Jumat, 31 Maret 2017

PERIWAYATAN HADIS TAHAMMUL DAN ADA’ AL-HADIS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Umat Islam sepakat bahwa Hadis menjadi sumber hukum Islam secar Al-Qur’n. Maka dari itu, umat Islam secara intensif mempelajari Hadis Nabi Berikut Ilmu-ilmu pendukungnya. Jika dalam Al-Qur’an Allah telah menjamin kemurniannya secara pribadi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Hijr (15) ayat 9 yaitu:
Sesungguhnya kami-lah yng menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya
Berbeda dengan Hadis. Meskipun apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad pasti datang dri wahyu Allah, sebagaimana disebut dalam Surah An-Najm (53) ayat 3-6 yaitu:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsu ucapannya itu tiada lain halnya whyu yang diturunkan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan jibril menampakkan dirinya dengan rupa yang asli.
Tetapi dalam perjalanannya, suatu hadis telh melalui jalan yang butuh untuk diteliti kebenarannya sehingga bisa diambil dalam menetapkan suatu hukum atau tidak. Syaratnya pertama hadis itu dikatakan shahih, sebagaimana disebut oleh para ulama’ Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadis. Salah satu cra pembuktinnya tersambung sanad adalah dengn mengetahui metode berpindahnya suatu hadis dari satu rawi ke rawi lain. Dalam ilmu Musthalah hadis, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Thmmul wa Ada al-hadis.

B.     Rumusan Masalah
1.      Definisi tahmumul wa’adaul hadis?
2.      Bagaimana kelayakan tahammul wa’adaul hadis?
3.      Bagaimna metode tahamul wa ‘adaul hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kelayakan Seorang Perawi
Yang dimaksud dengan kelayakan seorang rawi adalah kepatutan seorang untuk mendengar dan menerima hadis serta kelayakan dalam menyampaikan kembli hadis itu. Kelayakan seorang perwri terbagi kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan kelayakan ada’
Dalam bentuk tahammul hadis, tidak disyaratkan seorang rawi itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat yang shahih.[1] Sebagaimana dijelsakan as-suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi.[2]
Berbeda dalam ada’, maka disyaratkan sudh baligh dan muslim. Maksudnya riwayat seorang itu diterima meskipun sat mendengar hadis itu,  seseorang tersebut masih dalm keadn kafir maupun masih belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudh tamyiz, sebagaimana jika ia sudah bisa membedakan kambing dan kedelai.[3]  
Meskipun ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadis seorang tidaklah diterima jika waktu memperoleh hadisnya saat belum baligh. Tetapi pendapt ini tidaklah benar. Karena para ulama telh menerima riwayat sahabat padahal saat menerim hadis, mereka belum baligh.
Sebagaimana riwayat hasan Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dn lainnya. Al-Kthib al-Bdhdadi (w. 463 H). Dalam kitab al- kifayah telah menjelaskan secara luas, tentang diterima riwayat seorang yang mendengar hadis saat belum baligh. Hasan bin Ali bin Abi Thalib telh meriwayatkan hadis dari Nabi, padahal beliau lahir pada tahun 2 Hijriyah. Maslmah bin Mukhallad meriwayatkan hadis dri Nabi. Saat Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.
Apakah ada batas umur tertentu dalam menerima hadis? Sebagian Ulma’ mensyrtkan batas usia 5 tahun. Adapula yang tidak membatasinya. Batasnya adalah jika sudah tamyiz, sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawb jika ditanya, daan bagus pendengarannya.[4] Selain kelayakan tahamul, seagaimana disebutkan diatas yaitu kelayakan ada’. Kelayakan ada’ seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebgimana syarat hadis maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith.[5]

B.     Kelayakan Tahammul Hadis
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala yang berarti menanggung, membawa atau biasa diterjemahakan dengan menerima.
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf. Sedangkan sebagian mereka tidak memperbolehkannya, yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak seperti Hasan, Abdullah, ibn Az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id Al-Khudriy, Mahmud ibn Ar-Rabi’ dll. Tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat dengan batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keretangan bersamaan dengan pendapat mereka, dan kita bisa meringkas penjelasan itu jedalam tida pendapat:
1.      Bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam sahihnya dari hadis Muhammad ibn Ar- Rabi’ ra. Katanya; “aku masih ingat firman Nabi SAW. Dari timbah kemukaku, dan (ketika itu)  berusia lima tahun.
2.      Pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun Al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai asbah bila ia telah mampu membedakan anatara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksud adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan disekitar.
3.      Keabsahan setiap anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan asbah pendengarannya, meskipun usianya masih dibawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatan mendengar hadis tidak asbah, meskipun usianya diatas lima tahun.

C.     Kelayakan ada’
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahawa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir berdasarkan ijima’ ulama, baik diketagui agamanya tidak memperbolahkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak islam bisa diterima, disamping itu Allah  SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik melalui firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ 

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum nmenyesal atas perbuatan itu. (Qs. Al-Hujurat:6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita menolaknya.
b.      Baligh
Ini merupakan pusat taklif, kaerena itu riwayat anak  yang berada dibawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasullulah “terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak yang tidur sampai mimpi basah.” (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak dibawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Disamping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat takllif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya. Kemudian syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalahnya keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
c.       Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termaksud kedalamnya menjauhi dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri seperti makn dijalan, buang air kecil dijalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d.      Dhabt
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadis dan memahami ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikan kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seseorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya dari ada perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisan.
Cara mengetahui kedhabitan seseorang perawi adalah dengan membandingkan hadisnya dengan hadis perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit perbedaan. Namun bila banyak pebedaan dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan hadisnya tidak bisa digunakan sbagai hujjah.

D.    Metode Tahammul Hadis
Pada umumnya ulama membagi metode penerimaan riwayat hadis menjadi dalapan macam yaitu:
1.      Sama’ : pembacaan oleh guru kepada murid.
Metode ini berbetuk penyampaian lisan, pembicaraan dari kita, tanya jawab dan dekte
a.       Penyampaian hadis secara lisan oleh guru.
Prakyik ini mulai menyurut sejak paru kedua abad kedua hijriah, meskipun bertahan cukup lama. Biasanya para murid terikat pada guru tertentu untuk waktu yang lama, sampai mereka yakin telah memiliki otoritas untuk hadis yang ada pada guru tersebut. Kadang mereka disebut rawi dan shahib dan si anu. Sekalipun pertemuan rutin untuk mengajar diadakan, hanya segelintir hadis yang diajarkan dalam satu pelajaran, katakanlah tiga atau empat.
b.      Pembacaan dari kitab
Bisa dibicrakan guru dari kitabnya sendiri, dan ini lebih disukai, bisa juga dari kitab murid, yang merupakan salinan atau seleksi dari karya guru juga. Yang terakhir mempunyai banyak perlengkapan bagi guru yang tidak menghafal hadisnya sendiri. Beberapa murid dan ulama dapat melakukan tipu daya. Mereka menyisipkan sejumlah hadis disana-sini kedalam kumpulan hadis guru. Lalu menyerahkan buku tersebut kepadanya buat dibacakan, guru menguji kejelian pengetahuan dan keingatannya. Guru yang gagal mengenali bahan tambhan dinyatakan tidak dapat dipercaya.
c.       Tanya jawab
Dalam metode ini, murid biasanya membacakan satu bagian dari hadis, lalu guru membacakan seluruhnya.
d.      Dikte
Lepas dari pendidikan Nabi SAW dan kalangan sahabat mendiktekan hadis, agaknya sahabat Watsilah b.Asqa’ (Wafat 83 H) yang pertama membuat kelas-kelas untuk pendiktean. Cara ini tidak digukung pada masa awal, karena dalam cara ini murid dapat mengumpulkan banyak pengetahuan dalam waktu singkat tanpa banyak usaha. Nampaknya, az-Zuhri-lah yang pertama menyampaikan dari sikap umum ini. Sekitar abad pertma, kita melihat beliau mendiktekan hadis, cara yang terus dipakai sepanjang hidup.[6]

2.      Ardh: Pembacaan Oleh Murid Kepada Guru
Metode ini ialah, kitab dibacakan kepada guru oleh murid atau seseorang yang disebut qari’, sedangkan murid lain memandingkan hadis yang dibacakan itu dengan kitab mereka, atau hanya mendengarnya dengan penuh perhatian, baru dengan demikian menyalin kitab tersebut. Metode ini disebut ‘ardh.
Dalam menyalin biasanya mereka membuat lingkaran setiap selesai satu hadis.[7]
Jika seseorang tidak mengikuti metode belajar ini, ia dapat dituduh mencuri hadis artinya ia menggunakan bahandalam mengajar atau menyusun kitabnya yang, sekalipun asli. Tidak diperoleh dengan cara yang layak. Ulama awal mempunyai metode hak cipta sendiri, dimana orang lain tidak berhak menggunakan bahan dengan hanya membeli kitab.[8]

3.      Ijazah : Pemberian izin
Dalam terminologi hadis, ijazah berarti mengizinkan seseorang menyampaikan hadis atau kitab berdasarkan otoritas ulama yang memberi izin, tanpa harus membacakan kitab itu kepadanya.
Dalam beberapa kasus, sistem ini semacam pengaman bagi teks. Misalnya, bila A mengizinkan B menyampaikan shahih al-Bukhari, maka B harus menemukan salinan shahih al-Bukhari yang berisi sertifikat pembacaan yang memuat nama A. Dengan cara ini, teks yang benar dapat dijaga dari perubahan

4.      Munawalah : Menyerahkan Kitab Kepada Murid
Seseorang meberikan kepada murid naskah sekaligus otoritas untuk meriwayatkannya. Misalnya Az-Zuhri (51-124) memberikan naskah kepada ulama. [9] Praktik ini disebut menawah. Ini bukanlah praktik yang umum dimasa awal.

5.      Kitabah : Korespondensi
Ini berarti menuliskan hadis buat seseorang untuk diriwayatkan. Meminjam terminologi modern, praktik ini biasa disebut korespondensi. Cukup banyak aktivitas metode ini. Praktik ini dimulai sejak masa sangat dini, dan dapat dianggap sejak permulaan sekali. Surat-surat resmi al-Khalifah ar-Rasyidun mengandung banyak hadis yang diriwaytkan oleh para ulama. Di samping itu, banyak sahabat dan, belakangan, ulama mencatat hadis dan mengirimnya kepada murid-murid mereka. Misalnya Ibn Abbas menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.[10]

6.      I’lam : mengabarkan hadis
I’lam berati mengabari seseorang kitab yang dapat ia (pemberi kabar) telah  mengijinkan untuk meriwayatkan sebuah kita tertentu berdasarkan otoritas ulama tertentu.sebagian ulam memperbolehkan cara penyampain hadis seperti ini, sementara yang lain menolaknya. “Faedah”-Nya hanyalah bahwa orang kedua harus menemukan salinan asli yang memuat sertifikat dan nama si pemberi izin. Tanda-tanda seperti ini sulit dilacak pada priode awal.

7.      Wasliyyah
Mempercayakan kepada seseorang kitab yang dapat ia riwayatkan berdasarkan otoritas yang mempercayakan. Contohnya Abu Qilabah (wafat 104 H) mempercayakan kitabnya kepada Ayyub al-Sakhtiyani.[11]

8.      Wajadah
Yakni, merupakan kitab seorang tanda suatu izin untuk meriwayatkannya berdasarkan otoritasnya siapa pun. Ini bukan cara belajar hadis yang diakui. Menurut ketentuan muhadditsin, seseorang harus menyatakan secara jelas bahwa informasi yang ia sampaikan diambil dari kitab. Terdapat beberapa kitab sebagai referensi untuk jenis ini dari masa sangat awal contohnya kitab Sa’d b.Ubaidaj (wafat 15 H).

E.     Sighat-Sighat ada’
1.      Al-Sima’
Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan maupun bukan, dan baik dari hafalan maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatnya. Termaksud kategori sama’ juga sesorang yang mendengar hadis dari syeikh dari balik satar. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkannya hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.


2.      Al-Qira’ah ‘ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Yakni satu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan maupu orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.

3.      Ijazah
Yakni seseorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : seseorang syaikh megatakan kepada salah satu muridnya aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah:
a.       Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seseorang yang tertentu misalnya dia berkata, “ aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Diantara jenis-jenis ijazah inilah yang paling tinggi derajatnya.
b.      Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan .”aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c.       Syaikh memgijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan, “ aka ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d.      Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan, “ aku ijazahkan kepada muhammad bin Khalid ad-Dimasyqi”; sedangkan disitu terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti  itu.
e.       Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.

4.      Al-Munawalah
Yakni seseorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya atau diriwayatkan
Al-Munawalah ada dua macam:
a.       Al-Munalawah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatnya paling tinggi diantara macam-macam ijazah secara mutlaq.
b.      Al-Munawah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seseorang syaikh memberikan kitabnya sepada sang murid dengan hanya mengatakan :
“ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[12]

F.      Hukum Meriwayatkan Hadis-Hadis Secara Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi ataupun makna isi atau makannya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah terentu yang digunakan untuk menguatkan penulisannya, seperti dengan kata : qala Rasul saw hakadza (Rasul saw telah bersabda begini), atau qala Rasul saw qariban min hadza.[13]
Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Nabi SAW tidak diperkenakan meriwayatkan hadis secara makna. Alasannya adalah, yang pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah) keadaan dan perbuatan Nabi SAW.[14]

Periwayatan hadis dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan makna nya tetap sama. Hal ini sangat tergantung pada para sahabat atau generasi brikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristiknya  yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dengan lembaran-lembaran, mushaf dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadaap Al-Qur’an ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi.
Ulama hadis berpendapat bahwa selain sahabat boleh meriwayatkan hadis secara makna. Namun dengan bebrapa ketentuan. Diantara ketentuan-ketentuan yang dipastikan para hadis ulama adalah :
Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki penegtahuan bahasa arab yang mendalam. Dengan demikian,periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan secara harfiah.
Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan ang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa, azan, takbir dan syahadat. Dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami al-kalim.
Periwayatan yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata atau makna semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum pembukuannya, maka periwayatan hadis hrus secara lafaz.[15]


Dengan adanya ketentuan tersebut, maka para perawi tidak bebas dalam meriwayatkan hadis secara makna.
Shubhi Ismail menyebutkan empat syarat yang harus dipenuhi periwayatannya dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu Bahasa Arab; kedua, perawi itu harus menegenal dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda diantara lafaz-lafaz trsebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. Disamping empat syarat itu Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh menambah atau pengurangan didalm penerjemahan (penyampaian hadis dengan makna) tersebut.[16]
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bil-lafazh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat seorang perawi sebagai berikut:
1.      Tsiqah dalam beragama.
2.      Terkenal kejujurannya dalam periwayatan hadisnya.
3.      Mengetahui dengan apa yang diriwayatkannya.
4.      Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya.
5.      Terkenal sebagai perawi hadis bil lafazh.
6.      Hafal jika ia meriwayatkan hadis dari hafalannya.
7.      Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya)
Selain itu orang yang mengetaui dengan segala makna hadis dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya saja apabila tidak dapat mendatangkan lafaznya yang asli, karena ia menerima hadis itu denagnlafaz dan maknanya. Namun ia tidak mampu untuk menyampaikan salah satunya (lafazhnya), maka boleh saja ia meriwayatkan hadis itu dengan maknanya selama dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (Khatha’), seabab tidak menyampaikan hadis dengan makna nya dinilai menyembunyikan hukum.[17]
Terjadinya periwayatan secara makana disebabkan beberapa faktor berikut:
Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafazh, karena tidak adanya redaksi langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
Adanya larangan nabi untuk meuliskan selain Al-Qur’an. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Disamping larangan, ada pemberitahuan dari Nabi tentang kebolehan menulis hadis.
Sifat darar menusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.[18]


BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadis dari dari seseorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-Ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis.
Mayoritas ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedangkan sebagaian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, baligh, sifat adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahamul al-ada’ aalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
Ketentuan hadis secara maknawi yang boleh meriwayatkan hadis secara maknawi adalah mereka yang benar-benar memiliki penegtahuan Bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah Sabda Nabi SAW bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa, azan,takbir, dan syahadat dan juga bukan sabda nabi dalam bentuk  jawami’ al-kalim.
Periwayatan yang meriwayatkan hadis secara maknawi, atau yang mengalami keraguan akan  susunan  matan hadis yang diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.




[1] Mahmud at-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadis. H.157
[2] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w.911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhih an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisiah, t.t), tahqiq Abdul Wahab Abdullatif, juz ii, h.8
Ahmad bin Ali Tsabit Abu Bakar al-Khatib al-baghdadi, al-kifayah fi Ilmi ar- Riwayah, (Madinah: al—Maktabah al-Ilmiyyah, t.t), Tahqiq Ibrahim Hamdi al-Madani, h.65.
[4] Mahmud at-Thahhan, tafsir Musthalah al-hadis, h. 158
[5] Mahmud at-Thahhan, Tafsir Musthalah al- hadis, h.145
[6] Tahammul al-Ilm (penerimaan pengetahuan hadis)
[7] Untuk keterangan rinci liat studies
[8] Namun, beberapa ulama menyalin informasi dari naskah-naskah tertentu yang mereka temukan dan menerangkan secara eksplisit bahwa mereka telah menemukan itu dalam naskah tertentu, ini tidak sah dalam pandangan ulama awal, karena salinan dapat dipalsukan atau karena juru tulis dapat membuat kesalahan pada saat membacanya.
[9] Untuk lebih detail, lihat studies, h.88-93
[10] Untuk rincian, lihat ibid, h.41-42
[11] Untuk rincian, lihat ibid, h.63
[12] Ibid:156
[13] Ibid Ajjaj Al-Khattib, op. Cit., hlm. 130. Lihat juga Al-Khattib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq Al-Rawi wa Abadi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Maishriyah,t.t) hlm.106
[14] M.Syuhudi Ismail, kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm.70
[15] Ibid., hlm.71:Bandingkan Al-Ramahirmuzi, Al-Muhaddits  al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i, Ed. M.’Ajjaj al-Khatib (Beirut; Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), hlm. 530-531: Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis; h. 187-192; ‘Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah, hlm.132-135.
[16] A. Hafiz Anshary AZ, periwayatan Hadis dengan Lafal dan  Makna, dalam Khazanah Nomor 54 Oktober Desember 2000, IAIN antasari, 2000 hlm.96
[17] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis, Dar al-Fikr, 2000 hlm.132-135
[18] A.Rahman Ritonga, op Cit, hlm.181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar