Jumat, 31 Maret 2017

MAKALAH TEORI-TEORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN



TEORI-TEORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
A. Teori PsikoanalitiS
Pada teori ini perkembangan pada dasarnya tidak disadari dan sangat di warnai oleh emosi. Menurut para teoritis bahwa perilaku semata-mata adalah suatu karakteristik permukaan dan untuk benar-benar mengalami perkembangan, kita harus menganalisis makna simbolis prilaku dan kerja pikiran yang paling dalam.Selama itu pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan orang tua secara ekstensif dapat membentuk perkembangan seseorang. Karakteristik ini digarisbawahi dalam teori psikoanalitik utama yaitu teori Sigmund Freud dan teori erikson.
Berikut penjelasannya :
a.   Teori Freud.
Menurut Freud, kepribadian memiliki 3 struktur yaitu : id, ego, dan super ego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas naluri yang merupakan gudang psikis individu, Id tidak memiliki kontak dengan realitas. Jadi ketika anak-anak mengalami tuntutan dan hambatan realitas, suatu struktur baru kepribadian akan muncul sedangkan ego merupakan struktur kepribadian yang berurusan dengan tuntutan realitas. Ego di sebut badan pelaksana kepribadian karena ego membuat keputusan-keputusan rasional.Id dan ego tidak memiliki moralitas, id dan ego tidak memperhitungkan apakah sesuatu itu benar atau salah, berbeda dengan superego.Superego merupakan struktur kepribadian yang merupakan badan moral kepribadian dan benar-benar memperhitungkan apakah sesuatu itu benar atau salah.
Dalam mengatasi konfik antara tututan realitas keinginan Id, dan hambatan superego dapat diatasi melalui mekanisme pertahanan (defence mechanisems) adalah istilah psikoanalitik bagi metode ketidaksadaran, ego membelokkan atau mendistorsi realitas, dengan demikian melindunginya dari kecemasan. Menurut Freud tuntutan-tuntutan struktur kepribadian yang saling bertentangan akan menimbulkan kecemasan, misalnya ketika ego menghambat atau memblok pengejaran Id akan kenikmatan, kecemasan yang lebih dalam akan dirasakan, maka keadan tertekan akan berkembang ketika ego merasa bahwa id sedang membahayakan individu.
Represi (repression) adalah mekanisme pertahanan yang paling kuat dan paling meresap, represi bekerja menolak dorongan-dorongan id yang tidak di inginkan di luar kesadaran dan kembali kepikiran tidak sadar. Represi adalah landasan darimana semua mekanisme pertahanan lain bekerja. Tujuan setiap mekanisme pertahanan adalah menekan atau menolak keinginan-keinginan yang mengancam di luar kesadaran.Menurut Freud pengalaman masa awal anak-anak sebagian besar di antaranya diyakini sarat secara seksual, cukup mengancam dan menekan kita untuk mengatasinya secara sadar.Untuk mengurangi kecemasan akibat konflik ini dapat dilakukan melalui mekanisme pertahanan represi.Tahap-tahap awal perkembangan kepribadian menurut Freud :
a.       Tahap mulit (oral stage)
Berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan dan kenikmatan bayi berpusat di sekitar mulut, seperti mengunyah, mengisap, dan menggigit adalah sumber utama kenikmatan yang dapat mengurangi tekanan atau ketegangan pada bayi.
b.      Tahap anal ( anal stage )
Berlangsung antara usia 1 dan 3 tahun dimana kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus, menurut Freud latihan otot-otot lubang dubur dapat mengurangi tekanan atau ketegangan pada tahan ini.
c.       Tahap phallic (phallic stage)
Berlangsung antara 3 dan 6 tahun. Pada tahap ini kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri ( self manipulation ) dapat memberi kenikmatan.
d.      Tahap laten/tersembunyi ( latency stage )
Berlangsung antara kira-kira usia 6 tahun dan masa pubertas, anak merekam semua minat terhadap seks dan mengembangkan keterampilan social dan intelektual.
e.       Tahap kemaluan   (genital stage)
Berawal dari masa pubertas dan seterusnya. Tahap kemaluan ialah suatu masa kebangkitan seksual, sumber kenikmatan seksual sekarang adalah seorang yang berada di luar keluarga.
B. Teori Kognitif
Perkembangan kognitif pada peserta didik merupakan suatu pembahasan yang cukup penting bagi pendidik maupun orangtua. Perkembangan kognitif pada anak merupakan kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah yang termasuk dalam  proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Dalam memahami perkembangan kognitif, harus mengetahui proses perkembangan kognitif tersebut. Perkembangan kognitif dapat dikaji dengan menggunakan dua cara yaitu dengan pendekatan tentang tahapan-tahapan perkembangan kognitif yang dijelaskan oleh Piaget dan dengan caran system pemprosesan informasi. Pada teori pemprosesan informasi lebih menekankan bagaimana proses-proses terjadinya perkembangan kognitif, tetapi pada teori Piaget membagi proses tersebut ke dalam berbagai tahapan.
Selain itu karakteristik perkembangan kognitif peserta didik juga harus dapat dipahami semua pihak melalui oleh para tokoh-tokoh Bruner, Ausubel dan Vygotsky. Dengan pemahaman pada karakteristik perkembangan peserta didik, pendidik dapat mengetahui sebatas apa perkembangan yang dimiliki anak didiknya sesuai dengan usia mereka masing-masing, sehingga pendidik dapat menerapkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing anak didik. Meskipun banyak hal dan kendala dalam perkembangan kognitif anak, setidaknya kita sebagai para pendidik harus memahami tentang perkembangan kognitif agar cara pengajaran kita sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing anak.
C. Teori Perilaku Dan Teori Kognitif Sosial
Tema pokok tulisan ini adalah pembelajaran, dan initinya adalah apakah yang dapat guru lakukan untuk mendukung pembelajaran seluruh siswa. Bab ini merupakan bagian pertama dari tiga pengembangan gambaran teoritis topik tersebut. Kita mulai bagian ini dengan penjelasan teori belajar dalam perspektif behavioris dan diikuti oleh pembahasan mengenai teori kognitif sosial, sebuah gambaran pembelajaran yang mencakup unsur-usur perilaku tetapi hal tersebut harus melalui proses pengujian semacam kepercayaan dan harapan-harapan, yang tidak dipertimbangkan oleh kaum behavioris.
Dengan selesainya pembahasan bab ini, diharapkan mampu menemukan bagian-bagian berikut:
a.       Mengidentifikasi contoh-contoh pembasan klasik dalam suasana ruangan kelas.
b.      Menjelaskan kasus-kasus perilaku siswa dengan menggunakan konsep-konsep seperti: penguatan kembali, penghukuman, generalisasi, diskriminasi, kejenuhan dan penghapusan (kepunahan).
c.       Menjelaskan pengaruh jadwal penguatan kembali perilaku siswa.
d.      Mengidentifikasi contoh model dan pengalaman belajar dalam situasi kelas.
e.       Menggambarkan karakteristik perilaku diri yang teratur dalam masyarakat.
Pandangan Behaviorisme Tentang Pembelajaran
Dari perpektif behaviorisme, belajar merupakan suatu perubahan mutlak secara relative dalam perilaku yang dapat diobservasi yang timbul sebagai hasil dari pengalaman (Mazur, 1994). Sebagai catatan bahwa defenisi ini mengkhususkan hanya pada perilaku yang diobservasi. Ahli behavioris memperoleh nama dengan berfokus pada kelakukan orang yang dapat dilihat. Hal ini tidak mempertimbangkan beberapa struktur eksternal, wawasan, proses atau kebutuhan-kebutuhan.
Kita mulai mempertimbangkan defenisi ini dengan catatan bahwa perubahan tingkah laku terjadi secara relatif. Kita semua dapat melihat atau mengalami perubahan pada masa lalu dari hasil dan ketegangan emosi atau luka. Perubahan seperti ini dapat disimpulkan sebagai “belajar”. Perubahan kelakuan sebagai suatu hasil pendewasaan tidak akan disebut membawa tas besar yang saudara laki-lakinya lebih tua 6 tahun tidak dapat mengangkat benda itu. Dia lebih baik dan kuat sebagai suatu kesimpulan dari pendewasaan.
1. Contiguity (Hubungan)
Bentuk pembelajaran yang timbul melalui hubungan, pemaduan secara sederhana antara stimulus (S) dan respon (R). Hubun Hubungan didasarkan pada prinsip bahwa jika dua sensasi muncul secara bersamaan, mereka menjadi terasosiasi (Leahey dan Harris, 1993).
Stimulus adalah seluruh penglihatan, bunyi, rasa dan pengaruh-pengaruh lain alat penginderaan yang diterima dari lingkungan. Respon adalah perilaku-[erilaku yang merupakan hasil dari asosiasi. Hubungan muncul di ruangan kelas jika stimulus dan respon dipadukan dan diulangi semacam kegiatan latihan pengulangan dengan kartu pengikat (yang diperlihatkan sebentar).

2. Classical Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Sekalipun pasangan S-R dapat dipakai untuk menjelaskan pembelajaran dan perilaku sederhana, pembelajaran itu sangat kompleks. Contohnya, Tim yakin akan kecakapannya mengerjakan Aljabar II, namun ia merasa bingung dalam mengerjakan tes. Akibatnya, ia mengalami kegagalan karena gugup dan terlambat mengerjakan tes. Sebagai bukti ia berpuitar-putar pada masalahnya. Bagaimanapun juga, tes Aljabar yang sebelumnya tidak menyusahkan dia, tergabung dalam gagalnya dan membuatnya gugup, sebuah emosi yang menghubungkan rasa kepanikannya dengan kegagalan terhadap tes. Di sini terlihat adanya stimulus dan respon, tetapi pasangan S-R sederhana tidak mampu menjelaskan tingkah laku Tim. Ada sesuatu yanglebih kompleks yang perlu diperhatikan.
Teori Classical Conditioning Pavlov
Menurut sejarah, tipe pembelajaran ini dipopulerkan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog Rusia yang menerima Hadiah Nobel pada tahun 1904 karena hasil penelitiannya. Salah satu bagian dari penelitiannya, ia melakukan percobaan terhadap seekor ajing yang dimaksudkan untuk mengeluarkan air liur pada kondisi yang berbeda-beda. Awalnya pembantunya memberi makanan tambahan berupa daging halus yang menyebabkan anjing itu mengeluarkan liur. Akan tetapi pada penelitian lanjutan anjing itu tetap mengeluarkan air liur ketika pembantunya datang pada saat yang berbeda dan tidak membawakana daging kepadanya. Hasil penelitian Pavlov ini sangat mengejutkan dan membuka lapangan studi baru dan disebut classical conditioning “pembiasaan klasik” atau respondent learning karena pebelajar member respon terhadap lingkungan.
Sebuah contoh yang berhubungan dengan classical conditioning, ketika Tim gagal dalam tes, dia merasa terpukul, dia tidak dapat mengendalikan perasaannya (bimbang). Perasaannya tidak enak dan emosional, itulah sebuah respon yang tidak terkondisikan. Sebuah respon yang replektif tanpa sengaja membuatnya gagal mengerjalkan tes. Kegagalan itu adalah sebuah stimulus yang tidak terkondisikan, stimulus yang menghasilkan respon yang tidak terkondisikan. Dalam eksperimen Pavlov, stimulus yang tidak dikondisikan adalah daging halus yang megakibatkan keluarnya air liur sebagai psikolog yang tidak disengaja.


Karakteristik Classical Conditioning
a)      Belajar (pembelajaran memerlukan tempat)
b)      Respon menyangkut emosional psikolog dan tanpa disengaja dan di luar control kesadaran pebelajar.
c)      Stimulus yang terkondisi atau tidak, dilakukan dengan berbagai cara sehingga menjadi terasosiasi.
d)     Respon yang terkondisi atau tidak, boleh jadi identik atau mirip.
Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
Ruang kelas sebagai contoh classical conditioning sebenarnya sudah umum/biasa. Misalnya, banyak siswa yang gelisah dalam tes. Hal ini tidaklah berarti tidak umum bagi beberapa anak-anak muda mengalami kesulitan secara fisik di sekolah dan beberapa orang tua enggan untuk mengerti fungsi sekolah atau merespon permintaan guru. Classical conditioning dapat membantu kita menjelaskan contoh tersebut. Selain itu dapat pula menjelaskan perasaan-perasaan positif, misalnya sebuah lagu yang mampu membangkitkan perasaan atau suasana hati.
Pemahaman classical conditioning dapat membantu kepekaan guru terhadap pentingnya suasana kelas dan bentuk asosiasi siswa mereka. Misalnya, pikiran siswa jika menemui kesulitan di sekolah atau kelas baru yang diperlakukan dengan kehangatan dan mendapat membantu perhatian yang cukup dari guru mereka. Hal itu akan memberikan kesan. Sebagai respon pebelajar dengan sendirinya untuk memperhatikan kehangatan yang sejati. Jika guru konsisten dalam sikapnya, para siswa nulai mnengasosiasikan sekolah dengan kehangatan guru. Sekolah mendatangkan perasaan menyenangkan dan aman bagi siswa. Kehangatan yang diperlihatkan guru merupakan stimulus yang tidak terkondisikan. Sekolah atau kelas yang mereka asosiasikan dengan kehangatan guru sebagai stimulus yang terkondisikan. Perasaan emosional mereka yang positif sebagai respon.
Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi muncul bilama stimulus berhubungan/terkait dengan stimulus yang terkondisi serta mendatangkan respon yang terkondisi oleh dirinya sendiri. Misalnya, tim gugup ketika mengambil hasil tes aljabar II (gagal), dia juga gugup ketika mengambil hasil tes kimia (takut gagal). Dia selalu gugup jika mengerjakan tes pengetahuan yang bekaitan dengan aljabar.
Diskriminasi adalah kemampuan untuk memberikan respon-respon yang berbeda untuk dihubungkan tetapi bukan stimulus yang identik. Misalnya tim gugup selama tes Kimia tetapi tidak pada saat bahasa Inggris dan Sejarah. Contohnya dia memberdakan antara bahasa Inggris dan Matematika dengan respon-responnya yang berbeda.
Extinction (Penghapusan)
Dalam studi kasus tim, dia telah melakukan lebih baik semenjak ia beljar dengan Susan dan mengubah kebiasaan belajarnya. Suatu waktu jika ingin mencapai sukses, kegugupannya akan hilang, atau respon yang terkondisi akan hilang. Extinxction atau penghapusan ini terjadi bilamana rangsangan muncul berulang-ulang dalam ketidakadanya rangsangan yang tak terkondisi.
Dalam kasus tim, pengulangan pengambilan hasil tes tes merupakan stimulus yang terkondisi, tes yang tejadi tanpa kegagalan merupakan stimulus yang tidak terkondisi. Suastu saat nanti tidak ada hasil dalam kondisi yang menngelisahkan (respon yang terkondisi).
Penerapan Contiguity dan Classical Conditioning dalam Ruang Kelas
1.      Keputusan yang hati-hati adalah salah satu bentuk pembelajaran untuk siswa yang akan memberi respon. Dengan memperbanyak pengulangan dan latihan akan mempertajam ingatan terhadap materi pelajaran.
2.      Siapkan kondisi aman dan hangat dalam kelas yang bisa membangkitkan emosi positif belajar.
3.      Ketika murid-murid bertanya, buatlah mereka dalam suatu keadaan yang menyenangkan untuk memastikan hal yang positif (puas).
4.      Siapkan siswa dengan praktik dalam situasi yang berhubungan dengan keinginan yang potensial.
3. Operant Conditioning
Teori ini dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904-1990), seorang ahli psikologi tingkah laku yang menjadikannya pada pertengahan tahun 60-an menjadi orang yang sangat terkenal sebagai kepala bagian psikolog hingga akhir tahun 60-an. Hal ini juga membuatnya menjadi seorang psikolog yang berpengaruh di abad ke-20 (myers:1970). Skinner percaya bahwa respon-respon yang menuju ke stimuli khusus hanya dicatat pada proposi yang kecil dari semua perilaku-perilaku. Dia menyarankan bahwa tingkah laku lebih banyak dikontrol oleh akibat-akibat dari tindakan daripada oleh peristiwa-peristiwa yang melingkupi tindakan-tindakan. Konsekuensi itu merupakan outcome (stimulus) yang muncul setelah perilaku itu mempengaruhi perilaku yang akan datang. Contoh: pujian seorang guru setelah seorang siswa menjawab, itu adalah suatu konsekuensi.
D. Teori Etologi
Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana ethos ialah kata Yunani untuk "kebiasaan". Etologi juga dikenal dengan istilah sosisobiologi yakni bidang studi ilmiah yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku sosial telah dihasilkan dari evolusi dan upaya untuk menjelaskan dan memeriksa perilaku sosial dalam konteks tersebut. Sering dianggap sebagai gabungan biologi dan sosiologi dimana sosiobiologi sangat erat bersekutu dengan bidang perilaku manusia dan psikologi evolusioner.
Etologi menekankan landasan biologis, dan evolusioner perkembangan. Penamaan (imprinting) dan periode penting (critical period) merupakan konsep kunci. Teori ini ditegakkan berdasarkan penelitian yang cermat terhadap perilaku binatang dalam keadan nyata. Pendirinya adalah Carl Von Frisch, seorang pecinta binatang. Bertahun-tahun ia memelihara berbagai macam binatang dan mengamati perilakunya.
Percobaan yang dilakukan pada sekelompok itik dengan anak-anaknya adalah yang yang digunakan untuk menyusun teori ini. Ia pisahkan dua kelompok anak angsa, satu kelompok diasuh induknya dan satu kelompok lagi ia asuh sendiri. Setelah beberapa bulan kelompok anak angsa yang diasuhnya mengidentifikasi  Carl Von Frisch sebagai induknya. Kemanapun Carl Von Frisch pergi mereka selalu mengikuti. Suatu saat dipertemukan kelompok asuhnya dengan induk aslinya ternyata kelompok yang diasuh ini menolak induk aslinya.
Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku sosial ada dalam gen. Ada insting dalam makhluk untuk mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan adalah “genes setting the stage, and society writing the play”. Teori ini memberikan dasar bagi pemahaman periode kritis perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah dilahirkan. Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang berbeda berubah sepanjang siklus kehidupan. Adanya atau tidak adanya pengalaman-pengalaman tertentu pada waktu tertentu selama masa hidup mempengaruhi individu dengan baik di luar waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali terjadi. Para etologi yakin bahwa kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka waktu khusus ini pada awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan landasan biologis dalam perkembangan.
Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan Eropa, khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting atau peka. Konsep periode penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep etologi untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama kali. Para Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin bahwa laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain, tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku.
Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment). Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley ,1992). Bowlby menyatakan bahwa kita dapat memahami tingkah laku manusia dengan mengamati lingkungan yang diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat berkembang.
Etologi sebagai sosiologi didasarkan pada premis bahwa beberapa perilaku (baik sosial dan individu) setidaknya sebagian diwariskan dan dapat dipengaruhi oleh seleksi alam. Ini dimulai dengan gagasan bahwa perilaku telah berevolusi dari waktu ke waktu, mirip dengan cara bahwa sifat-sifat fisik diperkirakan telah berevolusi. Ini memprediksi karena itu hewan akan bertindak dengan cara yang telah terbukti sukses evolusi dari waktu ke waktu, yang dapat antara lain menghasilkan pembentukan proses sosial yang kompleks yang kondusif untuk kebugaran evolusi. Melekat dalam penalaran sosiobiologis adalah gagasan bahwa gen tertentu atau kombinasi gen yang mempengaruhi ciri-ciri perilaku tertentu dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebuah dasar genetik untuk sifat-sifat perilaku naluriah kalangan non-spesies manusia, seperti dalam contoh di atas, umumnya diterima di kalangan banyak ahli biologi, namun mencoba untuk menggunakan dasar genetik untuk menjelaskan perilaku yang kompleks dalam masyarakat manusia tetap sangat kontroversial.
E.  Teori Ekologi
Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Berbeda dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917) mengajukan suatu pandangan lingkungan yang kuat tentang perkembangan yang sedang menerima perhatian yang meningkat. Teori ekologi adalah pandangan sosiokultular Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari 5 sistem lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan gen-gen sosial (social agent) yang berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Modal ekologis Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).
Mikrosistem, dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah setting dimana individu hidup. Konteks ini meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung. Misalnya orang tua, teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun setting. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada mikrosistem.
Mesosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antar beberapa konteks. Contohnya ialah hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru, para developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setiing majemuk seperti keluarga, teman sebaya, dan konteks sekolah untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan individu.
Ekosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain dimana individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan banyak perjalanan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua anak. Contoh lain ekosistem adalah pemerintah kota yang bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat-pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja.
Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua produk lain. Dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generas-generasi. Ingat juga bahwa studi lintas budaya, perbandingan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain atau lebih kebudayaan lain, memberi informasi tentang generalitas perkembangan.
Kronosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misalnya dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan bahwa dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Dua tahun setelah perceraian, interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan lebih stabil dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk meniti karir dibandingkan pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Dengan cara seperti ini, kronosistem memiliki dampak yang kuat pada perkembangan kita.

RUJUKAN
Hartinah, Siti. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Refika Aditama.
Hartono, A., dan Sunanro. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Hurlock, Elizabeth, B., Perkembangan Anak, Erlangga, Jakarta, 1993.
Hurlock, Elizabeth, B., Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta, 2006.
Kusdwiratri.1983. Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad.
Makmun, Abin Syamsuddin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda
Mulyani, S. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Poerwati, E., dan Nurwidodo. 2000. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta
Santoso, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara
Santrock, Life Span Development, Boston: Mc Graww Hill College, 2003.
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Semarang: Unnes Press
Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Pendidikan, Jakarta : Penerbit Rajawali.
Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang : UNNES Press
Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang : UNNES Press
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar