BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemikiran hukum
dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk
memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad, tetapi pikirannya ditumpukan
pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya
saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum
yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan
dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dinamika masyarakat
yang terjadi terus-menerus itu tidak lagi ditampung dengan pengembangan
pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang
pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam perkembangan hukum
Islam. Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli
sebelumnya (ittiba’ –taqlid), yang masa ini sering di kenal sebagai zaman
kelesuan pemikiran ( zaman kegelapan / reinasancce ).
Derajad dan otoritas keilmuan para
ulama madzhab yang telah menelurkan berbagai produk fiqih monumental ketika
itu, tidak sedikit melahirkan berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik
pengaruh dinamis berupa gerakan berijtihad pada satu sisi, maupun berupa
pengaruh sikap puas dan merasa final dalam berijtihad pada sisi lain. Dengan
kata lain, kerja keras dan keteladanan para ulama madzhab dalam berijtihad pada
masanya disenyalir telah memberikan inspirasi tersendiri bagi sebagian para
fuqaha pasca ulama madzhab untuk melakukan kegiatan yang sama. Namun di sisi
lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka metodologis yang komperehensif
dan holistik itu, tanpa terasa telah menaklukkan, melumpuhkan, dan
menenggelamkan sederet kemauan dan kemampuan nalar kritis tradisi berijtihad
para fuqaha pasca ulama madzhab. Lebih dari itu, kemudian mereka mengkultuskan
dan mensakralkan produk-produk fiqih ulama madzhab yang mereka nilai sangat
monumental itu. Sejak itulah, kerja keras sebagian para ulama muqallidun ini
terbatas pada perilaku memuja-muja karya ulama madzhab, mengkultuskannya, dan
bahkan berusaha menciptakan suasana yang membawa umatnya memiliki sikap
panatisme madzhab yang berlebihan. Energi keilmuan mereka lebih difokuskan pada
persiapan-persiapan membangun dan mengokohkan argumentasi-argumentasi logis
yang dapat menjaga dan melindungi kebenaran hasil produk ijtihad para ulama
madzhab tersebut.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.
Bagaimana
format hukum islam pada periode kemunduran?
3.
Bagaimana
aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran?
C.
TUJUAN
1.
Bagaimana
kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.
Bagaimana
format hukum islam pada periode kemunduran?
3.
Bagaimana
aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi kemunduran?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Politik dan Tasyri’ Pada Masa Kemunduran
DR. Muhammad Farouq
al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor
politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi
ulama dalam menghadapi umara.
Untuk yang pertama,
kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik.
Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan
dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab,
kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti
madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan
madzhab penguasa.
Untuk sebab kedua,
telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat
oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan
madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama
dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti
pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam
sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari
pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat
fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja
selalu berusaha mempertahankan status quo, demi “ketertiban dan keamanan”.
Dalam posisi seperti
itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan
legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para
ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat
puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam
menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan
al-Qur’an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai
bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu
mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar
dua.
Abd al-Wahhab Khalaf
menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya
kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan
eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka
belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa
berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan
egoisme di kalangan ulama.
Awal kebekuan ijtihad yang
disebabkan oleh beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan
kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial
dan sebagainya telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam
lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak sanggup mempunyai
orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan mereka harus selalu
bertaqlid. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1.
Pergolakan
politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya Negeri Islam menjadi
beberapa negara kecil,6 sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami
kesibukan perang, fitnah memfitnah dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah
satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.
2.
Pada
fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan kodifikasi hukum Islam) telah timbul
madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir sendiri di bawah
seseorang imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut
madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar
madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan
kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain. Situasi
ini menyibukkan para ulama madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan
hukum yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-sunnah, dan sedikit di antara mereka
yang berhasrat kembali pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kecuali hanya untuk
memperkokoh madzhab yang dianutnya, walaupun harus menempuh penyimpangan dalam
memahami dan menta’wilkannya. Dengan demikian tenggelamlah kepribadian seorang
alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan berfikir, sehingga
jadilah mereka itu sebagai pengikut atau muqallidun.
3.
Kodifikasi
pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa
harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam
syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk
hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka
orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat
yang telah ada. Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh.
4.
Pada
masa-masa sebelumnya, para hakim terdiri dari orang-orang yang mampu melakukan
ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka, yang ditunjuk oleh
penguasa. Akan tetapi, pada masa sesudahnya, hakim-hakim diangkat dari
orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai madzhab tertentu (sesuai
madzhab penguasa) dan terputus hubungannya dari madzhab yang tidak dipakai
penguasa dipengadilan. Apalagi pada saat itu diperparah oleh situasi di mana
beberapa hakim yang mampu berijtihad, keputusannya acapkali menjadi sasaran
kritik dan objek penentangan dari penganut madzhab-madzhab tertentu.
5.
Penutupan
pintu ijtihad. Karena para ulama pada saat itu tidak mengadakan
tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau mengadakan
jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dari
sini timbulah kekacauan dalam persoalan ijtihad. Pada akhir abad keempat
hijriyah, para ulama menetapkan
tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para hakim dan mufti
dengan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad ulama sebelumnya. Solusi yang
ditetapkan para ulama pada saat itu pada dasarnya menjawab kekacauan dengan
kebekuan stagnasi dalam hukum.
Abdul Wahhab Khallaf menambahkan
satu lagi penyebab kebekuan pemikiran
fiqh yaitu: “Bahwasanya sudah tersebar luas di kalangan para ulama berbagai
penyakit moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Di
kalangan mereka sudah merata penyakit saling menghasut dan egoisme
(mementingkan diri sendiri ataupun kelompoknya), serta ta’ashub (fanatisme
madzhab). Jika ada yang mencoba mengetuk pintu ijtihad, maka dianggap mencari
kemasyhuran diri, dan jika berani berfatwa, maka akan ditentang dengan
fatwa-fatwa tandingan ataupun cara-cara positif dan negatif yang lain.8
B.
Format
Hukum Islam Pada Periode Kemunduran
Zaman kejayaan umat Islam yang terbangun sebelumnya pada saat itu
mulai berangsur-angsur menemukan titik kesuramannya. Kemunduran itu mulai
terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak Tahun 351 H. Setelah masa
imam-imam mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran, taqlid dan kebekuan.
Disebut demikian karena pada zaman tersebut pudarlah semangat ijtihad,
merajalelanya taqlid buta dan timbulnya kebekuan dalam studi hukum islam.
Pada
zaman itu seolah-olah pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama sudah lemah
kemauannya untuk menggapai tingkatan mujtahid mutlak sebagaimana para ulama
madzhab. Demikian pula semangatnya untuk kembali pada sumber-sumber hukum
otoritatif, yakni nash-nash al-qur’an dan sunah telah mulai pudar, hal ini
disebabkan karena tingkat panatismenya pada produk hukum fiqih yang ada lebih
dominan. Padahal semangat itu semua diperlukan dalam rangka menggali
hukum-hukum dan mengistimbatkan hukum yang tidak ada nashnya dengan salah satu
dalil dari dalil-dalil syar’i.
Sekalipun
demikian selama periode taqlid, bukan berarti hukum islam tidak disajikan
dengan nalar-nalar yang orisinil, dimana beberapa aliran saling bersaing untuk
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hanya saja apa yang dapat dinyatakan
sebagai fikiran-fikiran yang orisinil itu hanyalah fikiran sistematik yang
abstrak yang tidak memberikan pengaruh, baik kepada keputusan hukum positif
yang sudah ada maupun kepada doktrin klasik dalam bidang ushul fiqh. Kebanyakan
perkembangan yang bersifat teoretis ini sangat bebas dari Al-Qur’an, hadist dan
ijma’, yang secara teknis menggambarkan bagaiman cara pemikiran hukum islam,
masih perlu untuk diselidiki. 2
Menurut
pandangan Ahli Tarikh Tasyri’, zaman taqlid ini telah mengarungi tiga periode
di dalam sejarah Islam. Pertama, dari abad keempat hijriah sampai jatuhnya
Bagdad ketangan bangsa Tartar (pertengahan abad ketujuh hijriah). Pada masa ini
permulaan adanya taqlid. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya,
menyeru umat supaya bertaqlid akan madzhab yang dianutnya.
Ulama
Irak mempropagandakan supaya orang bertaqlid kepada madzhab Imam Malik.
Sementara di kota yang menjadi centrum ilmu fiqh, lahir ulama-ulama yang
menyerukan madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Hanya dalam satu
masalah saja mereka menentang fatwa imamnya dan inipun jarang dilakukan. Mereka
mulai mengkaji hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran,
dikaji dan diajarkan. Dimana-mana tempat dan kota sering diadakan munadzarah
atau perdebatan untuk menegakkan madzhab imamnya masing-masing. Sehingga
perpecahan sesama umat Islam mulai tampak dalam pergaulan hidup.
Kedua,
dari abad keempat hijriah sampai abad kesepuluh hijriah. Dalam periode ini
bersifat lebih nyata, sedang ulama-ulama yang berani merobek tirai taqlid telah
amat kurang. Di antara mereka yang masih menggunakan daya ijtihad di periode
ini ialah: Al Bulqini ( 724 H-809 H ), Ibnu Rif’ah (645 H-710 H), Ibnu Taimiyah
( 661 H-728 H ), Ibnu Hajar Al Asqolani ( 773 h- 858 H ), dan lain-lain.
Ketiga,
dari abad kesepuluh hijriah sampai kezaman Muhammad Abduh. Adapun pada masa
ini, ruh taqlid benar-benar padam. Fatwa
–fatwa haram berijtihad pun hidup di tengah-tengah para ulama. Bahkan taqlid di
masa itu tidak langsung lagi kepada mutaqoddimin dan salaf yang saleh, namun
hanya berhenti kepada seseorang alim yang mendahului mereka saja. Sebut saja
misalnya, mereka telah menghentikan taqlid dimasa ini kepada Ibnu Hajar Al-
Haitami, Ahmad Ar Ramli dan Zakariyya Al Anshori saja. Paling jauh mereka
menghentikan taqlid di sisi An Nawawi dan Ar Rafi’i di kalangan Syafi’iyah, di
sisi Ibnu Humam di kalangan Hanafiyah, di sisi Al Mazari di golongan Malikiyah
dan di sisi Ibnu Qudamah di kalangan Hanabilah.
Periode
ini ijtihad telah amat padam. Namun dipertengahan abad ke-17 muncullah dua
orang mujtahid, yaitu Muhammad Ibnu Ismail Al Amir Ash Shan’am, selanjutnya di
awal abad ke 20 muncullah seorang ahli politik Islam yakni Imam Muhammad Abduh
dan menumbuhkan kembali ruh ijtihad tersebut.
Dari
rentang waktu yang relative lama itu, masa yang terkenal dengan fase kemunduran
hukum Islam berada pada abad keempat sampai abad ketigabelas Hijriah.3 Mereka
merasa sudah cukup mengikuti pendapat-pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-imam
mujtahidin yang sebelumnya, seperti Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Sejarah
yang panjang telah mencatat berbagai faktor yang melatarbelakangi dinamika
kehidupan keilmuan pada saat itu. Pada umumnya sejarah panjang itu telah
tercatat sebagai sejarah yang konteks sosio-kulturalnya memperlemah pengaruh
tiap-tiap prinsip kebangkitan keilmuan para ulama serta menghalangi aktifitas
mereka dibidang hukum-hukum Islam dan pengembangannya hingga menyebabkan
kebekuan hukum.
Adapun
aktifitas ulama pada zaman ini antara lain menyusun ringkasan-ringkasan kitab.
Di antara kitab-kitab mukhtashar ternyata banyak pula yang menimbulkan
pertanyaan, maka disusun pula kitab
syarahnya. Meskipun demikian, kita tidak menutup mata, tidak semua ulama
berlaku demikian. Sebab ada satu dua orang yang tetap berfikir dinamis dan
kreatif sekalipun mereka berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para
penguasa, yang siap menjebloskannya kedalam penjara karena keteguhan
pendiriannya.
Klimaks
kecenderungan mereka terhadap ucapan-ucapan atau hasil ijtihad Imam-imam mazhab
yang dianutnya sudah sedemikian rupa, sampai-sampai Abu Hasan Al-Kurkhi dari pengikut
Abu Hanifah berkata: “setiap ayat al-qur’an atau hadits yang bertentangan
dengan sesuatu yang ada pada Imam-imam kami, maka yang demikian itu
meniscayakan bahwa pandangan-pandangan yang bertentangan tersebut ditakwili”.
Dengan
demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas pada apa yang
disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode terdahulu, tidak memperhatikan
perjalanan yang ada atau terjadi serta tidak mengamati perkembangan masyarakat,
kemajuan ilmiah dan muamalah, urusan peradilan-peradilan dan kejadian-kejadian
problematika hukum yang baru.
C.
Aktivitas
Ilmiah dan Upaya Ulama dalam Mengatasi Kemunduran
Meskipun masa tersebut kita namakan
masa kemunduran dan kebekuan pemikiran fiqh secara umum dan meskipun terdapat
banyak faktor yang mematikan para ulama melakukan ijtihad mutlaq dan
mengembangkan hukum-hukum syar’i dari sumber-sumbernya yang pertama (al-qur’an
dan hadits), namun tidaklah berarti mematikan
secara mutlak usaha-usaha pencurahan kesungguhan sebagian mereka.
Sebagian di antara mereka dalam pembentukan hukum di lingkungan daerah-daerah
mereka yang terbatas. Oleh karena itu, masa ini tidak sepi dari fuqaha-fuqaha
bebas yang menentang taqlid buta dan menyuarakan kembali kepada al-qur’an dan
hadist secara konsekuen, sekalipun kreatifitas dan dinamisasi berfikir mereka
ini harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dari para penguasa yang siap
menjebloskannya dalam penjara karena keteguhan pendiriannya.
Namun
usaha-usaha mereka tetap berhasil dan besar pengaruhnya terhadap masa-masa
berikutnya. Di antara fuqaha tersebut adalah yang akan kami mulai dengan ulama
Hanafiyah dan dalam hal ini akan disebutkan beberapa orang faqih dari kalangan
mereka antara lain:
1.
Abu
Bakar Ahmad bin Ali Ar-Razi Al Jashash dan pemimpin Hanafiyah sesudahnya. Ia
mensyarahi Mukhtashar karya Al Kharkhi, Mukhtashar Ath Thahawi, Syarah Al Jami’
karya Muhammad. Ia mengarang kitab Ushul Fiqh dan Adabul Qudhah. Ia meninggal
Tahun 370 H
2.
Abu
Laits Nash bin Muhammad As -Samarqandi yang terkenal dengan Imam Al Huda, murid
Al Handawani. Ia mengarang An Nawazil, Al’Uyun, Al Fatwa, Khazanatul Fiqh dan
Syarah Al Jami’ush Shaghir. Ia meninggal pada Tahun 373 H
3.
Abul
Hasan Ahmad bin Al Qadari Al baghdadi. Dialah yang menyusun Syarah Mukhtashar
Al karkhi. Ia mengarang At Tajrid yang memuat perbedaan pendapat antara Abu
Hanifah dan Asy Syafi’i dengan dihilangkan dalil-dalilnya. Dalam diskusi, ia
baik susunan kalimatnya. Ia berdiskusi dengan Syaikh Abu Hamid Al Isfarani Asy
syafi’i. Meninggal pada Tahun 427 H.
4.
Abu
Zaid Abdullah bin Umar Ad Dabusi As Samarqandi. Dialah orang yang pertama kali
membuat Ilmu perbedaan pendapat. Karangannya yang terbesar adalah Al Asrar, ia
memiliki pemikiran tentang Al fatawa dan kitab Taqwimul Adillah. Ia dibuat
teladan dalam memberikan pandangan dan mengeluarkan hujjah-hujjah. Di
Samarqandi dan Bukhara ia banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka. Ia
meninggal pada Tahun 400 H.
5.
Abu
Bakar Khawahir Zadah Muhammad bin husain Al Bukhari. Ia termasuk salah seorang
pembesar (tokoh) daerah dibalik sungai. Ia menyusun Al Mukhtashar, Al tajnis
dan Al Mabsuth. Ia meninggal pada Tahun 433. Arti Khawahir Zadah adalah anak
saudara perempuan seorang alim, karena ia adalah anak saudara perempuan Qadhi
Abu Tsabit Muhammad bin Ahmad Al Bukhari.
6.
Ali
bin Muhammad Al Bazdawi. Ia mengarang Al Mabzuth, 11 jilid, Syarah Al Jami’ul
Kabir dan Al Jami’ush Shaghir. Dia pengarang kitab ushul yang terkenal dengan
Al Bazdawi. Ia mempunyai kitab yang bagus tentang fiqh untuk fuqoha’. Ia
dilahirkan di Hudud pada Tahun 400 H dan meninggal pada Tahun 483 H.
7.
Thahir
bin Ahmad bin Abdur Rasyid Al Bukhari. Ia penyusun Khulashah Al Fatawa, seorang
Syaikh Hanafiyah didaerah balik sungai. Ia termasuk orang-orang yang pandai
serta mujtahid dalam beberapa masalah. Sebagian karangannya adalah Khazanatul
Waqi’at. Ia meninggal pada Tahun 540 H.
8.
Abu
Bakar bin Mas’ud bin Ahmad Al Kasani yang dijuluki Raja Ulama. Ia mengarang
kitab Al Bada’i suatu kitab yang baik urutannya, dan syara’ kitab Tuhfatul
Fuqaha’ karya gurunya ‘Ala-uddin Muhammad bin Ahmad As samarqandi. Ia meninggal
pada Tahun 587 H.
9.
Ali
bin Abu Bakar bin Abdullah Jalil Al Farghani Al Marghinani, pengarang Al
Hidayah, seorang imam yang ahli fiqh dan hafizh. Sebagian dari karangannya
adalah Al Muntaqa’, Nasyrul Madzhab Wat Tajnis, Manasik Haji, Mukhtaratul
Nawazil dan Kitabul Faraidh. Ia meninggal pada Tahun 593 H.
Adapun
tokoh-tokoh fuqaha Malikiyah diantaranya adalah:
1.
Yusuf
bin Umar bin Abdul bar syaikh ulama Andalusia dan pada masanya ia menjadi
pembesar ahli hadits. Ia menyusun kitab Al Istidzkar tentang madzhab-madzhab
ulama di negara-negara besar yang terkandung dalam Al Muwaththa’ menurut
seginya, dan mengatur bab-babnya. Ia mengarang kitab Al kafi tentang Fiqh dan
lain-lainnya dari kitab-kitab yang menunjukkan kelebihannya. Ia meninggal pada
tahun 380 H.
2.
Abu
Sa’id Khalaf bin Abu Qasim Al Azdi yang terkenal dengan Al barada’i termasuk
tokoh sahabat-sahabat Abu Muhammad bin Abu Zaid dan Al Qaisi, ia termasuk
penghafal madzhab yang dalam hal itu mempunyai beberapa karangan diantaranya
adalah Kitab At Tahdzib Fi Ikhtisharil Mudawwanah, dalam hal itu ia mengikuti
jalannya Ikhtishar Abu Muhammad dan Ziyadatnya. Ia mempunyai kitab Ikhtisharul
Wadhihah.
3.
Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah yang terkenala dengan Ibnu Abi Zamnin Al Biri. Ia
termasuk fuqoha’ dan muhadditsin besar. Ia mengarang Al Mghrib fil Mudawwanah,
menerangkan kesulitan-kesulitannya, belajar fiqh dari padanya dengan mendetail
dengan menelusuri lafazh-lafazhnya serta memberi pedoman pada
riwayat-riwayatnya tidak ada yang seperti itu, kitab Al Muntakhab fi
Ahkam,kitab Al Muhadzdzab dan bukan ringkasan. Ia meninggal pada Tahun 399 H.
4.
Al
Qadhi Abdul Wahhab bin Nashir Al Baghdadi Al Maliki. Ia baik pandangannya, baik
susunan kata-katanya, belajar fiqh pada teman besar Al Abhari. Kemudian ia
menjadi besar di Baghdad lalu pergi ke Mesir dan kedatangannya itu dimuliakan.
Ia menyusun banyak kitab diantaranya ialah Kitabun Nashr li Madzhab Imam Darul
Hijrah dan Al Ma’unah li Madzhab ‘alimil Madinah, Kitabul Adillah fi Masa-ilil
Khilaf, Syarah Risalah Ibnu Abi Zaid, Syarah Al Mudawwanah dan lain-lain. Ia
meninggal pada tahun 422 H.
5.
Abul
qasim Abdur Rahman bin Muhammad Al Hadhrami yang terkenal dengan Al Labidi
termasuk ulama Afrika yang terkenal. Ia belajar fiqh pada Ibnu Abi zaid dan
Abul Hasan Al Qabisi. Ia mengarang kitab besar dalam madzhab itu lebih dari 200
juz besar tentang masalah Al Mudawwanah, memanjang lebarkan, membuat
cabang-cabangnya, Ziyadatul Ummahat dan Nawadirur Riwayat. Ia mengarang kitab,
meringkaskan Al Mudawwah yang diberi judul Al Mulakhkhash. Ia meninggal pada
Tahun 440 H.
6.
Abu
Bakar Muhammad bin Abdullah bin Yunus Ash-Shiqli, seorang faqih, seorang imam
yang ahli Faraidh. Ia tetap berjihad dan bersifat pemberani. Ia mengarang kitab
Faraidh dan kitab yang mencakup bagi Al Mudawwanah dengan menyandarkan
induk-induk yang lain kepadanya. Ia
meninggal pada Tahun 461 H.
7.
Abu
Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusy Al Qurthubi, pemimpin fuqoha’
pada masanya di Andalusia dan Maghrib serta pemuka mereka yang terkenal dengan
pemikiran yang sehat, penyusun kitab yang baik dan mengetahui detai-detail
fiqh. Baginya pengetahuan itu lebih dimenangkan daripada riwayat. Ia mengarang
kitab Al bayan wat Tahshil karena dalam Al Mustakhrajah ada pengarahan dan
penunjukan illat-illat, kitab Al Muqaddamat li awailil Mudawwanah, Ikhtishar
kitab-kitab yang luas dari karangan Yahya bin Ishhaq, dan membersihkan kitab
Ath Thahawi fi Musykililatsar. Ia meninggal pada Tahun 525 H.
8.
Abu
bakar Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan Ibnul Arabi Al Mu’afiri Al
Asybili. Ia mendapat pendidikan di negaranya kemudian lama pergi ke negara
Msyrik dan ia menemui banyak ulama diantaranya Al Ghazali lantas ia mendapat
faedah yang banyak serta merapikan masalah-masalah khilafiyah, ushul dan ilmu
kalam, kemudian ia pergi ke Andalusia, ia belajar banyak dan mengarang banyak.
Diantara karangannya adalah Kitab Ahkamal Qur’an dan kitab Al Masalik fi
Syarhil Muwaththa’ karya Imam Malik. Ia juga mempunyai kitab Al Mahshul fi
Ushulil Fiqh. Ia meninggal pada tahun 534 H.
Di bawah ini adalah orang-oarang yang
cerdik dari kalangan syafi’iyah yang pada periode ini mendapat keistimewaan
dengan membuat karangan dalam madzhab Asy Syafi’i, menyelenggarakan
penyiarannya dan memperbaiki kitab-kitabnya. Kebanyakan mereka dari penduduk
Irak, Khurasan dan daerah dibalik sungai. Diantaranya adalah:
1.
Abul
qasim Abdul Wahid bin Husain Ash Shaimiri. Ia hafal pada madzhabnya dan baik
karangannya. Ia memunculkan sejumlah ulama diantaranya Al Mawardi. Diantara
karangan-karangannya adalah Al Ifshahfil madzhab, Kitabul Kifayah, kitab fi
Qiyas wal’ilal, Kitab Shaghir fi Adabil Mufti wal Mustafti, kitab Fisy Syuruth.
Ia meninggal pada tahun 386 H.
2.
Abu
Ali Al Husain bin Syu’aib As Sanji, orang alimnya Khurassan. Orang yang pertama
kali mengumpulkan antara dua methode Irak dan Khurasan adalah Qadhi Husain,
sebagai murid Al Qaffal yang paling terpuji. Ia mengarang syarah Al Mukhtashar
dan dialah yang disebut oleh Imam Haramain dengan Madzhab besar, ia mensyarahi
Talkhis karya Ibnul Qash dan Al Furu’ karya Ibnul Haddad. Ia meninggal pada
Tahun 403 H.
3.
Abu
Thayyib Thahir bin Abdullah Ath Thabari, seorang Imam yang terhormat. Ia
menjadi puncak pemimpin ilmu di Baghdad. Kepadanya orang-orang Irak belajar
ilmu, ia mensyarahi Al Muzni, mengarang banyak kitab tentang khilaf, madzhab
dan perdebatan yang tidak seorangpun menyamainya. Ia menjabat hakim di Rabi’ Al
Karkh setelah Qadhi Ash Shamiri. Ia banyak berdiskusi bersama Abul hasan Ath
Thaliqani Al Hanafi dan juga bersama Al Qaduri. Ia meninggal 450 H.
4.
Abul
qasim Abdur Rahman bin Muhammad Al
Faurani Al Marwazi, pengarang Al Ibanah, Al Umdah dan lain-lain karangannya.
Dia termasuk murid yang besar dari Abu Bakar Al Qaffal. Ia syaikh penduduk
Maru, dan meninggal pada Tahun 476 H.
5.
Abu
Nashr Abdus Sayid bin Muhammad yang terkenal dengan Ibnu Shabagh, pengarang Asy
Syamil,Al kamil, Iddatu ‘alim, Ath Thariqus Salim. Kifayatus Sail dan Al
Fatawa. Dialah puncak pemimpin Syafi’iyah di Baghdad. Ia menyerupai Abu Ishhaq
Asy Syairazi. Ia adalah orang pertama yang mengajar di Nizhamiyah di Baghdad.
Ia meninggal pada Tahun 477 H.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Meskipun fase ini adalah periode jumud (beku) tetapi kenyataannya
pada fase ini para fuqaha cukup aktif mendalami, mengkaji, menganalisa, mengolah
dan mengkritik pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya, walaupun pendapatnya itu
dicetuskan oleh imam mazhabnya sendiri, seperti Al-Majmu’ karya Imam Nawawi dan
Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali. Akibat dari hal ini juga, pada fase ini telah
dapat memperkaya khazanah ilmu hukum Islam dengan bermacam bentuik kitab yang
bisa dijadikan standar bagi bermacam-macam bidang didiplin ilmu.
Dari pembahasan
di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut :
1.
Pada
masa taqlid ini para ulama’ telah lamah kemauannya untuk berijtihad menggali
hukum Islam langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena
telah merasa cukup mengikuti pendapat imam madzhab.
2.
Adanya
pergolakan politik, menganutnya hakim pada madzhab tertentu, adanya imam-imam
madzhab beserta pengikutnya dan tertutupnya pintu ijtihad, sehingga para ulama’
tidak sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu
bertaqlid.
3.
Periode
taqlid dalam sejarah Islam terbagi menjadi tiga fase yakni pertama, dimulai
dari abad keempat sampai jatuhnya Bagdad dibawah kekuasaan bangsa Tartar.
Kedua, sejak abad keempat hijrah sampai abad kesepuluh hijrah. Ketiga, mulai
abad kesepuluh sampai ke zaman Muhammad Abduh. Sedangkan masa kemundurannya
pada abad keempat sampai abad ketigabelas hijrah.
4.
Selama
masa taqlid, walaupun dinamakan masa kemunduran , namun ada beberapa ulama’
yang menentang taqlid dan menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
sehingga bisa menghasilkan karya-karya baru yang berguna bagi masanya dan masa
sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/beberapa-sebab munculnya-gejala-gejala-kebekuan-kelesuhan-dan-kemunduran-hukum-islam-pada-masa-muqallidun
http://nandikaagung.blogspot.co.id/2014/11/materi-hukum-hukum-islam-pada-zaman.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar