Rabu, 27 Desember 2017

PEMANFAATAN BAHAN SEDERHANA TANAH LIAT DALAM PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI

PEMANFAATAN BAHAN SEDERHANA TANAH LIAT DALAM PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI


Abstrak

Media pembelajaran mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembelajaran, agar kegiatan belajar mengajar menjadi lebih efektif. Ditinjau dari pengertian komunikasi maka proses pembelajaran sebenarnya juga proses komunikasi. Berdasarkan wawasan bahwa proses pembelajaran adalah proses komunikasi demikian pula bahwa proses pembelajaran adalah suatu sistem, maka posisi media pembelajaran adalah sebagai komponen sistem pembelajaran. Belakangan ini banyak sekali kegagalan-kegagalan penyampaian pesan pembelajaran dari guru/ pembelajar (komunikator) kepada siswa (komunikan) yang banyak didasari dengan tuduhan-tuduhan salahnya media pembelajaran yang disampaikan oleh komunikator yang tidak tepat.Selama ini, sistem dan budaya pendidikan di Indonesia sangat mengagungkan pembenahan sisi kognitif.Para siswa banyak dijejali mata pelajaran yang memaksa mereka terampil berhitung dan menghafal.Mereka diperlakukan laiknya sebuah robot, harus menuruti aturan main yang sudah dibuat.Padahal, pendidikan bagi anak juga perlu dilakukan untuk mengembangkan dunia kreatifitas mereka. Pada sesi yang saya bahas ini adalah media yang tepat untuk meningkatkan kreativitas anak usia dini adalah menerapkan dan memperkenalkan media pembelajaran bermain untuk meningkatkan kreativitas anak pada usia dini.Dalam hal ini bermain tanah liat akan lebih menarik minat anak untuk meningkatkan kreativitas, karena anak bisa bermain tanpa rasa bosan sehingga tujuan tercapai.


Kata kunci: media pembelajaran, kretivitas anak









PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab I ayat 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan lebih lanjut.
Menurut Yamin dan Jamilah (2013:3) menyatakan bahwa PAUD merupakan dasar dari pendidikan anak selanjutnya yang penuh dengan tantangan dasn sebagai jendela pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini saat ini sangat membutuhkan perhatian yang besar dari seluruh lapisan masyarakat, baik itu dari kebijakan pemerintah maupun dukungan dari masyarakat umum.
Pendidikan anak usia dini merupakan usia yang efektif untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak, karena dikurun usia ini anak mengalami masa lompatan perkembangan otak mencapai 80%, pada saat ini paling tepat untuk mengembangkan kreativitas anak.
Menurut Clarkl dalam Munandar (2004:20) menyatakan bahwa kreativitas merupakan pengalaman dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu antara hubungan diri sendiri, alam dan orang lain.
Menurut (Depdiknas, 1996:530) kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan atau daya cipta. Kreativitas anak dapat dilihat dalam beberapa ciri diantaranya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi melalui berbagai cara seperti bereksplorasi, bereksperimen, menciptakan suatu karya baru dan banyak mengajukan pertanyaan pada orang lain. Sedangkan menurut Safari (2005:12) Anak yang memiliki kreativitas yang tinggi, akan mampu memecahkan persoalan secara efektif dan efisien, sehingga anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses dimasa depan.
Untuk mencapai pendidikan anak usia dini, berdasarkanKurikulum TK (2010) pada aspek fisik (motorik halus) capaian perkembangan mampu meniru bentuk, dan indikatornya mampu menciptakan berbagai bentuk dengan menggunakan playdought/tanah liat/pasir.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka diadakan penelitian tindakan kelas yaitu dengan meningkatkan kreativitas anak melalui teknik membutsir menggunakan tanah liat yang belum pernah digunakan sebelumnya. Membutsir merupakan salah satu tehnik membentuk yang menggunankan bahan lunak seperti tanah liat, plastisin, bubur kertas, lilin atau malam dan bahan lunak lainnya. Menurut Sulastianto (2006:15) Membutsir adalah membentuk tanah liat atau lilin (plastisin/malam) menjadi bentuk mainan, patung kecil atau bentuk tertentu berdasarkan daya cipta. Membutsir (modeling) adalahkegiatan membentuk menggunakan bahan-bahan yang lunak seperti tanah liat, playdought, plastisin, bubur kertas dan bahan lunak lainnya menjadi bentuk mainan.Dalam hal ini peneliti menggunakan cara belajar yang efektif untuk meningkatkan kreativitas anak dengan teknik membutsir menggunakan tanah liat”. Mengapa tanah liat ?Karena ini merupakan bahan alam, tidak berbahaya bagi anak dan juga mudah didapatkan, diharapkan melalui teknik membutsir menggunakan tanah liat ini anak dapat mengasah kreativitas dan imajinasi anak.















PEMBAHASAN
1.    Tanah liat
a.    Pengertian Tanah Liat
Membutsir dengan tanah liat dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak karena sifat bahan tanah liat yang elastis sangat memungkinkan digunakan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk spontan yang dibuat.Tanah liat merupakan bahan yang sederhana dan mudah di dapat, selain itu tanah liat juga mudah di bentuk artinya kita dapat berkreasi menggunakan tanah liat.
Menurut Sumanto (2005:146) tanah liat adalah bahan alam yang telah dijadikan adonan yang lentur atau siap untuk digunakan membutsir. Kelenturan dan kepadatan adonannya akan mempengaruhi hasil butsiran yaitu tidak mudah retak atau pecah pada saat proses pengeringan. Sifat elastis memudahkan pembentukan, misalnya dengan hanya digenggam, dipijit, ditekan dan seterusnya; sentuhan rasa tekstur bahan yang lunak dan dingin dapat dirasakan ditangan menjadikan a007:7.13) tanah liat adalah lain yang dapat diperkenalkan pada anak-anak ketika mereka mulai menggunakan seni sebagai cara mengekspresikan dan menggambarkan diri mereka sendiri. Tanah liat banyak diguakan untuk pembuatan karya seni tiga dimensi, karna teksturnya yang lunak sehingga tanah liat dapat dibentuk dengan mudah, tanah liat juga dapat dihambat dan dipercepat dalam proses pengeringannya. Tanah liat yang baik yaitu tanah yang memiliki kelenturan tinggi, mudah dibentuk, dan tidak pecah setelah kering.

b.        Tujuan Dan Manfaat Tanah liat
Menurut Sumanto (2005:191) tujuan dimanfaatkannya lingkungan alam dan budaya dalam pembelajaran seni rupa di TK adalah:
1.        Agar pembelajaran bisa lebih efektif, dengan lingkungan yang sudahdikenal anak maka anak dapat menerima dan menguasai dengan baik.
2.        Agar pelajaran jadi relefan dengan kebutuhan siswa sesuai dengan minatdan perkembangannya.
3.        Agar lebih efisien murah dan terjangkau yakni dengan menggunakanbahan alam, seperti tanah liat.
       Sedangkan menurut Aisyah (2007:7.13) tujuan dari kegiatan mengunakan tahnah liat adalah agar anak dapat meremas-remas, mematah-matahkan, menggulung-gulung, menepuk-nepuk, memukul-mukul atau merasakan tanah liat itu sendiri tanpa membuat sesuatu yang mungkin sulit bagi orang dewasa untuk memahaminya. Karena pembelajaran yang disukai anak adalah melalui bermain maka kegiatan membutsir menggunakan tanah liat sangat tepat untuk langkah awal pembentukan kreativitas karena diawali dengan proses melemaskan tanah liat dengan meremas, merasakan, menggulung, memipihkan, dll.

c.    Kelebihan dan Kelemahan Tanah Liat
Menurut Moedjiono 1992 dalam Dwijunianto mengatakan bahwa sederhana tiga dimensi memiliki kelebihan: memberikan pengalaman secara langsung, dan konkrit, tidak adanya verbalisme, obyek dapat ditunjukkan secara utuh baik konstruksinya atau cara kerjanya dari segi struktur organisasi dan alur proses secara jelas. Sedangkan kelemahannya tidak dapat membuat obyek yang besar karena membutuhkan ruang besar dan perawatannya rumit

d.   Langkah–langkah Pembelajaran
Sebelum dibentuk, tanah liat sebaiknya dibersihkan dahulu dari butiran batu atau pasir yang kasar, lembutkan adonannya dengan tangan. Jika terlalu lembek biarkan (diangin-anginkan) hingga kadar airnya berkurang, dan jika dipegang tanah tidak lengket pada tangan kita. Sebagai permulaan guru menunjukkan benda konkrit untuk diperlihatkan pada anak didik misalkan gelas dan piring, guru menyiapkan bahan tanah liat yang sudah berupa balok atau bulatan agak besar dan diberikan kepada anak.kemudian guru membuat gelas dan piring dengan tanah liat sesuai dengan contoh yang ada, kemudian anak diajarkan untuk membuat bentuk yang sama dengan contoh atau membuat bentuk lain sesuka anak. Guru membebaskan apapun yang dibuat anak sesuai subtema, guru tidak boleh membatasi atau menyalahkan apapun yang dibuat anak agar kreatif mereka dapat berkembang. Setiap tahapan membutsir yang sudah dibuat oleh anak hendaknya diberikan penguatan oleh guru misalnya rapikan haluskan dan sebagainya.Untuk mengatasi kotornya tanah liat, meja dialaisi oleh plastik atau koran dan disediakan tempat cuci tangan beserta lap agar sewaktu pembelajaran selesai anak dengan mudah dapat segera membersihkan tangannya.

2.             Kreativitas Terhadap Anak
A.    Pengertian Kreativitas
Menurut Sumardjan dalam Soefadi (2009:136), kreativitas berasal dari kata to create yang berarti mengarang atau membuat sesuatu yang berbeda bentuk, susunan atau gaya dari yang lazim dikenal banyak orang. Sedangkan menurut Rachmawati (2005:16) kreativitas merupakan suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode, ataupun produk baru yang bersifat imajinatif, estetis, fleksibel, integrasi, suksesi, diskontinuitas, dan diferensiasi yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan suatu masalah.
Kreativitas menurut kamus lengkap bahasa indonesia adalah hasil dari kemampuan mencipta. Sedangkan menurut Marhijanto (2002:208); kreativitas dapat dijadikan sebagai kondisi, sikap atau keadaan yang sangat khusus sifatnya dan hampir tidak mungkin dirumuskan secara tuntas.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta (Depdiknas, 1996:530). Selanjutnya menurut Hurlock (1992:4), kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan bentuk-bentuk atau suatu yang baru. Adapun Torrance dalam Munandar (1999:27) kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan dan hipotesis, kemudian akhinya menyampaikan hasil-hasilnya.
Menurut Munandar (2004:45-46) menyebutkan empat jenis tentang kreativitas yaitu: pribadi, pendorong, press, proses dan produk. Adapun definisi dari keempat P ini yaitu sebagai berikut:

a.      Pribadi (Person)
Dafinisi person adalah upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada individu dan muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.“Creativity actionis an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”.
b.      Proses (process)
Definisi dimensi proses upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses berfikir sehingga muncul ide-ide unik atau kreatif. “Creativity is a process that manifest in self in fluency, in aflexibilty as well in orinality of thinking”.
Munandar  (1999:50)  kreativitas  adalah  sebuah  proses  ataukemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan originalitas dalam berfikir, serta kemampuan untukmengelaborasi (menggabungkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Pada definisi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan (Inovasi dan variasi).
c.      Produk (Product)
Definisi pada dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original atau sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif.“Creativity is the ability tobring something new into existence”.
d.     Pendorong (Press)
Definisi dan pendekatan kreatvitas yang menekankan faktor press atau dorongan, baik dorongan internal diri sendiri berupa keinginan atau hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis.
Keempat P ini saling berkaitan: pribadi kreatif yang melibatkan diri dalam proses kreatif dan dengan dukungan dan dorongan (press) dari lingkungan, menghasilkan produk kreatif. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa: “Kreativitas adalah proses konstruksi ide yang orisinil (asli), bermanfaat, variatif (bernilai seni) dan inovatif (berbeda/lebih baik)”.
Menurut Longwenfeld dalam Sumanto (2005:11) kreativitas adalah seperangkat kemampuan seseorang meliputi: (1) Kepekaan mengamati berbagai masalah melalui indra; (2) Kelancaran mengeluarkan berbagai alternatif pemecahan maslah; (3) Keluwesan melihat atau memandang suatu masalah serta kemungkinan jawaban pemecahnya; (4) Kemampuan merespon atau membuat gagasan dalam pemecahan masalah originalitas yang biasa atau yang umum ditemukan; (5) Kemampuan yang berkaitan dengan keunikan cara atau mengungkap gagasan dalam menciptakan karya seni; (6) Kemampuan dalam mengabtrasi hal-hal yang bersifat umun dan mengkaitkannya menjadi hal-hal yang spesifik; (7) Kemampuan memadukan atau mengkombinasikan unsur-unsur seni menjadi karya seni yang utuh; (8) Kemampuan merata secara terpadu dari keseluruhan unsur-unsur seni kedalam tatanan selaras.
Sumanto (2005:38), kreativitas adalah daya atau kemampuan untuk mencipta, kreativitas juga baigian dari kegiatan produksi atau berkarya yang selanjutnya diartikan: (a) Kelancaran untuk menangani suatu masalah, ide, dan materi; (b) Mudah menyesuaikan diri terhadap setiap situasi; (c) Memiliki keaslian dalam membuat tanggapan, karya yang lain dari pada yang lainnya, dan; (d) Mampu berfikir secara internal, mampu menghubungkan satu dengan yang lain.
Untuk memperjelas pengertian kreativitas, Munandar (1999:45-50) mengemukakan beberapa rumusan yang merupakan simpulan para ahli mengenai kreativitas yaitu:
a.       Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, unsur-unsur yang ada.
b.      Kreativitas (berfikir kreatif atau berfikir divergen) adalah kemampuan berdasarkan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban.
c.       Jadi, secara oprasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan, kelancaran keluwesan (fleksibility), dan originalitas dalam berfikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memerinci) suatu gagasan.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah suatu proses mental individu untuk melahirkan atau menciptakan sesuatu yang baru ataupun kombinasi baru berdasarkan unsur-unsur yang telah ada sebelumnya menjadi sesuatu yang bermakna dan bermanfaat. Kreativitas juga tidak hanya dalam bentuk karya nyata tetapi dapat juga berupa gagasan untuk pemecahan suatu masalah.Kreativitas dalam penelitian ini bertujuan untuk mengatasi maslah rendahnya kreativitas anak di Kelompok B2 TK Dharma Wanita Persatuan Provinsi Bengkulu.

B.  Tanah Liat Untuk Pengembangan Kreativitas Anak
Dengan berexperiment atau bermain menggunakan tanah liat anak dapat leluasa mengembangkan imajinasi sekaligus belajar bersosialisasi dengan teman-teman sekitarnya. Bermain dengan media yang berasal dari alam, seperti tanah, pasir dan tumbuhan, biasanya lebih menyenangkan bagi anak-anak.
Tanah liat misalnya karena sifatnya yang lunak dan lentur tanh liat dapat dikreasikan menjadi bermacam-macam bentuk, oleh karena itu tanh liat menjadi satu media yang sangat tepat untuk merangsang imajinasi serta mengasah motorik anak. Manfaat lain dari kekreativitasan anak dapat memperkuat fungsi koknitif, sebab ketika membentuk tanah liat mereka dapat menyelesaikan masalah.
Saat membuat kreasi tanah liat diperlukan kreatifitas, imajinasi, kesabaran dan fokus, dari keterampilan membentuk kemampuan motorik dan fokus di uji, agar menghasilkan bentuk yang bagus, rapi dan indah. Bagi anak-anak membentuk tanh liat merupakan kesenangan tersendiri mereka bisa bebas berkreasi dengan bahan alam tersebut, sekaligus memperoleh pengalaman baru.

C.  Hubungan Antara Kreativitas Dan Tanah Liat
Tanah liat dapat meningkatkan kecerdasan ruang dan gambar karena tanah liat bisa membuat bentuk sesuai khyalan anak-anak. Selain itu kreativitas dapat ditingkatkan dengan bermain tanah liat, membuat berbagai macam bentuk karena cara berfikir anak dalam perkembangan koknitifnya sedang beralih praoperasional ke fase kongkrit operasional. Cara berfikir kongkrit berpijak pada pengalaman akan benda-benda kongkrit bukan berdasakan pengatahuan atau konsep-konsep abstrak. Dalam hal ini bermain tanah liat akan lebih menarik minat anak untuk meningkatkan kreativitas, karena anak bisa bermain tanpa rasa bosan sehingga tujuan tercapai.

D.    Faktor Pendukung Pengembangan Kreativitas
Munandar (1999:94-95) memaparkan bahwa dari berbagai penelitian diperolehhasil bahwa sikap orang tua yang memupuk kreativitas anak antara lain :
1.         Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya.
2.         Memberi waktu kepada anak untuk berfikir, merenung, dan menghayal.
3.         Membiarkan anak mengambil keputusan sendiri.
4.         Mendorong kemelitan anak untuk menjajajki dan mempertanyakan banyak hal.
5.         Meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin dicoba, dilakukan dan apa yang dihasilkan.
6.         Menunjang dan mendorong kegiatan anak.Menikmati keberadaanya bersama anak.
7.         Memberikan pujian yang sungguh-sungguh kepada anak.
8.         Mendorong kemandirian anak dalam bekerja.
9.         Melatih hubungan kerja sama yang baik dengan anak.

Bila hasil penelitian lapangan digabungkan dengan penelitian laboratorium mengenai kreativitas dan dengan teori-teori psikologis maka diperoleh petunjuk bagaimana sikap orang tua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka. Beberapa faktor yang menentukan tersebut antara lain :
1.         Kebebasan
Orang tua yang memberikan kebebasan kepada anak, tidak otoriter tidak selalu mau mengawasi anak, tidak terlalu membatasi kegiatan anak, dan tidak terlalu cemas mengenai anak mereka, cenderung mempunyai anak yang kreatif.
2.         Respek
Orang tua yang menghargai anak sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka, dan menghargai keunikan anak, biasanya memiliki anak yang kreatif. Anak-anak ini secara alamiah mengembangkan kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu yang orisinal.ng pengembangan kreativitas. Anak perlu merasa bahwa ia diterima dan disayangi tetapi sebagiannya tidak menjadi terlalu tergantung kepada orang tua.
3.         Prestasi
Orang tua anak kreatif akan mendorong anak untuk berusaha dan menghasilkan karya yang baik namun tidak terlalu menekankan untuk mencapai angka atau peringkat tertinggi.
4.         Orang Tua Aktif dan Mandiri
Bagaimana sikap orang tua terhadap diri sendiri amat penting karena mereka menjadi model utama bagi anak.Orang tua anak yang kreatif merasa aman dan yakin tentang diri sendiri, tidak memperdulikan setatus sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh tuntutan sosial.Mereka juga amat kompeten dan mempunyai minat, baik didalam maupun diluar rumah.
5.         Menghargai Kreativitas
Anak yang kreatif memperoleh banyak dorongan dari orang tua untuk melakukan hal-hal yang kreatif (Munandar 1999:91-93).









KESIMPULAN

Media pembelajaran dapat dimaknai sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam pembelajaran untuk membawa informasi berupa pembelajaran dari pendidik kepada siswa. Dalam kontek Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tentunya harus lebih selektif dalam pemilihan media pembelajaran, dengan pendekatan bermain anak lebih tertarik dan senang untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar sehingga pendidik dapat memanfaatkan hal tersebut untuk menyampaikan pesan-pesan pembelajaran sesuai tujuan yang akan dicapai. Metode ini juga memudahkan untuk menarik minat anak, anak marasa tidak akan terbebani dengan metode pembelajaran ini karena secara tidak langsung pengemasan pembelajaran yang berbeda dari kebanyakan metode belajar saat ini yang menerapkan hafal dan menghitung tetapi pada dasarnya adalah belajar dan mengembangkan kreativitas anak melalui bermain edukatif.
Hakikat anak bermain sangat banyak waktunya dibandingkan dengan belajarnya, untuk itu hal ini dapat dimanfaatkan juga saat anak bermain diberikan pembelajaran-pembalajaran didalamnya yang secara tidak langsung anak itu belajar sambil bermain.  Kretivitas anak dapat terasah melalui kegitan permainan yang edukatif yang mendorong anak untuk aktif mengembangkan idenya dalam permainan.Permainan edukatif ini dapat bersumber pada lingkungan alam sekitar anak yang tujuannya agar anak belajar sembari mengenal lingkungannya karena lingkungan merupakan media yang sangat tepat untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi anak. Permainan tersebut berupa bahan mentah atau bahan sudah siap pakai digunakan untuk media pembelajaran edukatif, maupun yang harus dibuat baru atau dimodifikasi oleh anak untuk melihat sejauh mana krearivitas anak tersebut.Permainan edukatif kreatif sebagai sumber pengetahuan, ketrampilan yang baru bagi anak sekaligus sebagai media pengembangan nalar dan kreativitas anak seperti berfikir, memecahkan masalah sendiri serta berbuat secara sistematik. Tapi tentunya penerapan sistem belajar sambil bermain ini tidak sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat karena anggapan-anggapan yang sudah mendarah daging pada masyarakat bahwasannya diwaktu anak belajar anak harus belajar dan diwaktu bermain untuk bermain dan tanpa didampingi saat bermain tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arief S, Sadiman. 1986. Media Pendidikan : Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Pustekom Dikbud dan CV. Rajawali.
Dananjaya, Utomo. 2011. Media pembelajaran aktif. Bandung: Nuansa.
Munandar, Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Republik Indonesia. 2003. Undang- Undang Nomer 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
Republik Indonesia. 2003. Undang-undang Nomer 28 Tahun 2003 Pasal 28 tentang PAUD. Jakarta
Semiawan, Canny R. 2009. Kreativitas Keberbakatan: Mengapa, Apa Dan Bagaimana. Jakarta: PT. Indeks.
Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


Minggu, 24 Desember 2017

MAKALAH LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

MAKALAH LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

A.    Politik Pembidangan Ilmu PTI
Adanya perubahan dari STAIN menjadi IAIN lalu yang sekang menjadi UIN itu semua merupakan perkembangan dari bidang  keilmuan serta politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya tidak semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan fakultas agama/keagamaan terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk menjadi Universitas dengan tujuan memadukan dan mengintegrasikan kembali bidang-bidang keilmuan yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Dengan pengembangan institusi tersebut diperlukan pengembangan ilmu-ilmu PTI kedepannya dengan alasan yang memicu perubahan tersebut menjadi terlaksanakan yakni:
1.      Tau bahwa kita ini merupakan khalifah Allah SWT dibumi serta menjadi tugas kita untuk mengemban tugas kita sebagai khalifah dimuka bumi ini.
2.      Dalam tradisi keilmuan Islam muslim tidak hanya mementingkan bekal dari sisi ukhrawi saja namun duniwaipun haruslah seimbang jadi sebagai muslim yang baik kita haruslah  memikirkan keduanya yang saling berkaitan karena itu merupakan suatu disiplin ilmu.
3.      PTI dipahami sebagai lembaga dakwah islam yang bertugas untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dalam pengertiannya yang amat terbatas. Oleh karena itu, PTI dianggap tidak tepat untuk mengembangkan bidang keilmuan lain.
4.      Pengembangan bidang ilmu pada PTI akan terealisasi dengan baik tatkala ada political will dari pemegang kebijakan di negeri ini.
5.      PTI dituntut mampu mengemban bidang ilmu-ilmu yang dipahami secara integratif ,tidak lagi ada dikotomi ilmu dan PTI,keduanya diberi mandat akademis sepanjang ia memiliki kualifikasi untuk mengembangkannya .[1]
6.      Setiap muslim diberdayakan agar bisa menjadi insan kamil,manusia paripurna yang mampu mengemban amanat sebagai wakil Allah di bumi(khalifah fi al-ardh)yang mampu memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).

B.     Perubahan IAIN Menjadi UIN
Perguruan Tinggi Agama Islam pada awal berdirinya menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan mampu menjadi panutan masyarakat. Perguruan Tinggi Islam pada hakikatnya merupakan lembaga bagian akademik yang mendidik atau santri lulusan Madrasah, Madrasah Diniyah, dan pesantren demi melanjutkan pendidikannya. IAIN pula merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. IAIN diharapkan memproduksi sarjana Muslim yang mempunyai keahlian dalam ilmu agama Islam, berakhlak mulia, cakap, dan bertanggungjawab atas kesejahteraan umat serta masa depan bangsa Indonesia. Disamping itu juga harapan pemerintah untuk mengisi birokrasi pemerintahan di Departemen Agama, seperti urusan Haji, urusan Penerangan, dan urusan Pendidikan. Maka, dengan berkembangnya birokrasi Departemen Agama, tentu saja yang diharapakan untuk mengisinya adalah mereka yang berasal dari perguruan tinggi Islam seperti IAIN.[2]
Melihat semakin banyaknya IAIN yang berkeinginan menjadi UIN, karena dari segi peminat siswa Sekolah Menengah Atas yang cukup besar, maka UIN di masa mendatang semakin bertambah. Hanya saja pendirian IAIN ke UIN memunculkan pertanyaan, apakah produknya terutama program-program umum seperti kedokteran, teknik informatika dan lainnya hanya menambah daftar lulusan yang unggul dalam bidang teori atau hanya memproduksi lulusan untuk memenuhi tenaga pengajar di pendidikan tinggi tetapi lemah dalam bidang riset, yang hasilnya hanya pandai berteori namun tidak biasa mengembangkan ilmu. Jikalah demikian, nasib UIN akan sama dengan pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam yang tidak member hasil apa-apa dalam pengembangan keilmuwan baik dalam sains maupun teknologi.
Para ilmuwan dan pejababat IAIN sudah lama menyadari dua kekurangan IAIN, yakni dalam merespon masa depan umatnya, serta dalam mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits.Misalnya perubahan pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Jakarta menjadi  salah satu bukti nyata perihal kesadaran tentang perlunyar evisiesensi-substansi kurikulum IAIN. Demikian pula halnya dengan sejumlah IAIN lain. Sebenarnya, yang terpenting bukanlah perubahan nama dari IAIN menjadi UIN akan tetapi sejauh mana esensi-substansi kurikulum memiliki relevansi dengan makna filosofis pendidikan Islam dan kebutuhan umat Islam itu berlangsung. Ini berarti berubah atau tidaknya nama IAIN yang diekspresikan dalam bentuk fakultas/jurusan/program itu semua dapat diwujudkan.[3]

C.     Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasinya
Pengertian Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya itu semua perlu mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang membentuk jasmanniah maupun rohanniahnya, menumbuhkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta. Pendidikan islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniyawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan yaitu tujuan duniyawi maupun ukhrawi.
Globalisasi itu berasal dari kata Globe yang berarti bumi,  ialah dunia saat ini. Maka “ Globalisasi” secara sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuanya satu bumi atau satu dunia.[4] Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang namanya pendidikan islam. Bila pendidikan islam mengambil posisi anti global, maka mesin tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan islam pun mengalami intellectualshut down atau penutupan intellectual.


 Sebaliknya,bilapendidikan islam terseret oleh arus global,tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi. Karenanya ,pendidikan islam menarik ulur arus global,yang sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai diulur,dilepas atau ditinggalkan. [5]
Mengacu pada  kondisi secara nyatanya yang sedang dan akan terjadi, maka idealnya pengembangan perguruan Tinggi Islam juga harus pula mengacu pada realitas dan konteks perubahan-perubahan yang terjadi, baik pada tingkat   konsep   perubahan paradigma perguruan tinggi sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global. Konsep-konsep itu dijabarkan secara rinci untuk dioperasionalkan melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Secara umum lembaga pendidikan tinggi, termasuk PTI mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan dan pengajaran di atas pendidikan menengah dalam bidang ilmu pengetahuan, sosial budaya. Kedua, menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian. Ketiga, menyelenggarakan dan mengembangkan pengabdian pada masyarakat. Sebagai agen sosial,pendidikan islam yang berada dalam modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan pro aktif.Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat islam ,baik pada tataran intelektual maupu praktis.Pendidikan islam bukan sekedar proses penanaman moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi,tetapi yang paling penting adalahbagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan bebas dari impitan kemiskinan ,kebodohan,dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.[6]

1.      Krisis Moral-Akhlak
Memperhatikan kenyatan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggaraan pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu .Kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor,seperti pengaruh globalisasi,krisis ekonomi,s  osial,politik,budaya dan lainnya.
2.      Masih kuatnya manajemen patriarki(kekeluargaan)  
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsure pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnnya dari unsure ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus, kepalasekolah, bahkan guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada, hal tersebut sudah barang tentu akan menggangu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut, sehingga dapat dikatakan tingkatak untabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama.[7] Karena akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsure kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
Guna mencapai birokrasi seperti di atas, perlu dilakukan terobosan tradisi baru. Misalnya, mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam proses penerimaan calon tenaga administrasi, calon PNS dan honorer. Terobosan seperti ini hanya bias berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses rekrutmen dengan cara-cara klasik yang umumnya didasarkan pada ikatan primordial yang sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi, sekolega) serta sarat dengan kolusi dan nepotisme. Di samping mementingkan aspek kompetensi, keterampilan, keahlian, dan integritas, manajemen pendidikan modern juga mensyaratkan bersebdikan pada system promosi jabatan yang transparan atas dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal yang demikian dapat diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di masa depan. Salah satu indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa corporate culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya, iklim birokrasi yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada iklim birokrasi akademis. Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak yang terlibat di dalam system birokrasi IAIN harus pula memiliki visi birokrasi akademis.[8]
3.      Semakin diminatinya Pendidikan Umum
Telah lama dirasakan bahwa perguruan tinggi IAIN dianggap sebagai “kelas kedua” mereka masuk IAIN setelah mereka tidak diterima di universitas atau perguruan tinggi lain. Pendidikan Umum yang ternyata lebih mampu menghadapi tantangan duniawi dalam arti jasmaniah dan materi. Sedangkan pendidikan umum yang lebih bercorak Islam milik lembaga atau yayasan umat Islam tidak mampu bersaing dalam segi kualitas dan kuantitas.
4.      Pendidikanmenjadituntutanduniawi
Masyarakat cenderung untuk memilih pendidikan yang lebih dapat menjawab tuntutan dan tantangan atas kebutuhan hidup duniawi. Sedangkan Pendidikan Umum hanya memberikan bagian waktu yang kecil bagi Pelajaran Agama, misalnya hanya 2 kali 45 menit saja dalam satu minggu. Berarti kekurangan yang terjadi dalam Pendidikan Agama ini harus diperoleh dari sumber-sumber lain (pendidikan non formal). Jika kekurangan ini tidak terisi berarti akan hilanglah keseimbangan antara IMTAQ dan IPTEK dari pada peserta didik. Akibat Pendidikan Umum telah “lebih mampu” menjawab tantangan duniawi dan materi dari masyarakat, maka Pendidikan Agama dalam artil embaga (institusionil) merupakan pendidikan yang kurang mempunyai daya tarik bagi sebagian masyarakat Islam Indonesia.[9]
5.      Persaingan dunia kerja
Khusus bagi IAIN dan universitas swasta yang mengelola pendidikan Islam (misalnya Fakultas-Fakultas Tarbiyah Swasta) mulai saat ini sebaiknya meninjau kembali projeksi jumlah sarjana yang akan ditamatkan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jika tidak hal ini akan menimbulkan inflasi bagi gelar sarjana pendidikan Agama Islam itu sendiri. Hal ini bukanlah merupakan batasan yang dibuat semata-mata oleh Pemerintah, tetapi ini adalah merupakan bagian dari persaingan hidup duniawi. Sebagai contoh lapangan pekerjaan bagi sarjana tamatan IKIP masih lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan pekerjaan bagi tamatan IAIN atau yang sama dengannya.[10]

D.    Potret PTI
Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia, namun sayang upaya untuk terus mengembangkan sering terabaikan. Kesadaran bahwa pengembangan pendidikan bernilai amat strategis baru pada batas wacana yang dalam realitasnya sering terabaikan, atau minimal dikembangkan namun dengan setengah hati, pada pergerakan maju sebuah komunitas tidak pernah terlepas dari kegiatan pendidikan. Kesadaran akan hal ini sebenarnya tak terbantahkan dan memiliki kekuatan sosiologis dan politis, namun sayang upaya pengembangan pendidikan tetap saja rendah. Keprihatinan akan semakin meningkat saat melihat sistem dan strategi yang dikembangkan dalam memanajemen pendidikan kita sistem pendidikan ala bank hanya menyediakan tenaga terampil namun minus hati dan keadilan strategi pembangunan yang mengejar keilmuan yang bersifat kognitif belaka.
Perjalanan panjang PTIN bermula dari niatan luhur untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mampu mengisi kebutuhan tenaga profesional keagamaan. Saat ini, telah muncul banyak fakultas-fakultas cabang di daerah, baik kota provinsi diluar jawa maupun di daerah tingkat II kota dan kabupaten. Pada 1997, fakultas-fakultas didaerah tersebut menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang kadang disebut dengan IAIN mini. Perubahan ini merupakan gejala positif bagi STAIN meskipun masih sering dipertanyakan statusnya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal-hal positif tersebut diantaranya:
1.      Setelah terbebas dari induknya, STAIN menjadi leluasa untuk membuat program studi sesuai dengan kebutuhan riil dan tidak bergantung lagi dengan IAIN induknya[11]
2.      Meskipun awalnya harus tertatih-tatih dalam melaksanakan progran akademik dan administratif secara mandiri namun akhirnya STAIN menjadi dewasa dan terus menapak kearah kemajuan yang di inginkan
3.      Kemajuan yang telah diraih dan keinginan untuk melakukan penyasuaian dengan peraturan yang berlaku menyebabkan sebagian besar STAIN berusaha untuk menjadi IAIN atau UIN yang jelas memiliki payung peraturan yang jelas. Selama ini, STAIN dianggap sebagai IAIN kecil karna dilihat dari aspek program yang dibuka, yakni meliputi 3 jurusan atau lebuh dan pada setiap jurusan ada 2 program studi atau lebih. Hal ini sama dengan IAIN yang memiliki 3 fakultas atau lebih dan setiap fakultas memiliki 2 jurusan atau lebih. Fakultas di IAIN disederajatkan dengan jurusan STAIN dan seterusnya. Dengan kesamaan derajat ini, setiap ada kebijakan pusat terhadap IAIN akan berlaku pula pada STAIN. Fasilitas dan jenis keragaman buku referensi di STAIN juga tidak beda jauh dengan di IAIN 
4.      Upaya untuk menjadi IAINbagi sebagian besar STAIN yang telah siap merupakan hal yang niscaya sehingga peningkatan SDM khususnya dosen harus segera dilakukan. [12] Peningkatan pengalaman bagi setiap pimpinan STAIN hendaknya juga dilakukan pensejajaran dengan pihak IAIN, terutama terkait dengan pengalaman research di PT
5.      Dalam konteks persaingan global ,STAIN harus mengembangkan sayap menuju kompetisi internasional.Jika payung perundangan sudah jelas ,pengelolaan nya profesional maka sangat mungkin STAIN yang menjadi IAIN akan dapat melangkah lebih cepat dan mengesankan.
6.      Ada beberapa faktor yang membuat STAIN atau PTI itu sendri bergerak lamban,diantaranya adalah karena aspek kesejahahan yang panjang,terutama pada sistem pendidikan nasional diberlakukan melalui UU nomor 2 Tahun 1989 dan direvisi pada tahun2003.Pendidikan agama sekarang wajib diberukan disemua jenjang,jenismdan jalur pendidikan ,baik negeri maupun swasta ,termasuk pendidikan nonformal .problem terbesar bagi oengembangan pendidikan adalah ketersediaan SDM yang memadai,profesional,dan keuangan yang baik.[13]
A.    Kesimpulan
Perubahan beberapa STAIN dari IAIN menjadi UIN merupakan perkembangan keilmuan dan politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya tidak semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan fakultas agama/keagamaan terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk menjadi Universitas dengan tujuan memadukan dang mengintegrasikan kembali bidang-bidang keilmuan yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang namanya pendidikan islam. Bila pendidikan islam mengambil posisi anti global, maka mesin tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan islam pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intellectual. Sebaliknya,bila pendidikan islam terseret oleh arus global,tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bisa menambah wawasan bagi kami selaku penulis maupun bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Raqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS
Roqib, Moh. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta:  LKiS
 Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), Jurnal




[1]  Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 164.
[2] Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 164.
[3] Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 165.
[4]Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), hlm. 246.
[5] Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), hlm. 246.
[6]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 166.
[7]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 167.
[8]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2009), hlm. 168.
[9]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2009), hlm. 168.

[11]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009),  Hal.168-169
[12]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2017),  Hal.169
[13]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009),  Hal.168-170