Kamis, 30 November 2017

MAKALAH PENAFSIRAN KONTEMPORER AL-QUR’AN TERHADAP ISU- ISU HAK ASASI MANUSIA (HAM) PEREMPUAN

MAKALAH
PENAFSIRAN KONTEMPORER AL-QUR’AN TERHADAP ISU- ISU HAK ASASI MANUSIA (HAM) PEREMPUAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang Masalah
Perempuan sebagai makhluk tuhan yang hidup di dunia seharusnya memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan laki-laki, namun kondisi tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh perempuan, hal ini terlihat  di  beberapa negara yang masih membatasi perempuan sebagai makhluk yang dipinggirkan, dilihat dari kesempatan kerja, keamanan, kehidupan dan sebagainya.
Wacana gender mulai dikembangkan di Indonesia pada era 80- an, tapi mulai memasuki isu keagamaan pada era 90-an. Bisa dikatakan, selama 10 tahun atau 5 tahun terakhir ini perkembangan isu gender sangat pesat dan sangat produktif sekali, jauh lebih pesat dari isu-isu lainnya seperti isu pluralisme, yang juga tak kalah pentingnya.[1] Perbedaan  gender  sebenarnya  tidak  menjadi  masalah   sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupa-kan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengam-bilan keputusan politik, stereotip, diskriminasi dan kekerasan.[2]
Menurut Douglas W. Cassel, hakikat HAM adalah ”. kebebasan, kesetaraan, otonomi dan keamanan.” (Artidjo, 2004:1) Kempat nilai tersebut diperjuangkan untuk ditegakkan bagi eksistensi manusia termasuk perempuan di dunia ini. Secara Internasional perhatian terhadap HAM perempuan diwakili oleh PBB. Pada tahun 1947 PBB mendirikan Komisi Status Perempuan (Commission on the Status of Women/CSW) yang bertugas untuk melakukan studi, laporan dan rekomendasi berkaitan dengan perempuan. Seiring dengan perkembangan, CSW membuat Divisi untuk Kemajuan Perempuan (Divison for the Advancement of Women/DAW) dan Komite tentang penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). DAW memainkan peranan  dalam penyelenggaraan konferensi-konferensi PBB tentang perempuan: tahun 1975 di Meksiko, 1980 di Kopenhagen, 1985 di Nairobi dan tahun 1995 di Beijing, yang membahas secara spesifik nasib perempuan. (Artidjo, 2004:1). Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) memberi kewenangan terbatas kepada CSW untuk mengkaji pelanggaran terhadap perempuan. (Mertus, 2003,63)
Dalam ajaran agama lain dan paham pemikiran umum, dalam ajaran Islam juga dijunjung tinggi termasuk dalam aspek jendernya (Rusjdi, 2004). Di tengah anggapan bahwa HAM dan jender mendapat tempat yang tinggi, sebagian teks al-Qur’an mengisyaratkan ”ketidakcocokan” dengan isu tersebut. Praduga tersebut tidak lepas dari praduga diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan; Q.S. an-Nisâ` [4]: 3-4, tentang isyarat dibolehkannya poligami, Q.S. al-Baqarah [2]: 180, tentang hak penerimaan waris bagi perempuan  yang  lebih  rendah  dari  laki-laki,  Q.S.  an-Nisâ`[4]:  34,    tentang penempatan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dll.
Mereka yang termasuk dalam kategori yang memberikan respon dibatasi pada pengertian penafsir al-Qur’an. Dengan pengertian terakhir, memudahkan peneliti melihat dialog penafsir dengan isu HAM perempuan. Karenanya penafsir dan karyanya yang dapat dikelompokkan obyek yang teliti dapat orang seperti Quraish Shihab dengan al-Misbah dan karya dia lainnya yang relevan, maupun Dawam Rahardjo dengan Ensiklopedi al-Qur’an-nya, sepanjang karya mereka mendiskusikan isu HAM perempuan dengan batasan antara 1990an - 2006.
Fokus kajian akan diarahkan pada melihat proses manusiawi penafsiran al-Qur’an untuk melihat secara lebih jernih hakikat pesan ilahi yang lebih dekat dengan fitrah kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, yang mau dibongkar di sini adalah bangunan argumentasi yang dibangun bagi mereka yang melihat al- Qur’an kompatibel atau tidak kompatibel dengan HAM perempuan.

B.      Perumusan Masalah

Secara singkat masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penafsir al-Qur’an kontemporer terhadap isu dasar HAM perempuan?

C.     Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : penafsir al-Qur’an kontemporer terhadap isu dasar HAM perempuan.

 

BAB II

ANALISIS TEORITIS

A.     Permasalahan Gender
1.       Pengertian
Gender adalah seperangkat peran yang diperuntuk untuk laki-laki dan perempuan yang disosialisikan melalui proses sosial budaya. Gender adalah atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan dan laki-laki. Hal itu berkaitan dengan harapan dan pikiran   masyarakat   tentang   bagaimana   seharusnya   menjadi   laki-laki  dan perempuan (Alimi, 2002). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kasar, kuat, perkasa, dan jantan (Fakih, 1999). Gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996).

2.         Bentuk Bias Gender pada Ayat-ayat Quran tentang Perempuan dan Laki-laki

Jenis bias gender yang terdapat pada ayat-ayat tentang laki-laki dan perempuan adalah: (1) dominasi laki-laki, (2) kekerasan, dan (3) pelabelan negatif.

3.         Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender

Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:

a)  Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
b. Subordinasi
Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi   terhadap   perempuan.   Anggapan   bahwa   perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki- laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)

4.       Bias Gender dalam Bahasa Arab

Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung  bias gender yang berpengaruh pada proses tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.

B.   Perspektif Hak Asasi Manusia Untuk Perempuan

1.   Hak Asasi Manusia Untuk Perempuan
Convention on the Political Rights of Woman’ yang diratifikasi dengan UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan pula dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain seperti: Convention on the Rights of Child (CRC); The Vienna Declarationand Programme of Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa“hak asasi manusia Perempuan/perempuan merupakan bagian integral yang tak  terpisahkan dari hak asasi manusia; ‘Beijing Declaration and Platformfor Action’ (1995); Declaration on the Protection of Woman and Children in Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to Marriage, minimum Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian tentang Persamaan pembayaran Gaji Bagi Perempuan dan Pria untuk Pekerjaan yang Sama, di Jenewa (diratifikasi dengan UU No.80 tahun 1957).


2.   HAM Perempuan dalam Dimensi Kultur dan Hukum

Pentingnya untuk tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa atau masyarakat dalam penerapan HAM, nampak pada contoh sebagai berikut:
The Jakarta Message (1992), butir 18 antara lain menegaskan bahwa:
1.        No country however, should use its power dictate its concept of democracy and human rights or impose conditionalities on others..”.
2.        Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan oleh ‘Asean Inter Parliamentary Organization’ (AIPO) antara lain menegaskan:
3.        the peoples of Asean accept that human rights exist in a dynamic and envolving context and that each country has inherent historical experiences, and changing economic, social, political and cultural realities and value system which should be taken into account”.
4.        Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia  yang menyatakan bahwa: “while human rights are universal in nature, they  must  be  considered  in  the  context  of  a  dynamic  and   evolving process of international normsetting, bearing in mind the significance of national and regional peculiaritiers and various historical, cultural and religious backgrounds.”
5.        Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang merumuskan bahwa:
6.        All human rights are universal, indivisible and interdependent  andinterr elated While the significant of national and regional particularities and various historical, cultural and religious background must be borne in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.”

Implementasinya masih harus menuntut perjuangan secara berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak sekedar melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya. Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji dari Pasal 1 ‘Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman’ (1979) yang menyatakan bahwa: “For the purpose of the present convention, the term “discrimination against woman” shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by woman, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field”.
Secara universal diskriminasi diidentifikasikan sebagai praktekpraktek yang meliputi; aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih untuk memperbaiki rasio laki-laki dan Perempuan (China, India dan Korea Utara); pembunuhan  bayi Perempuan (India Selatan); penyunatan yang sangat kejam (Afrika); diskriminasikesehatan terhadap anak-anak Perempuan (Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan perkosaan; pelacuran anak-anak; diskriminasi Perempuan di bidang penguasaan hak pekerjaan, pendidikan, upah, perlindungan kerja; dan sebagainya.
Kemudian dalam Fourth World Conference on Woman di Beijing tanggal 4- 15 September 1995, diidentifikasikan beberapa “wilayah kritis” yang berkaitan dengan Perempuan dan harus secara berkelanjutan diperjuangkan, meliputi; Perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi Perempuan, Perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap Perempuan, Perempuan dan konflik bersenjata, Perempuan dan ekonomi, Perempuan dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, mekanisme kelembagaan bagi  peningkatan  Perempuan; hak asasi Perempuan; Perempuan dan lingkungan, dan termasuk Perempuan yang masih anak-anak.


B. Gender: Dikotomi Sifat, Peran dan Posisi
Gender secara leksikon merupakan identitas atau penggolongan gramatikal yang berfungsi mengklasifikasikan suatu benda pada kelompok-kelompoknya. Penggolongan ini secara garis besar berhubungan dengan dua jenis kelamin, masing-masing sering diru- muskan dengan kategori feminin dan maskulin.
Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai perbedaan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dengan perbedaan seksual. Perbedaan yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, teknologi, media massa, mode, pendidikan, profesi, alat- alat produksi, dan alat-alat rumah tangga.[3]
Gender sendiri sebenarnya memiliki definisi terminologis yang variatif, namun demikian sesungguhnya ia saling melengkapi. Selain itu, pembatasannya juga lebih banyak terkait dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.[4] Menurut Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi lain, Lerner (1986) mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin  pada suatu masyarakat yang dilaksanakan pada waktu tertentu.[5]
H.T. Wilson dalam bukunya Sex and Gender menyatakan bahwa gender adalah suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang menyebabkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.[6] Definisi ini kiranya kurang tepat sebab hanya melihat gender dari sisi sumbangannya terhadap kebudayaan. Artinya, disparitas antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh seberapa besar sumbangannya bagi kebudayaan masyarakat.
Save M. Dagun telah melakukan kajian mendalam tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif fisiologi, psikologi, seksual, karier, dan masa depan. Menurutnya, secara fisik-natural, laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan yang sangat menonjol, yakni menyangkut alat kelamin dan tanda-tanda fisikal lainnya. Laki-laki, misalnya, tidak memiliki payudara (yang besar), sedangkan perempuan memilikinya; laki-laki tidak memiliki rahim sebagai tempat pembuahan manusia, sementara perempuan memili- kinya karena perempuan memang secara kodrati ditakdirkan untuk mengandung dan melahirkan; laki-laki memiliki sperma sementara perempuan memiliki sel telur.[7]
Secara psikologis, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dilihat dari sifat  yang dimiliki oleh    keduanya.
Ada aspek dominan pada laki-laki dan ada aspek dominan pada perempuan. Perbedaan tersebut terdiri dari aspek agresivitas, emosi, kompetisi, dan ambisinya. Laki-laki cenderung lebih agresif daripada perempuan. Perempuan cenderung emosional, sementara laki-laki cenderung rasional. Perempuan tidak suka kompetitif, sementara laki- laki cenderung kompetitif.
Dalam memahami makna gender, ada juga yang melihatnya dari perspektif perbedaan fisikal antara laki-laki dan perempuan, namun ada juga yang melihatnya dari sisi budaya. Dari segi fisikal, sebagaimana diuraikan di atas memang sangat kentara perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, membedakan antara laki-laki dengan perempuan hanya dari sisi fisikal saja tentu tidak cukup sebab ada seseorang yang secara fisikal menunjukkan indikator kelaki-lakian atau keperempuanan, namun secara psikologis atau kejiwaan ternyata sebaliknya. Inilah yang dalam konsep ilmu sosial sering disebut sebagai the third sex (gender ketiga).[8]
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ternyata tidak sekadar fisikal belaka, tetapi juga psikologikal. Ada juga orang yang secara fisikal laki-laki, namun kejiwaannya perempuan dan begitu juga sebaliknya. Inilah yang disebut transeksual. Dari kecenderungan itu kemudian muncul istilah lesbian (perempuan yang menyukai perempuan) dan homoseksual (laki-laki yang menyukai laki-laki).[9]
Perbedaan antara laki-laki perempuan juga terkait dengan budaya. Perbedaan ini biasanya dikaitkan dengan bagaimana konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan sumbangan laki-laki atau perempuan di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Inilah yang sering menyebabkan adanya perbedaan gender yang kurang simpatik. Di dalam dunia kerja, misalnya, muncul konsep kerja perempuan yang bercorak domestik dan kerja laki-laki yang bercorak publik. Di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya juga sering menghasilkan pandangan bahwa perempuan adalah warga negara kelas dua sehingga dalam banyak hal, perempuan tidak dilibatkan di dalam persoalan ekonomi, politik, dan budaya. Konstruksi sosial tersebut telah memicu lahirnya gerakan kesetaraan gender sebagai akibat dari adanya gender differentiation, gender inequality, dan gender oppression.
Dengan melihat penjelasan di depan maka tampak bahwa gender merupakan suatu pengertian yang khas bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan ditinjau dari berbagai macam aspek maupun dimensi, baik waktu, tempat, kultur, bangsa, alat, tugas, peradaban, verbalisasi, persepsi, maupun aspirasi. Seseorang yang dilahirkan sebagai laki-laki ataupun perempuan keberadaannya akan berbeda- beda dalam waktu, tempat, kultur, bangsa, maupun peradaban. Gender, sebagaimana teori yang dikemukakan di atas, juga melahirkan atau memunculkan dikotomi sifat, peran, dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Bates berpendapat bahwa gender merupakan interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemisahan antara ruang gerak domestik materiil dalam keluarga dan ruang gerak publik di mana laki-laki menjadi  aktor utamanya.  Sifat, peran, dan posisi tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya dan sulit untuk dipisahkan secara tegas.
Dengan demikian, gender adalah persoalan nature dan nurture. Dari aspek nature, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga dari sisi nurture. Hanya saja, jika yang natural  bercorak kodrati (taken for granted), maka yang nurture merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat tentang perbedaan laki- laki dan perempuan.

C.     Gender sebagai Gerakan
Di sini, gender dalam pengertian sebagai gerakan keperem- puanan (feminis). Wilayah ini menjadi garapan pegiat feminis yang biasanya membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) atau organisasi, baik mandiri ataupun berafiliasi dengan  ormas  tertentu atau dengan lembaga-lembaga pemerintah. Kegiatan yang dilakukan, pada umumnya mengambil salah satu atau beberapa dari bidang berikut ini: penelitian, penyuluhan, produksi ide, gerakan untuk kesehatan reproduksi, advokasi atas kekerasan perempuan, pelatihan- pelatihan, peningkatan pendidikan, dan lain-lain. Meski terkadang tampak memiliki kesamaan bidang kegiatan, namun LSM Feminis ternyata terdiri dari beberapa karakter, bisa dikatakan, tergantung pada ‘basis ideologi’ yang dianut. Ada sejumlah aliran besar feminisme yang selama ini menjadi kiblat LSM-LSM itu, yaitu: aliran feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal, dan feminisme sosialis.[10]
Feminisme liberal, dalam perjuangannya menekankan pada hak- hak sipil kaum perempuan. Aliran ini juga memandang bahwa kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Lalu feminisme kultural yang juga disebut feminisme reformatif dan feminisme romantis. Aliran ini lebih mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan,  seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme  radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Sedangkan, feminisme sosialis menekankan perhatiannya pada persoalan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global.
Di samping itu, terdapat beberapa aliran baru yang cukup berpengaruh, seperti feminis spiritualis, ekofeminis, dan lain-lain. Feminis spiritualis sebenarnya merupakan peneguhan pandangan kaum feminis radikal. Menurut mereka, spiritualis itu bersifat eksperiensial (berbasis pengalaman), ia bukanlah teori abstrak melainkan realitas yang dihidupi secara personal. Pertumbuhan spiritualitas feminis tidak terjadi secara gaib, tetapi berproses secara sadar dan oleh karena itu melalui pergumulan pada setiap pribadi. Sedang ekofeminis mengkaitkan keprihatinan perempuan atas gencarnya pembangunan namun merusak lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam.
Untuk kasus Indonesia, sebagaimana beberapa pengamat  gender,   aliran   yang   paling   dominan   adalah   feminisme   liberal. Dominasi aliran ini seiring dengan gejala liberalisasi global,  yang akan memberi kesempatan untuk perdagangan bebas. Jika dirunut lebih jauh, liberalisasi ini merupakan bagian dari paham kapitalisme. Peningkatan peran perempuan pada berbagai sektor,  berarti menambah peluang pasar.
Kapitalisme, ideologi besar ini yang selalu bersaing dengan sosialis-Marxis. Bagi orang-orang Marxis, terdapat asumsi jika keadilan sudah diwujudkan dalam masyarakat, apalagi masyarakat tanpa kelas, maka dengan sendirinya semua masalah yang dimunculkan akibat ketidaksetaraan akan teratasi. Classless society akan memunculkan genderless society. Demikian kira-kira cara berpikir feminisme Marxis.








Berikut ini penulis tampilkan gambaran tentang Teori Ketidaksamaan menurut jenis kelamin sebagaimana diungkapkan oleh Stephen K. Sanderson23:
Tabel
Teori-Teori Ketidaksamaan Menurut Jenis Kelamin
Teori
Karakteristik
Evaluasi
Teori-teori sosiologis
Memfokuskan kekepada sebuah ciri-ciri ketidaksetaraan jenis kelamin. Monopoli pria atas politik, urusan perang, dan posisi hingga berstatus yang menjadi tingginya dalam masyarakat berakar dalam sel lembaga (gene) yang dikembangkan jutaan tahun lalu oleh nenek moyang kita. Inklinasi kaum wanita ke arah peranan pengasuhan juga dipandang berakar secara biologis.
Banyak bukti yang terkumpul sekarang ini. Untuk menunjukkan semacam validitas. Terhadap banyak tuntutan sosiobiologis. Akan tetapi, teori-teori itu hanya relevan untuk menjelaskan ciri-ciri ketidaksamaan jenis kelamin yang universal (atau sekurang-kurangnya tersebarluas). Teori-teorinya itu tidak akan dapat menjelaskan variasi yang penting dalam sebuah pola-pola ketidak
samaan kelamin.
Teori-teori Marx
Menekankan pembagian kelas dan pola eksploitasi ekonomi sebagai dasar untuk memahami subordinasi kaum wanita. Versievolusi jangka panjang menekankan kemunduran evolusioner dalam status kaum wanita dan melihatnya sebagai akibat dari pertumbuhan hak milik pribadi, produksi untuk tukar-menukar, stratifikasi kelas. Versi-versi yang hanya memfokuskan kepada kapitalis memodern melihat subordinasi kaum wanita sebagai berasaldari kebutuhan kapitalisme akan suatu angkatan kerja yang
dapat dieksploitir.
Berada pada jalur yang benar dalam melihat suatu kaitan umum diantara cara produksi ekonomi dan statuskaum wanita, tetapi bersifat miring dalam menghubungkan penjelasan tentang subordinasi wanitadengan stratifikasi dan perjuangan kelas.
Mencapai penjelasan yang terbaik mengenai variasi-variasi dan lintas budaya kedalam sebuah pola-pola ketidaksetaraan berdasarkan jenis kelamin. Lebih unggul dari teori-teori Marx dalam memperlihatkan bagaimana stratifikasi kelas dan ketidaksetaraan jenis kelamin sebagian besar merupakan fenomena yang independen.
Teori-teori Materialis
Non-Marx
Mengaitkan hubungan-hubungan diantara jenis-jenis kelamin dengan kondisi-kondisi teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi khusus. Dimana kondisi-kondisi itu menghendaki partisipasi besar kaum wanita dalam produksi ekonomi dan tingkat kekuasaan  ekonomi bagi kaum wanita, maka kaum wanita (hawa) akan cenderung untuk mempunyai status yang relatif tinggi. Kalau tidak, mereka akan cenderung untuk sangat tersubordinasi kepada kaum pria.

Teori-teori politik
Memandang dominasi pria sebagai hasil sampingan perang dan sebagainya.
Tidak cukup sebagai penjelasan.

Gerakan feminisme muncul sekitar abad XIX dan awal abad XXM. di Amerika. Gerakan ini difokuskan pada suatu isu, yakni untuk mendapatkan hak memilih (the right to vote). Setelah hak untuk memilih diberikan pada 1920, gerakan feminisme pun tenggelam. Kedudukan perempuan hingga tahun 1950-an tidak pernah digugat. Oleh karena itu, perempuan yang dianggap ideal adalah apabila ia berperan sebagai ibu rumah tangga. Pada periode ini, sesungguhnya sudah banyak perempuan yang aktif bekerja di luar rumah.[11]

Pada tahun 1960-an, saat gerakan-gerakan liberal muncul dan terutama setelah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine Mystique (1963), gerakan feminisme menuai zamannya. Gerakan feminisme menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat karena ia memberikan kesadaran  baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa peran tradisional perempuan ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, yakni peran subordinasi.26

  

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.     Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan pada dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah yang diangkat.

B.      Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan model grounded research yang mendasarkan analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan, bukan melalui ide atau teori yang ada sebelumnya yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang di peroleh secara sistematik dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan (Atho’ Mudzhar, 1998: 47).
Data diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen cetak dan peristiwa-peristiwa lainnya tertulis maupun tidak tertulis serta informan yaitu kyai, ustadz, santri, alumni dan tokoh terkait, formal maupun informal.
Pengumpulan datanya dilakukan dengan cara riset kepustakaan,  yaitu pengumpulan data referensi-referensi tertulis, meliputi buku-buku tentang pesantren, pendidikan Islam pada umumnya dan dokumen tertulis yang berkaitan dengan topik penelitian.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.   Analisis Pandangan Al Qur-an Tentang Perempuan
1.    Peran Perempuan Menurut Persfektif Al Quran
Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan etis Al-Quran tentang perempuan dalam persfektif Islam, maka yang harus dilakukan adalah dengan membiarkan Al-Quran menafsirkan dan membicarakan tersebut dengan menggunakan perspektif sendiri. Dengan cara ini, maka kita akan bisa menarik garis demarkasi yang tegas antara batas perspektif Al-Quran dengan batas bias budaya melindunginya. Sehingga tidak samar lagi antara perspektif Al-Quran tentang “Islam” yang sesungguhnya dengan "Islam" yang ter-Arab-kan; di mana dalam konteks konstruksi gender telah memberikan tafsir yang patriarkal dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Dalam kaitan ini, Muhsin (2001) melalui bukunya, Qur'an and Woman, Rereading the Sacred Text From a Woman's Perspective berusaha untuk menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana posisi perempuan dalam kultur Muslim telah benar-benar menggambarkan maksud Islam itu sendiri mengenai keberadaan perempuan dalam struktur sosial. la percaya bahwa Al-Quran sesungguhnya bisa digunakan sebagai kriteria untuk menguji apakah status perempuan dalam masyarakat Muslim sesungguhnya dapat dikatakan sudah Islami. Karenanya, dia menggugat penafsiran-penafsiran Al-Quran yang selama ini sangat terikat oleh nuansa androsentris dan tradisi Arab-Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad sehingga berakibat mendistorsikan peran dan posisi kaum perempuan. Padahal dari hasil kajiannya menunjukkan bahwa banyak sekali ayat Al-Quran yang memprotes kesetaraan derajat perempuan terhadap laki-laki.
Peran kaum perempuan yang dibicarakan dalam Al-Quran masuk ke dalam salah satu dari 3 kategori yang diklasifikasikan oleh Muchsin yaitu pertama, peran yang menggambarkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana si perempuan tinggal, tanpa pujian atau kritik sekalipun dari Al-Quran. Kedua, peran  yang memainkan  fungsi  keperempuanan  yang secara universal diterima (yaitu mengasuh atau merawat), dengan beberapa pengecualian atau bahkan telah diberikan dalam Al-Quran sendiri. Ketiga, peran yang memainkan fungsi spesifik non-gender, yakni peran yang menggambarkan usaha manusia di muka bumi dan disebutkan dalam Al-Quran untuk menunjukkan fungsi spesifik ini, bukan untuk menunjukkan jenis kelamin pelakunya, yang kebetulan seorang perempuan.
Kita harus memahami bahwa ada statemen yang bersifat normatif dan juga bersifat kontekstual di dalam Al-Quran. Syariah dalam Islam bersumber pada Al-Quran dan Sunnah; dan keduanya mengandung dua unsur penting : unsur normatif dan unsur kontekstual. Al-Quran diwahyukan bagi seluruh umat dan untuk sepanjang zaman. Namun, untuk dapat diterima orang pada waktu itu Al- Quran mengandung hal-hal yang mempunyai makna penting bagi mereka. Karena itulah, Kitab Suci juga memuat kandungan yang berasal dari sejarah kebudayan dan tradisi. Inilah yang oleh Engineer (2000) dikatakan dengan sifat kontekstualnya. Di samping itu, Al-Quran mempunyai kandungan yang bersifat transendental, yang meletakkan norma bagi perilaku keseharian manusia dan memberikan arahan untuk kehidupan akhirat.
Sejauh menyangkut masalah perempuan, pengaruh kebudayaan dan tradisi cenderung sangat kuat. Al-Quran, tak diragukan lagi, memberikan banyak sekali hak kepada perempuan dan menguraikannya secara rinci. Al-Quran, bagi Engineer, adalah kitab suci pertama yang telah menyatakan begitu banyak hak bagi perempuan, justru pada masa di mana perempuan sangat tertindas di dalam peradaban-peradaban besar, yaitu Bizantium, Sasanid dan lain-lain. Engineer menyayangkan, bahwa kita melihat pada masa para fuqaha mengambil banyak dari adat (tradisi) Arab pra-Islam, sehingga melahirkan rumusan-rumusan yang membatasi jika tidak dikatakan menginjak-injak hak-hak perempuan. Padahal menurutnya, Al-Quran tidak pernah bermaksud mengenakan pembatasan- pembatasan yang tidak semestinya terhadap gerak-gerik perempuan, juga tidak menuntut mereka untuk menutup seluruh muka ketika keluar rumah. Namun para fuqaha terkemuka, meski terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang ayat dan Sunnah tertentu, menuntut perempuan agar tidak keluar  rumah mereka terkecuali dalam keadaan mendesak, dan itu pun dengan menutup wajah mereka. Ini jelas menunjukkan bagaimana hak-hak yang telah diberikan Al- Quran ditiadakan oleh para fuqaha karena mempertimbangkan situasi mereka. Namun, sayangnya, ketetapan-ketetapan syariah tersebut dipaksakan juga ketika konteksnya sudah berubah.

2.       Kesetaraan dalam Al Quran

Ada beberapa alasan munculnya dorongan Al-Quran ke arah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Pertama, Al-Quran memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia, yang meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua, secara norma-etis Al-Quran membela prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Perbedaan struktur biologis, menurut Al-Quran, tidak berarti ketidaksetaraan dan status yang didasarkan pada jenis kelamin. Menurutnya, kita harus membedakan antara fungsi-fungsi biologis dengan fungsi-fungsi sosial.
Meskipun demikian, Al-Quran memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ayat seperti ini, Enginner menyarankan, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, Al-Quran pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab Suci yang bisa efektif jika mengabaikan konteksnya sama sekali.
Al-Quran, untuk tidak meninggalkan keraguan mengenai individualitas perempuan, menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki akan dinilai berdasarkan amal perbuatannya. Jika perempuan menjalankan amal keagamaan, demikian pula dalam kiprah sosialnya, mereka akan diberi ganjaran sebagaimana seharusnya, dan jika laki-laki melakukannya dia pun akan mendapatkan balasan yang setimpal (QS. Al Ahzab (33): 35). Al-Quran sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal apapun.
Keduanya “akan mendapat ganjaran” atas amal  keagamaan dan keduniaan. Dengan demikian, dalam pencipta-anpun, perempuan menurut Al- Quran, sama sekali tidak lebih rendah dari laki-laki. Dengan demikian, adalah benar-benar sah berpendapat bahwa hak-hak perempuan dalam Islam telah dilindungi dengan baik. Kecuali dalam beberapa persoalan yang  tidak  mendasar, Al-Quran mengakui perempuan tidak berbeda banyak dengan laki- laki. Bagaimanapun juga, pernyataan yang nampak begitu meremehkan perempuan lebih bersifat kontekstual dan bukan normatif, dan harus dilihat secara demikian.
Tidak diragukan lagi Al-Quran memandang laki-laki dan perempuan dalam berbagai terminologi kesetaraan sebagai makhluk manusia dalam berbagai hal. Keseluruhan spirit Islam secara umum sangat menegaskan kesetaraan kedua jenis seks tersebut baik dalam status, posisi dan nilai. Mereka adalah sama-sama makhluk Allah, dengan nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa, dan, karenanya, maka tentu saja mereka memiliki status dan nilai yang sama sebagai manusia dalam masyarakat. Bukanlah suatu alasan yang mendasar untuk membedakan keduanya hanya karena mereka yang satu adalah perempuan dan yang satu lagi adalah laki-laki.
Sementara itu menurut Jawad (1998), Islam telah memberikan suatu jaminan yang tegas dan pasti kepada kaum perempuan baik dalam peran sosial, hak-hak politik dan ekonomi, pendidikan dan pelatihan, maupun kesem-patan- kesempatan kerja. Untuk memproteksi hak-hak mereka tersebut dari penyalahgunaan oleh kaum laki-laki, Islam telah menyediakan rumusan hukum yang melindungi. Secara teoritis, perempuan dalam Islam diberikan beberapa hak, antara lain :
1)   Hak independensi kepemilikan : hal ini meliputi hak mengelola keuangan dan propertinya secara independen. Prinsip Al-Quran juga memberikan pengetahuan dan sekaligus mengokohkan hak kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya.
2)   Hak memelihara identitas diri : kaum perempuan dalam Islam selalu dilindungi secara hukum untuk menggunakan nama keluarganya, dan bukan nama suaminya. Sebab itu ia selalu dikenal dengan nama keluarga dan hal ini
3)   sebagai indikasi dari persoalan identitas dirinya. Jadi, dalam Islam tidak ada proses perubahan nama dari kaum perempuan baik sesudah ia menikah, bercerai ataupun menjanda.
4)   Hak pendidikan: Al-Quran dan Sunnah telah mengadvokasikan tentang hak- hak perempuan dan laki-laki untuk sama-sama mencari ilmu pengetahuan. Al- Quran memerintahkan semua umat Islam untuk berupaya keras dalam mencari pengetahuan tanpa membedakan jenis kelamin.
5)   Hak berpartisipasi dalam politik dan peristiwa-peristiwa publik: Islam sesungguhnya sangat mendorong kaum perempuan untuk aktif secara politik  dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri, mengajukan argumentasi, dan menyampaikan pemikirannya pada publik. Mereka dipercayai menjadi delegasi, mediator, dan mendapatkan hak perlin-dungan proteksi.
6)   Hak mendapatkan respek : Islam memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki sebagai manusia. Sebab itu, Islam sangat menekankan adanya saling memahami dan respek antara keduanya. Dalam pandangan Islam seorang perempuan adalah individu yang terhormat dan patut mendapatkan respek, makhluk yang independen, makhluk sosial, dan makhluk berbakat, sebagaimana kaum laki-laki, yang memiliki hati, jiwa dan intelektualitas serta memiliki hak- hak yang secara fundamental untuk mengartiku-lasikan kemampuan dan ketrampilannya di setiap sektor aktivitas umat manusia.

2. HAM Perempuan dalam Kajian Qur-an

Hasil penelitian yang dikemukanan dalam buku Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Umar menunjukkan bahwa Al-Quran cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan kesadaran bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak dirinci di dalam Al-Quran maka hal ini menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik. Dalam pandangannya,  Al-Quran  tidak  memberikan  beban  gender  secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik dalam sektor domestik maupun sektor publik.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Mukhtasar (1999) menunjukkan bahwa dalam teologi feminisme menolak misalnya penafsiran bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa sebagai seorang teolog feminis Islam, Hassan menolak penafsiran beberapa ayat dalam Al-Quran yang secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari dan untuk laki-laki sebab pernyataan ini berimplikasi pada relasi perempuan-laki-laki secara timpang, bahkan mengukuhkan pandangan bahwa perempuan adalah makhluk nomor dua. Bagaimana konsekuensi pandangan Hassan terhadap masalah kepemimpinan perempuan, penelitian tersebut belum secara tegas dan eksplisit memberi penjelasan.
Sementara peneliti lain, Syamsuddin (1998) membuktikan bahwa  sepanjang sejarah, perempuan distereotipkan memiliki kedudukan lebih rendah dari pada laki-laki, bahkan dianggap sebagai subordinat kaum laki-laki. Stereotip ini senantiasa muncul dan dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat, terkecuali dalam masyarakat matrilinial yang jumlahnya hanya sedikit. Dalam tradisi fiqh, sebagian ulama juga cenderung menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Namun di kalangan modernis Islam belakangan muncul suatu kesadaran bahwa Al-Quran memberikan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Pernyataan Al-Quran dalam surah An-Nisa (4): 34 yang seolah-olah membedakan status laki-laki dan perempuan semestinya tidak dipahami secara literal-normatif semata namun juga perlu dipahami secara kontekstual- historikal. Kesadaran akan kese-taraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan pada gilirannya akan melahirkan kesadaraan akan keseimbangan tanggung jawab dalam berbagai tugas domestik dan publik keduanya, yang pada tahap selanjutnya akan menciptakan dan menegakkan prinsip keadilaan, yang menurut  Fakih  (1999),  merupakan  inti  dari  ajaran  setiap  agama.  Al-Quran, menurutnya, mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik dan kultural termasuk keadilan gender. Karena itu, diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama yang bersifat prinsipil yang mesti membutuhkan analisis sosial.

BAB V
PENUTUP

KESIMPULAN

Hak Asasi manusia berkaitan dengan perempuan menutut AI-Quran  sebagai ditonjolkan dalam bentuk memberikan prinsip-prinsip  kesetaraan  antara laki-laki dan perempuan, baik dalam peran domestik maupun peran publiknya. Karenanya, bimbingan Al-Quran secara logis dan wajar dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia di era apapun, apabila penafsiran Al- Quran dilakukan terus-menerus oleh setiap generasi dengan tetap merefleksikan tujuannya secara utuh dan holistik, terutama dalam etika universal dan kosmo- politannya, seperti tentang spirit keadilan dan kesetaraan bagi setiap umat manusia, tanpa harus terdemarkasi oleh atribut seks, laki-laki dan perempuan.
Hak-hak perempuan dalam dimensi masyarakat seharusnya mulai dirubah, untuk memberikan jaln terhadap hak perempuan yang sejalan dengan konsep yang dikembangkan menurut Al Qur-an. Selain itu juga penafsiran tentang hak asasi manusia yang termaktub dalam Al qur-an penafirannya harus diluruskan sehingga tidak terlalu banyak merugikan perempuan, paling tidak kesetaraan harus muncul  dalam membuat tafsiran.

SARAN

Kekeliruan dalam membuat rumusan tentang persepsi perempuan selama ini telah mempengaruhi setiap kehidupan laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sudah saatnya, saya kira, untuk mencoba merumuskan kembali kekeliruan yang muncul, sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan penindasan terhadap hak-hak perempuan termasuk dalam hak kehidupan mereka. Sekaranglah saatnya kita untuk mendorong dan mendukung cita-cita yang  luas dalam partisipasi laki-laki dan perempuan yang  mampu: menyeimbangkan kontribusi maksimal mereka kepada keluarga maupun masyarakat..

DAFTAR PUSTAKA

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Moh. Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006),

Nur Syam, Gender, Budaya, dan Seksualitas, dalam Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental (Yogyakarta: LKiS bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Press Surabaya, 2010)

Siti R. Dzuhayatin, Agama dan Budaya Perempuan: Mempertanyakan Posisi Perempuan dalam Islam, dalam Sangkan Paran Gender, ed. Irwan Abdullah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Tri Ardaniah, Perspektif Gender Sebagai Alternatif Penyusunan Program Pembangunan Berkelanjutan, Argapura, Vol. 13 No. 1/2. 1993

H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization

(Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1982)

Save M. Dagun, Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria dan Wanita dalam Fisiologi, Psikologis, Seksual, Karir, dan Masa Depan (Jakarta:  Rineka Cipta, 1992)

 Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKiS, 2004)

Anang Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997



[1] Moh. Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 275.
[2] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 23
[3] Siti R. Dzuhayatin, Agama dan Budaya Perempuan:  Mempertanyakan
Posisi Perempuan dalam Islam, dalam Sangkan Paran Gender, ed. Irwan Abdullah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 11.
[4] Nur Syam, Gender, Budaya, dan Seksualitas, dalam Agama Pelacur: Dramaturgi Transendental (Yogyakarta: LKiS bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Press Surabaya, 2010), h. 13.
[5] Lihat Tri Ardaniah, Perspektif Gender Sebagai Alternatif Penyusunan Program Pembangunan Berkelanjutan, Argapura, Vol. 13 No. 1/2. 1993, h. 36.
[6] H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization
(Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1982), h. 2.
[7] Save M. Dagun, Maskulin dan Feminin: Perbedaan Pria dan Wanita
dalam Fisiologi, Psikologis, Seksual, Karir, dan Masa Depan (Jakarta:  Rineka Cipta, 1992), h. 6-7.
[8]  Konsep The Third Sex dikenalkan oleh Gilbert Hert. Ia bermakna jenis seks selain laki-laki dan perempuan. Periksa Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. xv.
[9] Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 34
[10]   Menurut kaum feminis, budaya patriarki ada di  segala  bidang kehidupan, oleh karena itu untuk mentransformasikannya diperlukan pelbagai strategi. Maka keragaman model dan aliran feminisme merupakan sumbangan tersendiri untuk transformasi itu. Lihat Carol P. Chist & Plaskow Judith (eds.), Woman Spirit Rising (New York: Harper & Row, 1979), h. 15.
[11] Anang Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997, h. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar