Kamis, 30 November 2017

PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM BANTUAN HUKUM

BAB II
PEMBAHASAN
PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM BANTUAN HUKUM

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memang memiliki kekuatan mengikat di Indonesia karena telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 namun tidak dapat dilaksanakan karena Undang-undang tersebut merupakan hukum formil bukan hukum materiil sehingga belum dapat diterapkan. Namun demikian, walaupun Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tidak dapat dilaksanakan karena kurangnya hukum materiil di Indonesia bukan berarti tujuan utama dari Kovenan ini tidak dapat diwujudkan terutama oleh lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia. Lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia tetap dapat berperan menegakkan hak-hak sipil yang ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik walaupun tidak secara langsung menggunakan ketentuan baik yang ada dalam Kovenan ini maupun dalam Undang-undang Nomor Tahun 2005. Tindakan yang dapat dilakukan lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia adalah tindakan berupa bantuan hukum dimana dalam beberapa peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa bantuan hukum adalah bantuan yang diberikan secara cuma-cuma dalam bidang hukum. Walaupun lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia tetap dapat memberikan jasa hukum tidak secara cuma-cuma namun sebagaimana dalam judul dan ruan lingkup penelitian ini, maka fokusnya hanya pada bantuan hukum.
Memang jika kita menilik pada sistem yang ada dalam penegakan hukum di Indonesia, maka yang memiliki peran penting terkait dengan bantuan hukum adalah advokat dimana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 ayat 2 menjelaskan jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-cuma justru memperkuat posisi advokat sebagai satu-satunya profesi yang dapat memberikan bantuan hukum padahal dalam kenyataannya banyak orang yang mencari bantuan hukum tidak kepada advokat namun justru kepada lembaga bantuan hukum yang ada termasuk salah satunya lembaga bantuan hukum yang ada di lingkungan Universitas.
Hal ini berarti lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia memiliki peran yang penting dalam dunia penegakan hukum. Sejatinya hal ini sudah terlihat sejak lama pada saat awal-awal terbentuknya lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia hanya saja profesi advokat lebih populer. Fenomena ini bisa dipahami karena advokat seringkali dianggap lebih mampu untuk menangani klien dan lebih kredibel dibandingkan dengan lembaga bantuan hukum terutama jika yang klien yang diberikan jasa hukum mampu untuk membayar jasa advokat tersebut. Berbanding terbalik jika yang membutuhkan jasa hukum adalah kalangan yang tidak mampu sehingga cenderung mencari bantuan hukum ke lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada yang memang memiliki model bantuan hukum yang berbeda yaitu lebih fokus kepada memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia pada prakteknya memiliki pandangan dan visi misi yang berbeda dengan advokat karena lembaga bantuan hukum ini dalam bekerja terikat kepada Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 006/PUU-II/2004, menegaskan pentingnya peran legal clinic dalam pemberian bantuan hukum khususnya dalam mengimplementasikan fungsi ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Bahkan, Putusan MK menegaskan peran penting pendidikan bantuan hukum dalam konteks kurikulum pendidikan hukum dan implementornya. Putusan MK merujuk kepada hasil penelitian Stephen Golub dan Marry Mc Clymont yang menegaskan pendidikan bantuan hukum melalui pendidikan hukum klinik memberikan manfaat besar untuk perkembangan pendidikan hukum, dan perubahan sosial di masyarakat.[1]
Di sisi yang lain, putusan MK juga melihat peran Legal Clinic dengan akses terhadap keadilan, di mana masyarakat marjinal khususnya yang berada di wilayah pedesaan yang tidak ada pengacara dan LBH organisasi non-pemerintah. Legal Clinic berfungsi menyediakan bantuan hukum ( legal aid provider ) yang merupakan elemen terkecil dalam akses keadilan untuk masyarakat marjinal. Seharusnya Legal Clinic  juga berperan dalam diseminasi informasi tentang aturan hukum dan substansinya, serta mekanisme bantuan hukum, kemudian mendorong penyelesaian sengketa di komunitas dengan menggunakan sarana yang ada di komunitas itu, atau melalui mediasi.
Nampak jelas bahwa ternyata lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia mampu dan dapat memiliki peran dalam bidang bantuan hukum. Peran serta lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia sebenarnya selain merupakan salah satu bentuk penegakan hukum namun juga merupakan bentuk-bentuk dalam mewujudkan terciptanya hak-hak sipil sebagaimana diamanatkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Jika demikian, permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia ini dapat berperan sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada belum sepenuhnya mendukung dan mendorong peran lembaga bantuan hukum ini.
Jika pada awal-awal perkembangan pemberian jasa hukum didominasi oleh advokat dengan adanya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 006/PUU-II/2004 paling tidak ada kekuatan positif bagi keberadaan lembaga bantuan hukum di lingkungan di Universitas walaupun pada akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 bukan berarti lembaga bantuan hukum di lingkungan di Universitas tidak memiliki peran penting dalam pemberian bantuan hukum hingga pada akhirnya muncul Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang memberikan angin segar dan peluang yang besar kepada lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia. Melalui Undang-undang inilah, lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indoesia memiliki posisi yang kuat dalam memberikan bantuan hukum kepada kalangan yang tidak mampu. Memang, Undang-undang ini hanya memberikan hak kepada lembaga bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum saja bukan untuk menegakkan hak-hak sipil dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau menegakkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tetapi ketentuan dalam dua pasal tersebut pasti ada di dalam proses hukum seseorang.
Suatu contoh, ada seseorang ( X ) ditangkap polisi karena diduga melakukan pencurian barang milik orang lain ( Y ), dalam penangkapan ini polisi secara paksa menangkap X tanpa ada surat perintah dan melakukan tindakan yang kasar untuk menangkap X. Kemudian X dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa dan dicatat dalam Berita Acara Perkara (BAP), namun dalam meminta keterangan polisi memaksakan pasal pencurian kepada X padahal belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Singkat cerita, X dibawa ke muka pengadilan namun X tidak memiliki kesempatan untuk membela diri dan tidak dapat mencari bantuan hukum karena ditahan oleh polisi dan tidak memiliki biaya. Dalam kasus ini, paling tidak ada 3 (tiga) pasal yang tidak sesuai dengan hak-hak sipil dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu yang pertama tidak ada perlakuan yang manusiawi, yang kedua tidak diterapkannya asas praduga tidak bersalah dan yang ketiga tidak ada kesempatan untuk membela diri ataupun kesempatan untuk didampingi advokat. Jika ada lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia yang dapat melakukan bantuan hukum terhadap kasus ini dan menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang ada sejatinya ini sudah merupakan perwujudan dalam menegakkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik walaupun tidak secara langsung. Sebenarnya ketentuan yang ada dalam Kovenan ini sebagian besar sudah masuk dalam sistem perundang-undangan di Indonesia seperti Kitab Undang-undang Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana namun belum ditemukan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 dan inilah kekurangan atau kelemahan Undang-undang ini sehingga penegakan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak dapat dilaksanakan secara langsung tetapi harus melalui jalan berputar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mensyaratkan beberapa hal terkait dengan bantuan hukum, dimulai dari status badan hukum lembaga bantuan hukum dan tindakan pendampingan apa saja yang dapat dilakukan. Kedua hal ini yang wajib untuk dilakukan oleh lembaga bantuan hukum di Universitas di Indonesia untuk melakukan bantuan hukum dan pada akhirnya dapat turut serta menegakkan hak-hak sipil yang ada dalam Pasal 10 (1) dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Status badan hukum yang wajib diperoleh oleh lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Pembahasan dalam penelitian ini adalah kewenangan pemberian bantuan hukum dimana dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Pasal 4 menentukan bahwa pemberian bantuan hukum meliputi bantuan hukum dalam bidang keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik non litigasi maupun litigasi. Artinya walapun dalam bidang apapun pemberian bantuan hukum secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu melalui cara litigasi maupun non litigasi namun sayangnya Undang-undang ini tidak menyebutkan secara detil apa saja yang termasuk dalam non litigasi atau litigasi sehingga penelitian ini akan meneliti lebih dalam bantuan hukum apa saja yang termasuk dalam kedua hal tersebut yang dapat dilaksanakan oleh lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia.
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melalui proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.[2]
Pengadilan yang ada di Indonesia terdiri dari pengadilan tingkat awal sampai tingkat akhir dan terdapat beberapa pengadilan. Beberapa pengadilan yang ada di Indonesia adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama namun karena berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 pendampingan yang dilakukan hanya dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha negara maka yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya membahas mengenai pengadilan yang ruang lingkupnya terkait dengan pidana, perdata dan tata usaha negara saja. Pengadilan yang terkait dengan pidana dan perdata adalah pengadilan negeri pada tingkat pertama, pengadilan tinggi pada tingkat banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang tertinggi di Indonesia sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan yang khusus menangani sengketa tata usaha negara. Untuk lebih jelas akan dijelaskan mengenai masing-masing pengadilan tersebut.

1.             Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri ialah suatu pengadilan (yang umum) sehari-hari yang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara dan perkara pidana sipil untuk semua golongan (warganegara dan orang asing).[3]
Pengadilan Negeri terletak di masing-masing kota dan kabupaten di wilayah Indonesia atau meliputi daerah tingkat II. Perbedaan lokasi pengadilan negeri ini membawa dampak kepada kewenangan masing-masing pengadilan untuk mengadili dan memutus perkara. Tiap-tiap pengadilan negeri hanya dapat memutus perkara yang dalam wilayah kekuasaannya jadi pengadilan negeri yang terletak di kota hanya dapat mengadili perkara yang terjadi di kota tempat pengadilan negeri tersebut berada dan demikian juga dengan pengadilan negeri yang bertempat di kabupaten. Pasal 4 (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamdya atau di ibu kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamaday atau Kabupaten.
Perkara yang masuk ke pengadilan negeri diadili oleh seorang hakim yang dibantu oleh seorang Hakim dan dalam tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan Kejaksaan Negeri yang bertindak sebagai penuntut umum dalam suatu perkara pidana terhadap perkara pidana. Perkara perdata yang masuk ke pengadilan negeri tidak diperlukan penuntutan oleh Kejaksaan Negeri karena perkara perdata terkait dengan perkara antara Penggugat dan Tergugat yang merupakan persoalan privat sedangkan dalam perkara pidana diperlukan penuntutan karena terkait dengan mempertahankan kepentingan masyarakat.
2.      Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili lagu pada tingkat kedua (tingkat banding) sesuatu perkara perdata dan/atau perkara pidana, yang telah diadili/diputuskan oleh Pengdailan Negeri pada tingkat pertama. Pemeriksaan di sini hanya atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung mendengarkan para pihak yang berperkara.

Secara umum, Pengadilan Tinggi memiliki kekuasaan :
a)                Memutus perkara dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumya.
b)               Melakukan pengawasan jalannya peradilan di daerah hukumnya.
c)                Mengawasi perbuatan hakim pengadilan negeri di dalam wilayah kekuasaan pengadilan tinggi.
Pasal 4 (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 menyebutkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibu Kota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
3.      Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung merupakan badan pengadilan yang tertinggi di Indonesia, berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia atau di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden. Daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia dan kewajibannya terutama ialah melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala penngadilan lainnya di seluruh Indonesia, dan menjaga/menjamin agar supaya hukum dilaksanakan dengan sepatutnya. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a)             mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b)             menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
c)             kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
d)            Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.


4.      Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang perubahannya (Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009) tidak pernah memberikan definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetapi dalam Undang-undang tersebut menjelaskan sengketa yang menjadi kewenangan PTUN yaitu sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 1 (10) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan sengketa tata usaha negara sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dengan daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibuka propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (Pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Akhir-akhir ini seringkali didengungkan mengenai alternatif penyelesaian sengketa  (APS) atau alternative dispute resolution (ADR), namun apakah cara ini dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa non litigasi perlu untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Frans Hendra Winata dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa, penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk umum dan kerahasiaan para pihak dapat terjamin, proses beracara lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaisn sengketa di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagimana beracara di pengadilan umum dan win-win solution. Penyelesaian sengketa ini dinamakan APS. Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan APS adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan terhadap salah sati dari dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama menjadi acuan, seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Hal ini selaras dengan pengertian yang digunakan oleh Wibowo, ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa nonlitigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi pihak yang bersengketa.[4]
Definisi lain yang lebih sempit dan akademis dikemukakan oleh Philip D. Bostwick yang menyatakan, bahwa ADR merupakan serangkaian praktik dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk:[5]
1.         Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang bersengketa;
2.         Mengurangi biaya atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional;
3.         Mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan beberapa metode yang ada yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Untuk lebih jelas perbedaan antara masing-masing metode tersebut, akan dijelaskan di bawah ini.
1.      Konsultasi.
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultas memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2.      Negosiasi.
Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
Dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 rumusan tentang negosiasi pada prinsipnya adalah memberikan keoada pihak-pihak terkait suatu alternatif untuk menyelesaikan sendiri masalah yang timbul di antara mereka secara kesepakatan dimana hasil dari kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai komitmen yang harus dilaksanakan kedua belah pihak.
Mirip dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata perihal yang mengatur masalah “perdamaian”. Perdamaian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam ketentuan ini, para pihak diwajibkan untuk membuat secara tertulis perihal yang disetujui.
3.      Mediasi.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.  Pengertian lain menyebutkan mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (5) juga menyiratkan tentang mediasi walaupun tidak disebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan mediasi namun dalam rumusannya tersirat cara-cara mediasi terutama dalam ayat (4) disebutkan adanya bantuan dari seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam pasal ini adalah mediasi. Hal ini lazim jika berperkara melalui proses arbitrase karena para pihak yang bersengketa diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa melalui cara-cara yang hanya melibatkan para pihak terlebih dahulu dengan mengutamakan kesepakatan para pihak terlebih dahulu sebelum pada akhirnya jika proses ini gagal baru ditempuh pengambilan keputusan oleh majelis hakim arbiter.
Proses mediasi dilaksanakan dengan adanya seseorang sebagai penengah, penyambung atau yang biasa disebut mediator. Tugas pokok seorang mediator adalah menyampaikan pandangan-pandangan para pihak sehingga para pihak mampu untuk lebih memahami permasalahan yang ada dan diharapkan dapat menemukan penyelesaian sendiri. Mediator memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsi sesuai kehendak para pihak dan tidak dapat memberikan putusan terhadap obyek yang dipersengketakan, namun hanya berfungsi sebagai saran berkomunikasi antara para pihak, membantu dan menemukan solusi bagi para pihak.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjelaskan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada bidang perdata, sederhana, tertutup dan rahasia, serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai fasilitator. Prinsip-prinsip ini merupakan daya tarik tersendiri bagi mediasi, karena dalam mediasi para pihak dapat menikmati prinsip ketertutupan dan kerahasiaan yang tidak ada dalam proses litigasi. Proses litigasi relatif bersifat terbuka untuk umum serta tidak memiliki prinsip rahasia sebagaimana yang dimiliki oleh mediasi.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Peraturan Mahkamah Agung ( Perma ) Nomor 1 Tahun 2008 memiliki kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaan di antara keduanya ialah, hasil perdamaian berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 harus didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatangan sedangkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 hasil perdamaian  dapat dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian sehingga keduanya sama-sama membutuhkan penguatan untuk perdamaian yang disepakati. Persamaan yang lain, dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 jika usaha perdamaian tidak tercapai maka para pihak secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase sedangkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 jika tidak dicapai kesepakatan maka akan dilanjutkan oleh hakim sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Perbedaannya hanya pada jangka waktu pendaftaraan perdamaian dan majelis hakim yang akan memutus perkara pada saat perdamaian tidak dicapai. Pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 diselesaikan melalui lembaga arbitrase sedangkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 diselesaikan oleh hakim pada lembaga pengadilan.
Menurut Sophar Maru Hutagalung dalam bukunya Praktek Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi memiliki beberapa prinsip, yaitu:
1.      Mediasi bersifat sukarela.
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338  KUHPerdata. Dengan demikian, pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian, tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.


2.      Lingkup sengketa bersifat keperdataan.
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 85 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 75 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan sengketa di luar pengadilan tidak berlaku.
3.      Proses sederhana.
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebagaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilah “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum.
4.      Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak.
Mediasi dilaksanakan secara tertutup, sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sesi-sesi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.


5.      Mediator bersifat menengahi.
Mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksanakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Selain telah diatur dalam Bab III Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang tugas mediator namun ada beberapa hal yang perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu: memberikan nasihat serta mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, memanggil kedua belah pihak dan memberikan kesempatan penggugat mengajukan poin-poin tuntutannya selanjutnya memberi kesempatan tergugat untuk memberi tanggapan serta memberi solusi damai yang ditawarkannya, dan mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati dan yang belum disepakati kemudian pada pertemuan berikutnya menyelesaikan bagian-bagian yang belum terselesaikan.
1)      Konsiliasi.
Penyelesaian sengketa non litigasi dalam prakteknya tidak terlalu banyak ditempuh oleh para pihak jika dibandingkan dengan metode penyelesaian sengketa non litigasi lainnya seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Konsilisasi adalah penyelesaian sengketa dimana penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.  Konsiliasi dapat dilaksanakan dengan cara membentuk komisi yang dipilih oleh para pihak dan bersifat ad hoc. Komisi yang dibentuk atau dapat disebut konsiliator dapat melakukan analisa terhadap sengketa dan mendamaikan para pihak.
Pasal 1 (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menjelaskan mengenai konsiliasi sebagai penyelesaian sengketa dengan cara melalui musyawarah, hakikatnya untuk menghindari proses pengadilan dan akibat-akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan.
Dalam konsiliasi ada konsiliator yang bertugas sebagai fasilitator dalam hal melakukan komunikasi di antara para pihak yang bersengketa, sehingga para pihak dapat menemukan solusi penyelesaian sengketa. Konsiliator kurang lebih tugasnya adalah memfasilitasi pengaturan tempat dan waktu pertemuan, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan-pesan dari salah satu pihak ke pihak lainnya terutama apabila tidak mungkin disampaikan secara langsung atau para pihak tidak bersedia bertemu muka secara langsung.
2)      Arbitrase.
Mengenai arbitrase kini di Indonesia telah ada lembaga tersendiri yang menangani penyelesaian sengketa melalui prosedur arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pasal 1 (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 menjelaskan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan Pasal 1 (8) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 menjelaskan Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Undang-undang inilah yang merupakan dasar bagi Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Sejarah BANI di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1977 dimana pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarasa Prof. R. Subekti, S.H., Harjono Tjitrosubono, dan A.J. Abubakar, S.H., didirikanlah Badan Arbitrase Nasional Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. Pendirian BANI selain didukung olah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan direstui Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ketua Bappenas dan juga Presiden Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar BANI, BANI adalah sebuah badan yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. BANI merupakan lembaga peradilan yang mempunyai status yang bebas, otonom dan juga independen, artinya BANI tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan yang lain, selayaknya lembaga peradilan yang independen. Dengan demikian, BANI diharapkan dapat bersikap objektif, adil, dan jujur dalam memandang dan memutuskan perkara yang dihadapinya nanti. Selain dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009, Pasal 58 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah diakui, di mana telah dinyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase tidak dapat diadili dalam Pengadilan Negeri.



[1] Fulthoni AM, Siti Aminah, Uli Parulian Sihombing, Mengelola Legal Clinic: Panduan Membentuk dan Mengembangkan LBH Kampus untuk Memperkuat Keadilan, Jakarta, ILRC dan CIDA, 2009, hal. 5.
[2] Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 9.
[3] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1986, hal, 337.
[4] Rachmad Syafa’at, Advokasi dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, Malang, Yayasan Pembangunan Nasional, 2006, hal. 53.
[5] Sophar Maru Hutagalung, Praktek Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 312.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar