[9]

Namun perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah ini. Di antara lain:
1.        Darurat tersebut benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.
2.        Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya dari si pengembala.
3.   Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya.
4.        Keharaman yang ia lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
5. Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan orang yang sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa bangkai diharamkan untuk dimakan. Akan tetapi diakhir ayat tersebut, Allah memberikan peluang kepada manusia untuk memakan bangkai dalam keadaan terpaksa. Dalam pandangan penulis, pengertian dharurat harus diperjelas agar manusia tidak seenaknya melakukan perbuatan (memakan makanan) yang diharamkan dengan alasan terpaksa. Ulama berbeda pendapat tentang pengertian dharurat. Di antara ulama yang menjelaskan pengertian dharurat adalah Abu Bakaral-Jashash, al-Suyuti, dan Muhammad Abu Zahrah.
Menurut Abu Bakar al-Jashash, dharurat adalah :
خوف الضراراوالهلاك علىى النفس او بعض الاعضاء بترك الاكل
Artiya : Kekhawatiran akan adanya kesulitan atau kesukaran jiwa atau sebagaian anggota badan bila tidak memakan (yang diharamkan).”
Ulama Malikiyah menjelaskan bahawa yang dimaksud dharurat adalah :
الخوف على النفس من الهلاك علما وظنا
Artiya : Kekhawatiran akan adanya kerusakan jiwa, baik secara menyakinkan (ilmu) maupun dugaan.”
Defenisi yang dibuat oleh ulama di atas menunjukkan bahwa dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Salah satu contoh dharurat dalam bidang pidana adalah dua orang berlayar menggunakan kapal kecil. Di tengah lautan, kapal yang mereka tumpangi tenggelam, akhirnya yang bisa dipegangi hanya sebuah papan yang hanya mampu menahan beban satu orang saja. Dalam keadaan demikian, keduanyta boleh berjuang untuk mendapatkan papan tersebut. Kalau tidak demikian, berdasarkan dugaan kuat, keduanya akan mati. Oleh karena itu, salah seorang diantara mereka dapat menyelamatkan diri dan salah seorangnya meninggal dunia. Demikian salah satu contoh dharurat dalam jinayah atau pidana.
Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :[10]
1.      Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinya menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
2.      Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
3.      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Di antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir, membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, Al-Maidah : 105, Al-An’Am : 145, artinya menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
  2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
  3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Adapun kaidah yang setara dengan kaidah keterpaksaan membolehkan hal yang Terlarang :
1.        Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
2.        Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
3.      Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum.
4.        Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.
5.        Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
6.        Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.
7.  Setiap keringanan yang dibolehkan karena daruratatau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
8.   Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan itu milik kami. Kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak untuk per baikan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Al-Burnu, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA. Cetakan ke-2.
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1.
Az-Zuhaili, Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus – Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Karim, Abdul. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Al-Kautsar
Solihin, Bunyana. Kaidah Hukum Islam dalam Tertib dan Fungsi Legislasi Hukum dan Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kreasi Total Media. Cetakan Ke-I




[1] Abdu Karim, l. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Al-Kautsar. hlm. 108
[2] QS. Al-An’am 119
[3] QS. Al-Baqarah 173
[4] QS. Al-Ma’idah: 3
[5] HR. Bukhari: 6888, dan Muslim: 2158.
[6] Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. hlm 80.
[7] As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm 256.
[8] Al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4. hlm 233
[9] Las-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm. 250
[10] Djuzuli. Kaidah-Kaidah Fikih. (Jakarta: Kencana. 2007). Cet.2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar