MAKALAH
PENAFSIRAN KONTEMPORER AL-QUR’AN TERHADAP ISU- ISU HAK ASASI
MANUSIA (HAM) PEREMPUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Masalah
Perempuan
sebagai makhluk tuhan yang hidup di dunia seharusnya memiliki posisi dan
kedudukan yang setara dengan laki-laki, namun kondisi tersebut belum sepenuhnya
dimiliki oleh perempuan, hal ini terlihat
di beberapa negara yang masih
membatasi perempuan sebagai makhluk yang dipinggirkan, dilihat dari kesempatan
kerja, keamanan, kehidupan dan sebagainya.
Wacana
gender mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80- an, tapi mulai memasuki isu
keagamaan pada era 90-an. Bisa dikatakan, selama 10 tahun atau 5 tahun terakhir
ini perkembangan isu gender sangat pesat dan sangat produktif sekali, jauh
lebih pesat dari isu-isu lainnya seperti isu pluralisme, yang juga tak kalah
pentingnya.[1]
Perbedaan gender sebenarnya
tidak menjadi masalah
sejauh tidak
menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam
kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidak-adilan, terutama
terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupa-kan sistem atau struktur sosial
di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut
termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau
pengam-bilan keputusan politik, stereotip, diskriminasi dan kekerasan.[2]
Menurut
Douglas W. Cassel, hakikat HAM adalah ”. kebebasan, kesetaraan, otonomi dan
keamanan.” (Artidjo, 2004:1) Kempat nilai tersebut diperjuangkan untuk
ditegakkan bagi eksistensi manusia termasuk perempuan di dunia ini. Secara
Internasional perhatian terhadap HAM perempuan diwakili oleh PBB. Pada tahun
1947 PBB mendirikan Komisi Status Perempuan (Commission on the Status of Women/CSW)
yang bertugas untuk melakukan studi, laporan dan rekomendasi berkaitan dengan
perempuan. Seiring dengan perkembangan, CSW membuat Divisi untuk Kemajuan
Perempuan (Divison for the Advancement of Women/DAW) dan Komite tentang
penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). DAW memainkan peranan dalam penyelenggaraan konferensi-konferensi
PBB tentang perempuan: tahun 1975 di Meksiko, 1980 di Kopenhagen, 1985 di
Nairobi dan tahun 1995 di Beijing, yang membahas secara spesifik nasib
perempuan. (Artidjo, 2004:1). Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) memberi
kewenangan terbatas kepada CSW untuk mengkaji pelanggaran terhadap perempuan.
(Mertus, 2003,63)
Dalam
ajaran agama lain dan paham pemikiran umum, dalam ajaran Islam juga dijunjung
tinggi termasuk dalam aspek jendernya (Rusjdi, 2004). Di tengah anggapan bahwa
HAM dan jender mendapat tempat yang tinggi,
sebagian teks al-Qur’an mengisyaratkan ”ketidakcocokan” dengan isu tersebut.
Praduga tersebut tidak lepas dari praduga diskriminasi dan subordinasi terhadap
kaum perempuan; Q.S. an-Nisâ` [4]: 3-4, tentang isyarat dibolehkannya poligami, Q.S. al-Baqarah [2]: 180, tentang
hak penerimaan waris bagi perempuan yang lebih rendah
dari laki-laki, Q.S.
an-Nisâ`[4]: 34, tentang penempatan
laki-laki sebagai kepala rumah tangga dll.
Mereka
yang termasuk dalam kategori yang memberikan respon dibatasi pada pengertian
penafsir al-Qur’an. Dengan pengertian terakhir, memudahkan peneliti melihat
dialog penafsir dengan isu HAM perempuan. Karenanya penafsir dan karyanya yang
dapat dikelompokkan obyek yang teliti dapat orang seperti Quraish Shihab dengan
al-Misbah dan karya dia lainnya yang
relevan, maupun Dawam Rahardjo dengan Ensiklopedi
al-Qur’an-nya, sepanjang karya mereka mendiskusikan isu HAM perempuan
dengan batasan antara 1990an - 2006.
Fokus
kajian akan diarahkan pada melihat proses manusiawi penafsiran al-Qur’an untuk
melihat secara lebih jernih hakikat pesan ilahi yang lebih dekat dengan fitrah
kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, yang mau dibongkar di sini adalah
bangunan argumentasi yang dibangun bagi mereka yang melihat al- Qur’an
kompatibel atau tidak kompatibel dengan HAM perempuan.
B.
Perumusan Masalah
Secara
singkat masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penafsir
al-Qur’an kontemporer terhadap isu dasar HAM perempuan?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
penafsir al-Qur’an kontemporer terhadap isu dasar HAM perempuan.
BAB II
ANALISIS TEORITIS
A.
Permasalahan
Gender
1.
Pengertian
Gender
adalah seperangkat peran yang diperuntuk untuk laki-laki dan perempuan yang
disosialisikan melalui proses sosial budaya. Gender adalah atribut yang
dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada
perempuan dan laki-laki. Hal itu berkaitan dengan harapan dan pikiran masyarakat
tentang bagaimana seharusnya
menjadi laki-laki dan perempuan
(Alimi, 2002). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan
itu lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kasar, kuat, perkasa, dan jantan (Fakih, 1999). Gender adalah seperangkat peran
yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau
maskulin (Mosse, 1996).
2.
Bentuk Bias Gender pada Ayat-ayat Quran tentang
Perempuan dan Laki-laki
Jenis
bias gender yang terdapat pada ayat-ayat tentang laki-laki dan perempuan
adalah: (1) dominasi laki-laki, (2) kekerasan, dan (3) pelabelan negatif.
3.
Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika
kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita
harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan
pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Kondisi
yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di
atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi
antara lain dalam bentuk:
a) Marginalisasi
Proses
marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi
sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga
laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh
adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di
Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris
sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum
laki-laki.
b. Subordinasi
Pandangan
berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional
atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting.
Subordinasi
karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Salah
satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan
keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki
akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi
perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran
seorang bayi laki- laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar
dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi
juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang
menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti
perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan
pembuatan pornografi.
Hubungan
subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek
untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu
dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)
4.
Bias Gender dalam Bahasa Arab
Bahasa
Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang berpengaruh pada proses
tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin
dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu
berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun majazi.
Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara
bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari
klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa
ini tidak ada nama yang netral.
B.
Perspektif Hak Asasi Manusia Untuk Perempuan
1.
Hak Asasi Manusia Untuk Perempuan
Convention
on the Political Rights of Woman’ yang
diratifikasi dengan UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan
pula dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain seperti: Convention on the Rights of Child (CRC);
The Vienna Declarationand Programme of
Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa“hak asasi manusia
Perempuan/perempuan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia; ‘Beijing Declaration and Platformfor Action’
(1995); Declaration on the Protection
of Woman and Children in Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to
Marriage, minimum Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian
tentang Persamaan pembayaran Gaji Bagi Perempuan dan Pria untuk Pekerjaan yang
Sama, di Jenewa (diratifikasi dengan UU No.80 tahun 1957).
2.
HAM Perempuan dalam Dimensi Kultur dan Hukum
Pentingnya
untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau
masyarakat dalam penerapan HAM, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta Message (1992), butir 18 antara lain menegaskan bahwa:
1.
“No country however, should use its power
dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others..”.
2.
Deklarasi
Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan oleh ‘Asean Inter Parliamentary Organization’ (AIPO) antara lain
menegaskan:
3.
“the peoples of Asean accept that human
rights exist in a dynamic and envolving context and that each country has
inherent historical experiences, and changing economic, social, political and
cultural realities and value system which should be taken into account”.
4.
Deklarasi
Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia yang menyatakan bahwa: “while human rights are universal in nature, they must
be considered in
the context of
a dynamic and evolving process of international normsetting, bearing
in mind the significance of national and regional peculiaritiers and various
historical, cultural and religious backgrounds.”
5.
Deklarasi
Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak
Asasi Manusia yang merumuskan bahwa:
6.
“All human rights are universal, indivisible
and interdependent andinterr elated While
the significant of national and regional particularities and various
historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the
duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems,
to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”
Implementasinya masih harus menuntut perjuangan
secara berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak sekedar
melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek politik, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan dan sebagainya. Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji
dari Pasal 1 ‘Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Woman’ (1979) yang
menyatakan bahwa: “For the purpose of the
present convention, the term “discrimination against woman” shall mean any
distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the
effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or
exercise by woman, irrespective of their marital status, on a basis of equality
of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political,
economic, social, cultural, civil or any other field”.
Secara
universal diskriminasi diidentifikasikan sebagai praktekpraktek yang meliputi;
aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih untuk memperbaiki rasio laki-laki
dan Perempuan (China, India dan Korea Utara); pembunuhan bayi Perempuan (India Selatan); penyunatan
yang sangat kejam (Afrika); diskriminasikesehatan terhadap anak-anak Perempuan
(Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan perkosaan; pelacuran
anak-anak; diskriminasi Perempuan di bidang penguasaan hak pekerjaan,
pendidikan, upah, perlindungan kerja; dan sebagainya.
Kemudian
dalam Fourth World Conference on Woman di
Beijing tanggal 4- 15 September 1995, diidentifikasikan beberapa “wilayah
kritis” yang berkaitan dengan Perempuan dan harus secara berkelanjutan
diperjuangkan, meliputi; Perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan
bagi Perempuan, Perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap Perempuan,
Perempuan dan konflik bersenjata, Perempuan dan ekonomi, Perempuan dan
kekuasaan dalam pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan bagi peningkatan
Perempuan; hak asasi Perempuan; Perempuan dan lingkungan, dan termasuk
Perempuan yang masih anak-anak.
B. Gender:
Dikotomi Sifat, Peran dan Posisi
Gender secara leksikon merupakan identitas atau
penggolongan gramatikal yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada
kelompok-kelompoknya. Penggolongan ini secara garis besar berhubungan dengan dua
jenis kelamin, masing-masing sering diru- muskan dengan kategori feminin dan
maskulin.
Secara terminologis, gender digunakan untuk
menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan
perbedaan seksual. Perbedaan yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah bahasa,
tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi,
media massa, mode, pendidikan, profesi, alat- alat produksi, dan alat-alat
rumah tangga.[3]
Gender sendiri sebenarnya memiliki definisi
terminologis yang variatif, namun demikian sesungguhnya ia saling melengkapi.
Selain itu, pembatasannya juga lebih banyak terkait dengan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan.[4]
Menurut Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam
suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat
bahwa gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara
sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi
lain, Lerner (1986) mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku yang
sesuai dengan jenis kelamin pada suatu
masyarakat yang dilaksanakan pada waktu tertentu.[5]
H.T. Wilson dalam bukunya Sex and Gender
menyatakan bahwa gender adalah suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang menyebabkan adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan.[6]
Definisi ini kiranya kurang tepat sebab hanya melihat gender dari sisi
sumbangannya terhadap kebudayaan. Artinya, disparitas antara laki-laki dan
perempuan ditentukan oleh seberapa besar sumbangannya bagi kebudayaan
masyarakat.
Save M. Dagun telah melakukan kajian mendalam
tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif fisiologi, psikologi,
seksual, karier, dan masa depan. Menurutnya, secara fisik-natural, laki-laki
dan perempuan memang memiliki perbedaan yang sangat menonjol, yakni menyangkut
alat kelamin dan tanda-tanda fisikal lainnya. Laki-laki, misalnya, tidak
memiliki payudara (yang besar), sedangkan perempuan memilikinya; laki-laki
tidak memiliki rahim sebagai tempat pembuahan manusia, sementara perempuan
memili- kinya karena perempuan memang secara kodrati ditakdirkan untuk
mengandung dan melahirkan; laki-laki memiliki sperma sementara perempuan
memiliki sel telur.[7]
Secara psikologis, terdapat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, misalnya dilihat dari sifat yang dimiliki oleh keduanya.
Ada aspek dominan pada laki-laki dan ada aspek
dominan pada perempuan. Perbedaan tersebut terdiri dari aspek agresivitas,
emosi, kompetisi, dan ambisinya. Laki-laki cenderung lebih agresif daripada
perempuan. Perempuan cenderung emosional, sementara laki-laki cenderung
rasional. Perempuan tidak suka kompetitif, sementara laki- laki cenderung kompetitif.
Dalam memahami makna gender, ada juga yang
melihatnya dari perspektif perbedaan fisikal antara laki-laki dan perempuan,
namun ada juga yang melihatnya dari sisi budaya. Dari segi fisikal, sebagaimana
diuraikan di atas memang sangat kentara perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Namun demikian, membedakan antara laki-laki dengan perempuan hanya
dari sisi fisikal saja tentu tidak cukup sebab ada seseorang yang secara
fisikal menunjukkan indikator kelaki-lakian atau keperempuanan, namun secara psikologis
atau kejiwaan ternyata sebaliknya. Inilah yang dalam konsep ilmu sosial sering
disebut sebagai the third sex (gender ketiga).[8]
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
ternyata tidak sekadar fisikal belaka, tetapi juga psikologikal. Ada juga orang
yang secara fisikal laki-laki, namun kejiwaannya perempuan dan begitu juga
sebaliknya. Inilah yang disebut transeksual. Dari kecenderungan itu kemudian
muncul istilah lesbian (perempuan yang menyukai perempuan) dan homoseksual
(laki-laki yang menyukai laki-laki).[9]
Perbedaan antara laki-laki perempuan juga
terkait dengan budaya. Perbedaan ini biasanya dikaitkan dengan bagaimana
konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan sumbangan laki-laki atau perempuan
di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Inilah yang sering menyebabkan
adanya perbedaan gender yang kurang simpatik. Di dalam dunia kerja, misalnya,
muncul konsep kerja perempuan yang bercorak domestik dan kerja laki-laki yang
bercorak publik. Di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya juga sering
menghasilkan pandangan bahwa perempuan adalah warga negara kelas dua sehingga
dalam banyak hal, perempuan tidak dilibatkan di dalam persoalan ekonomi,
politik, dan budaya. Konstruksi sosial tersebut telah memicu lahirnya gerakan kesetaraan gender sebagai
akibat dari adanya gender differentiation, gender inequality, dan gender
oppression.
Dengan melihat penjelasan
di depan maka tampak bahwa gender merupakan suatu pengertian yang khas bahwa
laki-laki tidak sama dengan perempuan ditinjau dari berbagai macam aspek maupun
dimensi, baik waktu, tempat, kultur, bangsa, alat, tugas, peradaban,
verbalisasi, persepsi, maupun aspirasi. Seseorang yang dilahirkan sebagai
laki-laki ataupun perempuan keberadaannya akan berbeda- beda dalam waktu,
tempat, kultur, bangsa, maupun peradaban. Gender,
sebagaimana teori yang dikemukakan di atas, juga melahirkan atau memunculkan
dikotomi sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena
itu, Bates berpendapat bahwa gender merupakan interpretasi mental dan kultural
terhadap perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia
juga digambarkan sebagai pemisahan antara ruang gerak domestik materiil dalam
keluarga dan ruang gerak publik di mana laki-laki menjadi aktor utamanya. Sifat, peran, dan posisi tersebut saling
terkait antara satu dengan lainnya dan sulit untuk dipisahkan secara tegas.
Dengan demikian, gender adalah persoalan nature
dan nurture. Dari aspek nature, terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, demikian juga dari sisi nurture. Hanya saja, jika yang natural bercorak kodrati (taken for granted), maka
yang nurture merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat tentang perbedaan laki- laki dan perempuan.
C.
Gender
sebagai Gerakan
Di sini, gender dalam pengertian sebagai
gerakan keperem- puanan (feminis). Wilayah ini menjadi garapan pegiat feminis
yang biasanya membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) atau organisasi,
baik mandiri ataupun berafiliasi dengan
ormas tertentu atau dengan
lembaga-lembaga pemerintah. Kegiatan yang dilakukan, pada umumnya mengambil
salah satu atau beberapa dari bidang berikut ini: penelitian, penyuluhan,
produksi ide, gerakan untuk kesehatan reproduksi, advokasi atas kekerasan
perempuan, pelatihan- pelatihan, peningkatan pendidikan, dan lain-lain. Meski
terkadang tampak memiliki kesamaan bidang kegiatan, namun LSM Feminis ternyata
terdiri dari beberapa karakter, bisa dikatakan, tergantung pada ‘basis
ideologi’ yang dianut. Ada sejumlah aliran besar feminisme yang selama ini
menjadi kiblat LSM-LSM itu, yaitu: aliran feminisme liberal, feminisme
kultural, feminisme radikal, dan feminisme sosialis.[10]
Feminisme liberal, dalam perjuangannya
menekankan pada hak- hak sipil kaum perempuan. Aliran ini juga memandang bahwa
kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi
mereka. Lalu feminisme kultural yang juga disebut feminisme reformatif dan
feminisme romantis. Aliran ini lebih mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai
tradisional perempuan, seperti bela
rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang
menekankan moral. Feminisme radikal
menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan.
Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai
dominasi berbasis kekuasaan. Sedangkan, feminisme sosialis menekankan
perhatiannya pada persoalan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam
perjuangan keadilan ekonomi global.
Di samping itu, terdapat beberapa aliran baru
yang cukup berpengaruh, seperti feminis spiritualis, ekofeminis, dan lain-lain.
Feminis spiritualis sebenarnya merupakan peneguhan pandangan kaum feminis
radikal. Menurut mereka, spiritualis itu bersifat eksperiensial (berbasis
pengalaman), ia bukanlah teori abstrak melainkan realitas yang dihidupi secara
personal. Pertumbuhan spiritualitas feminis tidak terjadi secara gaib, tetapi
berproses secara sadar dan oleh karena itu melalui pergumulan pada setiap
pribadi. Sedang ekofeminis mengkaitkan keprihatinan perempuan atas gencarnya pembangunan
namun merusak lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam.
Untuk kasus Indonesia, sebagaimana beberapa
pengamat gender, aliran
yang paling dominan
adalah feminisme liberal. Dominasi aliran ini seiring dengan
gejala liberalisasi global, yang akan
memberi kesempatan untuk perdagangan bebas. Jika dirunut lebih jauh,
liberalisasi ini merupakan bagian dari paham kapitalisme. Peningkatan peran
perempuan pada berbagai sektor, berarti
menambah peluang pasar.
Kapitalisme, ideologi besar ini yang selalu
bersaing dengan sosialis-Marxis. Bagi orang-orang Marxis, terdapat asumsi jika
keadilan sudah diwujudkan dalam masyarakat, apalagi masyarakat tanpa kelas,
maka dengan sendirinya semua masalah yang dimunculkan akibat ketidaksetaraan
akan teratasi. Classless society akan memunculkan genderless society. Demikian
kira-kira cara berpikir feminisme Marxis.
Berikut ini penulis tampilkan gambaran tentang
Teori Ketidaksamaan menurut jenis kelamin sebagaimana diungkapkan oleh Stephen
K. Sanderson23:
Tabel
Teori-Teori Ketidaksamaan Menurut Jenis Kelamin
Teori
|
Karakteristik
|
Evaluasi
|
Teori-teori sosiologis
|
Memfokuskan kekepada sebuah
ciri-ciri ketidaksetaraan jenis kelamin. Monopoli pria atas politik, urusan
perang, dan posisi hingga berstatus yang menjadi tingginya dalam masyarakat berakar dalam sel lembaga (gene) yang dikembangkan
jutaan tahun lalu oleh nenek moyang kita. Inklinasi kaum wanita ke arah
peranan pengasuhan juga dipandang berakar secara biologis.
|
Banyak bukti yang terkumpul
sekarang ini. Untuk menunjukkan semacam validitas. Terhadap banyak
tuntutan sosiobiologis. Akan tetapi, teori-teori itu hanya relevan untuk
menjelaskan ciri-ciri ketidaksamaan jenis kelamin yang universal (atau sekurang-kurangnya
tersebarluas). Teori-teorinya itu tidak akan dapat menjelaskan variasi yang
penting dalam sebuah pola-pola ketidak
samaan kelamin.
|
Teori-teori Marx
|
Menekankan pembagian
kelas dan pola eksploitasi ekonomi sebagai dasar untuk memahami subordinasi
kaum wanita. Versievolusi jangka panjang menekankan kemunduran evolusioner
dalam status kaum wanita dan melihatnya sebagai akibat dari pertumbuhan hak
milik pribadi, produksi untuk tukar-menukar, stratifikasi kelas. Versi-versi
yang hanya memfokuskan kepada kapitalis memodern melihat subordinasi kaum
wanita sebagai berasaldari kebutuhan kapitalisme akan suatu angkatan kerja
yang
dapat dieksploitir.
|
Berada pada jalur yang benar dalam melihat suatu kaitan
umum diantara cara produksi ekonomi dan statuskaum wanita, tetapi bersifat
miring dalam menghubungkan penjelasan tentang subordinasi wanitadengan
stratifikasi dan perjuangan kelas.
Mencapai penjelasan yang terbaik mengenai
variasi-variasi dan lintas budaya kedalam sebuah pola-pola ketidaksetaraan
berdasarkan jenis kelamin. Lebih unggul dari teori-teori Marx dalam
memperlihatkan bagaimana stratifikasi kelas dan ketidaksetaraan jenis kelamin
sebagian besar merupakan fenomena yang independen.
|
Teori-teori Materialis
Non-Marx
|
Mengaitkan
hubungan-hubungan diantara jenis-jenis kelamin dengan kondisi-kondisi
teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi khusus. Dimana kondisi-kondisi itu
menghendaki partisipasi besar kaum wanita dalam produksi ekonomi dan tingkat
kekuasaan ekonomi bagi kaum wanita,
maka kaum wanita (hawa) akan cenderung untuk mempunyai status yang relatif
tinggi. Kalau tidak, mereka akan cenderung untuk sangat tersubordinasi kepada
kaum pria.
|
|
Teori-teori politik
|
Memandang dominasi pria
sebagai hasil sampingan perang dan sebagainya.
|
Tidak cukup sebagai
penjelasan.
|
Gerakan feminisme
muncul sekitar abad XIX dan awal abad XXM. di Amerika. Gerakan ini difokuskan
pada suatu isu, yakni untuk mendapatkan hak memilih (the right to vote).
Setelah hak untuk memilih diberikan pada 1920, gerakan feminisme pun tenggelam.
Kedudukan perempuan hingga tahun 1950-an tidak pernah digugat. Oleh karena itu,
perempuan yang dianggap ideal adalah apabila ia berperan sebagai ibu rumah
tangga. Pada periode ini, sesungguhnya sudah banyak perempuan yang aktif
bekerja di luar rumah.[11]
Pada tahun 1960-an, saat gerakan-gerakan
liberal muncul dan terutama setelah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine
Mystique (1963), gerakan feminisme menuai zamannya. Gerakan feminisme menjadi
suatu kejutan besar bagi masyarakat karena ia memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa peran tradisional perempuan ternyata
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, yakni peran
subordinasi.26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan
pada dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah yang diangkat.
B.
Pendekatan
Penelitian
ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan model grounded research
yang mendasarkan analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan,
bukan melalui ide atau teori yang ada sebelumnya yang bertujuan untuk menemukan
teori melalui data yang di peroleh secara sistematik dengan menggunakan metode
analisis komparatif konstan (Atho’ Mudzhar, 1998: 47).
Data
diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen cetak dan peristiwa-peristiwa lainnya
tertulis maupun tidak tertulis serta informan yaitu kyai, ustadz, santri,
alumni dan tokoh terkait, formal maupun informal.
Pengumpulan
datanya dilakukan dengan cara riset kepustakaan, yaitu pengumpulan data referensi-referensi
tertulis, meliputi buku-buku tentang pesantren, pendidikan Islam pada umumnya
dan dokumen tertulis yang berkaitan dengan topik penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Analisis Pandangan Al Qur-an Tentang Perempuan
1.
Peran Perempuan Menurut Persfektif Al Quran
Untuk
mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan etis Al-Quran tentang perempuan
dalam persfektif Islam, maka yang harus dilakukan adalah dengan membiarkan
Al-Quran menafsirkan dan membicarakan tersebut dengan menggunakan perspektif
sendiri. Dengan cara ini, maka kita akan bisa menarik garis demarkasi yang
tegas antara batas perspektif Al-Quran dengan batas bias budaya melindunginya.
Sehingga tidak samar lagi antara perspektif Al-Quran tentang “Islam” yang
sesungguhnya dengan "Islam" yang ter-Arab-kan; di mana dalam konteks
konstruksi gender telah memberikan tafsir yang patriarkal dan diskriminatif
terhadap kaum perempuan.
Dalam
kaitan ini, Muhsin (2001) melalui bukunya, Qur'an and Woman, Rereading the
Sacred Text From a Woman's Perspective berusaha untuk menentukan kriteria yang
pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi perempuan dalam kultur Muslim telah
benar-benar menggambarkan maksud Islam itu sendiri mengenai keberadaan perempuan
dalam struktur sosial. la percaya bahwa Al-Quran sesungguhnya bisa digunakan
sebagai kriteria untuk menguji apakah status perempuan dalam masyarakat Muslim
sesungguhnya dapat dikatakan sudah Islami. Karenanya, dia menggugat
penafsiran-penafsiran Al-Quran yang selama ini sangat terikat oleh nuansa
androsentris dan tradisi Arab-Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad
sehingga berakibat mendistorsikan peran dan posisi kaum perempuan. Padahal dari
hasil kajiannya menunjukkan bahwa banyak sekali ayat Al-Quran yang memprotes
kesetaraan derajat perempuan terhadap laki-laki.
Peran
kaum perempuan yang dibicarakan dalam Al-Quran masuk ke dalam salah satu dari 3
kategori yang diklasifikasikan oleh Muchsin yaitu pertama, peran yang
menggambarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana si perempuan tinggal,
tanpa pujian atau kritik sekalipun dari Al-Quran. Kedua, peran yang memainkan fungsi
keperempuanan yang secara
universal diterima (yaitu
mengasuh atau merawat), dengan beberapa pengecualian atau bahkan telah
diberikan dalam Al-Quran sendiri. Ketiga, peran yang memainkan fungsi spesifik
non-gender, yakni peran yang menggambarkan usaha manusia di muka bumi dan
disebutkan dalam Al-Quran untuk menunjukkan fungsi spesifik ini, bukan untuk
menunjukkan jenis kelamin pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan.
Kita
harus memahami bahwa ada statemen yang bersifat normatif dan juga bersifat
kontekstual di dalam Al-Quran. Syariah dalam Islam bersumber pada Al-Quran dan
Sunnah; dan keduanya mengandung dua unsur penting : unsur normatif dan unsur
kontekstual. Al-Quran diwahyukan bagi seluruh umat dan untuk sepanjang zaman.
Namun, untuk dapat diterima orang pada waktu itu Al- Quran mengandung hal-hal
yang mempunyai makna penting bagi mereka. Karena itulah, Kitab Suci juga memuat
kandungan yang berasal dari sejarah kebudayan dan tradisi. Inilah yang oleh
Engineer (2000) dikatakan dengan sifat kontekstualnya. Di samping itu, Al-Quran
mempunyai kandungan yang bersifat transendental, yang meletakkan norma bagi
perilaku keseharian manusia dan memberikan arahan untuk kehidupan akhirat.
Sejauh
menyangkut masalah perempuan, pengaruh kebudayaan dan tradisi cenderung sangat
kuat. Al-Quran, tak diragukan lagi, memberikan banyak sekali hak kepada
perempuan dan menguraikannya secara rinci. Al-Quran, bagi Engineer, adalah
kitab suci pertama yang telah menyatakan begitu banyak hak bagi perempuan,
justru pada masa di mana perempuan sangat tertindas di dalam
peradaban-peradaban besar, yaitu Bizantium, Sasanid dan lain-lain. Engineer menyayangkan,
bahwa kita melihat pada masa para fuqaha mengambil banyak dari adat (tradisi)
Arab pra-Islam, sehingga melahirkan rumusan-rumusan yang membatasi jika tidak
dikatakan menginjak-injak hak-hak perempuan. Padahal menurutnya, Al-Quran tidak
pernah bermaksud mengenakan pembatasan- pembatasan yang tidak semestinya
terhadap gerak-gerik perempuan, juga tidak menuntut mereka untuk menutup
seluruh muka ketika keluar rumah. Namun para fuqaha terkemuka, meski terdapat
perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang ayat dan Sunnah tertentu,
menuntut perempuan agar tidak keluar
rumah mereka
terkecuali dalam keadaan mendesak, dan itu pun dengan menutup wajah mereka. Ini
jelas menunjukkan bagaimana hak-hak yang telah diberikan Al- Quran ditiadakan
oleh para fuqaha karena mempertimbangkan situasi mereka. Namun, sayangnya,
ketetapan-ketetapan syariah tersebut dipaksakan juga ketika konteksnya sudah
berubah.
2.
Kesetaraan dalam Al Quran
Ada
beberapa alasan munculnya dorongan Al-Quran ke arah kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Pertama, Al-Quran memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia, yang
meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua, secara norma-etis Al-Quran membela
prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Perbedaan struktur
biologis, menurut Al-Quran, tidak berarti ketidaksetaraan dan status yang
didasarkan pada jenis kelamin. Menurutnya, kita harus membedakan antara
fungsi-fungsi biologis dengan fungsi-fungsi sosial.
Meskipun
demikian, Al-Quran memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan
dan keunggulan sosial atas perempuan. Ayat seperti ini, Enginner menyarankan,
harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman
Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang
tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam
ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al-Quran pun
terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab
Suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.
Al-Quran,
untuk tidak meninggalkan keraguan mengenai individualitas perempuan, menyatakan
bahwa perempuan dan laki-laki akan dinilai berdasarkan amal perbuatannya. Jika
perempuan menjalankan amal keagamaan, demikian pula dalam kiprah sosialnya,
mereka akan diberi ganjaran sebagaimana seharusnya, dan jika laki-laki
melakukannya dia pun akan mendapatkan balasan yang setimpal (QS. Al Ahzab (33):
35). Al-Quran sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara perempuan dan
laki-laki dalam hal apapun.
Keduanya “akan mendapat ganjaran” atas amal
keagamaan dan keduniaan. Dengan demikian, dalam
pencipta-anpun, perempuan menurut Al- Quran, sama sekali tidak lebih rendah
dari laki-laki. Dengan demikian, adalah benar-benar sah berpendapat bahwa hak-hak
perempuan dalam Islam telah dilindungi dengan baik. Kecuali dalam beberapa
persoalan yang tidak mendasar, Al-Quran mengakui perempuan tidak
berbeda banyak dengan laki- laki. Bagaimanapun juga, pernyataan yang nampak
begitu meremehkan perempuan lebih bersifat kontekstual dan bukan normatif, dan
harus dilihat secara demikian.
Tidak
diragukan lagi Al-Quran memandang laki-laki dan perempuan dalam berbagai
terminologi kesetaraan sebagai makhluk manusia dalam berbagai hal. Keseluruhan
spirit Islam secara umum sangat menegaskan kesetaraan kedua jenis seks tersebut
baik dalam status, posisi dan nilai. Mereka adalah sama-sama makhluk Allah,
dengan nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa, dan, karenanya, maka tentu saja
mereka memiliki status dan nilai yang sama sebagai manusia dalam masyarakat.
Bukanlah suatu alasan yang mendasar untuk membedakan keduanya hanya karena
mereka yang satu adalah perempuan dan yang satu lagi adalah laki-laki.
Sementara
itu menurut Jawad (1998), Islam telah memberikan suatu jaminan yang tegas dan
pasti kepada kaum perempuan baik dalam peran sosial, hak-hak politik dan
ekonomi, pendidikan dan pelatihan, maupun kesem-patan- kesempatan kerja. Untuk
memproteksi hak-hak mereka tersebut dari penyalahgunaan oleh kaum laki-laki,
Islam telah menyediakan rumusan hukum yang melindungi. Secara teoritis,
perempuan dalam Islam diberikan beberapa hak, antara lain :
1)
Hak independensi kepemilikan : hal ini meliputi hak
mengelola keuangan dan propertinya secara independen. Prinsip Al-Quran juga
memberikan pengetahuan dan sekaligus mengokohkan hak kaum perempuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya.
2)
Hak memelihara identitas diri : kaum perempuan dalam
Islam selalu dilindungi secara hukum untuk menggunakan nama keluarganya, dan bukan
nama suaminya. Sebab itu ia selalu dikenal
dengan nama keluarga
dan hal ini
3)
sebagai indikasi dari persoalan identitas dirinya.
Jadi, dalam Islam tidak ada proses perubahan nama dari kaum perempuan baik
sesudah ia menikah, bercerai ataupun menjanda.
4)
Hak pendidikan: Al-Quran dan Sunnah telah
mengadvokasikan tentang hak- hak perempuan dan laki-laki untuk sama-sama
mencari ilmu pengetahuan. Al- Quran memerintahkan semua umat Islam untuk
berupaya keras dalam mencari pengetahuan tanpa membedakan jenis kelamin.
5)
Hak berpartisipasi dalam politik dan
peristiwa-peristiwa publik: Islam sesungguhnya sangat mendorong kaum perempuan
untuk aktif secara politik dan ikut
terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan diberikan kesempatan untuk
mengekspresikan diri, mengajukan argumentasi, dan menyampaikan pemikirannya
pada publik. Mereka dipercayai menjadi delegasi, mediator, dan mendapatkan hak
perlin-dungan proteksi.
6)
Hak mendapatkan respek : Islam memperlakukan
perempuan setara dengan laki-laki sebagai manusia. Sebab itu, Islam sangat
menekankan adanya saling memahami dan respek antara keduanya. Dalam pandangan
Islam seorang perempuan adalah individu yang terhormat dan patut mendapatkan
respek, makhluk yang independen, makhluk sosial, dan makhluk berbakat,
sebagaimana kaum laki-laki, yang memiliki hati, jiwa dan intelektualitas serta
memiliki hak- hak yang secara fundamental untuk mengartiku-lasikan kemampuan
dan ketrampilannya di setiap sektor aktivitas umat manusia.
2. HAM Perempuan dalam Kajian Qur-an
Hasil
penelitian yang dikemukanan dalam buku Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Umar menunjukkan bahwa Al-Quran
cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan manusia di dalam menata pembagian
peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan kesadaran bahwa persoalan ini
cukup penting tetapi tidak dirinci di dalam Al-Quran maka hal ini menjadi
isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam
memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan,
baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Dalam pandangannya, Al-Quran
tidak memberikan beban
gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar
adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih
pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik
dalam sektor domestik maupun sektor publik.
Sementara
penelitian yang dilakukan oleh Mukhtasar (1999) menunjukkan bahwa dalam teologi
feminisme menolak misalnya penafsiran bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa sebagai seorang teolog feminis
Islam, Hassan menolak penafsiran beberapa ayat dalam Al-Quran yang secara
eksplisit menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari dan untuk laki-laki sebab
pernyataan ini berimplikasi pada relasi perempuan-laki-laki secara timpang,
bahkan mengukuhkan pandangan bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua.
Bagaimana konsekuensi pandangan Hassan terhadap masalah kepemimpinan perempuan,
penelitian tersebut belum secara tegas dan eksplisit memberi penjelasan.
Sementara peneliti lain, Syamsuddin (1998) membuktikan
bahwa sepanjang sejarah, perempuan
distereotipkan memiliki kedudukan lebih rendah dari pada laki-laki, bahkan
dianggap sebagai subordinat kaum laki-laki. Stereotip ini senantiasa muncul dan
dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat, terkecuali dalam masyarakat
matrilinial yang jumlahnya hanya sedikit. Dalam tradisi fiqh, sebagian ulama juga cenderung menempatkan kedudukan perempuan
lebih rendah dari laki-laki. Namun di kalangan modernis Islam belakangan muncul
suatu kesadaran bahwa Al-Quran memberikan kedudukan yang setara antara
laki-laki dan perempuan.
Pernyataan
Al-Quran dalam surah An-Nisa (4): 34 yang seolah-olah membedakan status
laki-laki dan perempuan semestinya tidak dipahami secara literal-normatif
semata namun juga perlu dipahami secara kontekstual- historikal. Kesadaran akan
kese-taraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan pada gilirannya
akan melahirkan kesadaraan akan keseimbangan tanggung jawab dalam berbagai
tugas domestik dan publik keduanya, yang pada tahap selanjutnya akan
menciptakan dan menegakkan prinsip keadilaan, yang menurut Fakih
(1999), merupakan inti
dari ajaran setiap
agama. Al-Quran, menurutnya, mencakup pelbagai anjuran untuk
menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik dan kultural termasuk keadilan
gender. Karena itu, diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat
Al-Quran yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama
yang bersifat prinsipil yang mesti membutuhkan analisis sosial.
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak
Asasi manusia berkaitan dengan perempuan menutut AI-Quran sebagai ditonjolkan dalam bentuk memberikan
prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam
peran domestik maupun peran publiknya. Karenanya, bimbingan Al-Quran secara
logis dan wajar dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia di era apapun,
apabila penafsiran Al- Quran dilakukan terus-menerus oleh setiap generasi
dengan tetap merefleksikan tujuannya secara utuh dan holistik, terutama dalam
etika universal dan kosmo- politannya, seperti tentang spirit keadilan dan
kesetaraan bagi setiap umat manusia, tanpa harus terdemarkasi oleh atribut
seks, laki-laki dan perempuan.
Hak-hak perempuan dalam dimensi masyarakat seharusnya
mulai dirubah, untuk memberikan jaln terhadap hak perempuan yang sejalan dengan
konsep yang dikembangkan menurut Al Qur-an. Selain itu juga penafsiran tentang hak asasi
manusia yang termaktub dalam Al qur-an penafirannya harus diluruskan sehingga
tidak terlalu banyak merugikan perempuan, paling tidak kesetaraan harus
muncul dalam membuat tafsiran.
SARAN
Kekeliruan dalam membuat
rumusan tentang persepsi perempuan selama ini telah mempengaruhi setiap
kehidupan laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sudah saatnya, saya kira,
untuk mencoba merumuskan kembali kekeliruan yang muncul, sehingga dapat mengurangi
atau menghilangkan penindasan terhadap hak-hak perempuan termasuk dalam hak
kehidupan mereka. Sekaranglah saatnya kita untuk mendorong dan mendukung cita-cita yang luas dalam partisipasi laki-laki dan perempuan
yang mampu:
menyeimbangkan kontribusi maksimal mereka kepada keluarga maupun masyarakat..
DAFTAR PUSTAKA
Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997)
Moh.
Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan
Gender, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan
Tradisionalisme dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006),
Nur
Syam, Gender, Budaya, dan Seksualitas, dalam Agama Pelacur: Dramaturgi
Transendental (Yogyakarta: LKiS bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Press
Surabaya, 2010)
Siti R.
Dzuhayatin, Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi Perempuan
dalam Islam, dalam Sangkan Paran Gender, ed. Irwan Abdullah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997)
Tri
Ardaniah, Perspektif Gender Sebagai Alternatif Penyusunan Program
Pembangunan Berkelanjutan, Argapura, Vol. 13 No. 1/2. 1993
H.T.
Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization
(Leiden,
New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1982)
Save M.
Dagun, Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria dan Wanita dalam Fisiologi,
Psikologis, Seksual, Karir, dan Masa Depan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas
Poskolonial: Dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama (Yogyakarta: LKiS,
2004)
Koeswinarno,
Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKiS, 2004)
Anang
Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh
Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997
[1] Moh.
Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender,
dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme
dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 275.
[2] Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), h. 23
[3] Siti R.
Dzuhayatin, Agama dan Budaya Perempuan:
Mempertanyakan
Posisi
Perempuan dalam Islam, dalam Sangkan Paran Gender, ed. Irwan Abdullah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 11.
[4] Nur
Syam, Gender, Budaya, dan Seksualitas, dalam Agama Pelacur: Dramaturgi
Transendental (Yogyakarta: LKiS bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Press
Surabaya, 2010), h. 13.
[5] Lihat
Tri Ardaniah, Perspektif Gender Sebagai Alternatif Penyusunan Program Pembangunan
Berkelanjutan, Argapura, Vol. 13 No. 1/2. 1993, h. 36.
[6] H.T.
Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization
(Leiden,
New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1982), h. 2.
[7] Save M.
Dagun, Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria dan Wanita
dalam
Fisiologi, Psikologis, Seksual, Karir, dan Masa Depan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 6-7.
[8] Konsep The Third Sex dikenalkan oleh Gilbert
Hert. Ia bermakna jenis seks selain laki-laki dan perempuan. Periksa Moh. Yasir
Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa hingga Wacana
Agama (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. xv.
[10] Menurut kaum feminis, budaya patriarki ada
di segala bidang kehidupan, oleh karena itu untuk
mentransformasikannya diperlukan pelbagai strategi. Maka keragaman model dan
aliran feminisme merupakan sumbangan tersendiri untuk transformasi itu. Lihat Carol
P. Chist & Plaskow Judith (eds.), Woman Spirit Rising (New York: Harper
& Row, 1979), h. 15.
[11] Anang
Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh
Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997, h. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar