Kamis, 30 November 2017

MAKALAH KEIJAKAN MONETER DAN FISKAL DALAM ISLAM

MAKALAH KEIJAKAN MONETER DAN FISKAL DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Harta pada hakikatnya adalah milik Allah (24:33). Harta yang dipunyai manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikusakan kepadanya (57:7). Harta yang dimiliki sebagai amanah dari Allah adalah harta yang diperoleh, didistribusikan, dan dimanfatkan untuk tujuan-tujuan yang dibenarkan syari’ah. Untuk menjamin tujuan mulia itu, Allah dan Rasulnya, memberikan prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan bagi umat manusia agar tidak terjatuh kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan syara’ yang pada gilirannya akan menyebabkan kerugian bagi manusia di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, secara makro, aturan-aturan syariah dalam bidang ekonomi bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia, dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tapi menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masalah masyarakat, ia memperhatikan kepentingan individu, demikian sebaliknya ketika mengatur kepentingan individu, kepentingan masyarakat tidak diabaikan.
Penekanan Islam terhadap kepentingan individu, masyarakat, dan hubungan keduanya secara dinamis tersebut sangat paradok dengan sistem ekonomi dunia dewasa ini yang lebih menekankan kepada dogma individualis, yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis atau paradigma sosialis yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis. Kasus dalam hal aturan-aturan ekonomi Islam dalam konteks makro, para pakar (ulama) hokum Islam telah menjelaskan prinsip-prinsip pengaturan ekonomi secara komunal, baik dalam bentuk kelompok masyarakat, negara, bahkan dunia.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kebijakan fiscal perspektif ekonomi Islam?
2.      Bagaimana kebijakan moneter perspektif ekonomi Islam?

C. Tujuan Penulisan
1.      Dapat mengetahui kebijakan fiscal perspektif ekonomi Islam.
2.      Dapat mengetahui kebijakan moneter perspektif ekonomi Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Sebelum masuk ke dalam kajian kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, perlu ditekankan bahwa Islam melarang praktek riba. Sepanjang sejarah umat Islam, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa telah terjadi konsensus (ijmak) di antara semua mazhab bahwa riba yang dilarang itu mencakup bunga (interest) dalam segala bentuknya. Riba mencakup bunga dalam seluruh manifestasinya; tidak peduli apakah berhubungan dengan pinjaman tersebut bersifat pribadi atau jenis pinjaman komersial; apakah peminjam itu pemerintah, pribadi atau perusahaan; dan apakah suku bunganya tinggi atau rendah.[1]
Moneter berasal dari bahasa latin, moneta, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan uang atau mekanisme bagaimana uang disediakan dan beredar dalam kegitan ekonomi.[2] Kebijakan moneter (monetary policy) adalah suatu usaha dalam mengendlikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter[3] berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distibusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan instrument sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi di pasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi Bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi du yaitu:
1.      Kebijakan moneter ekspansif/monetary ekspansive policy, yaitu suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2.      Kebijakan moneter kontraktif/monetary contractive policy, yaitu suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini disebut juga kebijakan uang ketat (tight money policy).

B. Instrument Kebijkan Moneter
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrument kebijkan moneter, yaitu antara lain:
1.   Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat.

2.   Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengturan jumlah uang yang beredar dengan mengtur tingkat bunga bank sentral pada bank umum.Bank umum terkadang menglami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral.Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3.   Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mngtur jumlah uang yang beredar dengan mengatur jumlah dana cadangan perbankkan yang harus dsimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib.Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaiikan rasio.

4.   Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbuan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jlan memberi imbaun kepada pelaku ekonomi.Misalnya himbauan kepada perbankkan pemberi kredit untuk berhti-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar pada perekonomian.

Dalam sistem perekonomian Islam, absensi bunga menempatkan sektor barang dan jasa (real sector) sebagai puncak aktifitas ekonomi. Semua atifitas ekonomi, konsumsi, investasi, perdagangan internasional atau belanja pemerintah semua akan terekam dan tergambarkan dalam sektor riil. Oleh sebab itu, moneter dalam Islam dapat didefinisikan sebagai segala aktifitas yang berkaitan dengan uang atau asset likuid yang dilakukan dalam rangka menopang aktifitas rill ( baik aktifitas di sisi demand maupun supply).
Instrument moneter Islam adalah intrumen-instrumen semacam sertifikat investasi, misalnya yang sangat popular adalah sukuk.[4] Di iran misalnya, sertifikat investasi itu diberi nama Musharakah certificates. Selain itu, untuk menggantikan peran interest rate dalam operasi terbuka, dapat digunakan instrument profit rate.[5] Pemerintah sebagai otoritas berkewajiban memberikan sebanyak mungkin pilihan kepada warga negara pemilik asset bagaimana mereka terlibat dalam ekonomi dengan asset-aset mereka, khususnya asset likuid mereka. Bentuk pilihan instrument itu dapat berupa berbagai macam jenis sukuk.


Menurut Chapra[6] mekanisme kebijakan moneter yang sesuai dengan syari’ah Islam harus mencakup enam elemen yaitu:
1.   Statutory Reserve Requirement. Bank-bank komersil diharuskan memiliki cadangan wajib dalam jumlah tertentu di bank sentral. Statutory reserve requirements membantu memberikan jaminan atas deposit dan sekaligus membantu penyediaan likuiditas yang memadai bagi bank. Sebaliknya, bank sentral harus mengganti biaya yang dikeluarkan untuk memobilisasi dana yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial ini.
2.   Credit Ceillings (pembataasan kredit). Kebijakan menetapkan batas kredit yang boleh dilakukan oleh bank-bank komersil untuk memberikan jaminan bahwa penciptaan kredit
sesuai dengan target moneter dan menciptakan kompetisi yang sehat antar bank komersial.
3.   Government Depoisit. Kebijakan dalam mengalihkan government demand deposits ke atau dari bank komersial, yang secara langsung akan memengaruhi cadangan mereka.
4.   Common Pool. Kebijakan satu pintu yang memungkinkan bank-bank komersial mengatasi masalah likiuiditas di bank sentral.
5.   Target pertumbuhan M dan Mo. Setiap tahun bank sentral harus menentukan pertumbuhan peredaran uang (M) sesuai dengan sasaran ekonomi nasional. Pertumbuhan M terkait erat dengan pertumbuhan Mo (high powered money: uang dalam sirkulasi dan deposito pada bank sentral). Bank sentral harus mengawasi secara ketat pertumbuhan Mo yang dialokasikan untuk pemerintah, bank komersial dan lembaga keuangan sesuai proporsi yang ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi, dan sasaran dalam perekonomian Islam. Mo disediakan untuk bank-bank komersial terutama dalam bentuk mudharabah harus dipergunakan oleh bank sentral sebagai instrument kualitatif dan kuantitaatif untuk mengendalikan kredit.
6.   Publik Shre Of Demand Deposit (uang giral). Dalam jumlah tertentu demand deposit bank-bank komersial (maksimum 25%) harus diserahkan kepada pemerintah untuk membiayai proyek-proyek sosial yang menguntungkan.
7.   Alokasi kredit berdasarkan nilai. Realisasi kredit harus meningkatkan ksejahteraan masyarakat. Alokasi kredit mengarah pada optimisasi produksi dan distribusi barang dan jasa yang diperlukan oleh sebagian besar masyarakat. Keuntungan yang diperoleh dari pemberian kredit juga diperuntukan bagi kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya jaminan kredit yang disepakati oleh pemerintah dan bank-bank komersial untuk mengurangi resiko dan biaya yang harus ditanggung bank.[7]

B. Kebijakan Fiskal (Fiskal Policy)
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dengan menggunakan instrument-instrument fiskal seperti pajak (tax), transfer, atau belanja pemerintah (government spending/purchase) yang ditujukan untuk mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi.Secara umum, kebijakan fiskal adalah bentuk kebijakan ekonomi makro dalam pmerintah di mana pencapaian sasarannya difokuskan pada barang-barang di dalam negeri (domestic goods), rumah tangga, ataupun perusahaan/ swasta/ pengusaha.
Adapun instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industry akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan anggaran / politik anggaran :
1.   Anggaran Defisit (Defisit Budget)/ kebijakan fiskal ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pngeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada prekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.
2.   Anggaran surplus (Surplus Budget) / kebijakan fiskal kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluaranya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (over heating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3.   Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

a.    Stimulus Fiskal
Berdasarkan dua bentuk instrument fiskal, maka mekanisme bekerjanya stimulus fiskal adalah:
1) Pemotongan Pajak
Pemotongan pajak seperti pajak penghasilan (PPH) akan mengurangi beban pendapatan sehingga pihak yang menerima beban pajak akan menaiikan kapasitas konsumsinya. Ada dua jenis pajak yang dimaksudkan menjadi sasaran dalam stimulus fiskal, yaitu pajak yang dikenakan kepada rumah tangga dan pajak yang dikenakan pengusaha (swasta). Bagi pengusaha , pemotongan pajak (tax cut) akan mengurangi beban biaya opeerasional sehingga akan lebih mampu untuk mempertahankan kapasitas produksinya, termasuk diantaranyamengurangi pilihan untuk melakukan PHK.

2) Menaikkan Belanja Pemerintah
Dalam  hal ini, pemerintah akan meningkatkan kapasitas operasionalnya seperti menaikkan gaji pegawai atau dapat pula dengan mnambah pmblian terhadap barang-barang kebutuhan operasional. Menaikkan gji pegawai akan diikuti dengan mningkatnya prmintaan agregat sebagai akibat tambahan permintaan barang dan jasa dari sektor pemerintah. Perputaran perekonomian dari sisi pengaruh pemerinth ini selanjutnya akan diikuti dengan perputarn  perekonomin  dari  keseluruhan  rumah  tangga.  Jika  instrument  stimulus  fiskal dilakukan dengan          menambah belanja pmerintah (government spending/ purchase), maka akan mendorong laju pertumbuhan output yang selanjutnnya akan berpengaruh mengurangi pilihan pengusaha untuk melakukan PHK.

b. Kebijakan Fiskal Islam
Fiskal adalah salah satu instrument atau bagian dari ekonomi publik. Kebijakan fiskal atau keuangan publik, merupakan kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan pembayarn dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik atau peemerintah. Ekonomi Islam memiliki semua model alat fiskal seperti yang diterapkan dalam ekonomi kontemporer, hanya dalam aplikasinya ada beberapa perbedaan. Instrumen fiskal ekonomi Islam adalah pajak, pengeluaran dan penerimaan pemerintah serta zakat.
Pada awal pemerintahan Raasullullah, beliau sendiri yang memimpin segala bidang kenegaraan belum begitu banyak dan masih sangat sederhana.Pada tahun kedua setelah hijrah, sedekah fitrah mulai diwajibkan setiap bulan Ramadhan. Sedekah yang disebut zakat mulai diwajibkannya membayar zakat ini maka mulai dipikirkan pegawai pengelolanya. Instrument fiskal yang digunakan dalam ekonomi Islam adalah :

1. Zakat
Dari segi bahasa zakat mempunyai beberapa arti yaiti : al-barakatu (keberkahan), al-namaa’ (pertumbuhan dan perkembangan), at-haharu (kesucian), dan ash-shalahu (keberesan). Zakat adalah ibadah wajib, yang termasuk salah satu rukun Islam yang lima. Zakat memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari segi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat manusia. Di dalam Al-Qur’an sangat banyak yang menyejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam brbagai bentuk kata.
Orang-orang yang menumpuk harta seperti emas, perak, dan lainnya serta tidak mengeluarkan zakatnya maka hartanya iukelak di hari akhir akan berubah menjadi azab baginya. Zakat akan mendorong pembangunan ekonomi karena menjalankan harta yang didiamkan, distribusi pendapatan bagi kaum kaya dan kaum miskin serta akan meningkatkan permintaan agregat dalam skala ekonomi makro.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan blum terkumpulnya zakat secara optimal di lembagaa-lembaga pengumpul zakat, karena pngetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumb-sumber konvensional yang secara jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan persyaratan tertentu harta yang wajib dizakati berdasarkan tekstual Al-Qur’an dan Hadits seperti emas, perak, hasil tanaman dan buah-buahan, barang dagangan, hewan ternak, yaitu onta, sapid an kambing, dan b arang tmuan.

2. Pajak
Pada masa Rasullullah pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Berbagai jenis pajak yang dipungut meliputi :
a. Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang-orang non muslim khususnya ahli kitab, jaminan perlindungan jiwa, harta atau keadaan, ibadah, bebas nilai dan wajib milier.
Jizyah merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan muslim yang mampu seperti mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbatas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu negara harus memenuhi kebutuhan penduduk bukan muslim tersebut akibat ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya pada penduduk muslim saja.

b.   Kharaj adalah pajak tanah dari non-muslim.
Kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas tanah-tanah podukif yang dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tetentu negara memiliki hak untuk menyita tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemliknya atas alasan kemaslahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak negara dalam penentuannya. Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian yang ada. Dengan karakteristiknya
yang seperti ini, kharaj dapat menjadi instrument fiskal yang dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program pembangunan negara.
Hassanuzzaman[8] mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu pajak ushr dan pajak kharaj. Pajak ushrdikenakan pada tanah di jazirah arab, baik diperoleh secara turun temurun maupun dengan penaklukan. Sedangkan pajak kharaj dikenakan pada tanah di luar jazirah Arab, sementara Abu Yusuf berpendapat bahwa setiap tanah yang pemiliknnya masuk Islam adalah tanah ushr, dan di luar itu, seperti taanah orang-orang asing yang telah didamakan penduduknya dan menjadi tanggungan umat Islam, maka tanah it adalah kharaj.
Dilihat dari jenis konstibusi tanah pada negara, Abu Ubayd mengklasifikasikan tanah menjadi tiga jenis. Pertama tanah yang pemliknya masuk Islam, yaitu tanah ushr. Kedua tanah yang dikuasai dengan perdamaian atau kesepakatan pajak (kharaj) yang telah ditentukan, yaitu tanah kharaj. Ketiga tanah yang diambil dengan paksa, yaitu yang direbut oleh kaum muuslimin.

Quthb Ibrahim Muhammad[9] mengungkapkan bahwa penetapan tingkat kharaj (pajak tanah) harus mempehatikan variable-variabel sebagai berikut:
1)   Jenis tanah: karena tanah yang bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk,.
2)   Jenis tanaman: ada yang haganya tinggi dan ada yang harganya rendah, sehingga jenis tanaman ini menentukan tingkat pngenaan kharaj.
3)   Pengelolaan tanah: jika biaya pengolaan tanah tinggi, maka kharaj yang dikenakan pada pengelolaan tanah yang mengandalkan pengairan dari hujan (biaya rendah).

c.    Ushr adalah bea impor barang yang dikenakan pada semua pedagang.
Ushr merupakan pajak kusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke negara Islam (impor). Menurut Ummar Bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Menurut Hasanzzaman ushur (bentuk jamak dari ushr) berasal dari ungkapan pajak sepuuluh persen dari nilai barang ( ada yang mengungkapkan satu dirham per transaksi yang terjadi) yang dikenakan atas pedagang pada masa sebelum Islam, dan petugas ushur ini dikenal dengan sebutan ashir. Beberapa hadist menyebutkan Rasullullah melarang praktek ashir ini. Asas dan bentuknya tidak sama dengan praktek ashir sebelum masa sebelum Islam. Masi menurut Hasan uzzaman, Abu Ubayd mengungkapkan bahwa praktek ashir telah diganti oleh Rasullullah dengan zakat, sehingga ushur pada hakikanya dikenakan hanya pada kaum pedagang kafir harbi; kaum kafir yang menentang dan memerangi Islam dan dzimmi; kaum kafir yang tidak memusuhid dan memerangi Islam. Besarnya ushur yang dikenakan adalah sepuluh persen bagi pedagang harbi, lima persen bagi pedagang dzimmi dan dua setengah persen bagi pedagang muslim (zakat).

3. Infaq-shadaqah-wakaf
Infaq-shadaqah-wakaf mrupakan pemberian suka rela dari rakyat demi kepentingan ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun oleh negara dapat dimanfaatkan dapat digunakan negara dalam melancarkan proyek-proyek pembangunan negara. Pada kondisi keimanan rakyat yang begitu baik maka dapat saja penerimaan negara yang berasal dari variable sukarela ini akan lebih besar dibandingkan dengan variable wajib, sepanjang faktor-faktor produksi digunakan pada tingkat yang maksimal. Khusus wakaf, maka semakin besar wakaf, dengan karakteristik kepemilikan publik yang pemanen atas benda wakaf, maka semakin besar wakaf akan semakin kecil biaya sosial yang d tanggung oleh rakyat dalam ekonomi mereka. Sebab wakaf terikat pada fungsi publik yang disyaratkan oleh syariat. Menurut Ahmed Faridi, peneimaan dari pos sukarela ini memiliki korelasi yang positif dengan kondisi keimanan warga negara, semakin beriman warga negara , semakin besar penerimaan negara melalui pos ini dalam membiayai pembangunan negara.

4. Ghanimah
Ghanimah merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur’an. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit yang bertempur, sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums). Hasanuzzaman mendefinisikan ghanimah sebagai segala barang bergerak yang direbut tentara muslim dalam sebuah pertempuran. Dalam ghanimah ada beberapa jenis pembagian yang harus menjadi perhatian. Nafal yaitu penghargaan yang diberikan pada seorang prajurit berupa pembagian harta ghanimah, yang jumlahnya lebih dari rata-rata, dari pimpinannya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan. Pembagian nafaal dapat dilakukan meskipun tidak ada janji oleh negara pada awalnya. Salab, barang pribadi yang direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya. Dan syafi’ adalah barang pilihan pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.

5. Khums
Khums adalah satu perlima bagian dari pendapatan (ghannimah) akibat dari ekspedisi militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan negara dari pos khums ini.

6. Fay
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay’ merupakan pendapatan negara selain yang berasal dari zakat. Jadi termasuk di dalamnya; kharaj, jizyah, ghanimaah, ushr dan pendapatan-pendapaatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan pendapatann yang beraasaal dari perusahaann milik pemerintah). Kondisi ini lebih mempertimbangkan kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan pada masa Rasullullah dulu.
Abidin Ahmad Salama,[10] menyebutkan bahwa pendapatan negara ada yang bersumber dari al-mustaglat (government investment). Sumber pendapatan ini termasuk baru bagi negara yang diperkenalkan oleh Walid bin Abdul Malik. Walid mendirikan departemen baru dalam pemerintahannya yang bertanggung jawab terhadap investasi yang dilakukan oleh negara.
Sementara itu Hanuzzaman mendefinisikan harta fay’ berdasarkan interpretasi masa Rasullullah, yaitu harta kekayaan negara musuh yang telah dikalahkan (didapat bukan melalui peperangan atau di medan perang), yang kemudiaan dimiliki dan dikelola oleh negara Islam. Dengan demikian dalam fay ada unsur ghanimah dan bukan ghanimah, sementara dalam ghanimah ada khums (1/5 bagian) dan ada yang menjadi hak mujahidin (4/5 bagian).

7. Pajak Khusus
Pajak ini penentuan pemungutannya tergantung kondisi perekonomian negara dalam memutuskan besar pajak yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi negara yang pertama, yaitu memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fay’ tidak cukup dalam mewujudkan fungsi tersebut, maka kebijakan selanjutnya negara dapat mengenakan pajak khusus yang dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara masyarakat. Perlu diingat bahwa kebijakan ini sifatnya kondisional atau insidental, ia sesuai dengan pajak menjadi instrumen komplementer dari instrument yang telah lazim ada dalam perekonomian negara Islam. Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam, hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
Dari penjelasan dunia fiskal ini perlu dipahami bahwa setiap instrument memliki karakteristiknya masing-masing (penerimaan bagi negara) maupun penggunaannya (pengeluaran bagi negara). Dilihat dari aturan pemungutannya ada instrument fiskal yang sifatnnya menjadi ketentuan yang mengikat ( regulated), maksuudnya instrument tersebut dikenakan pada objek pembayar tertentu dengan sanksi-sanksi tertentu dari negara bagi yang tidak membayar kewajibannya, misalnya instrument zakat, kharaj, jizyah, dan ushur. Pada zakat, peemungutannya dilakukan hanya pada masyarakat yang harta wajib zakatnya melebihi batas nisab ( batas minimal harta terkena zakat).

Menurut Munawar Iqbal dan M. Fahmi khan,[11] beberapa hal penting ekonomi Islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah :
1.    Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi Islam, pemerintahan muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
2.    Tingkat bunga tidak berperan dalam sistem ekonomi Islam. Perubahan ini secara alamiah tidak hanya pada kebijakan moneter tetapi juga pada keijakan fiskal. Ketika bunga mencapai tingkat keseimbangan dalam pasar uang, salah satu alat alternative harus ditemukan. Salah satu alat alternative adalah menetapkan pengambillan jumlah dari uang idle.
3.    Ketika semua pinjaman dalam Islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pngumpulan pajak atau dari bagi hasil.oleh karena itu, uukuuran publik debit menjadi lebih kecil,
4.    Ekonomi Islam merupakan merupakan salah satu upaya untuk membantu atau mmendukung ekonomi masyarakat muslim yang terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran Islam. Jadi, pengeluaran pemerintah akan diarahkan pada kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman terhadap Islam dan menngkatkan kesejahteraan masyarakat muslim yang masih dalam kondisi terbelakang. Pembayaran pajak dalam ekonomi Islam diuraikan secara jelas sebagai bagian dari upaya-upaya untuk mengembangkan Islam.
5.    Negara Islam merupakan negara yang sejahtera, dimana kesejahteraan memliki makna yang luas dari pada konsep barat. Kesejahteraan meliputi aspek material dan aspek spiritual dengan lebih besar menekankan pada sisi spiritual. Negara Islam bertanggung jawab untuk melindungi agama warga negara, kehidupan, keturunan, dan harta milik. Jadi, segala sesuatu secara tidak langsung meningkatkan barang-barang tersebut.
6.    Pada saat perang, Islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupan, tetapi juga harta bendanya untuk menjaga agama.
7.    Akhirnya, hal ini sangat penting, hakk perrpajakan dalam negara Islam tidak terbatas. Beberapa orang kebanyakan mengatakan bahwa kebijakan perpajakan diluar apa yang disebut zakat. Ini adalah tidak mungkin, kecuali berada dalam situasi tertentu.


C. Zakat dan Institusi Baitul Mal
Institusi baitul mal sebagai bendahara negara atau departemen keuangan negara tentu saja memasukkan zakat sebagai pos penerimaan dalam anggarannya. Keberadaan baitul mal tentu saja merupakan reperesentasi dari amil sebagai pengelola zakat. Dan dengan format sistem zakat yang wajib, mau tidak mau kendali pengelola zakat tentu saja sangat efektif ada di bawah negara. Ada beberapa alasan negara institusi baitul mal sangat dibutuhkan dalam mekanisme zakat ini.
1.    Dilihat dari mekanisme zakat institusi baitul mal merupakan konsekwensi dari eksistensi pengakuan pemungut atau pengelola zakat (amil).
2.    Faktor kebutuhan penanggung jawab yang profesionalitas dari pengelola serta distribusi dana zakat.
3.    Negara memerlukan institusi profesional dan sistematis dalam menjalankan fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan warganya menggunakan instrumen fiskal, terutama zakat.
4.    Menjaga harmonisasi hubungan golongan masyarakat kaya dan golongan masyarakat miskin. Dalam hal in i penyaluran hak golongan miskin dari golongan kaya tidak langsung, sehingga harga diri kedua golongan, terutama golongan miskin, terjaga dengan baik.

Tentu saja baitul mal tidak hanya menampung zakat saja, tetapi semua penerimaan negara ditampung dan dikelola baitul mal, seperti kharaj, jizyah, khums, ushur, dan lain-lain. Baitul mal bukan hanya mengatur tata-laksana pemungutan tetapi juga mengatur pendistribusiannya.bahkan ada literatur ekonomi klasik yang menyebutkan pada masa Ali bin Abi Thalib, baitul mal juga berfungsi mengeluarkan atau mencetak uang dinar- dirham bagi kepentingan negaraIslam ketika itu. Dalam konteks indonesia, misalnya, bank indonesia dapat mengambil peran sebagai institusi yang mengelola dana-dana zakat, infaq, hibah, dan wakaf untuk digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat luas.
  

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembahasan singkat di atas menunjukkan bahwa kebijakan moneter dean fiskal dalam Islam adalah sesuatu yang rasional dan bisa diterapkan sebagai tindakan korektif terhadap berbagai kelemahan yang ada dalam sistem moneter dan fiskal dewasa ini. Meskipun demikian, perlu sikap hati-hati dalam menjalankan kebijakan moneter dan fiskal ini karena sangat mempengaruhi tingkat ekonomi masyarakat secara makro. Pendekatan praktis terhadap sistem moneter dan fiskal Islam sebagaimana diuraikan setidaknya dapat dilakukan dengan dua pendekatan: pendekatan pertama, mengadopsi secara total sistem ekonomiIslam yang melibatkan peran politis negara dalam menegakkan aturan-aturan ekonomi secara Islam sebagaimana yang telah diterapkan diberbagai negara Islam, seperti pakistan, iran, sudan, saudi arabia, dan sebagainya. Pendekatan kedua, bagi negara muslim secara hati-hati berupaya mengadopsi secara bertahap sistem moneter dan fiskal Islam denngan tidak mesti tampak secara formal dan politis dalam penerapannya, sehingga yang dikedepankan adalah spirit keadilan dan kesejahteraan ekonomi yang komrehensuf yang diusung ajaran Islam.







[1] M. Umer Chapra, The Future Of Economics; An Islamic Perspective, ( Jakarta: Shari’ah Economics and Banking institute, 2001), terj. Amdiar Amir et.all., h.264-265
[2] http://www.merriam-webster .com/dictionary/monetary.
[3] Otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu Negara dan memliki hak untuk menetapkann sukuu bunga dan parameter lainnya yang menentuukan biaya dan persediaan uang.Uumumnya otoritas moneter adalah bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas moneter lainya, seperti dibentuiknya satu bank sentral untuk beberapa negara, tgerdapatnya suatu dewan yang mengontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata uang lain, dan juga diperolehnya beberapa pihak untuk mencetak uang kertas ataupun uang logam.
[4] Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan bernialai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau terbagi atas: 1) Kepemilikan aset wujud tertentu;2) nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atas aktivitas investasi tertentu dan lain sebagainya, lihat. Kepurtusan ketua badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan nomor:KEP-130/BL/2006 tentang penerbit efek syariah tertanggal 23 November 2006.
[5] Tugas bank sentreal adalah menentukan dan menetapkan profit rate untuk kontrak fixed rate atau expected profit rate untuk kontrak musharakah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi dan mengontrol deposit perbankan. Hasan Kiece, Menetary policy in Islamic economic framework case of Islamic republic of iran, iran:Imam sadiq university,h. 9-10
[6] Lihat,M. Umer Chapra, Menetary Management in an Islamic Economic, dalam Jurnal Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 1 Desember 1996, h.20-27
[7] Lihat juga, Zia Ahmed, Islamic Financial Instrument In The Conduct of Monetary Policy, h.6-9
[8] Hasanuzzaman, Economic Function of an Islamic State (The Early Eksperience), The Islamic Foundation , Leicester UK,1991.
[9] Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan-Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khatab, Azzam, Jakarta 2003.
[10] Abidin Ahmad Salama, fiskal policy of an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, (Edited by Mahamoud A. Gulaid & Aden Abdullah), Islamic Research and Training Institute (IRTI)-Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, 1995
[11] Munawar Iqbal dan M. Fahmi Khan, A Survey of Issues and a Programme for Eesearch in Monetary an Fiskal Economic of Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar