BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya,
kemunculan hukum-hukum islam itu adalah dimaksudkan untuk menjaga kemuliaan
manusia dan memelihara kepentingan, baik yang bersifat khusus maupun umum.
Syariat-syariat langit menentukan ada lima kebutuhan yang berisikan: Menjaga
kehidupan manusia dengan mengharamkan membunuhnya, menjaga kehormatanya,
menjaga akalnya, menjaga hartanya, dan menjaga agamanya.
Syariat islam adalah
merupakan syariat terakhir yang membawa petunjuk bagi umat manusia. Dengan
syariat itu Allah telah memberikan beberapa keistimewaan, antara lain; hal-hal
yang bersifat umum, abadi dan meliputi segala bidang. Didalamnya telah
diletakkan dasar-dasar hukum bagi manusia dalam memecahkan segala permasalahan.
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan
bagi kita . Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam makalah ini penulis akan
membahas kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
2.
Kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat memahami kaidah adzorurotu tubikhul makhdzurot.
2. Dapat memahami kaidah-kaidah yang setara dengan kaidah adzorurotu
tubikhul makhdzurot.
BAB III
PEMBAHASAN
Tak ada sejumput keraguan yang
bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah ini. Tak hanya
dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur setiap aspek
kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak heran jika
seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal
itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya
kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.
Oleh sebab itu, cendekia muslim
mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian
banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis. Alhasil,
dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.
Sebelumnya kita telah mempelajari
berbagai kaidah-kaidah pokok yang tergolong Al-Qawaid
Al-Kuliyyah Al-Kubra. Di antaranya adalah kaidah “Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taisir”. Nah, pada kesempatan kali ini kita
akan membahas salah satu cabang penerapan dari kaidah tersebut, yaitu kaidah Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya
“dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan”.
A. Kedudukan Kaidah
Ulama bersilang pendapat mengenai
di manakah kaidah ini seharusnya ditempatkan. Sebagian ulama semisal As-Suyuthi
memasukkan kaidah ini sebagai cabang dari kaidah “adh-dharar yuzalu” yang berarti segala yang membahayakan itu harus
dihilangkan. Akan tetapi yang lebih tepat dalam hal ini sebagaimana yang telah
disinggung di atas, bahwa kaidah ini merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlibu at-taisir” karena
kaidah adh-dharar yuzalu cakupannya
lebih luas dan umum hingga meliputi segala macam seperti harta, jiwa, dan lain
sebagainya.
B. Dalil Kaidah
Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang
merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. Sebagaimana
kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari
Alquran.[1]
Di antaranya:
Allah
Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ
لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Artiya
: “Dan sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian
makan.”[2]
Allah
Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artiya : “Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa.
Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”[3]
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah ketika
mengomentari kaidah ini, beliau mengutip dalil yang menjadi dasar kaidah ini
atau dasar bolehnya melakukan hal yang terlarang dalam keadaan darurat, dengan
firman Allah,
فَمَنِ اضْطُرَّ
فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم
Artiya
: “Siapa yang terpaksa mengonsumsi
makanan yang diharamkan karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka
sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
Diantara landasan kaidah ini dari
hadis ialah kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa
pendapatmu apabila seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Lelaki
itu kembali bertanya, “Lalu bagaimana jika ia ingin membunuhku?” Beliau pun
menjawab, “Bunuh dia.” “Jika ia
berhasil membunuhku?” tanyanya lagi. “Maka
engkau mati syahid,” jawab Rasulullah. Lagi-lagi ia bertanya, “Jika aku
yang membunuhnya?” Rasulullah menjawab, “Dia
berada di neraka.”[5]
C. Makna Kaidah
Darurat secara bahasa bermakna
keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat
dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia
akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan
hidup di saat ia sangat kelaparan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan
makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara
yang terlarang.[6]
Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat
Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang,
baik berupa ucapan yang diharamkan semisal gibah, adu domba, dan sejenisnya,
atau berupa amalan hati seperti dengki, hasad, dan semisalnya, atau juga berupa
perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.[7]
Kesimpulannya, hal-hal yang
dilarang dalam syariat boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak, yakni
dalam kondisi darurat. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak
melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati atau yang semisalnya. Atau
dengan kata lain, kondisi darurat atau kebutuhan yang sangat mendesak membuat
seseorang boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh syariat.
D. Penerapan Kaidah[8]
Di
antara penerapan kaidah ini dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
1. Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat
pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya.
2. Seseorang boleh memakan bangkai atau daging babi
jika ia tidak menemukan makanan untuk dimakan di saat kelaparan yang teramat sangat.
3. Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam
keadaan terpaksa.
4. Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika
tidak terdapat obat selainnya.
5. Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan
cara itu ia bisa menyelamatkan diri, keluarga, dan hartanya.
6. Bolehnya seseorang mengambil harta milik orang
yang berhutang darinya tanpa izin jika ia selalu menunda pembayaran sedangkan
ia dalam keadaan mampu.
E. Syarat Darurat[9]
Namun
perlu diperhatikan, tidak setiap kondisi darurat itu memperbolehkan hal yang sejatinya
telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat yang dimaksud dalam kaidah
ini. Di antara lain:
1.
Darurat tersebut
benar-benar terjadi atau diprediksi kuat akan terjadi, tidak semata-mata
praduga atau asumsi belaka.
Contohnya, seorang musafir di tengah perjalanan merasa
sedikit lapar karena belum makan siang. Padahal ia akan tiba di tempat tujuan
sore nanti. Ia tidak boleh mencuri dengan alasan jika ia tidak makan siang, ia
akan mati, karena alasan yang ia kemukakan hanya bersandar pada prasangka semata.
2.
Tidak ada pilihan
lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut.
Misalnya, seorang musafir kehabisan bekal di tengah padang
pasir. Ia berada dalam kondisi lapar yang sangat memprihatinkan.Di tengah
perjalanan, ia bertemu seorang pengembala bersama kambing kepunyaannya. Tak
jauh dari tempatnya berada tergolek bangkai seekor sapi. Maka ia tak boleh
memakan bangkai sapi tersebut karena ia bisa membeli kambing atau memintanya
dari si pengembala.
3. Kondisi darurat
tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan
kehilangan nyawa atau anggota badannya.
4.
Keharaman yang ia
lakukan tersebut tidaklah menzalimi orang lain.
Jika seseorang dalam keadaan darurat dan terpaksa dihadapkan
dengan dua pilihan: memakan bangkai atau mencuri makanan, maka hendaknya ia
memilih memakan bangkai. Hal itu dikarenakan mencuri termasuk perbuatan yang
menzalimi orang lain. Kecuali jika ia tidak memiliki pilihan selain memakan
harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.
5. Tidak melakukannya
dengan melewati batas. Cukup sekadar yang ia perlukan untuk menghilangkan
mudarat.
Seorang dokter ketika mengobati
pasien perempuan yang mengalami sakit di tangannya, maka boleh baginya
menyingkap aurat sebatas tangannya saja. Tidak boleh menyingkap aurat yang
tidak dibutuhkan saat pengobatan seperti melepas jilbab, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan orang yang
sangat kelaparan di tengah perjalanan. ia boleh memakan bangkai sekadar untuk
menyambung hidupnya saja. Dengan kata lain tidak boleh mengonsumsinya hingga
kenyang, melewati kadar untuk menghilangkan mudarat yang dialaminya.
Tidak semua keterpaksaan
itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi
ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di
hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam
dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi
hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Allah SWT secara tegas
menyatakan bahwa bangkai diharamkan untuk dimakan. Akan tetapi diakhir ayat
tersebut, Allah memberikan peluang kepada manusia untuk memakan bangkai dalam
keadaan terpaksa. Dalam pandangan penulis, pengertian dharurat harus diperjelas
agar manusia tidak seenaknya melakukan perbuatan (memakan makanan) yang
diharamkan dengan alasan terpaksa. Ulama berbeda pendapat tentang pengertian
dharurat. Di antara ulama yang menjelaskan pengertian dharurat adalah Abu
Bakaral-Jashash, al-Suyuti, dan Muhammad Abu Zahrah.
Menurut
Abu Bakar al-Jashash, dharurat adalah :
خوف الضراراوالهلاك علىى النفس او بعض الاعضاء بترك الاكل
Artiya
: Kekhawatiran akan adanya
kesulitan atau kesukaran jiwa atau sebagaian anggota badan bila tidak memakan
(yang diharamkan).”
Ulama
Malikiyah menjelaskan bahawa yang dimaksud dharurat adalah :
الخوف على النفس من الهلاك علما وظنا
Artiya
: “Kekhawatiran akan adanya
kerusakan jiwa, baik secara menyakinkan (ilmu) maupun dugaan.”
Defenisi yang dibuat oleh
ulama di atas menunjukkan bahwa dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam
jiwa atau anggota badan seseorang sehingga ia dibolehkan melakukan suatu
perbuatan yang dilarang atau memakan yang diharamkan. Salah satu contoh dharurat
dalam bidang pidana adalah dua orang berlayar menggunakan kapal kecil. Di
tengah lautan, kapal yang mereka tumpangi tenggelam, akhirnya yang bisa
dipegangi hanya sebuah papan yang hanya mampu menahan beban satu orang saja.
Dalam keadaan demikian, keduanyta boleh berjuang untuk mendapatkan papan
tersebut. Kalau tidak demikian, berdasarkan dugaan kuat, keduanya akan mati.
Oleh karena itu, salah seorang diantara mereka dapat menyelamatkan diri dan
salah seorangnya meninggal dunia. Demikian salah satu contoh dharurat dalam
jinayah atau pidana.
Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan
keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah
keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :[10]
1. Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan
ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, al-maidah : 105, al-an’am : 145, artinya
menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta
milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “
man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena
mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
2. Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui
batas.
3. Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Di
antara pengecualian kaidah ini adalah apabila seseorang dipaksa untuk kafir,
membunuh orang lain, atau berzina, maka ia tidak boleh melakukannya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Kaidah keterpaksaan membolehkan (seseorang melakukan) hal yang terlarang
merupakan cabang dari kaidah kemudharatan itu harus dihilangkan. dharurat
adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa atau anggota badan seseorang sehingga
ia dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau memakan yang
diharamkan. Dikalangan ulama’ ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang
membolehkan seseorang melakukan yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi
syarat sebagai berikut :
- Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-qur’an surat al-baqarah : 177, Al-Maidah : 105, Al-An’Am : 145, artinya menjagajiwa (hifzh al-nafs) seperti boleh memukul orang yang akan merebut harta milik kita. Bahkan hadits nabi mengatakan “ man matadunamalihi fahuwasyahidun” barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan harta miliknya yang syah maka matinya adalah syahid.
- Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
- Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan hal yang dilarang.
Adapun kaidah yang setara dengan kaidah
keterpaksaan membolehkan hal yang Terlarang :
1.
Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.
2.
Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi.
3. Kemudharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudharatan yang
bersifat umum.
4.
Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih
ringan.
5.
Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.
6.
Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun
khusus.
7. Setiap keringanan yang dibolehkan karena daruratatau karena al-hajah, tidak
boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
8. Setiap tindakan hukum yang membawa kemasfadatan atau menolak kemaslahatan
adalah dilarang.
Demikianlah makalah yang
dapat kami sajikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Dan hanya
Allah SWT yang
memiliki kesempurnaan dan kekurangan itu milik kami. Kami mengharapkan kritik
dan saran konstruktif dari semua pihak untuk per baikan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bassam,
Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih
al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah:
Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Al-Burnu,
Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz
fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut –
Lebanon. Cetakan ke-4.
Al-Utsaimin,
Muhammad bin Shalih. 1430 H. Syarh
Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawaidih. Dar Ibn al-Jauzi: Unaizah – KSA.
Cetakan ke-2.
As-Sadlan,
Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid
al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA.
Cetakan ke-1.
Az-Zuhaili,
Dr. Muhammad. 1427 H. Al-Qawaid
al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah. Dar al-Fikr: Damaskus
– Suriah. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
Karim,
Abdul. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta:
Al-Kautsar
Solihin,
Bunyana. Kaidah Hukum Islam dalam Tertib dan Fungsi Legislasi Hukum dan
Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kreasi Total Media. Cetakan Ke-I
[1] Abdu Karim, l. 2008. Al.Wajiz 100 Kaidah Fikih
dalam Kehidupan Sehari-Hari. Jakarta: Al-Kautsar. hlm. 108
[2] QS. Al-An’am 119
[3] QS. Al-Baqarah 173
[4] QS. Al-Ma’idah: 3
[5] HR. Bukhari: 6888, dan
Muslim: 2158.
[6] Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar
al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1.
hlm 80.
[7] As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar
Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm 256.
[8] Al-Burnu, Muhammad Shidqi bin Ahmad. 1416 H. Al-Wajiiz fi Idhahi Qawa’id Al-Fiqh
Al-Kuliyyah. Muassasah Ar-Risalah: Beirut – Lebanon. Cetakan ke-4. hlm 233
[9] Las-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. Dar
Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. hlm. 250
Tidak ada komentar:
Posting Komentar