BAB II
PEMBAHASAN
PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM BANTUAN HUKUM
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memang memiliki
kekuatan mengikat di Indonesia karena telah diratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005 namun tidak dapat dilaksanakan karena Undang-undang
tersebut merupakan hukum formil bukan hukum materiil sehingga belum dapat
diterapkan. Namun demikian, walaupun Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik tidak dapat dilaksanakan karena kurangnya hukum materiil di Indonesia
bukan berarti tujuan utama dari Kovenan ini tidak dapat diwujudkan terutama
oleh lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia. Lembaga
bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia tetap dapat berperan
menegakkan hak-hak sipil yang ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik walaupun tidak secara langsung menggunakan ketentuan baik
yang ada dalam Kovenan ini maupun dalam Undang-undang Nomor Tahun 2005.
Tindakan yang dapat dilakukan lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas
di Indonesia adalah tindakan berupa bantuan hukum dimana dalam beberapa
peraturan perundang-undangan dijelaskan bahwa bantuan hukum adalah bantuan yang
diberikan secara cuma-cuma dalam bidang hukum. Walaupun lembaga bantuan hukum di
lingkungan Universitas di Indonesia tetap dapat memberikan jasa hukum tidak
secara cuma-cuma namun sebagaimana dalam judul dan ruan lingkup penelitian ini,
maka fokusnya hanya pada bantuan hukum.
Memang jika kita menilik pada sistem yang ada dalam penegakan hukum di
Indonesia, maka yang memiliki peran penting terkait dengan bantuan hukum adalah
advokat dimana dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1
ayat 2 menjelaskan jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-cuma justru memperkuat posisi advokat
sebagai satu-satunya profesi yang dapat memberikan bantuan hukum padahal dalam
kenyataannya banyak orang yang mencari bantuan hukum tidak kepada advokat namun
justru kepada lembaga bantuan hukum yang ada termasuk salah satunya lembaga
bantuan hukum yang ada di lingkungan Universitas.
Hal ini berarti lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di
Indonesia memiliki peran yang penting dalam dunia penegakan hukum. Sejatinya
hal ini sudah terlihat sejak lama pada saat awal-awal terbentuknya lembaga
bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia hanya saja profesi advokat
lebih populer. Fenomena ini bisa dipahami karena advokat seringkali dianggap
lebih mampu untuk menangani klien dan lebih kredibel dibandingkan dengan
lembaga bantuan hukum terutama jika yang klien yang diberikan jasa hukum mampu
untuk membayar jasa advokat tersebut. Berbanding terbalik jika yang membutuhkan
jasa hukum adalah kalangan yang tidak mampu sehingga cenderung mencari bantuan
hukum ke lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada yang memang memiliki model
bantuan hukum yang berbeda yaitu lebih fokus kepada memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma. Lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia
pada prakteknya memiliki pandangan dan visi misi yang berbeda dengan advokat
karena lembaga bantuan hukum ini dalam bekerja terikat kepada Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 006/PUU-II/2004, menegaskan pentingnya
peran legal clinic dalam pemberian bantuan hukum khususnya dalam
mengimplementasikan fungsi ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu
pengabdian kepada masyarakat. Bahkan, Putusan MK menegaskan peran penting
pendidikan bantuan hukum dalam konteks kurikulum pendidikan hukum dan
implementornya. Putusan MK merujuk kepada hasil penelitian Stephen Golub dan
Marry Mc Clymont yang menegaskan pendidikan bantuan hukum melalui pendidikan
hukum klinik memberikan manfaat besar untuk perkembangan pendidikan hukum, dan
perubahan sosial di masyarakat.[1]
Di sisi yang lain, putusan MK juga melihat peran Legal Clinic dengan
akses terhadap keadilan, di mana masyarakat marjinal khususnya yang berada di
wilayah pedesaan yang tidak ada pengacara dan LBH organisasi non-pemerintah. Legal
Clinic berfungsi menyediakan bantuan hukum ( legal aid provider )
yang merupakan elemen terkecil dalam akses keadilan untuk masyarakat marjinal.
Seharusnya Legal Clinic juga berperan dalam diseminasi informasi
tentang aturan hukum dan substansinya, serta mekanisme bantuan hukum, kemudian
mendorong penyelesaian sengketa di komunitas dengan menggunakan sarana yang ada
di komunitas itu, atau melalui mediasi.
Nampak jelas bahwa ternyata lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas
di Indonesia mampu dan dapat memiliki peran dalam bidang bantuan hukum. Peran
serta lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia sebenarnya
selain merupakan salah satu bentuk penegakan hukum namun juga merupakan
bentuk-bentuk dalam mewujudkan terciptanya hak-hak sipil sebagaimana
diamanatkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Jika
demikian, permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara lembaga bantuan hukum
di lingkungan Universitas di Indonesia ini dapat berperan sedangkan peraturan
perundang-undangan yang ada belum sepenuhnya mendukung dan mendorong peran
lembaga bantuan hukum ini.
Jika pada awal-awal perkembangan pemberian jasa hukum didominasi oleh advokat
dengan adanya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 namun dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 006/PUU-II/2004 paling tidak ada kekuatan positif
bagi keberadaan lembaga bantuan hukum di lingkungan di Universitas walaupun
pada akhirnya muncul Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 bukan berarti
lembaga bantuan hukum di lingkungan di Universitas tidak memiliki peran penting
dalam pemberian bantuan hukum hingga pada akhirnya muncul Undang-undang Nomor
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang memberikan angin segar dan peluang
yang besar kepada lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia.
Melalui Undang-undang inilah, lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas
di Indoesia memiliki posisi yang kuat dalam memberikan bantuan hukum kepada
kalangan yang tidak mampu. Memang, Undang-undang ini hanya memberikan hak
kepada lembaga bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum saja bukan untuk
menegakkan hak-hak sipil dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik atau menegakkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 ketentuan Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
tetapi ketentuan dalam dua pasal tersebut pasti ada di dalam proses hukum
seseorang.
Suatu contoh, ada seseorang ( X ) ditangkap polisi karena diduga melakukan
pencurian barang milik orang lain ( Y ), dalam penangkapan ini polisi secara
paksa menangkap X tanpa ada surat perintah dan melakukan tindakan yang kasar
untuk menangkap X. Kemudian X dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa dan
dicatat dalam Berita Acara Perkara (BAP), namun dalam meminta keterangan polisi
memaksakan pasal pencurian kepada X padahal belum ada bukti yang kuat mengenai
hal ini. Singkat cerita, X dibawa ke muka pengadilan namun X tidak memiliki kesempatan
untuk membela diri dan tidak dapat mencari bantuan hukum karena ditahan oleh
polisi dan tidak memiliki biaya. Dalam kasus ini, paling tidak ada 3 (tiga)
pasal yang tidak sesuai dengan hak-hak sipil dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu yang pertama tidak ada perlakuan yang
manusiawi, yang kedua tidak diterapkannya asas praduga tidak bersalah dan yang
ketiga tidak ada kesempatan untuk membela diri ataupun kesempatan untuk
didampingi advokat. Jika ada lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di
Indonesia yang dapat melakukan bantuan hukum terhadap kasus ini dan
menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang ada sejatinya ini sudah merupakan
perwujudan dalam menegakkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik walaupun tidak secara langsung. Sebenarnya ketentuan yang ada dalam
Kovenan ini sebagian besar sudah masuk dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia seperti Kitab Undang-undang Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana namun belum ditemukan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 dan
inilah kekurangan atau kelemahan Undang-undang ini sehingga penegakan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak dapat dilaksanakan secara
langsung tetapi harus melalui jalan berputar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
mensyaratkan beberapa hal terkait dengan bantuan hukum, dimulai dari status
badan hukum lembaga bantuan hukum dan tindakan pendampingan apa saja yang dapat
dilakukan. Kedua hal ini yang wajib untuk dilakukan oleh lembaga bantuan hukum
di Universitas di Indonesia untuk melakukan bantuan hukum dan pada akhirnya
dapat turut serta menegakkan hak-hak sipil yang ada dalam Pasal 10 (1) dan
Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Status badan hukum yang wajib diperoleh oleh lembaga bantuan hukum di
lingkungan Universitas di Indonesia tidak akan dibahas dalam penelitian ini.
Pembahasan dalam penelitian ini adalah kewenangan pemberian bantuan hukum
dimana dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Pasal 4 menentukan bahwa
pemberian bantuan hukum meliputi bantuan hukum dalam bidang keperdataan, pidana
dan tata usaha negara baik non litigasi maupun litigasi. Artinya walapun dalam
bidang apapun pemberian bantuan hukum secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua yaitu melalui cara litigasi maupun non litigasi namun sayangnya
Undang-undang ini tidak menyebutkan secara detil apa saja yang termasuk dalam
non litigasi atau litigasi sehingga penelitian ini akan meneliti lebih dalam
bantuan hukum apa saja yang termasuk dalam kedua hal tersebut yang dapat
dilaksanakan oleh lembaga bantuan hukum di lingkungan Universitas di Indonesia.
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melalui
proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah
baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming
proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.[2]
Pengadilan yang ada di Indonesia terdiri dari pengadilan tingkat awal
sampai tingkat akhir dan terdapat beberapa pengadilan. Beberapa pengadilan yang
ada di Indonesia adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung,
Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama namun karena
berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 pendampingan yang
dilakukan hanya dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha negara maka yang
akan dibahas dalam penelitian ini hanya membahas mengenai pengadilan yang ruang
lingkupnya terkait dengan pidana, perdata dan tata usaha negara saja.
Pengadilan yang terkait dengan pidana dan perdata adalah pengadilan negeri pada
tingkat pertama, pengadilan tinggi pada tingkat banding dan Mahkamah Agung
sebagai pengadilan yang tertinggi di Indonesia sedangkan Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah pengadilan yang khusus menangani sengketa tata usaha negara.
Untuk lebih jelas akan dijelaskan mengenai masing-masing pengadilan tersebut.
1.
Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri ialah suatu pengadilan (yang umum) sehari-hari yang
memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara dan
perkara pidana sipil untuk semua golongan (warganegara dan orang asing).[3]
Pengadilan Negeri terletak di masing-masing kota dan kabupaten di wilayah
Indonesia atau meliputi daerah tingkat II. Perbedaan lokasi pengadilan negeri
ini membawa dampak kepada kewenangan masing-masing pengadilan untuk mengadili
dan memutus perkara. Tiap-tiap pengadilan negeri hanya dapat memutus perkara
yang dalam wilayah kekuasaannya jadi pengadilan negeri yang terletak di kota
hanya dapat mengadili perkara yang terjadi di kota tempat pengadilan negeri
tersebut berada dan demikian juga dengan pengadilan negeri yang bertempat di
kabupaten. Pasal 4 (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamdya atau di ibu kota
Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamaday atau Kabupaten.
Perkara yang masuk ke pengadilan negeri diadili oleh seorang hakim yang
dibantu oleh seorang Hakim dan dalam tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan
Kejaksaan Negeri yang bertindak sebagai penuntut umum dalam suatu perkara
pidana terhadap perkara pidana. Perkara perdata yang masuk ke pengadilan negeri
tidak diperlukan penuntutan oleh Kejaksaan Negeri karena perkara perdata
terkait dengan perkara antara Penggugat dan Tergugat yang merupakan persoalan
privat sedangkan dalam perkara pidana diperlukan penuntutan karena terkait
dengan mempertahankan kepentingan masyarakat.
2. Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili lagu pada
tingkat kedua (tingkat banding) sesuatu perkara perdata dan/atau perkara
pidana, yang telah diadili/diputuskan oleh Pengdailan Negeri pada tingkat
pertama. Pemeriksaan di sini hanya atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja
kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung mendengarkan para
pihak yang berperkara.
Secara umum, Pengadilan Tinggi memiliki kekuasaan :
a)
Memutus perkara dalam
tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan
Negeri di dalam daerah hukumya.
b)
Melakukan pengawasan
jalannya peradilan di daerah hukumnya.
c)
Mengawasi perbuatan
hakim pengadilan negeri di dalam wilayah kekuasaan pengadilan tinggi.
Pasal 4 (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 menyebutkan Pengadilan Tinggi
berkedudukan di Ibu Kota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
propinsi.
3. Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung merupakan badan pengadilan yang tertinggi di Indonesia,
berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia atau di lain tempat yang ditetapkan
oleh Presiden. Daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia dan kewajibannya
terutama ialah melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala
penngadilan lainnya di seluruh Indonesia, dan menjaga/menjamin agar supaya
hukum dilaksanakan dengan sepatutnya. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan Mahkamah Agung mempunyai
kewenangan:
a)
mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b)
menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
c)
kewenangan lainnya yang
diberikan undang-undang.
d)
Mahkamah Agung
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
4. Pengadilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Undang-undang perubahannya (Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009) tidak pernah memberikan definisi yang jelas apa yang
dimaksud dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetapi dalam Undang-undang
tersebut menjelaskan sengketa yang menjadi kewenangan PTUN yaitu sengketa Tata
Usaha Negara. Pasal 1 (10) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyebutkan sengketa tata usaha negara sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan kekuasaan kehakiman
di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dengan daerah hukum
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten sedangkan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara berkedudukan di ibuka propinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah propinsi (Pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Akhir-akhir ini seringkali didengungkan mengenai alternatif penyelesaian
sengketa (APS) atau alternative dispute resolution (ADR), namun
apakah cara ini dapat disebut sebagai penyelesaian sengketa non litigasi perlu
untuk dikaji lebih lanjut. Menurut Frans Hendra Winata dalam bukunya Hukum
Penyelesaian Sengketa, penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat
tertutup untuk umum dan kerahasiaan para pihak dapat terjamin, proses beracara
lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaisn sengketa di luar pengadilan ini
menghindari kelambatan yang diakibatkan prosedural dan administratif sebagimana
beracara di pengadilan umum dan win-win solution. Penyelesaian sengketa
ini dinamakan APS. Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan APS adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative
to adjudication. Pilihan terhadap salah sati dari dua pengertian tersebut
menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama menjadi acuan,
seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase
merupakan bagian dari ADR. Hal ini selaras dengan pengertian yang digunakan
oleh Wibowo, ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa
nonlitigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan
masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi pihak yang bersengketa.[4]
Definisi lain yang lebih sempit dan akademis dikemukakan oleh Philip D.
Bostwick yang menyatakan, bahwa ADR merupakan serangkaian praktik dan
teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk:[5]
1.
Memungkinkan
sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk keuntungan atau
kebaikan para pihak yang bersengketa;
2.
Mengurangi biaya atau
keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi
konvensional;
3.
Mencegah agar
sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan
non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan beberapa metode
yang ada yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Untuk
lebih jelas perbedaan antara masing-masing metode tersebut, akan dijelaskan di
bawah ini.
1. Konsultasi.
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana
pihak konsultas memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan kliennya.
2. Negosiasi.
Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja
sama yang lebih harmonis dan kreatif.
Dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 rumusan
tentang negosiasi pada prinsipnya adalah memberikan keoada pihak-pihak terkait
suatu alternatif untuk menyelesaikan sendiri masalah yang timbul di antara
mereka secara kesepakatan dimana hasil dari kesepakatan tersebut dituangkan
dalam bentuk tertulis sebagai komitmen yang harus dilaksanakan kedua belah
pihak.
Mirip dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1864 KUHPerdata perihal yang mengatur masalah “perdamaian”.
Perdamaian adalah suatu persetujuan antara dua pihak yang berselisih dengan
mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara. Dalam ketentuan ini, para pihak diwajibkan untuk
membuat secara tertulis perihal yang disetujui.
3. Mediasi.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pengertian lain menyebutkan mediasi merupakan
suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan
penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan
antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang
adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan
diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (5)
juga menyiratkan tentang mediasi walaupun tidak disebutkan secara jelas apa yang
dimaksud dengan mediasi namun dalam rumusannya tersirat cara-cara mediasi
terutama dalam ayat (4) disebutkan adanya bantuan dari seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator telah menjelaskan bahwa yang
dimaksud dalam pasal ini adalah mediasi. Hal ini lazim jika berperkara melalui
proses arbitrase karena para pihak yang bersengketa diberi kesempatan terlebih
dahulu untuk menyelesaikan sengketa melalui cara-cara yang hanya melibatkan
para pihak terlebih dahulu dengan mengutamakan kesepakatan para pihak terlebih
dahulu sebelum pada akhirnya jika proses ini gagal baru ditempuh pengambilan
keputusan oleh majelis hakim arbiter.
Proses mediasi dilaksanakan dengan adanya seseorang sebagai penengah,
penyambung atau yang biasa disebut mediator. Tugas pokok seorang mediator
adalah menyampaikan pandangan-pandangan para pihak sehingga para pihak mampu
untuk lebih memahami permasalahan yang ada dan diharapkan dapat menemukan
penyelesaian sendiri. Mediator memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas dan
fungsi sesuai kehendak para pihak dan tidak dapat memberikan putusan terhadap
obyek yang dipersengketakan, namun hanya berfungsi sebagai saran berkomunikasi
antara para pihak, membantu dan menemukan solusi bagi para pihak.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan menjelaskan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela atau tunduk pada
kesepakatan para pihak, pada bidang perdata, sederhana, tertutup dan rahasia,
serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai fasilitator. Prinsip-prinsip ini
merupakan daya tarik tersendiri bagi mediasi, karena dalam mediasi para pihak dapat
menikmati prinsip ketertutupan dan kerahasiaan yang tidak ada dalam proses
litigasi. Proses litigasi relatif bersifat terbuka untuk umum serta tidak
memiliki prinsip rahasia sebagaimana yang dimiliki oleh mediasi.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Peraturan Mahkamah Agung (
Perma ) Nomor 1 Tahun 2008 memiliki kesamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Persamaan di antara keduanya ialah, hasil perdamaian berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 harus didaftarkan ke pengadilan negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatangan sedangkan dalam Perma Nomor 1
Tahun 2008 hasil perdamaian dapat dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian
sehingga keduanya sama-sama membutuhkan penguatan untuk perdamaian yang
disepakati. Persamaan yang lain, dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 jika
usaha perdamaian tidak tercapai maka para pihak secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase sedangkan dalam
Perma Nomor 1 Tahun 2008 jika tidak dicapai kesepakatan maka akan dilanjutkan
oleh hakim sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Perbedaannya hanya pada jangka
waktu pendaftaraan perdamaian dan majelis hakim yang akan memutus perkara pada
saat perdamaian tidak dicapai. Pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 diselesaikan
melalui lembaga arbitrase sedangkan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 diselesaikan
oleh hakim pada lembaga pengadilan.
Menurut Sophar Maru Hutagalung dalam bukunya Praktek Peradilan Perdata
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi memiliki beberapa prinsip,
yaitu:
1. Mediasi bersifat sukarela.
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi
tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan
mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian, pada prinsipnya
pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang
bersengketa.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan
penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara
penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk
menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang
demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya
memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas
sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau
arbiter. Dengan demikian, tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara mediasi.
2. Lingkup sengketa bersifat keperdataan.
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat undang-undang yang mengatur
tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa
keperdataan. Pasal 85 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 75 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menyebutkan sengketa di luar pengadilan tidak berlaku.
3. Proses sederhana.
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk
menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka
inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap
dengan formalitas acara sebagaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat
menentukan cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal
di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai
bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan
penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat
banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang
artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Istilah “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya
hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “binding” adalah memberikan
beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum.
4. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak.
Mediasi dilaksanakan secara tertutup, sehingga tidak setiap orang dapat
menghindari sesi-sesi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan
peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari
proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, karena para pihak yang
bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi
dipublikasikan kepada umum.
5. Mediator bersifat menengahi.
Mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa.
Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para
pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka
hadapi dan memberikan alternatif solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa
diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan
para pihak yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksanakan gagasannya
sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Selain telah diatur dalam Bab III Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang tugas
mediator namun ada beberapa hal yang perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu:
memberikan nasihat serta mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau
menyelesaikan sengketanya secara damai, memanggil kedua belah pihak dan
memberikan kesempatan penggugat mengajukan poin-poin tuntutannya selanjutnya
memberi kesempatan tergugat untuk memberi tanggapan serta memberi solusi damai
yang ditawarkannya, dan mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati dan
yang belum disepakati kemudian pada pertemuan berikutnya menyelesaikan
bagian-bagian yang belum terselesaikan.
1) Konsiliasi.
Penyelesaian sengketa non litigasi dalam prakteknya tidak terlalu banyak
ditempuh oleh para pihak jika dibandingkan dengan metode penyelesaian sengketa
non litigasi lainnya seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
Konsilisasi adalah penyelesaian sengketa dimana penengah akan bertindak
menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi
yang dapat diterima. Konsiliasi dapat
dilaksanakan dengan cara membentuk komisi yang dipilih oleh para pihak dan
bersifat ad hoc. Komisi yang dibentuk atau dapat disebut konsiliator
dapat melakukan analisa terhadap sengketa dan mendamaikan para pihak.
Pasal 1 (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menjelaskan mengenai
konsiliasi sebagai penyelesaian sengketa dengan cara melalui musyawarah,
hakikatnya untuk menghindari proses pengadilan dan akibat-akibat hukum yang
timbul dari putusan pengadilan.
Dalam konsiliasi ada konsiliator yang bertugas sebagai fasilitator dalam
hal melakukan komunikasi di antara para pihak yang bersengketa, sehingga para
pihak dapat menemukan solusi penyelesaian sengketa. Konsiliator kurang lebih
tugasnya adalah memfasilitasi pengaturan tempat dan waktu pertemuan,
mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan-pesan dari salah satu pihak ke
pihak lainnya terutama apabila tidak mungkin disampaikan secara langsung atau
para pihak tidak bersedia bertemu muka secara langsung.
2) Arbitrase.
Mengenai arbitrase kini di Indonesia telah ada lembaga tersendiri yang
menangani penyelesaian sengketa melalui prosedur arbitrase, yaitu Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Pasal 1 (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2009 menjelaskan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan Pasal 1 (8)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 menjelaskan Lembaga Arbitrase adalah badan
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa. Undang-undang inilah yang merupakan dasar bagi Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan
kepadanya.
Sejarah BANI di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1977 dimana
pada tanggal 3 Desember 1977, atas prakarasa Prof. R. Subekti, S.H., Harjono
Tjitrosubono, dan A.J. Abubakar, S.H., didirikanlah Badan Arbitrase Nasional
Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom
dan independen. Pendirian BANI selain didukung olah Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN) dan direstui Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Ketua Bappenas dan juga Presiden Republik Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar BANI, BANI adalah sebuah badan
yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan
penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul
mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat
nasional maupun yang bersifat internasional. BANI merupakan lembaga peradilan
yang mempunyai status yang bebas, otonom dan juga independen, artinya BANI
tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan yang lain, selayaknya lembaga peradilan
yang independen. Dengan demikian, BANI diharapkan dapat bersikap objektif, adil,
dan jujur dalam memandang dan memutuskan perkara yang dihadapinya nanti. Selain
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009, Pasal 58 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa metode penyelesaian sengketa
di luar pengadilan telah diakui, di mana telah dinyatakan bahwa upaya
penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Sengketa para pihak yang telah
terikat dalam perjanjian arbitrase tidak dapat diadili dalam Pengadilan Negeri.
[1] Fulthoni AM, Siti
Aminah, Uli Parulian Sihombing, Mengelola Legal Clinic: Panduan Membentuk
dan Mengembangkan LBH Kampus untuk Memperkuat Keadilan, Jakarta, ILRC dan
CIDA, 2009, hal. 5.
[4] Rachmad Syafa’at, Advokasi dan Pilihan Penyelesaian Sengketa,
Malang, Yayasan Pembangunan Nasional, 2006, hal. 53.
[5] Sophar Maru Hutagalung,
Praktek Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta,
Sinar Grafika, 2012, hal. 312.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar