Jumat, 31 Maret 2017

MAKALAH KONDISI POLITIK DAN TASYRI’ PADA MASA KEMUNDURAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah  Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dinamika masyarakat yang terjadi terus-menerus itu tidak lagi ditampung dengan pengembangan pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’ –taqlid), yang masa ini sering di kenal sebagai zaman kelesuan pemikiran ( zaman kegelapan / reinasancce ).
            Derajad dan otoritas keilmuan para ulama madzhab yang telah menelurkan berbagai produk fiqih monumental ketika itu, tidak sedikit melahirkan berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik pengaruh dinamis berupa gerakan berijtihad pada satu sisi, maupun berupa pengaruh sikap puas dan merasa final dalam berijtihad pada sisi lain. Dengan kata lain, kerja keras dan keteladanan para ulama madzhab dalam berijtihad pada masanya disenyalir telah memberikan inspirasi tersendiri bagi sebagian para fuqaha pasca ulama madzhab untuk melakukan kegiatan yang sama. Namun di sisi lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka metodologis yang komperehensif dan holistik itu, tanpa terasa telah menaklukkan, melumpuhkan, dan menenggelamkan sederet kemauan dan kemampuan nalar kritis tradisi berijtihad para fuqaha pasca ulama madzhab. Lebih dari itu, kemudian mereka mengkultuskan dan mensakralkan produk-produk fiqih ulama madzhab yang mereka nilai sangat monumental itu. Sejak itulah, kerja keras sebagian para ulama muqallidun ini terbatas pada perilaku memuja-muja karya ulama madzhab, mengkultuskannya, dan bahkan berusaha menciptakan suasana yang membawa umatnya memiliki sikap panatisme madzhab yang berlebihan. Energi keilmuan mereka lebih difokuskan pada persiapan-persiapan membangun dan mengokohkan argumentasi-argumentasi logis yang dapat menjaga dan melindungi kebenaran hasil produk ijtihad para ulama madzhab tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.      Bagaimana format hukum islam pada periode kemunduran?
3.      Bagaimana aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran?

C.    TUJUAN
1.    Bagaimana kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.    Bagaimana format hukum islam pada periode kemunduran?
3.    Bagaimana aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran?
















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kondisi Politik dan Tasyri’ Pada Masa Kemunduran
            DR. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara.
            Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.
            Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.
            Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.
            Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.
            Awal kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan mereka harus selalu bertaqlid. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1.    Pergolakan politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya Negeri Islam menjadi beberapa negara kecil,6 sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.
2.    Pada fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan kodifikasi hukum Islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir sendiri di bawah seseorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain. Situasi ini menyibukkan para ulama madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan hukum yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-sunnah, dan sedikit di antara mereka yang berhasrat kembali pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kecuali hanya untuk memperkokoh madzhab yang dianutnya, walaupun harus menempuh penyimpangan dalam memahami dan menta’wilkannya. Dengan demikian tenggelamlah kepribadian seorang alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan berfikir, sehingga jadilah mereka itu sebagai pengikut atau muqallidun.
3.    Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat yang telah ada. Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh.
4.    Pada masa-masa sebelumnya, para hakim terdiri dari orang-orang yang mampu melakukan ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka, yang ditunjuk oleh penguasa. Akan tetapi, pada masa sesudahnya, hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai madzhab tertentu (sesuai madzhab penguasa) dan terputus hubungannya dari madzhab yang tidak dipakai penguasa dipengadilan. Apalagi pada saat itu diperparah oleh situasi di mana beberapa hakim yang mampu berijtihad, keputusannya acapkali menjadi sasaran kritik dan objek penentangan dari penganut madzhab-madzhab tertentu.
5.    Penutupan pintu ijtihad. Karena para ulama pada saat itu tidak mengadakan tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dari sini timbulah kekacauan dalam persoalan ijtihad. Pada akhir abad keempat hijriyah, para ulama menetapkan  tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan mufti dengan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad ulama sebelumnya. Solusi yang ditetapkan para ulama pada saat itu pada dasarnya menjawab kekacauan dengan kebekuan stagnasi dalam hukum.
            Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu lagi penyebab kebekuan  pemikiran fiqh yaitu: “Bahwasanya sudah tersebar luas di kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan mereka sudah merata penyakit saling menghasut dan egoisme (mementingkan diri sendiri ataupun kelompoknya), serta ta’ashub (fanatisme madzhab). Jika ada yang mencoba mengetuk pintu ijtihad, maka dianggap mencari kemasyhuran diri, dan jika berani berfatwa, maka akan ditentang dengan fatwa-fatwa tandingan ataupun cara-cara positif dan negatif yang lain.8

B.  Format Hukum Islam Pada Periode Kemunduran
       Zaman kejayaan umat Islam yang terbangun sebelumnya pada saat itu mulai berangsur-angsur menemukan titik kesuramannya. Kemunduran itu mulai terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak Tahun 351 H. Setelah masa imam-imam mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran, taqlid dan kebekuan. Disebut demikian karena pada zaman tersebut pudarlah semangat ijtihad, merajalelanya taqlid buta dan timbulnya kebekuan dalam studi hukum islam.
       Pada zaman itu seolah-olah pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama sudah lemah kemauannya untuk menggapai tingkatan mujtahid mutlak sebagaimana para ulama madzhab. Demikian pula semangatnya untuk kembali pada sumber-sumber hukum otoritatif, yakni nash-nash al-qur’an dan sunah telah mulai pudar, hal ini disebabkan karena tingkat panatismenya pada produk hukum fiqih yang ada lebih dominan. Padahal semangat itu semua diperlukan dalam rangka menggali hukum-hukum dan mengistimbatkan hukum yang tidak ada nashnya dengan salah satu dalil dari dalil-dalil syar’i.
       Sekalipun demikian selama periode taqlid, bukan berarti hukum islam tidak disajikan dengan nalar-nalar yang orisinil, dimana beberapa aliran saling bersaing untuk mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hanya saja apa yang dapat dinyatakan sebagai fikiran-fikiran yang orisinil itu hanyalah fikiran sistematik yang abstrak yang tidak memberikan pengaruh, baik kepada keputusan hukum positif yang sudah ada maupun kepada doktrin klasik dalam bidang ushul fiqh. Kebanyakan perkembangan yang bersifat teoretis ini sangat bebas dari Al-Qur’an, hadist dan ijma’, yang secara teknis menggambarkan bagaiman cara pemikiran hukum islam, masih perlu untuk diselidiki. 2
       Menurut pandangan Ahli Tarikh Tasyri’, zaman taqlid ini telah mengarungi tiga periode di dalam sejarah Islam. Pertama, dari abad keempat hijriah sampai jatuhnya Bagdad ketangan bangsa Tartar (pertengahan abad ketujuh hijriah). Pada masa ini permulaan adanya taqlid. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya, menyeru umat supaya bertaqlid akan madzhab yang dianutnya.
       Ulama Irak mempropagandakan supaya orang bertaqlid kepada madzhab Imam Malik. Sementara di kota yang menjadi centrum ilmu fiqh, lahir ulama-ulama yang menyerukan madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Hanya dalam satu masalah saja mereka menentang fatwa imamnya dan inipun jarang dilakukan. Mereka mulai mengkaji hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran, dikaji dan diajarkan. Dimana-mana tempat dan kota sering diadakan munadzarah atau perdebatan untuk menegakkan madzhab imamnya masing-masing. Sehingga perpecahan sesama umat Islam mulai tampak dalam pergaulan hidup.
       Kedua, dari abad keempat hijriah sampai abad kesepuluh hijriah. Dalam periode ini bersifat lebih nyata, sedang ulama-ulama yang berani merobek tirai taqlid telah amat kurang. Di antara mereka yang masih menggunakan daya ijtihad di periode ini ialah: Al Bulqini ( 724 H-809 H ), Ibnu Rif’ah (645 H-710 H), Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H ), Ibnu Hajar Al Asqolani ( 773 h- 858 H ), dan lain-lain.
       Ketiga, dari abad kesepuluh hijriah sampai kezaman Muhammad Abduh. Adapun pada masa ini,  ruh taqlid benar-benar padam. Fatwa –fatwa haram berijtihad pun hidup di tengah-tengah para ulama. Bahkan taqlid di masa itu tidak langsung lagi kepada mutaqoddimin dan salaf yang saleh, namun hanya berhenti kepada seseorang alim yang mendahului mereka saja. Sebut saja misalnya, mereka telah menghentikan taqlid dimasa ini kepada Ibnu Hajar Al- Haitami, Ahmad Ar Ramli dan Zakariyya Al Anshori saja. Paling jauh mereka menghentikan taqlid di sisi An Nawawi dan Ar Rafi’i di kalangan Syafi’iyah, di sisi Ibnu Humam di kalangan Hanafiyah, di sisi Al Mazari di golongan Malikiyah dan di sisi Ibnu Qudamah di kalangan Hanabilah.
       Periode ini ijtihad telah amat padam. Namun dipertengahan abad ke-17 muncullah dua orang mujtahid, yaitu Muhammad Ibnu Ismail Al Amir Ash Shan’am, selanjutnya di awal abad ke 20 muncullah seorang ahli politik Islam yakni Imam Muhammad Abduh dan menumbuhkan kembali ruh ijtihad tersebut.
       Dari rentang waktu yang relative lama itu, masa yang terkenal dengan fase kemunduran hukum Islam berada pada abad keempat sampai abad ketigabelas Hijriah.3 Mereka merasa sudah cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-imam mujtahidin yang sebelumnya, seperti Imam malik, Imam Abu Hanifah,  Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
       Sejarah yang panjang telah mencatat berbagai faktor yang melatarbelakangi dinamika kehidupan keilmuan pada saat itu. Pada umumnya sejarah panjang itu telah tercatat sebagai sejarah yang konteks sosio-kulturalnya memperlemah pengaruh tiap-tiap prinsip kebangkitan keilmuan para ulama serta menghalangi aktifitas mereka dibidang hukum-hukum Islam dan pengembangannya hingga menyebabkan kebekuan hukum.
       Adapun aktifitas ulama pada zaman ini antara lain menyusun ringkasan-ringkasan kitab. Di antara kitab-kitab mukhtashar ternyata banyak pula yang menimbulkan pertanyaan, maka disusun  pula kitab syarahnya. Meskipun demikian, kita tidak menutup mata, tidak semua ulama berlaku demikian. Sebab ada satu dua orang yang tetap berfikir dinamis dan kreatif sekalipun mereka berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para penguasa, yang siap menjebloskannya kedalam penjara karena keteguhan pendiriannya.
       Klimaks kecenderungan mereka terhadap ucapan-ucapan atau hasil ijtihad Imam-imam mazhab yang dianutnya sudah sedemikian rupa, sampai-sampai Abu Hasan Al-Kurkhi dari pengikut Abu Hanifah berkata: “setiap ayat al-qur’an atau hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang ada pada Imam-imam kami, maka yang demikian itu meniscayakan bahwa pandangan-pandangan yang bertentangan tersebut ditakwili”.
       Dengan demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas pada apa yang disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode terdahulu, tidak memperhatikan perjalanan yang ada atau terjadi serta tidak mengamati perkembangan masyarakat, kemajuan ilmiah dan muamalah, urusan peradilan-peradilan dan kejadian-kejadian problematika hukum yang baru.

C.  Aktivitas Ilmiah dan Upaya Ulama dalam Mengatasi Kemunduran
          Meskipun masa tersebut kita namakan masa kemunduran dan kebekuan pemikiran fiqh secara umum dan meskipun terdapat banyak faktor yang mematikan para ulama melakukan ijtihad mutlaq dan mengembangkan hukum-hukum syar’i dari sumber-sumbernya yang pertama (al-qur’an dan hadits), namun tidaklah berarti mematikan  secara mutlak usaha-usaha pencurahan kesungguhan sebagian mereka. Sebagian di antara mereka dalam pembentukan hukum di lingkungan daerah-daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu, masa ini tidak sepi dari fuqaha-fuqaha bebas yang menentang taqlid buta dan menyuarakan kembali kepada al-qur’an dan hadist secara konsekuen, sekalipun kreatifitas dan dinamisasi berfikir mereka ini harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para penguasa yang siap menjebloskannya dalam penjara karena keteguhan pendiriannya.
          Namun  usaha-usaha mereka tetap berhasil dan besar pengaruhnya terhadap masa-masa berikutnya. Di antara fuqaha tersebut adalah yang akan kami mulai dengan ulama Hanafiyah dan dalam hal ini akan disebutkan beberapa orang faqih dari kalangan mereka antara lain:
1.      Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al Jashash dan pemimpin Hanafiyah sesudahnya. Ia mensyarahi Mukhtashar karya Al Kharkhi, Mukhtashar Ath Thahawi, Syarah Al Jami’ karya Muhammad. Ia mengarang kitab Ushul Fiqh dan Adabul Qudhah. Ia meninggal Tahun 370 H
2.      Abu Laits Nash bin Muhammad As -Samarqandi yang terkenal dengan Imam Al Huda, murid Al Handawani. Ia mengarang An Nawazil, Al’Uyun, Al Fatwa, Khazanatul Fiqh dan Syarah Al Jami’ush Shaghir. Ia meninggal pada Tahun 373 H
3.      Abul Hasan Ahmad bin Al Qadari Al baghdadi. Dialah yang menyusun Syarah Mukhtashar Al karkhi. Ia mengarang At Tajrid yang memuat perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Asy Syafi’i dengan dihilangkan dalil-dalilnya. Dalam diskusi, ia baik susunan kalimatnya. Ia berdiskusi dengan Syaikh Abu Hamid Al Isfarani Asy syafi’i. Meninggal pada Tahun 427 H.
4.      Abu Zaid Abdullah bin Umar Ad Dabusi As Samarqandi. Dialah orang yang pertama kali membuat Ilmu perbedaan pendapat. Karangannya yang terbesar adalah Al Asrar, ia memiliki pemikiran tentang Al fatawa dan kitab Taqwimul Adillah. Ia dibuat teladan dalam memberikan pandangan dan mengeluarkan hujjah-hujjah. Di Samarqandi dan Bukhara ia banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka. Ia meninggal pada Tahun 400 H.
5.      Abu Bakar Khawahir Zadah Muhammad bin husain Al Bukhari. Ia termasuk salah seorang pembesar (tokoh) daerah dibalik sungai. Ia menyusun Al Mukhtashar, Al tajnis dan Al Mabsuth. Ia meninggal pada Tahun 433. Arti Khawahir Zadah adalah anak saudara perempuan seorang alim, karena ia adalah anak saudara perempuan Qadhi Abu Tsabit Muhammad bin Ahmad Al Bukhari.
6.      Ali bin Muhammad Al Bazdawi. Ia mengarang Al Mabzuth, 11 jilid, Syarah Al Jami’ul Kabir dan Al Jami’ush Shaghir. Dia pengarang kitab ushul yang terkenal dengan Al Bazdawi. Ia mempunyai kitab yang bagus tentang fiqh untuk fuqoha’. Ia dilahirkan di Hudud pada Tahun 400 H dan meninggal pada Tahun 483 H.
7.      Thahir bin Ahmad bin Abdur Rasyid Al Bukhari. Ia penyusun Khulashah Al Fatawa, seorang Syaikh Hanafiyah didaerah balik sungai. Ia termasuk orang-orang yang pandai serta mujtahid dalam beberapa masalah. Sebagian karangannya adalah Khazanatul Waqi’at. Ia meninggal pada Tahun 540 H.
8.      Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasani yang dijuluki Raja Ulama. Ia mengarang kitab Al Bada’i suatu kitab yang baik urutannya, dan syara’ kitab Tuhfatul Fuqaha’ karya gurunya ‘Ala-uddin Muhammad bin Ahmad As samarqandi. Ia meninggal pada Tahun 587 H.
9.      Ali bin Abu Bakar bin Abdullah Jalil Al Farghani Al Marghinani, pengarang Al Hidayah, seorang imam yang ahli fiqh dan hafizh. Sebagian dari karangannya adalah Al Muntaqa’, Nasyrul Madzhab Wat Tajnis, Manasik Haji, Mukhtaratul Nawazil dan Kitabul Faraidh. Ia meninggal pada Tahun 593 H.
Adapun tokoh-tokoh fuqaha Malikiyah diantaranya adalah:
1.      Yusuf bin Umar bin Abdul bar syaikh ulama Andalusia dan pada masanya ia menjadi pembesar ahli hadits. Ia menyusun kitab Al Istidzkar tentang madzhab-madzhab ulama di negara-negara besar yang terkandung dalam Al Muwaththa’ menurut seginya, dan mengatur bab-babnya. Ia mengarang kitab Al kafi tentang Fiqh dan lain-lainnya dari kitab-kitab yang menunjukkan kelebihannya. Ia meninggal pada tahun 380 H.
2.      Abu Sa’id Khalaf bin Abu Qasim Al Azdi yang terkenal dengan Al barada’i termasuk tokoh sahabat-sahabat Abu Muhammad bin Abu Zaid dan Al Qaisi, ia termasuk penghafal madzhab yang dalam hal itu mempunyai beberapa karangan diantaranya adalah Kitab At Tahdzib Fi Ikhtisharil Mudawwanah, dalam hal itu ia mengikuti jalannya Ikhtishar Abu Muhammad dan Ziyadatnya. Ia mempunyai kitab Ikhtisharul Wadhihah.
3.      Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah yang terkenala dengan Ibnu Abi Zamnin Al Biri. Ia termasuk fuqoha’ dan muhadditsin besar. Ia mengarang Al Mghrib fil Mudawwanah, menerangkan kesulitan-kesulitannya, belajar fiqh dari padanya dengan mendetail dengan menelusuri lafazh-lafazhnya serta memberi pedoman pada riwayat-riwayatnya tidak ada yang seperti itu, kitab Al Muntakhab fi Ahkam,kitab Al Muhadzdzab dan bukan ringkasan. Ia meninggal pada Tahun 399 H.
4.      Al Qadhi Abdul Wahhab bin Nashir Al Baghdadi Al Maliki. Ia baik pandangannya, baik susunan kata-katanya, belajar fiqh pada teman besar Al Abhari. Kemudian ia menjadi besar di Baghdad lalu pergi ke Mesir dan kedatangannya itu dimuliakan. Ia menyusun banyak kitab diantaranya ialah Kitabun Nashr li Madzhab Imam Darul Hijrah dan Al Ma’unah li Madzhab ‘alimil Madinah, Kitabul Adillah fi Masa-ilil Khilaf, Syarah Risalah Ibnu Abi Zaid, Syarah Al Mudawwanah dan lain-lain. Ia meninggal pada tahun 422 H.
5.      Abul qasim Abdur Rahman bin Muhammad Al Hadhrami yang terkenal dengan Al Labidi termasuk ulama Afrika yang terkenal. Ia belajar fiqh pada Ibnu Abi zaid dan Abul Hasan Al Qabisi. Ia mengarang kitab besar dalam madzhab itu lebih dari 200 juz besar tentang masalah Al Mudawwanah, memanjang lebarkan, membuat cabang-cabangnya, Ziyadatul Ummahat dan Nawadirur Riwayat. Ia mengarang kitab, meringkaskan Al Mudawwah yang diberi judul Al Mulakhkhash. Ia meninggal pada Tahun 440 H.
6.      Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Yunus Ash-Shiqli, seorang faqih, seorang imam yang ahli Faraidh. Ia tetap berjihad dan bersifat pemberani. Ia mengarang kitab Faraidh dan kitab yang mencakup bagi Al Mudawwanah dengan menyandarkan induk-induk yang lain  kepadanya. Ia meninggal pada Tahun 461 H.
7.      Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusy Al Qurthubi, pemimpin fuqoha’ pada masanya di Andalusia dan Maghrib serta pemuka mereka yang terkenal dengan pemikiran yang sehat, penyusun kitab yang baik dan mengetahui detai-detail fiqh. Baginya pengetahuan itu lebih dimenangkan daripada riwayat. Ia mengarang kitab Al bayan wat Tahshil karena dalam Al Mustakhrajah ada pengarahan dan penunjukan illat-illat, kitab Al Muqaddamat li awailil Mudawwanah, Ikhtishar kitab-kitab yang luas dari karangan Yahya bin Ishhaq, dan membersihkan kitab Ath Thahawi fi Musykililatsar. Ia meninggal pada Tahun 525 H.
8.      Abu bakar Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan Ibnul Arabi Al Mu’afiri Al Asybili. Ia mendapat pendidikan di negaranya kemudian lama pergi ke negara Msyrik dan ia menemui banyak ulama diantaranya Al Ghazali lantas ia mendapat faedah yang banyak serta merapikan masalah-masalah khilafiyah, ushul dan ilmu kalam, kemudian ia pergi ke Andalusia, ia belajar banyak dan mengarang banyak. Diantara karangannya adalah Kitab Ahkamal Qur’an dan kitab Al Masalik fi Syarhil Muwaththa’ karya Imam Malik. Ia juga mempunyai kitab Al Mahshul fi Ushulil Fiqh. Ia meninggal pada tahun 534 H.
          Di bawah ini adalah orang-oarang yang cerdik dari kalangan syafi’iyah yang pada periode ini mendapat keistimewaan dengan membuat karangan dalam madzhab Asy Syafi’i, menyelenggarakan penyiarannya dan memperbaiki kitab-kitabnya. Kebanyakan mereka dari penduduk Irak, Khurasan dan daerah dibalik sungai. Diantaranya adalah:
1.      Abul qasim Abdul Wahid bin Husain Ash Shaimiri. Ia hafal pada madzhabnya dan baik karangannya. Ia memunculkan sejumlah ulama diantaranya Al Mawardi. Diantara karangan-karangannya adalah Al Ifshahfil madzhab, Kitabul Kifayah, kitab fi Qiyas wal’ilal, Kitab Shaghir fi Adabil Mufti wal Mustafti, kitab Fisy Syuruth. Ia meninggal pada tahun 386 H.
2.      Abu Ali Al Husain bin Syu’aib As Sanji, orang alimnya Khurassan. Orang yang pertama kali mengumpulkan antara dua methode Irak dan Khurasan adalah Qadhi Husain, sebagai murid Al Qaffal yang paling terpuji. Ia mengarang syarah Al Mukhtashar dan dialah yang disebut oleh Imam Haramain dengan Madzhab besar, ia mensyarahi Talkhis karya Ibnul Qash dan Al Furu’ karya Ibnul Haddad. Ia meninggal pada Tahun 403 H.
3.      Abu Thayyib Thahir bin Abdullah Ath Thabari, seorang Imam yang terhormat. Ia menjadi puncak pemimpin ilmu di Baghdad. Kepadanya orang-orang Irak belajar ilmu, ia mensyarahi Al Muzni, mengarang banyak kitab tentang khilaf, madzhab dan perdebatan yang tidak seorangpun menyamainya. Ia menjabat hakim di Rabi’ Al Karkh setelah Qadhi Ash Shamiri. Ia banyak berdiskusi bersama Abul hasan Ath Thaliqani Al Hanafi dan juga bersama Al Qaduri. Ia meninggal 450 H.
4.      Abul qasim Abdur  Rahman bin Muhammad Al Faurani Al Marwazi, pengarang Al Ibanah, Al Umdah dan lain-lain karangannya. Dia termasuk murid yang besar dari Abu Bakar Al Qaffal. Ia syaikh penduduk Maru, dan meninggal pada Tahun 476 H.
5.      Abu Nashr Abdus Sayid bin Muhammad yang terkenal dengan Ibnu Shabagh, pengarang Asy Syamil,Al kamil, Iddatu ‘alim, Ath Thariqus Salim. Kifayatus Sail dan Al Fatawa. Dialah puncak pemimpin Syafi’iyah di Baghdad. Ia menyerupai Abu Ishhaq Asy Syairazi. Ia adalah orang pertama yang mengajar di Nizhamiyah di Baghdad. Ia meninggal pada Tahun 477 H.






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Meskipun fase ini adalah periode jumud (beku) tetapi kenyataannya pada fase ini para fuqaha cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah dan mengkritik pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya, walaupun pendapatnya itu dicetuskan oleh imam mazhabnya sendiri, seperti Al-Majmu’ karya Imam Nawawi dan Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali. Akibat dari hal ini juga, pada fase ini telah dapat memperkaya khazanah ilmu hukum Islam dengan bermacam bentuik kitab yang bisa dijadikan standar bagi bermacam-macam bidang didiplin ilmu.
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut :
1.      Pada masa taqlid ini para ulama’ telah lamah kemauannya untuk berijtihad menggali hukum Islam langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena telah merasa cukup mengikuti pendapat imam madzhab.
2.      Adanya pergolakan politik, menganutnya hakim pada madzhab tertentu, adanya imam-imam madzhab beserta pengikutnya dan tertutupnya pintu ijtihad, sehingga para ulama’ tidak sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu bertaqlid.
3.      Periode taqlid dalam sejarah Islam terbagi menjadi tiga fase yakni pertama, dimulai dari abad keempat sampai jatuhnya Bagdad dibawah kekuasaan bangsa Tartar. Kedua, sejak abad keempat hijrah sampai abad kesepuluh hijrah. Ketiga, mulai abad kesepuluh sampai ke zaman Muhammad Abduh. Sedangkan masa kemundurannya pada abad keempat sampai abad ketigabelas hijrah.
4.      Selama masa taqlid, walaupun dinamakan masa kemunduran , namun ada beberapa ulama’ yang menentang taqlid dan menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga bisa menghasilkan karya-karya baru yang berguna bagi masanya dan masa sesudahnya.



DAFTAR PUSTAKA

http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/beberapa-sebab munculnya-gejala-gejala-kebekuan-kelesuhan-dan-kemunduran-hukum-islam-pada-masa-muqallidun
http://nandikaagung.blogspot.co.id/2014/11/materi-hukum-hukum-islam-pada-zaman.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar