TEORI-TEORI
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
A. Teori PsikoanalitiS
Pada teori ini perkembangan pada
dasarnya tidak disadari dan sangat di warnai oleh emosi. Menurut para teoritis
bahwa perilaku semata-mata adalah suatu karakteristik permukaan dan untuk
benar-benar mengalami perkembangan, kita harus menganalisis makna simbolis
prilaku dan kerja pikiran yang paling dalam.Selama itu pengalaman-pengalaman
sebelumnya dengan orang tua secara ekstensif dapat membentuk perkembangan
seseorang. Karakteristik ini digarisbawahi dalam teori psikoanalitik utama
yaitu teori Sigmund Freud dan teori erikson.
Berikut penjelasannya :
a. Teori Freud.
Menurut Freud, kepribadian memiliki
3 struktur yaitu : id, ego, dan super ego. Id adalah struktur kepribadian yang
terdiri atas naluri yang merupakan gudang psikis individu, Id tidak memiliki
kontak dengan realitas. Jadi ketika anak-anak mengalami tuntutan dan hambatan
realitas, suatu struktur baru kepribadian akan muncul sedangkan ego merupakan
struktur kepribadian yang berurusan dengan tuntutan realitas. Ego di sebut
badan pelaksana kepribadian karena ego membuat keputusan-keputusan rasional.Id
dan ego tidak memiliki moralitas, id dan ego tidak memperhitungkan apakah
sesuatu itu benar atau salah, berbeda dengan superego.Superego merupakan
struktur kepribadian yang merupakan badan moral kepribadian dan benar-benar
memperhitungkan apakah sesuatu itu benar atau salah.
Dalam
mengatasi konfik antara tututan realitas keinginan Id, dan hambatan superego
dapat diatasi melalui mekanisme pertahanan (defence mechanisems) adalah
istilah psikoanalitik bagi metode ketidaksadaran, ego membelokkan atau
mendistorsi realitas, dengan demikian melindunginya dari kecemasan. Menurut
Freud tuntutan-tuntutan struktur kepribadian yang saling bertentangan akan
menimbulkan kecemasan, misalnya ketika ego menghambat atau memblok pengejaran
Id akan kenikmatan, kecemasan yang lebih dalam akan dirasakan, maka keadan
tertekan akan berkembang ketika ego merasa bahwa id sedang membahayakan
individu.
Represi (repression) adalah
mekanisme pertahanan yang paling kuat dan paling meresap, represi bekerja
menolak dorongan-dorongan id yang tidak di inginkan di luar kesadaran dan
kembali kepikiran tidak sadar. Represi adalah landasan darimana semua mekanisme
pertahanan lain bekerja. Tujuan setiap mekanisme pertahanan adalah menekan atau
menolak keinginan-keinginan yang mengancam di luar kesadaran.Menurut Freud
pengalaman masa awal anak-anak sebagian besar di antaranya diyakini sarat
secara seksual, cukup mengancam dan menekan kita untuk mengatasinya secara
sadar.Untuk mengurangi kecemasan akibat konflik ini dapat dilakukan melalui
mekanisme pertahanan represi.Tahap-tahap awal perkembangan kepribadian menurut
Freud :
a.
Tahap mulit (oral stage)
Berlangsung
selama 18 bulan pertama kehidupan dan kenikmatan bayi berpusat di sekitar
mulut, seperti mengunyah, mengisap, dan menggigit adalah sumber utama kenikmatan
yang dapat mengurangi tekanan atau ketegangan pada bayi.
b.
Tahap anal ( anal stage )
Berlangsung
antara usia 1 dan 3 tahun dimana kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus,
menurut Freud latihan otot-otot lubang dubur dapat mengurangi tekanan atau
ketegangan pada tahan ini.
c.
Tahap phallic (phallic stage)
Berlangsung
antara 3 dan 6 tahun. Pada tahap ini kenikmatan berfokus pada alat kelamin,
ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri ( self manipulation ) dapat memberi
kenikmatan.
d.
Tahap laten/tersembunyi ( latency
stage )
Berlangsung antara kira-kira usia 6
tahun dan masa pubertas, anak merekam semua minat terhadap seks dan
mengembangkan keterampilan social dan intelektual.
e.
Tahap kemaluan (genital
stage)
Berawal
dari masa pubertas dan seterusnya. Tahap kemaluan ialah suatu masa kebangkitan
seksual, sumber kenikmatan seksual sekarang adalah seorang yang berada di luar
keluarga.
B. Teori Kognitif
Perkembangan kognitif pada peserta didik merupakan suatu
pembahasan yang cukup penting bagi pendidik maupun orangtua. Perkembangan
kognitif pada anak merupakan kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta
kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah yang termasuk dalam
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari
dan memikirkan lingkungannya.
Dalam memahami perkembangan kognitif, harus mengetahui
proses perkembangan kognitif tersebut. Perkembangan kognitif dapat dikaji
dengan menggunakan dua cara yaitu dengan pendekatan tentang tahapan-tahapan
perkembangan kognitif yang dijelaskan oleh Piaget dan dengan caran system
pemprosesan informasi. Pada teori pemprosesan informasi lebih menekankan
bagaimana proses-proses terjadinya perkembangan kognitif, tetapi pada teori
Piaget membagi proses tersebut ke dalam berbagai tahapan.
Selain itu karakteristik perkembangan kognitif peserta didik
juga harus dapat dipahami semua pihak melalui oleh para tokoh-tokoh Bruner,
Ausubel dan Vygotsky. Dengan pemahaman pada karakteristik perkembangan peserta
didik, pendidik dapat mengetahui sebatas apa perkembangan yang dimiliki anak
didiknya sesuai dengan usia mereka masing-masing, sehingga pendidik dapat
menerapkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing anak didik.
Meskipun banyak hal dan kendala dalam perkembangan kognitif anak, setidaknya
kita sebagai para pendidik harus memahami tentang perkembangan kognitif agar
cara pengajaran kita sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing anak.
C.
Teori Perilaku Dan Teori Kognitif Sosial
Tema pokok tulisan ini adalah pembelajaran, dan initinya
adalah apakah yang dapat guru lakukan untuk mendukung pembelajaran seluruh
siswa. Bab ini merupakan bagian pertama dari tiga pengembangan gambaran teoritis
topik tersebut. Kita mulai bagian ini dengan penjelasan teori belajar dalam
perspektif behavioris dan diikuti oleh pembahasan mengenai teori kognitif
sosial, sebuah gambaran pembelajaran yang mencakup unsur-usur perilaku tetapi
hal tersebut harus melalui proses pengujian semacam kepercayaan dan
harapan-harapan, yang tidak dipertimbangkan oleh kaum behavioris.
Dengan
selesainya pembahasan bab ini, diharapkan mampu menemukan bagian-bagian
berikut:
a. Mengidentifikasi contoh-contoh
pembasan klasik dalam suasana ruangan kelas.
b. Menjelaskan kasus-kasus perilaku
siswa dengan menggunakan konsep-konsep seperti: penguatan kembali, penghukuman,
generalisasi, diskriminasi, kejenuhan dan penghapusan (kepunahan).
c. Menjelaskan pengaruh jadwal
penguatan kembali perilaku siswa.
d. Mengidentifikasi contoh model dan
pengalaman belajar dalam situasi kelas.
e. Menggambarkan karakteristik perilaku
diri yang teratur dalam masyarakat.
Pandangan
Behaviorisme Tentang Pembelajaran
Dari perpektif behaviorisme, belajar merupakan suatu perubahan
mutlak secara relative dalam perilaku yang dapat diobservasi yang timbul
sebagai hasil dari pengalaman (Mazur, 1994). Sebagai catatan bahwa defenisi ini
mengkhususkan hanya pada perilaku yang diobservasi. Ahli behavioris memperoleh
nama dengan berfokus pada kelakukan orang yang dapat dilihat. Hal ini tidak
mempertimbangkan beberapa struktur eksternal, wawasan, proses atau
kebutuhan-kebutuhan.
Kita mulai mempertimbangkan defenisi ini dengan catatan
bahwa perubahan tingkah laku terjadi secara relatif. Kita semua dapat melihat
atau mengalami perubahan pada masa lalu dari hasil dan ketegangan emosi atau
luka. Perubahan seperti ini dapat disimpulkan sebagai “belajar”. Perubahan
kelakuan sebagai suatu hasil pendewasaan tidak akan disebut membawa tas besar
yang saudara laki-lakinya lebih tua 6 tahun tidak dapat mengangkat benda itu.
Dia lebih baik dan kuat sebagai suatu kesimpulan dari pendewasaan.
1.
Contiguity (Hubungan)
Bentuk pembelajaran yang timbul melalui hubungan, pemaduan
secara sederhana antara stimulus (S) dan respon (R). Hubun Hubungan didasarkan
pada prinsip bahwa jika dua sensasi muncul secara bersamaan, mereka menjadi
terasosiasi (Leahey dan Harris, 1993).
Stimulus adalah seluruh penglihatan, bunyi, rasa dan
pengaruh-pengaruh lain alat penginderaan yang diterima dari lingkungan. Respon
adalah perilaku-[erilaku yang merupakan hasil dari asosiasi. Hubungan muncul di
ruangan kelas jika stimulus dan respon dipadukan dan diulangi semacam kegiatan
latihan pengulangan dengan kartu pengikat (yang diperlihatkan sebentar).
2.
Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Sekalipun pasangan S-R dapat dipakai untuk menjelaskan
pembelajaran dan perilaku sederhana, pembelajaran itu sangat kompleks.
Contohnya, Tim yakin akan kecakapannya mengerjakan Aljabar II, namun ia merasa
bingung dalam mengerjakan tes. Akibatnya, ia mengalami kegagalan karena gugup
dan terlambat mengerjakan tes. Sebagai bukti ia berpuitar-putar pada
masalahnya. Bagaimanapun juga, tes Aljabar yang sebelumnya tidak menyusahkan
dia, tergabung dalam gagalnya dan membuatnya gugup, sebuah emosi yang
menghubungkan rasa kepanikannya dengan kegagalan terhadap tes. Di sini terlihat
adanya stimulus dan respon, tetapi pasangan S-R sederhana tidak mampu
menjelaskan tingkah laku Tim. Ada sesuatu yanglebih kompleks yang perlu
diperhatikan.
Teori Classical Conditioning Pavlov
Menurut sejarah, tipe pembelajaran ini dipopulerkan oleh
Ivan Pavlov, seorang psikolog Rusia yang menerima Hadiah Nobel pada tahun 1904
karena hasil penelitiannya. Salah satu bagian dari penelitiannya, ia melakukan
percobaan terhadap seekor ajing yang dimaksudkan untuk mengeluarkan air liur
pada kondisi yang berbeda-beda. Awalnya pembantunya memberi makanan tambahan
berupa daging halus yang menyebabkan anjing itu mengeluarkan liur. Akan tetapi
pada penelitian lanjutan anjing itu tetap mengeluarkan air liur ketika
pembantunya datang pada saat yang berbeda dan tidak membawakana daging
kepadanya. Hasil penelitian Pavlov ini sangat mengejutkan dan membuka lapangan
studi baru dan disebut classical conditioning “pembiasaan klasik” atau
respondent learning karena pebelajar member respon terhadap lingkungan.
Sebuah contoh yang berhubungan dengan classical
conditioning, ketika Tim gagal dalam tes, dia merasa terpukul, dia tidak dapat
mengendalikan perasaannya (bimbang). Perasaannya tidak enak dan emosional,
itulah sebuah respon yang tidak terkondisikan. Sebuah respon yang replektif
tanpa sengaja membuatnya gagal mengerjalkan tes. Kegagalan itu adalah sebuah
stimulus yang tidak terkondisikan, stimulus yang menghasilkan respon yang tidak
terkondisikan. Dalam eksperimen Pavlov, stimulus yang tidak dikondisikan adalah
daging halus yang megakibatkan keluarnya air liur sebagai psikolog yang tidak
disengaja.
Karakteristik
Classical Conditioning
a) Belajar (pembelajaran memerlukan
tempat)
b) Respon menyangkut emosional psikolog
dan tanpa disengaja dan di luar control kesadaran pebelajar.
c) Stimulus yang terkondisi atau tidak,
dilakukan dengan berbagai cara sehingga menjadi terasosiasi.
d) Respon yang terkondisi atau tidak,
boleh jadi identik atau mirip.
Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
Ruang kelas sebagai contoh classical conditioning sebenarnya
sudah umum/biasa. Misalnya, banyak siswa yang gelisah dalam tes. Hal ini
tidaklah berarti tidak umum bagi beberapa anak-anak muda mengalami kesulitan
secara fisik di sekolah dan beberapa orang tua enggan untuk mengerti fungsi
sekolah atau merespon permintaan guru. Classical conditioning dapat membantu
kita menjelaskan contoh tersebut. Selain itu dapat pula menjelaskan
perasaan-perasaan positif, misalnya sebuah lagu yang mampu membangkitkan
perasaan atau suasana hati.
Pemahaman classical conditioning dapat membantu kepekaan
guru terhadap pentingnya suasana kelas dan bentuk asosiasi siswa mereka.
Misalnya, pikiran siswa jika menemui kesulitan di sekolah atau kelas baru yang
diperlakukan dengan kehangatan dan mendapat membantu perhatian yang cukup dari
guru mereka. Hal itu akan memberikan kesan. Sebagai respon pebelajar dengan
sendirinya untuk memperhatikan kehangatan yang sejati. Jika guru konsisten
dalam sikapnya, para siswa nulai mnengasosiasikan sekolah dengan kehangatan
guru. Sekolah mendatangkan perasaan menyenangkan dan aman bagi siswa.
Kehangatan yang diperlihatkan guru merupakan stimulus yang tidak terkondisikan.
Sekolah atau kelas yang mereka asosiasikan dengan kehangatan guru sebagai
stimulus yang terkondisikan. Perasaan emosional mereka yang positif sebagai
respon.
Generalisasi
dan Diskriminasi
Generalisasi muncul bilama stimulus berhubungan/terkait
dengan stimulus yang terkondisi serta mendatangkan respon yang terkondisi oleh
dirinya sendiri. Misalnya, tim gugup ketika mengambil hasil tes aljabar II
(gagal), dia juga gugup ketika mengambil hasil tes kimia (takut gagal). Dia
selalu gugup jika mengerjakan tes pengetahuan yang bekaitan dengan aljabar.
Diskriminasi adalah kemampuan untuk memberikan respon-respon
yang berbeda untuk dihubungkan tetapi bukan stimulus yang identik. Misalnya tim
gugup selama tes Kimia tetapi tidak pada saat bahasa Inggris dan Sejarah.
Contohnya dia memberdakan antara bahasa Inggris dan Matematika dengan
respon-responnya yang berbeda.
Extinction (Penghapusan)
Dalam studi kasus tim, dia telah melakukan lebih baik
semenjak ia beljar dengan Susan dan mengubah kebiasaan belajarnya. Suatu waktu
jika ingin mencapai sukses, kegugupannya akan hilang, atau respon yang
terkondisi akan hilang. Extinxction atau penghapusan ini terjadi bilamana
rangsangan muncul berulang-ulang dalam ketidakadanya rangsangan yang tak
terkondisi.
Dalam kasus tim, pengulangan pengambilan hasil tes tes
merupakan stimulus yang terkondisi, tes yang tejadi tanpa kegagalan merupakan
stimulus yang tidak terkondisi. Suastu saat nanti tidak ada hasil dalam kondisi
yang menngelisahkan (respon yang terkondisi).
Penerapan
Contiguity dan Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
1. Keputusan yang hati-hati adalah
salah satu bentuk pembelajaran untuk siswa yang akan memberi respon. Dengan
memperbanyak pengulangan dan latihan akan mempertajam ingatan terhadap materi
pelajaran.
2. Siapkan kondisi aman dan hangat
dalam kelas yang bisa membangkitkan emosi positif belajar.
3. Ketika murid-murid bertanya, buatlah
mereka dalam suatu keadaan yang menyenangkan untuk memastikan hal yang positif
(puas).
4. Siapkan siswa dengan praktik dalam
situasi yang berhubungan dengan keinginan yang potensial.
3.
Operant Conditioning
Teori ini dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904-1990),
seorang ahli psikologi tingkah laku yang menjadikannya pada pertengahan tahun
60-an menjadi orang yang sangat terkenal sebagai kepala bagian psikolog hingga
akhir tahun 60-an. Hal ini juga membuatnya menjadi seorang psikolog yang
berpengaruh di abad ke-20 (myers:1970). Skinner percaya bahwa respon-respon
yang menuju ke stimuli khusus hanya dicatat pada proposi yang kecil dari semua
perilaku-perilaku. Dia menyarankan bahwa tingkah laku lebih banyak dikontrol
oleh akibat-akibat dari tindakan daripada oleh peristiwa-peristiwa yang
melingkupi tindakan-tindakan. Konsekuensi itu merupakan outcome (stimulus) yang
muncul setelah perilaku itu mempengaruhi perilaku yang akan datang. Contoh:
pujian seorang guru setelah seorang siswa menjawab, itu adalah suatu
konsekuensi.
D.
Teori Etologi
Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana
ethos ialah kata Yunani untuk "kebiasaan". Etologi juga dikenal
dengan istilah sosisobiologi yakni bidang studi ilmiah yang didasarkan pada
asumsi bahwa perilaku sosial telah dihasilkan dari evolusi dan upaya untuk
menjelaskan dan memeriksa perilaku sosial dalam konteks tersebut. Sering
dianggap sebagai gabungan biologi dan sosiologi dimana sosiobiologi sangat erat
bersekutu dengan bidang perilaku manusia dan psikologi evolusioner.
Etologi menekankan landasan biologis, dan evolusioner
perkembangan. Penamaan (imprinting) dan periode penting (critical
period) merupakan konsep kunci. Teori ini ditegakkan berdasarkan penelitian
yang cermat terhadap perilaku binatang dalam keadan nyata. Pendirinya adalah
Carl Von Frisch, seorang pecinta binatang. Bertahun-tahun ia memelihara
berbagai macam binatang dan mengamati perilakunya.
Percobaan yang dilakukan pada sekelompok itik dengan
anak-anaknya adalah yang yang digunakan untuk menyusun teori ini. Ia pisahkan
dua kelompok anak angsa, satu kelompok diasuh induknya dan satu kelompok lagi
ia asuh sendiri. Setelah beberapa bulan kelompok anak angsa yang diasuhnya
mengidentifikasi Carl Von Frisch sebagai
induknya. Kemanapun Carl Von Frisch pergi mereka selalu mengikuti. Suatu saat
dipertemukan kelompok asuhnya dengan induk aslinya ternyata kelompok yang
diasuh ini menolak induk aslinya.
Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari
semua perilaku sosial ada dalam gen. Ada insting dalam makhluk untuk
mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan adalah “genes setting the
stage, and society writing the play”. Teori ini memberikan dasar bagi pemahaman
periode kritis perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah
dilahirkan. Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang berbeda berubah sepanjang
siklus kehidupan. Adanya atau tidak adanya pengalaman-pengalaman tertentu pada
waktu tertentu selama masa hidup mempengaruhi individu dengan baik di luar
waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali terjadi. Para etologi yakin bahwa
kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka waktu khusus ini pada
awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan landasan
biologis dalam perkembangan.
Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan
para pakar ilmu hewan Eropa, khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi
menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi terkait dengan
evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting atau peka. Konsep periode
penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam
perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep etologi
untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang kritis
yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama kali. Para
Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin bahwa laboratorium
bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati perilaku
secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain,
tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada
anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah
laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak
secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku.
Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku
awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman,
isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi.
Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga
dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu.
Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan
mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality
attachment). Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding”
yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama
sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley ,1992).
Bowlby menyatakan bahwa kita dapat memahami tingkah laku manusia dengan
mengamati lingkungan yang diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat
berkembang.
Etologi sebagai sosiologi didasarkan pada premis bahwa
beberapa perilaku (baik sosial dan individu) setidaknya sebagian diwariskan dan
dapat dipengaruhi oleh seleksi alam. Ini dimulai dengan gagasan bahwa perilaku
telah berevolusi dari waktu ke waktu, mirip dengan cara bahwa sifat-sifat fisik
diperkirakan telah berevolusi. Ini memprediksi karena itu hewan akan bertindak
dengan cara yang telah terbukti sukses evolusi dari waktu ke waktu, yang dapat
antara lain menghasilkan pembentukan proses sosial yang kompleks yang kondusif
untuk kebugaran evolusi. Melekat dalam penalaran sosiobiologis adalah gagasan
bahwa gen tertentu atau kombinasi gen yang mempengaruhi ciri-ciri perilaku
tertentu dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebuah dasar genetik untuk sifat-sifat perilaku naluriah
kalangan non-spesies manusia, seperti dalam contoh di atas, umumnya diterima di
kalangan banyak ahli biologi, namun mencoba untuk menggunakan dasar genetik
untuk menjelaskan perilaku yang kompleks dalam masyarakat manusia tetap sangat
kontroversial.
E. Teori Ekologi
Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan
perkembangan biologis. Berbeda dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917)
mengajukan suatu pandangan lingkungan yang kuat tentang perkembangan yang
sedang menerima perhatian yang meningkat. Teori ekologi adalah pandangan
sosiokultular Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari 5 sistem
lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan gen-gen sosial (social
agent) yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas.
Kelima sistem dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah mikrosistem,
mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Modal ekologis
Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).
Mikrosistem, dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah
setting dimana individu hidup. Konteks ini meliputi keluarga individu,
teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah interaksi
yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung. Misalnya orang tua,
teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima
pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong
membangun setting. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian
tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada mikrosistem.
Mesosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi
hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antar beberapa konteks. Contohnya
ialah hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah, pengalaman
sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman
teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat
mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru, para
developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setiing
majemuk seperti keluarga, teman sebaya, dan konteks sekolah untuk memperoleh
gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan individu.
Ekosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan
ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain dimana individu tidak
memiliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks
yang dekat. Misalnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang
perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang
menuntutnya melakukan banyak perjalanan, yang dapat meningkatkan konflik
perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua anak. Contoh lain ekosistem
adalah pemerintah kota yang bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat-pusat
rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja.
Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi
kebudayaan di mana individu hidup. Ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola
perilaku, keyakinan dan semua produk lain. Dari sekelompok manusia yang
diteruskan dari generas-generasi. Ingat juga bahwa studi lintas budaya,
perbandingan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain atau lebih kebudayaan
lain, memberi informasi tentang generalitas perkembangan.
Kronosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi
pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian
kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misalnya dalam mempelajari dampak perceraian
terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering
memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan bahwa dampaknya lebih
negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Dua tahun setelah
perceraian, interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan lebih stabil dengan
mempertimbangkan keadaan-keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan
tampaknya sangat didorong untuk meniti karir dibandingkan pada 20 atau 30 tahun
yang lalu. Dengan cara seperti ini, kronosistem memiliki dampak yang kuat pada
perkembangan kita.
RUJUKAN
Hartinah, Siti. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Bandung: PT Refika Aditama.
Hartono, A., dan Sunanro. 1995. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hurlock, Elizabeth, B., Perkembangan
Anak, Erlangga, Jakarta, 1993.
Hurlock, Elizabeth, B., Psikologi
Perkembangan, Erlangga, Jakarta, 2006.
Kusdwiratri.1983. Teori
Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad.
Makmun, Abin Syamsuddin. 2007. Psikologi
Kependidikan. Bandung: Rosda
Mulyani, S. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Poerwati, E., dan Nurwidodo. 2000. Perkembangan
Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta
Santoso, Slamet. 2006. Dinamika
Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara
Santrock, Life Span Development,
Boston: Mc Graww Hill College, 2003.
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar
Pribadi. Semarang: Unnes Press
Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi
Pendidikan, Jakarta : Penerbit Rajawali.
Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling
Kelompok Perkembangan. Semarang : UNNES Press
Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling
Kelompok Perkembangan. Semarang : UNNES Press
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling
Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar