MAKALAH KEIJAKAN MONETER DAN FISKAL DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agama Islam
memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Harta pada hakikatnya
adalah milik Allah (24:33). Harta yang dipunyai manusia sesungguhnya merupakan
pemberian dari Allah yang dikusakan kepadanya (57:7). Harta yang dimiliki
sebagai amanah dari Allah adalah harta yang diperoleh, didistribusikan, dan
dimanfatkan untuk tujuan-tujuan yang dibenarkan syari’ah. Untuk menjamin tujuan
mulia itu, Allah dan Rasulnya, memberikan prinsip-prinsip yang harus dijadikan
pegangan bagi umat manusia agar tidak terjatuh kepada hal-hal yang bertentangan
dengan tujuan syara’ yang pada gilirannya akan menyebabkan kerugian bagi
manusia di dunia dan di akhirat.
Oleh karena
itu, secara makro, aturan-aturan syariah dalam bidang ekonomi bertujuan untuk
mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai
manusia yang hidup di dalam masyarakat. Islam tidak memisahkan antara apa yang
wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tapi
menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan
individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah
masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika
mengatur kepentingan individu, kepentingan masyarakat tidak diabaikan.
Penekanan Islam
terhadap kepentingan individu, masyarakat, dan hubungan keduanya secara dinamis
tersebut sangat paradok dengan sistem ekonomi dunia dewasa ini yang lebih
menekankan kepada dogma individualis, yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis
atau paradigma sosialis yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis. Kasus dalam
hal aturan-aturan ekonomi Islam dalam konteks makro, para pakar (ulama) hokum
Islam telah menjelaskan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi secara komunal, baik
dalam bentuk kelompok masyarakat, negara, bahkan dunia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kebijakan fiscal perspektif ekonomi Islam?
2.
Bagaimana
kebijakan moneter perspektif ekonomi Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat
mengetahui kebijakan fiscal perspektif ekonomi Islam.
2.
Dapat
mengetahui kebijakan moneter perspektif ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Sebelum masuk
ke dalam kajian kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, perlu ditekankan bahwa Islam melarang praktek riba.
Sepanjang sejarah umat Islam, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa telah
terjadi konsensus (ijmak) di antara
semua mazhab bahwa riba yang dilarang itu mencakup bunga (interest) dalam segala bentuknya. Riba mencakup bunga dalam seluruh
manifestasinya; tidak peduli apakah berhubungan dengan pinjaman tersebut
bersifat pribadi atau jenis pinjaman komersial; apakah peminjam itu pemerintah,
pribadi atau perusahaan; dan apakah suku bunganya tinggi atau rendah.[1]
Moneter berasal
dari bahasa latin, moneta, yang
berarti hal-hal yang berkaitan dengan uang atau mekanisme bagaimana uang
disediakan dan beredar dalam kegitan ekonomi.[2]
Kebijakan moneter (monetary policy)
adalah suatu usaha dalam mengendlikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan
sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan
inflasi.
Untuk mencapai
tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter[3]
berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang
agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran
dalam pasokan/distibusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan
instrument sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi di
pasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi Bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan
jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau
mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan
menjadi du yaitu:
1.
Kebijakan moneter ekspansif/monetary ekspansive policy, yaitu suatu
kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2.
Kebijakan moneter kontraktif/monetary contractive policy, yaitu suatu kebijakan dalam rangka mengurangi
jumlah uang yang beredar. Kebijakan
ini disebut juga kebijakan uang ketat (tight
money policy).
B. Instrument
Kebijkan Moneter
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan
menjalankan instrument kebijkan moneter, yaitu antara lain:
1.
Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar
terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli
surat berharga pemerintah (government
securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan
membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar
berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada
masyarakat.
2.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas
diskonto adalah pengturan jumlah uang yang beredar dengan mengtur tingkat bunga
bank sentral pada bank umum.Bank umum terkadang menglami kekurangan uang
sehingga harus meminjam ke bank sentral.Untuk membuat jumlah uang bertambah,
pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan
tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3.
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement
Ratio)
Rasio cadangan
wajib adalah mngtur jumlah uang yang beredar dengan mengatur jumlah dana
cadangan perbankkan yang harus dsimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah
uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib.Untuk menurunkan jumlah uang
beredar, pemerintah menaiikan rasio.
4.
Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbuan moral
adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jlan memberi
imbaun kepada pelaku ekonomi.Misalnya himbauan kepada perbankkan pemberi kredit
untuk berhti-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang
beredar pada perekonomian.
Dalam sistem
perekonomian Islam, absensi bunga menempatkan sektor barang dan jasa (real sector) sebagai puncak aktifitas ekonomi.
Semua atifitas ekonomi, konsumsi, investasi, perdagangan internasional atau
belanja pemerintah semua akan terekam dan tergambarkan dalam sektor riil. Oleh
sebab itu, moneter dalam Islam dapat didefinisikan sebagai segala aktifitas
yang berkaitan dengan uang atau asset likuid yang dilakukan dalam rangka
menopang aktifitas rill ( baik aktifitas di sisi demand maupun supply).
Instrument
moneter Islam adalah intrumen-instrumen semacam sertifikat investasi, misalnya
yang sangat popular adalah sukuk.[4]
Di iran misalnya, sertifikat investasi itu diberi nama Musharakah certificates.
Selain itu, untuk menggantikan peran interest rate dalam operasi terbuka, dapat
digunakan instrument profit rate.[5]
Pemerintah sebagai otoritas berkewajiban memberikan sebanyak mungkin pilihan
kepada warga negara pemilik asset bagaimana mereka terlibat dalam ekonomi
dengan asset-aset mereka, khususnya asset likuid mereka. Bentuk pilihan
instrument itu dapat berupa berbagai macam jenis sukuk.
Menurut Chapra[6]
mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syari’ah Islam harus mencakup
enam elemen yaitu:
1.
Statutory
Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki
cadangan wajib dalam jumlah tertentu
di bank sentral. Statutory reserve
requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus
membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, bank sentral
harus mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan
oleh bank-bank komersial ini.
2.
Credit Ceillings
(pembataasan
kredit). Kebijakan menetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan jaminan bahwa
penciptaan kredit
sesuai dengan
target moneter dan menciptakan kompetisi yang sehat antar bank komersial.
3.
Government
Depoisit.
Kebijakan dalam mengalihkan government
demand deposits ke atau dari bank
komersial, yang secara langsung akan memengaruhi cadangan mereka.
4.
Common Pool. Kebijakan
satu pintu yang memungkinkan bank-bank komersial mengatasi masalah likiuiditas di bank sentral.
5.
Target pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun bank
sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran
ekonomi nasional. Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high
powered money: uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank
sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk
pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan
berdasarkan kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo disediakan
untuk bank-bank komersial terutama dalam bentuk mudharabah harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai instrument
kualitatif dan kuantitaatif untuk mengendalikan kredit.
6.
Publik Shre Of
Demand Deposit (uang giral). Dalam jumlah tertentu demand deposit bank-bank komersial
(maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek
sosial yang menguntungkan.
7.
Alokasi kredit berdasarkan nilai. Realisasi
kredit harus meningkatkan ksejahteraan masyarakat. Alokasi kredit mengarah pada
optimisasi produksi dan distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh
sebagian besar masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga
diperuntukan bagi kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit
yang disepakati oleh pemerintah dan bank-bank komersial untuk mengurangi resiko
dan biaya yang harus ditanggung bank.[7]
B. Kebijakan
Fiskal (Fiskal Policy)
Kebijakan
fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan instrument-instrument
fiskal seperti pajak (tax), transfer,
atau belanja pemerintah (government spending/purchase) yang ditujukan untuk
mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi.Secara umum, kebijakan
fiskal adalah bentuk kebijakan ekonomi makro dalam pmerintah di mana pencapaian
sasarannya difokuskan pada barang-barang di dalam negeri (domestic goods), rumah tangga, ataupun perusahaan/ swasta/
pengusaha.
Adapun
instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak
yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka
kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industry akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya
beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan anggaran / politik anggaran :
1.
Anggaran Defisit (Defisit Budget)/ kebijakan fiskal ekspansif
Anggaran
defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pngeluaran lebih besar dari
pemasukan negara guna memberi stimulus pada prekonomian. Umumnya sangat baik
digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.
2.
Anggaran surplus (Surplus Budget) / kebijakan fiskal kontraktif
Anggaran
surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar
daripada pengeluaranya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika
perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (over heating) untuk menurunkan tekanan
permintaan.
3.
Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran
berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan
pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian
anggaran serta meningkatkan disiplin.
a.
Stimulus Fiskal
Berdasarkan dua
bentuk instrument fiskal, maka mekanisme bekerjanya stimulus fiskal adalah:
1) Pemotongan
Pajak
Pemotongan
pajak seperti pajak penghasilan (PPH) akan mengurangi beban pendapatan sehingga
pihak yang menerima beban pajak akan menaiikan kapasitas konsumsinya. Ada dua
jenis pajak yang dimaksudkan menjadi sasaran dalam stimulus fiskal, yaitu pajak
yang dikenakan kepada rumah tangga dan pajak yang dikenakan pengusaha (swasta).
Bagi pengusaha , pemotongan pajak (tax cut) akan mengurangi beban biaya
opeerasional sehingga akan lebih mampu untuk mempertahankan kapasitas
produksinya, termasuk diantaranyamengurangi pilihan untuk melakukan PHK.
2) Menaikkan
Belanja Pemerintah
Dalam hal ini, pemerintah
akan meningkatkan kapasitas operasionalnya seperti menaikkan gaji pegawai atau
dapat pula dengan mnambah pmblian terhadap barang-barang kebutuhan operasional.
Menaikkan gji pegawai akan diikuti dengan mningkatnya prmintaan agregat sebagai akibat tambahan permintaan barang dan jasa
dari sektor pemerintah. Perputaran perekonomian dari sisi pengaruh pemerinth
ini selanjutnya akan diikuti dengan perputarn
perekonomin dari keseluruhan
rumah tangga. Jika
instrument stimulus fiskal dilakukan dengan menambah belanja pmerintah (government
spending/ purchase), maka akan mendorong laju pertumbuhan output yang
selanjutnnya akan berpengaruh mengurangi pilihan pengusaha untuk melakukan PHK.
b. Kebijakan Fiskal Islam
Fiskal adalah
salah satu instrument atau bagian dari ekonomi publik. Kebijakan fiskal atau
keuangan publik, merupakan kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan,
pemeliharaan dan pembayarn dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi
fungsi-fungsi publik atau peemerintah. Ekonomi Islam memiliki semua model alat
fiskal seperti yang diterapkan dalam ekonomi kontemporer, hanya dalam
aplikasinya ada beberapa perbedaan. Instrumen fiskal ekonomi Islam adalah
pajak, pengeluaran dan penerimaan pemerintah serta zakat.
Pada awal pemerintahan Raasullullah, beliau
sendiri yang memimpin segala bidang kenegaraan belum begitu banyak dan masih
sangat sederhana.Pada tahun kedua setelah hijrah, sedekah fitrah mulai
diwajibkan setiap bulan Ramadhan. Sedekah yang disebut zakat mulai
diwajibkannya membayar zakat ini maka mulai dipikirkan pegawai pengelolanya. Instrument
fiskal yang digunakan dalam ekonomi Islam adalah :
1. Zakat
Dari segi
bahasa zakat mempunyai beberapa arti yaiti : al-barakatu (keberkahan), al-namaa’ (pertumbuhan dan
perkembangan), at-haharu (kesucian), dan ash-shalahu (keberesan).
Zakat adalah ibadah wajib, yang termasuk salah satu rukun Islam yang lima.
Zakat memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari segi
ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat manusia. Di dalam
Al-Qur’an sangat banyak yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban
zakat dalam brbagai bentuk kata.
Orang-orang
yang menumpuk harta seperti emas, perak, dan lainnya serta tidak mengeluarkan
zakatnya maka hartanya iukelak di hari akhir akan berubah menjadi azab baginya.
Zakat akan mendorong pembangunan ekonomi karena menjalankan harta yang didiamkan,
distribusi pendapatan bagi kaum kaya dan kaum miskin serta akan meningkatkan
permintaan agregat dalam skala ekonomi makro.
Salah satu
sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan blum
terkumpulnya zakat secara optimal di lembagaa-lembaga pengumpul zakat, karena
pngetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih
terbatas pada sumb-sumber konvensional yang secara jelas dinyatakan dalam
Al-Qur’an dan Hadits dengan persyaratan tertentu harta yang wajib dizakati
berdasarkan tekstual Al-Qur’an dan Hadits seperti emas, perak, hasil tanaman
dan buah-buahan, barang dagangan, hewan ternak, yaitu onta, sapid an kambing,
dan b arang tmuan.
2. Pajak
Pada masa Rasullullah pajak merupakan sumber
utama pendapatan negara. Berbagai jenis pajak yang dipungut meliputi :
a. Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang-orang
non muslim khususnya ahli kitab,
jaminan perlindungan jiwa, harta atau keadaan, ibadah, bebas nilai dan wajib
milier.
Jizyah merupakan
pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan muslim yang mampu
seperti mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi
akan terbatas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu negara harus
memenuhi kebutuhan penduduk bukan muslim tersebut akibat ketidakmampuan mereka
memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam
pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara
yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya.
Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya pada penduduk muslim saja.
b.
Kharaj adalah pajak
tanah dari non-muslim.
Kharaj
merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas tanah-tanah podukif yang
dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tetentu negara memiliki hak untuk menyita
tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemliknya atas alasan
kemaslahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak negara dalam penentuannya. Negara
sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian yang
ada. Dengan karakteristiknya
yang seperti
ini, kharaj dapat menjadi instrument
fiskal yang dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program
pembangunan negara.
Hassanuzzaman[8]
mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak ushr
dan pajak kharaj. Pajak ushrdikenakan
pada tanah di jazirah arab, baik diperoleh secara turun temurun maupun dengan
penaklukan. Sedangkan pajak kharaj
dikenakan pada tanah di luar jazirah Arab, sementara Abu Yusuf berpendapat
bahwa setiap tanah yang pemiliknnya masuk Islam adalah tanah ushr, dan di luar
itu, seperti taanah orang-orang asing yang telah didamakan penduduknya dan
menjadi tanggungan umat Islam, maka tanah it adalah kharaj.
Dilihat dari jenis konstibusi tanah pada negara,
Abu Ubayd mengklasifikasikan tanah menjadi tiga jenis. Pertama tanah yang
pemliknya masuk Islam, yaitu tanah ushr.
Kedua tanah yang dikuasai dengan perdamaian atau kesepakatan pajak (kharaj) yang
telah ditentukan, yaitu tanah kharaj. Ketiga tanah yang diambil dengan paksa,
yaitu yang direbut oleh kaum muuslimin.
Quthb Ibrahim
Muhammad[9]
mengungkapkan bahwa penetapan tingkat kharaj (pajak tanah) harus mempehatikan
variable-variabel sebagai berikut:
1)
Jenis tanah: karena tanah yang bagus, maka
tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk,.
2)
Jenis tanaman: ada yang haganya tinggi dan ada
yang harganya rendah, sehingga jenis tanaman ini menentukan tingkat pngenaan
kharaj.
3)
Pengelolaan tanah: jika biaya pengolaan tanah
tinggi, maka kharaj yang dikenakan pada pengelolaan tanah yang mengandalkan
pengairan dari hujan (biaya rendah).
c.
Ushr adalah bea
impor barang yang dikenakan pada semua pedagang.
Ushr merupakan pajak kusus yang dikenakan atas
barang niaga yang masuk ke negara Islam
(impor). Menurut Ummar Bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor
negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Menurut
Hasanzzaman ushur (bentuk jamak dari ushr) berasal dari ungkapan pajak
sepuuluh persen dari nilai barang ( ada yang mengungkapkan satu dirham per
transaksi yang terjadi) yang dikenakan atas pedagang pada masa sebelum Islam,
dan petugas ushur ini dikenal dengan sebutan ashir. Beberapa hadist menyebutkan
Rasullullah melarang praktek ashir ini. Asas dan bentuknya tidak sama dengan
praktek ashir sebelum masa sebelum Islam. Masi menurut Hasan uzzaman, Abu Ubayd
mengungkapkan bahwa praktek ashir telah diganti oleh Rasullullah dengan zakat,
sehingga ushur pada hakikanya dikenakan hanya pada kaum pedagang kafir harbi; kaum
kafir yang menentang dan memerangi Islam dan dzimmi; kaum kafir yang tidak
memusuhid dan memerangi Islam. Besarnya ushur yang dikenakan adalah sepuluh
persen bagi pedagang harbi, lima persen bagi pedagang dzimmi dan dua setengah
persen bagi pedagang muslim (zakat).
3.
Infaq-shadaqah-wakaf
Infaq-shadaqah-wakaf mrupakan pemberian suka
rela dari rakyat demi kepentingan ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT
semata. Namun oleh negara dapat dimanfaatkan dapat digunakan negara dalam
melancarkan proyek-proyek pembangunan negara. Pada kondisi keimanan rakyat yang
begitu baik maka dapat saja penerimaan negara yang berasal dari variable
sukarela ini akan lebih besar dibandingkan dengan variable wajib, sepanjang
faktor-faktor produksi digunakan pada tingkat yang maksimal. Khusus wakaf, maka
semakin besar wakaf, dengan karakteristik kepemilikan publik yang pemanen atas
benda wakaf, maka semakin besar wakaf akan semakin kecil biaya sosial yang d
tanggung oleh rakyat dalam ekonomi mereka. Sebab wakaf terikat pada fungsi publik
yang disyaratkan oleh syariat. Menurut Ahmed Faridi, peneimaan dari pos
sukarela ini memiliki korelasi yang positif dengan kondisi keimanan warga negara,
semakin beriman warga negara , semakin besar penerimaan negara melalui pos ini
dalam membiayai pembangunan negara.
4. Ghanimah
Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari
kemenangan perang. Penggunaan uang
yang berasal dari ghanimah ini, ada
ketentuannya dalam Al-Qur’an.
Distribusi ghanimah empat perlimanya
diberikan pada para prajurit yang bertempur, sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums). Hasanuzzaman mendefinisikan ghanimah sebagai segala barang bergerak
yang direbut tentara muslim dalam sebuah pertempuran. Dalam ghanimah ada beberapa jenis pembagian
yang harus menjadi perhatian. Nafal
yaitu penghargaan yang diberikan pada seorang prajurit berupa pembagian harta ghanimah, yang jumlahnya lebih dari
rata-rata, dari pimpinannya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan.
Pembagian nafaal dapat dilakukan meskipun tidak ada janji oleh negara pada
awalnya. Salab, barang pribadi yang
direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya. Dan syafi’ adalah barang pilihan pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.
5. Khums
Khums adalah
satu perlima bagian dari pendapatan (ghannimah)
akibat dari ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos
penerimaan negara dari pos khums ini.
6. Fay
Menurut
Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay’
merupakan pendapatan negara selain yang berasal dari zakat. Jadi termasuk di
dalamnya; kharaj, jizyah, ghanimaah, ushr
dan pendapatan-pendapaatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan
pendapatann yang beraasaal dari perusahaann milik pemerintah). Kondisi ini
lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya
cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasullullah dulu.
Abidin Ahmad
Salama,[10]
menyebutkan bahwa pendapatan negara ada yang bersumber dari al-mustaglat (government investment). Sumber pendapatan ini termasuk baru bagi negara
yang diperkenalkan oleh Walid bin Abdul Malik. Walid mendirikan departemen baru
dalam pemerintahannya yang bertanggung jawab terhadap investasi yang dilakukan
oleh negara.
Sementara itu
Hanuzzaman mendefinisikan harta fay’
berdasarkan interpretasi masa Rasullullah, yaitu harta kekayaan negara musuh
yang telah dikalahkan (didapat bukan melalui peperangan atau di medan perang),
yang kemudiaan dimiliki dan dikelola oleh negara Islam. Dengan demikian dalam fay ada unsur ghanimah dan bukan ghanimah,
sementara dalam ghanimah ada khums (1/5 bagian) dan ada yang menjadi
hak mujahidin (4/5 bagian).
7. Pajak Khusus
Pajak ini
penentuan pemungutannya tergantung kondisi perekonomian negara dalam memutuskan
besar pajak yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi negara yang
pertama, yaitu memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fay’ tidak cukup dalam mewujudkan fungsi
tersebut, maka kebijakan selanjutnya negara dapat mengenakan pajak khusus yang
dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara masyarakat. Perlu diingat bahwa
kebijakan ini sifatnya kondisional atau insidental, ia sesuai dengan pajak
menjadi instrumen komplementer dari instrument yang telah lazim ada dalam
perekonomian negara Islam. Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable
seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah atau
hadiah dari negara sesama Islam, hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya
tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
Dari penjelasan
dunia fiskal ini perlu dipahami bahwa setiap instrument memliki
karakteristiknya masing-masing (penerimaan bagi negara) maupun penggunaannya
(pengeluaran bagi negara). Dilihat dari aturan pemungutannya ada instrument
fiskal yang sifatnnya menjadi ketentuan yang mengikat ( regulated), maksuudnya
instrument tersebut dikenakan pada objek pembayar tertentu dengan sanksi-sanksi
tertentu dari negara bagi yang tidak membayar kewajibannya, misalnya instrument
zakat, kharaj, jizyah, dan ushur. Pada zakat, peemungutannya dilakukan hanya
pada masyarakat yang harta wajib zakatnya melebihi batas nisab ( batas minimal
harta terkena zakat).
Menurut Munawar
Iqbal dan M. Fahmi khan,[11]
beberapa hal penting ekonomi Islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan
fiskal adalah :
1.
Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi
Islam, pemerintahan muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari
orang-orang muslim yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab
suci Al-Qur’an.
2.
Tingkat bunga tidak berperan dalam sistem
ekonomi Islam. Perubahan ini secara alamiah tidak hanya pada kebijakan moneter
tetapi juga pada keijakan fiskal. Ketika bunga mencapai tingkat keseimbangan
dalam pasar uang, salah satu alat alternative harus ditemukan. Salah satu alat
alternative adalah menetapkan pengambillan jumlah dari uang idle.
3.
Ketika semua pinjaman dalam Islam adalah bebas
bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pngumpulan pajak atau dari
bagi hasil.oleh karena itu, uukuuran publik debit menjadi lebih kecil,
4.
Ekonomi Islam merupakan merupakan salah satu
upaya untuk membantu atau mmendukung ekonomi masyarakat muslim yang terbelakang
dan menyebarkan pesan-pesan ajaran Islam. Jadi, pengeluaran pemerintah akan
diarahkan pada kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman terhadap Islam dan
menngkatkan kesejahteraan masyarakat muslim yang masih dalam kondisi
terbelakang. Pembayaran pajak dalam ekonomi Islam diuraikan secara jelas
sebagai bagian dari upaya-upaya untuk mengembangkan Islam.
5.
Negara Islam merupakan negara yang sejahtera,
dimana kesejahteraan memliki makna yang luas dari pada konsep barat.
Kesejahteraan meliputi aspek material dan aspek spiritual dengan lebih besar
menekankan pada sisi spiritual. Negara Islam bertanggung jawab untuk melindungi
agama warga negara, kehidupan, keturunan, dan harta milik. Jadi, segala sesuatu
secara tidak langsung meningkatkan barang-barang tersebut.
6.
Pada saat perang, Islam berharap orang-orang
itu memberikan tidak hanya kehidupan, tetapi juga harta bendanya untuk menjaga
agama.
7.
Akhirnya, hal ini sangat penting, hakk
perrpajakan dalam negara Islam tidak terbatas. Beberapa orang kebanyakan
mengatakan bahwa kebijakan perpajakan diluar apa yang disebut zakat. Ini adalah
tidak mungkin, kecuali berada dalam situasi tertentu.
C. Zakat dan
Institusi Baitul Mal
Institusi baitul mal sebagai bendahara negara atau
departemen keuangan negara tentu saja memasukkan zakat sebagai pos penerimaan
dalam anggarannya. Keberadaan baitul mal
tentu saja merupakan reperesentasi dari amil sebagai pengelola zakat. Dan
dengan format sistem zakat yang wajib, mau tidak mau kendali pengelola zakat
tentu saja sangat efektif ada di bawah negara. Ada beberapa alasan negara
institusi baitul mal sangat dibutuhkan
dalam mekanisme zakat ini.
1.
Dilihat dari mekanisme zakat institusi baitul mal merupakan konsekwensi dari
eksistensi pengakuan pemungut atau pengelola zakat (amil).
2.
Faktor kebutuhan penanggung jawab yang
profesionalitas dari pengelola serta distribusi dana zakat.
3.
Negara memerlukan institusi profesional dan
sistematis dalam menjalankan fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan
warganya menggunakan instrumen fiskal, terutama zakat.
4.
Menjaga harmonisasi hubungan golongan
masyarakat kaya dan golongan masyarakat miskin. Dalam hal in i penyaluran hak
golongan miskin dari golongan kaya tidak langsung, sehingga harga diri kedua
golongan, terutama golongan miskin, terjaga dengan baik.
Tentu saja baitul mal tidak hanya menampung zakat
saja, tetapi semua penerimaan negara ditampung dan dikelola baitul mal, seperti
kharaj, jizyah, khums, ushur, dan lain-lain. Baitul mal bukan hanya mengatur
tata-laksana pemungutan tetapi juga mengatur pendistribusiannya.bahkan ada
literatur ekonomi klasik yang menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib, baitul
mal juga berfungsi mengeluarkan atau mencetak uang dinar- dirham bagi
kepentingan negaraIslam ketika itu. Dalam konteks indonesia, misalnya, bank
indonesia dapat mengambil peran sebagai institusi yang mengelola dana-dana
zakat, infaq, hibah, dan wakaf untuk digunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat luas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan
singkat di atas menunjukkan bahwa kebijakan moneter dean fiskal dalam Islam
adalah sesuatu yang rasional dan bisa diterapkan sebagai tindakan korektif
terhadap berbagai kelemahan yang ada dalam sistem moneter dan fiskal dewasa
ini. Meskipun demikian, perlu sikap hati-hati dalam menjalankan kebijakan
moneter dan fiskal ini karena sangat mempengaruhi tingkat ekonomi masyarakat
secara makro. Pendekatan praktis terhadap sistem moneter dan fiskal Islam
sebagaimana diuraikan setidaknya dapat dilakukan dengan dua pendekatan:
pendekatan pertama, mengadopsi secara total sistem ekonomiIslam yang melibatkan
peran politis negara dalam menegakkan aturan-aturan ekonomi secara Islam
sebagaimana yang telah diterapkan diberbagai negara Islam, seperti pakistan,
iran, sudan, saudi arabia, dan sebagainya. Pendekatan kedua, bagi negara muslim
secara hati-hati berupaya mengadopsi secara bertahap sistem moneter dan fiskal
Islam denngan tidak mesti tampak secara formal dan politis dalam penerapannya,
sehingga yang dikedepankan adalah spirit keadilan dan kesejahteraan ekonomi
yang komrehensuf yang diusung ajaran Islam.
[1] M. Umer Chapra, The Future Of Economics; An Islamic Perspective, ( Jakarta:
Shari’ah Economics and Banking
institute, 2001), terj. Amdiar Amir et.all., h.264-265
[3] Otoritas moneter adalah suatu entitas yang
memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu
Negara dan memliki hak untuk menetapkann sukuu bunga dan parameter lainnya yang
menentuukan biaya dan persediaan uang.Uumumnya otoritas moneter adalah bank
sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainya, seperti dibentuiknya satu
bank sentral untuk beberapa negara, tgerdapatnya suatu dewan yang mengontrol
jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan juga diperolehnya
beberapa pihak untuk mencetak uang kertas ataupun uang logam.
[4] Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat
atau bukti kepemilikan bernialai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak
terpisahkan atau terbagi atas: 1) Kepemilikan aset wujud tertentu;2) nilai
manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atas aktivitas investasi tertentu
dan lain sebagainya, lihat. Kepurtusan ketua badan pengawas pasar modal dan
lembaga keuangan nomor:KEP-130/BL/2006 tentang penerbit efek syariah tertanggal
23 November 2006.
[5] Tugas bank sentreal adalah menentukan dan
menetapkan profit rate untuk kontrak fixed rate atau expected profit
rate untuk kontrak musharakah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
dan mengontrol deposit perbankan. Hasan Kiece, Menetary policy in Islamic economic framework case of Islamic republic of iran, iran:Imam sadiq university,h. 9-10
[6] Lihat,M. Umer Chapra, Menetary Management in an Islamic Economic, dalam Jurnal Islamic Economic
Studies Vol. 4, No. 1 Desember 1996, h.20-27
[8] Hasanuzzaman, Economic Function of an Islamic State (The Early Eksperience), The
Islamic Foundation , Leicester UK,1991.
[10] Abidin Ahmad Salama, fiskal policy of an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam,
(Edited by Mahamoud A. Gulaid & Aden Abdullah), Islamic Research and Training
Institute (IRTI)-Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi
Arabia, 1995
[11] Munawar Iqbal dan M. Fahmi Khan, A Survey of Issues and a Programme for
Eesearch in Monetary an Fiskal Economic
of Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar