Rabu, 29 November 2017

MAKALAH PEMAHMAAN WAHDAD AL WUJU DAN INSAN KAMIL

MAKALAH PEMAHMAAN WAHDAD AL WUJU
DAN INSAN KAMIL

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas. Ilmu tasawuf tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu batin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam menjelaskan hadis Nabi: ‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atau ilmu bahin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.[1]
Secara historis, tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah suci, maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf. Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara.
Bertolak dari hal di atas, dalam aplikasinya, tasawuf memiliki beragam corak konsep dan pemahaman, salah satunya adalah wahdatul wujud. Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdah dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdahtul wujud berarti kesatuan wujud. Dalam bahasa inggris unity of existence.
Akibat dari keragaman itu, wahdatul wujud menjadi istilah kontroversial diantara kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadis Nabi Saw disebut sebagai ihsan.[2]
Berangkat dari permasalahan di atas, dalam makalah ini penulis ingin membahas lebih lanjut tentang Wahdad Al Wuju dan Insan Kamil untuk memberikan gambaran yang terang dan jelas tentang tasawuf itu. Dalam hal ini penulis rangkum dalam sebuah judul “Pemahmaan Wahdad Al Wuju dan Insan Kamil

BAB II
PEMBAHASAN
A.  WAHDAT AL-WUJUD
1.      Pengertian
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi¬kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.[3] Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.[4]
2.      Faham Wahdat Al-Wujud
Faham wahdat al-wujud yang dikemukakan oleh Ibn’Arabi dapat dijelaskan seperti berikut: bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah Satu, walaupun ada banyak macam penampakan keluarnya. Artinya,bahwa makhluq adalah aspek lahirnya, sedangkan aspek batin dari segala sesuatu ini adalah Allah.Dengan demikian, dari segi hakekat tidak ada perbedaan antara Khaliq dan makhluq.Jika terlihat perbedaan antara khaliq dan makhluq maka itu karena dilihat dengan pandangan panca indra lahir dank arena keterbatasanakal dalam menangkap hakikat yang ada Dzatnya dari kesatuan  dzatiyah,yang semua yang ada terhimpun pada-Nya.
Faham wahdat al- wujud dilihat sebagai faham yang mempersamakan Tuhan dengan makhluk yang terang bertentangan dengan perintah Tuhan untuk tidak mempersamakan-Nya dengan suatu apapun juga. Disamping itu,konsep ini juga telah melahirkan penjelasan- penjelasan ( konsep- konsep) yang secara jelas bertentangan dengan ayat- ayat Al- Qur’an. Diantara konsep- konsep tersebut adalah:
a.       Fir,aun dilihat sebagai mukmin yang sempurna imannya.
b.      seluruh orang kafir yang ada dimuka bumi dikatakan sebagai sebagai mukmin yang bertauhid, bermakrifat dan mencapai tuhan.
c.       Nabi Harun dipandang bersalah karena melarang bani Israel menyembah patung anak sapi, sebab patung anak sapi itu adalah salah satu bentuk sesembahan Yang Haq.
d.      konsep pahala dan dosa tidak jelas yang berakibat pada kerusakan moral.
e.       Semua agama diyakini sama.
Firaun dikatakan mukmin yang sempurna  imannya. Firaun adalah orang yang beriman dan bermakrifat karena ia mengetahui hakikat kebenaran bahwa semua manusia dan ala m ini adalah Tuhan-Tuhan sekaligus makhluq pada waktu yang sama.Karena dia seorang mukmin maka kelak ia akan masuk surga. Dalam konteks ini, Nabi Musa pula dituding sebagai orang yang tidak bermakrifat (berpengetahuan), Karena ia hanya mengetahui satu dimensi saja,ia tidak mengerti bahwa dia sendiri dan alam adalah Tuhan dan makhluq pada waktu yang sama.

Pemahaman seperti ini jelas bertentangan dengan firman Allah SWT berikut:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ (٩٦) إِلَى فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَاتَّبَعُوا أَمْرَ فِرْعَوْنَ وَمَا أَمْرُ فِرْعَوْنَ بِرَشِيدٍ (٩٧) يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ (٩٨)وَأُتْبِعُوا فِي هَذِهِ لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ بِئْسَ الرِّفْدُ الْمَرْفُودُ (٩٩

Artinya :
96.  Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan bukti yang nyata,
97.  Kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, tetapi mereka mengikut perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun bukanlah (perintah) yang benar.
98.  Dia (Fir’aun) berjalan di depan kaumnya di hari kiamat lalu membawa mereka masuk ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang dimasuki.
99.  Dan mereka diikuti dengan laknat di sini (dunia) dan (begitu pula) pada hari kiamat. (Laknat) itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.

Ada sejumlah ayat yang lain mengutuk yang isinya mengutuk Firaun, menempatkannya sebagai makhluk yang durhaka, bukan seorang mukmin, yang kelak akan dilempar ke dalam Neraka, kekal didalamnya.
1)      Semua orang kafir yang ada di muka bumi adalah orang mukmin yang bertauhid, bermakrifat dan mencapai Tuhan. Orang – orang kafir bukanlah oarng yang mengingkari Allah,tetapi orang yang mengagumkan karena menganut faham bahwa Tuhan beraneka bentuk. Di sisi lain , orang mukmin adalah orang yang yang beriman kepada sebagian dari kebenaran saja ,namun ingkar kepada sebagian yang lain.ini adalah buah dari faham wahdat al-wujud.
Faham seperti ini bertolak belakang dengan substansi ajaran Al-Quran dan sunnah rasulullah SAW. Yang membersihkan Allah dari segala yang tidak baik.Al-Quran dan sunnah tidak pernah menjelaskan bahwa substansi kejelekan ,kebejatan dan kehinaan adalah Allah.Menganggap Allah saja mempunyai anak sudah dinilai oleh Al-Quran sebagai kemungkaran yang membuat langit hampir pecah,bumi terbelah dan gunung- gunung runtuh.
Allah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩) تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ إِلا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (٩٣) لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا (٩٤) وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا  (٩٥(
Artinya :
88.  Dan mereka berkata, "Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.”
89.  Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar,
90.  Hampir saja langit pecah dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu),  
91.  Karena mereka menganggap Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.
92.  Dan tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.  
93.  Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada Allah Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.  
94.  Dia (Allah) benar-benar telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti.
95.  Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri pada hari kiamat.
2)      Nabi Harun dikatakan bersalah karena melarang Bani Israel untuk menyembah anak sapi, sedangkan patung anak sapi itu adalah salah satu bentuk- bentuk sesembahan yang Hak. Kesalahan Nabi Harun adalah karena ia tidak mengetahui kebenaran bahwa yang disembah bani Israel itu substansinya adalah Tuhan.
Dikatakan bahwa kemarahan Nabi Musa kepada Samiri (pembuat patung anak sapi) adalah dikarenakan Samiri telah membatasi Tuhan kepada anak sapi saja, sedangkan segala sesuatu adalah Tuhan. Agar Tuhan tidak terbatas kepada yang satu itu saja,maka nabi musa membakar anak sapi tersebut. Nabi Musa faham bahwa menyembah anak sapi itu adalah menyembah tuhan,sebab segala sesuatu dalah tuhan. Ini adalah penyimpangan dari apa yang dijelaskan oleh Al-Quran tentang Nabi Musa dan Nabi Harun yang kedua- duanya menyeru kepada meng-esakan Allah dan hanya mengabdi kepada-Nya.

3)      Bersumber dari faham wahdat al-wujud,konsep pahala dan dosa tidak jelas.siapa yang memberi pahala dan kepada siapa yang diberikan pada saat seseorang melakukan kebaikan atau kebajikan. Siapa yang berdosa dan kepada siapa dosa itu disandarkan pada saat seseorang melakukan pelanggaran atau kejahatan.ini menjadi sebuah pertanyaan yang besar,karena manusia itu sendiri adalah bahagianyang tidak terpisahkan dari Tuhan.
Faham seperti ini disamping mendobrak prinsip- prinsip ajaran Islam, juga dapat mengancam nilai – nilai moral umat manusia, sebab faham seperti itu pada prinsipnya tidak lagi mengenal mana mana yang baik dan mana yang buruk,mana yang benar dan mana yang salah. Bukankah semua adalah perbuatan tuhan.karena itu,didalam literature tasawuf pernah dikenal seorang tokoh sufi beraliran wahdat al-wujud,Ibn Al-Farid,yang mempunyai beberapa wanitasimpanan yang selalu ia datangi untuk berdansa dan bercumbu dengan mereka
4)      Semua agama sama. Ini adalah buah dari faham wahdat al-wujud.Karena semua bersumber dari Tuhan dan bahkan semua hakikatnya adalah Tuhan Yang Maha Benar, maka tidak ada satupun didunia ini yang tidak benar, termasuklah agama atau kepercayaan. Memandang salah satu agama saja yang benar berarti mempersempit arti kebenaran, padahal sebenarnya semua adalah kebenaran, sebabsemua adalah Tuhan Yang Maha Benar. Ini jelas bertolak belakang dengan ayat-ayat Al-Quran yang sangat banyak menerangkan mana yang benar dan mana yang salah,mana yanghak dan mana yang batil. Para Rasulpun diutus untuk mengajak kepada kepada kebenaran dan menghindari kebatilan atau kejahatan. Begitu cara ringkas kertikan-keritikan yang di tunjukkan kepada faham wahdat al-wujud dengan berbagai konsep atu ajaran yang lahir darinya.[5]


1.      Tokoh Pembawa Ajaran Wahdat al-Wujud
a.       Ibnu Arabi
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.

b.      Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi
Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut. Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang mempunyai pemahaman wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum  menilai dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, perlu diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan. Ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Berkaitan dengan tanzih  dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiin mengandung pengertian, “Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firmannya, wahua samii’ul bashiir, mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi syaiin wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis”.
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan.
Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam.
Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini menyimpang dari Islam.



B. Insan Kamil
1.    Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna.[6]
Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjuk¬kan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.[7]
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.[8]
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamak-nya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.
Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk la¬innya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Ciri-ciri manusia yang berinsan kamil:
1)        Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. De¬ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.[9]

2)        Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.[10]

3)        Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, ma¬nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
4)        Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, ka¬rena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.

5)        Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan.[11]

6)        Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya ke-seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.

2.      Tokoh Pembawa Ajaran Insan Kamil
a.    Al-Jili (1365-1417)
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.

b.    Ajaran Tasawuf Al-Jili
1)      Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin  di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33).
Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
2)      Maqamat (al-Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama  mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Maha Tinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.    Secara bahasa wahdatul wujud terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdatul wujud berarti adalah kesatuan wujud. Menurut istilah, kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata wahdat digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.

2.    Konsep wahadtul wujud Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa Allah adalah khalik bagi seluruh alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah. Inilah yang membawanya kepada suatu simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Tuhan itu sendiri.  Teori wahdatul wujud ini menegaskan bahwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensi merupakan substansi wujud Tuhan yang tunggal. Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa hakikat wujud sejati dan realita (wujud eksternal, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah Swt. Sedangkan sksistensi entitas-entitas lain mersifat metaforis. Dengan kata lain dia menganggap Tuhan sebagai satu-satunya hakikat wujud sekaligus realitas obyektif  dari keadaan.

3.    Wahdatul wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Kenyataannya bahwa dia adalah satu kesatuan wujud ini juga dapat dipahami dari sebuah hadits yang sering dikutip Ibnu ‘Arabi dalam menerangkan masalah wahdatul wujud yaitu; kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertanya. Maksud dari pernyatan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalanya pada sisinya adalah tiada. “tiada Tuhan selain Allah” artinya segala sesuatu berupa alam gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada


B.     Saran
      Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca mengetahui tentang tasawuf Wahdad Wujud dan Insan Kamil lebih rinci. Namun, dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, untuk itu kami menyarankan perbaikan di makalah-makalah selanjutnya. 


DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al Karim Bin Ibrahim Al-Jil, Al-Insan Al-Kamil fi Ma’rifah Al- Awakhir Wa Al- Awail, (Kairo:Dar Al-Fikr, tt.).
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
___________,Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali Press.
H.M. Jamil, 2007.Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada Pers.
Hamka, 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Harun Nasution, 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press.
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al Ikhlas, 1980.
______________, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ibnu ‘Arabi, Bercengkrama Bersama Kaum Sufi,   Bandung: Mizan, 2002.  
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, & Kebatinan, Jakarta: Lentera Basritama, 2004.
Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, Jilid IV Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.



[1] Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, Jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H), hal. 390.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 92. 
[3] Mahmud Yunus,Kamus Arab Indonesia (Jakarta:Hidakarya Agung, 1990),Hlm.492 dan 494.
[4] Jamil Saliba Almu’jam Al- Falsafi, Juz II (Baerut Dar Alkitab 1979),Hlm 549.
[5] Keterangan- Keterangan diatas dapat Dirujuk dalam Buku Syekh Abdur Rahman Abdul Khalik,Ibid.,H.59-70 dan Muhammad Al- Abduh dan Thariq Abdul Halim, H.107.
[6] Lihat Mahmud Yunus Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya 1990),Hlm.51 dan 387.
[7] Ibid.,Hlm.158.
[8] Ibid., Hlm.243.
[9] Azyumardi Azra, Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia: Demikian Islam Tentang Perbuatan Manusia, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafiti Pers,1987), Cet. II, Hlm. 43.
[10] Iqbal Abdur Rauf Saimima, Sekitar Filsafat Jiwa dan Manusia dari Ibnu Sina, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Ibid., Hlm.65. Lihaty Pula Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,1983.
[11] Ibid .,Hlm 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar