BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat
Islam sepakat bahwa Hadis menjadi sumber hukum Islam secar Al-Qur’n. Maka dari
itu, umat Islam secara intensif mempelajari Hadis Nabi Berikut Ilmu-ilmu
pendukungnya. Jika dalam Al-Qur’an Allah telah menjamin kemurniannya secara
pribadi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Hijr (15) ayat 9
yaitu:
Sesungguhnya kami-lah yng menurunkan
Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya
Berbeda dengan Hadis. Meskipun apa
yang diucapkan oleh Nabi Muhammad pasti datang dri wahyu Allah, sebagaimana
disebut dalam Surah An-Najm (53) ayat 3-6 yaitu:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsu ucapannya itu tiada lain halnya whyu
yang diturunkan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan jibril menampakkan dirinya dengan
rupa yang asli.
Tetapi dalam perjalanannya, suatu
hadis telh melalui jalan yang butuh untuk diteliti kebenarannya sehingga bisa
diambil dalam menetapkan suatu hukum atau tidak. Syaratnya pertama hadis itu
dikatakan shahih, sebagaimana disebut oleh para ulama’ Muhadditsin adalah
tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadis. Salah satu cra pembuktinnya
tersambung sanad adalah dengn mengetahui metode berpindahnya suatu hadis dari
satu rawi ke rawi lain. Dalam ilmu Musthalah hadis, ilmu ini lebih dikenal
dengan nama “Thuruq at-Thmmul wa Ada al-hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi tahmumul wa’adaul hadis?
2. Bagaimana kelayakan tahammul
wa’adaul hadis?
3. Bagaimna metode tahamul wa ‘adaul
hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelayakan Seorang Perawi
Yang dimaksud dengan kelayakan
seorang rawi adalah kepatutan seorang untuk mendengar dan menerima hadis serta
kelayakan dalam menyampaikan kembli hadis itu. Kelayakan seorang perwri terbagi
kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan kelayakan ada’
Dalam bentuk tahammul hadis, tidak disyaratkan seorang rawi
itu harus baligh dan muslim, menurut pendapat yang shahih.[1]
Sebagaimana dijelsakan as-suyuthi (w.911 H) dalam Tadrib ar-Rawi.[2]
Berbeda dalam ada’, maka disyaratkan sudh baligh dan muslim.
Maksudnya riwayat seorang itu diterima meskipun sat mendengar hadis itu, seseorang tersebut masih dalm keadn kafir
maupun masih belum baligh. Belum baligh disini disyaratkan sudh tamyiz,
sebagaimana jika ia sudah bisa membedakan kambing dan kedelai.[3]
Meskipun ada pula yang mengatakan bahwa riwayat hadis
seorang tidaklah diterima jika waktu memperoleh hadisnya saat belum baligh.
Tetapi pendapt ini tidaklah benar. Karena para ulama telh menerima riwayat
sahabat padahal saat menerim hadis, mereka belum baligh.
Sebagaimana riwayat hasan Hasan, Husain, Abdullah bin
Zubair, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Said bin Yazid dn lainnya. Al-Kthib
al-Bdhdadi (w. 463 H). Dalam kitab al- kifayah telah menjelaskan secara luas,
tentang diterima riwayat seorang yang mendengar hadis saat belum baligh. Hasan
bin Ali bin Abi Thalib telh meriwayatkan hadis dari Nabi, padahal beliau lahir
pada tahun 2 Hijriyah. Maslmah bin Mukhallad meriwayatkan hadis dri Nabi. Saat
Nabi wafat, maslamah baru berusia 14 tahun.
Apakah ada batas umur tertentu dalam menerima hadis?
Sebagian Ulma’ mensyrtkan batas usia 5 tahun. Adapula yang tidak membatasinya.
Batasnya adalah jika sudah tamyiz, sudah paham jika diajak bicara, bisa menjawb
jika ditanya, daan bagus pendengarannya.[4]
Selain kelayakan tahamul, seagaimana disebutkan diatas yaitu kelayakan ada’.
Kelayakan ada’ seseorang agar diterima riwayatnya yaitu sebgimana syarat hadis
maqbul (shahih/hasan); yaitu muslim yang baligh, ‘adil dan dhabith.[5]
B. Kelayakan Tahammul Hadis
Menurut
bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala yang berarti
menanggung, membawa atau biasa diterjemahakan dengan menerima.
Mayoritas
ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf. Sedangkan sebagian mereka
tidak memperbolehkannya, yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena
sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih
berusia anak-anak seperti Hasan, Abdullah, ibn Az-Zubair, Anas ibn Malik,
Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id Al-Khudriy, Mahmud ibn Ar-Rabi’ dll. Tanpa
memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh.
Mereka
yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil,
berbeda pendapat dengan batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah “tamjiz”
dari anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keretangan bersamaan dengan
pendapat mereka, dan kita bisa meringkas penjelasan itu jedalam tida pendapat:
1. Bahwa umur minimalnya lima tahun.
Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam
sahihnya dari hadis Muhammad ibn Ar- Rabi’ ra. Katanya; “aku masih ingat firman
Nabi SAW. Dari timbah kemukaku, dan (ketika itu) berusia lima tahun.
2. Pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun
Al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil
dinilai asbah bila ia telah mampu membedakan anatara sapi dengan himar. Saya
merasa yakin bahwa yang beliau maksud adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan
pengertian tamyiz dengan kehidupan disekitar.
3. Keabsahan setiap anak kecil dalam
mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami
pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan asbah
pendengarannya, meskipun usianya masih dibawah lima tahun. Namun bila ia tidak
memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatan mendengar
hadis tidak asbah, meskipun usianya diatas lima tahun.
C. Kelayakan ada’
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat
bahawa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun
wanita, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir berdasarkan
ijima’ ulama, baik diketagui agamanya tidak memperbolahkan dusta ataupun tidak
dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya
berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat
perusak islam bisa diterima, disamping itu Allah SWT juga memerintahkan kita untuk mengecek
berita yang dibawa oleh orang fasik melalui firman-Nya:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum nmenyesal atas perbuatan itu. (Qs.
Al-Hujurat:6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti
itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita menolaknya.
b. Baligh
Ini merupakan pusat taklif, kaerena itu riwayat anak yang berada dibawah usia taklif tidak bisa
diterima, sebagai penerapan sabda Rasullulah “terangkat pena dari tiga orang:
dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari
anak yang tidur sampai mimpi basah.” (HR. Abu Daud)
Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak dibawah
usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia
berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Disamping
itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh
merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat takllif yang membuat
seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk melakukannya.
Kemudian syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam
masalahnya keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima
periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap
segenap kaum muslimin.
c. Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong
pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa
kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termaksud kedalamnya
menjauhi dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap
makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga
diri seperti makn dijalan, buang air kecil dijalan, berteman dengan orang-orang
keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d. Dhabt
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadis dan
memahami ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikan kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya,
seseorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya,
dan memahami tulisannya dari ada perubahan, penggantian, atau pengurangan bila
ia meriwayatkan dari tulisan.
Cara mengetahui kedhabitan seseorang perawi adalah dengan
membandingkan hadisnya dengan hadis perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit dan
teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya meski hanya
dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit
perbedaan. Namun bila banyak pebedaan dan sedikit kesamaan, maka kedhabitannya
cacat, dan hadisnya tidak bisa digunakan sbagai hujjah.
D. Metode Tahammul Hadis
Pada umumnya ulama membagi metode penerimaan riwayat hadis
menjadi dalapan macam yaitu:
1. Sama’ : pembacaan oleh guru kepada
murid.
Metode
ini berbetuk penyampaian lisan, pembicaraan dari kita, tanya jawab dan dekte
a. Penyampaian hadis secara lisan oleh
guru.
Prakyik ini mulai menyurut sejak paru kedua abad kedua
hijriah, meskipun bertahan cukup lama. Biasanya para murid terikat pada guru
tertentu untuk waktu yang lama, sampai mereka yakin telah memiliki otoritas
untuk hadis yang ada pada guru tersebut. Kadang mereka disebut rawi dan shahib
dan si anu. Sekalipun pertemuan rutin untuk mengajar diadakan, hanya segelintir
hadis yang diajarkan dalam satu pelajaran, katakanlah tiga atau empat.
b. Pembacaan dari kitab
Bisa dibicrakan guru dari kitabnya sendiri, dan ini lebih
disukai, bisa juga dari kitab murid, yang merupakan salinan atau seleksi dari
karya guru juga. Yang terakhir mempunyai banyak perlengkapan bagi guru yang
tidak menghafal hadisnya sendiri. Beberapa murid dan ulama dapat melakukan tipu
daya. Mereka menyisipkan sejumlah hadis disana-sini kedalam kumpulan hadis
guru. Lalu menyerahkan buku tersebut kepadanya buat dibacakan, guru menguji
kejelian pengetahuan dan keingatannya. Guru yang gagal mengenali bahan tambhan
dinyatakan tidak dapat dipercaya.
c. Tanya jawab
Dalam metode ini, murid biasanya membacakan satu bagian dari
hadis, lalu guru membacakan seluruhnya.
d. Dikte
Lepas dari pendidikan Nabi SAW dan kalangan sahabat
mendiktekan hadis, agaknya sahabat Watsilah b.Asqa’ (Wafat 83 H) yang pertama
membuat kelas-kelas untuk pendiktean. Cara ini tidak digukung pada masa awal,
karena dalam cara ini murid dapat mengumpulkan banyak pengetahuan dalam waktu
singkat tanpa banyak usaha. Nampaknya, az-Zuhri-lah yang pertama menyampaikan
dari sikap umum ini. Sekitar abad pertma, kita melihat beliau mendiktekan
hadis, cara yang terus dipakai sepanjang hidup.[6]
2. Ardh: Pembacaan Oleh Murid Kepada
Guru
Metode ini ialah, kitab dibacakan kepada guru oleh murid
atau seseorang yang disebut qari’, sedangkan murid lain memandingkan hadis yang
dibacakan itu dengan kitab mereka, atau hanya mendengarnya dengan penuh
perhatian, baru dengan demikian menyalin kitab tersebut. Metode ini disebut
‘ardh.
Dalam menyalin biasanya mereka membuat lingkaran setiap
selesai satu hadis.[7]
Jika seseorang tidak mengikuti metode belajar ini, ia dapat
dituduh mencuri hadis artinya ia menggunakan bahandalam mengajar atau menyusun
kitabnya yang, sekalipun asli. Tidak diperoleh dengan cara yang layak. Ulama
awal mempunyai metode hak cipta sendiri, dimana orang lain tidak berhak
menggunakan bahan dengan hanya membeli kitab.[8]
3. Ijazah : Pemberian izin
Dalam terminologi hadis, ijazah berarti mengizinkan
seseorang menyampaikan hadis atau kitab berdasarkan otoritas ulama yang memberi
izin, tanpa harus membacakan kitab itu kepadanya.
Dalam beberapa kasus, sistem ini semacam pengaman bagi teks.
Misalnya, bila A mengizinkan B menyampaikan shahih al-Bukhari, maka B harus
menemukan salinan shahih al-Bukhari yang berisi sertifikat pembacaan yang
memuat nama A. Dengan cara ini, teks yang benar dapat dijaga dari perubahan
4. Munawalah : Menyerahkan Kitab Kepada
Murid
Seseorang meberikan kepada murid naskah sekaligus otoritas
untuk meriwayatkannya. Misalnya Az-Zuhri (51-124) memberikan naskah kepada
ulama. [9]
Praktik ini disebut menawah. Ini bukanlah praktik yang umum dimasa awal.
5. Kitabah : Korespondensi
Ini berarti menuliskan hadis buat seseorang untuk
diriwayatkan. Meminjam terminologi modern, praktik ini biasa disebut
korespondensi. Cukup banyak aktivitas metode ini. Praktik ini dimulai sejak
masa sangat dini, dan dapat dianggap sejak permulaan sekali. Surat-surat resmi
al-Khalifah ar-Rasyidun mengandung banyak hadis yang diriwaytkan oleh para
ulama. Di samping itu, banyak sahabat dan, belakangan, ulama mencatat hadis dan
mengirimnya kepada murid-murid mereka. Misalnya Ibn Abbas menulis kepada Abu
Mulaikah dan Najdah.[10]
6. I’lam : mengabarkan hadis
I’lam berati mengabari seseorang kitab yang dapat ia
(pemberi kabar) telah mengijinkan untuk meriwayatkan
sebuah kita tertentu berdasarkan otoritas ulama tertentu.sebagian ulam
memperbolehkan cara penyampain hadis seperti ini, sementara yang lain
menolaknya. “Faedah”-Nya hanyalah bahwa orang kedua harus menemukan salinan
asli yang memuat sertifikat dan nama si pemberi izin. Tanda-tanda seperti ini
sulit dilacak pada priode awal.
7. Wasliyyah
Mempercayakan kepada seseorang kitab yang dapat ia
riwayatkan berdasarkan otoritas yang mempercayakan. Contohnya Abu Qilabah (wafat
104 H) mempercayakan kitabnya kepada Ayyub al-Sakhtiyani.[11]
8. Wajadah
Yakni, merupakan kitab seorang tanda suatu izin untuk
meriwayatkannya berdasarkan otoritasnya siapa pun. Ini bukan cara belajar hadis
yang diakui. Menurut ketentuan muhadditsin, seseorang harus menyatakan secara jelas
bahwa informasi yang ia sampaikan diambil dari kitab. Terdapat beberapa kitab
sebagai referensi untuk jenis ini dari masa sangat awal contohnya kitab Sa’d
b.Ubaidaj (wafat 15 H).
E. Sighat-Sighat ada’
1. Al-Sima’
Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan
cara didektekan maupun bukan, dan baik dari hafalan maupun dari tulisannya.
Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut. Menurut
jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi
tingkatnya. Termaksud kategori sama’ juga sesorang yang mendengar hadis dari
syeikh dari balik satar. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para
sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkannya
hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
2. Al-Qira’ah ‘ala Al-Syaikh atau
‘Aradh Al-Qira’ah
Yakni satu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan
hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang menyampaikan maupu orang lain,
sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal maupun
tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya.
3. Ijazah
Yakni seseorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis
atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : seseorang syaikh
megatakan kepada salah satu muridnya aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan
dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah:
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang
tertentu kepada seseorang yang tertentu misalnya dia berkata, “ aku ijazahkan
kepadamu Shahih Bukhari”. Diantara jenis-jenis ijazah inilah yang paling tinggi
derajatnya.
b. Syaikh mengijazahkan orang yang
tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan
.”aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh memgijazahkan kepada siapa
saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan,
seperti mengatakan, “ aka ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada
zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang
yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan, “ aku ijazahkan
kepada muhammad bin Khalid ad-Dimasyqi”; sedangkan disitu terdapat sejumlah
orang yang mempunyai nama seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada
orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis.
Umpamanya dia berkata,”aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
4. Al-Munawalah
Yakni seseorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis
atau sebuah kitab hadis kepada muridnya atau diriwayatkan
Al-Munawalah ada dua macam:
a. Al-Munalawah yang disertai dengan
ijazah. Ini tingkatnya paling tinggi diantara macam-macam ijazah secara mutlaq.
b. Al-Munawah yang tidak diiringi
ijazah. Seperti jika seseorang syaikh memberikan kitabnya sepada sang murid
dengan hanya mengatakan :
“ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh
diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.[12]
F. Hukum Meriwayatkan Hadis-Hadis
Secara Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada
yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, bahwa dalam keadaan darurat,
karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan
hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang
matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi
isi ataupun makna isi atau makannya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan
yang dimaksud oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat
melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia
meriwayatkan hadis ada istilah-istilah terentu yang digunakan untuk menguatkan
penulisannya, seperti dengan kata : qala Rasul saw hakadza (Rasul saw telah
bersabda begini), atau qala Rasul saw qariban min hadza.[13]
Abu Bakar ibn al-Arabi berpendapat
bahwa selain sahabat Nabi SAW tidak diperkenakan meriwayatkan hadis secara makna.
Alasannya adalah, yang pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
tinggi (al-fashahah wa al-balaghah) keadaan dan perbuatan Nabi SAW.[14]
Periwayatan hadis dengan maknawi
akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis
dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan makna nya tetap sama.
Hal ini sangat tergantung pada para sahabat atau generasi brikutnya yang
meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristiknya yang menonjol pada era sahabat ini adalah,
bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka
memeliharanya dengan lembaran-lembaran, mushaf dan dalam hati mereka.
Kehati-hatiannya terhadaap Al-Qur’an ini juga diberlakukan terhadap sunnah
meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab
terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi.
Ulama hadis berpendapat bahwa selain
sahabat boleh meriwayatkan hadis secara makna. Namun dengan bebrapa ketentuan.
Diantara ketentuan-ketentuan yang dipastikan para hadis ulama adalah :
Yang boleh meriwayatkan hadis secara
makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki penegtahuan bahasa arab yang
mendalam. Dengan demikian,periwayatan matan hadis akan terhindar dari
kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Periwayatan dengan makna dilakukan
bila sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan secara harfiah.
Yang diriwayatkan dengan makna
bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan ang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan
zikir, doa, azan, takbir dan syahadat. Dan juga bukan sabda Nabi yang dalam
bentuk jawami al-kalim.
Periwayatan yang meriwayatkan hadis
secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang
diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata atau makna semakna dengannya, setelah
menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
Kebolehan periwayatan hadis secara
makna hanya terbatas pada masa sebelum pembukuannya, maka periwayatan hadis
hrus secara lafaz.[15]
Dengan adanya ketentuan tersebut,
maka para perawi tidak bebas dalam meriwayatkan hadis secara makna.
Shubhi Ismail menyebutkan empat
syarat yang harus dipenuhi periwayatannya dengan makna adalah pertama, perawi
hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu
Bahasa Arab; kedua, perawi itu harus menegenal dengan baik segala madlul lafal
dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal
yang berbeda diantara lafaz-lafaz trsebut; dan keempat, perawi itu harus
mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh
dari kesalahan atau kekeliruan. Disamping empat syarat itu Abu Rayyah menambah
satu syarat lagi, yaitu tidak boleh menambah atau pengurangan didalm penerjemahan
(penyampaian hadis dengan makna) tersebut.[16]
Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh
meriwayatkan bil-lafazh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat
seorang perawi sebagai berikut:
1. Tsiqah dalam beragama.
2. Terkenal kejujurannya dalam
periwayatan hadisnya.
3. Mengetahui dengan apa yang
diriwayatkannya.
4. Mengetahui seluk beluk makna hadis
berdasarkan lapazhnya.
5. Terkenal sebagai perawi hadis bil
lafazh.
6. Hafal jika ia meriwayatkan hadis
dari hafalannya.
7. Hafal dengan tulisannya jika ia
meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya)
Selain itu orang yang mengetaui dengan segala makna hadis
dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya saja apabila tidak
dapat mendatangkan lafaznya yang asli, karena ia menerima hadis itu denagnlafaz
dan maknanya. Namun ia tidak mampu untuk menyampaikan salah satunya
(lafazhnya), maka boleh saja ia meriwayatkan hadis itu dengan maknanya selama
dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (Khatha’), seabab tidak
menyampaikan hadis dengan makna nya dinilai menyembunyikan hukum.[17]
Terjadinya periwayatan secara makana disebabkan beberapa
faktor berikut:
Adanya hadis-hadis yang memang tidak
mungkin diriwayatkan secara lafazh, karena tidak adanya redaksi langsung dari
Nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan
hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan
menggunakan redaksi perawi sendiri.
Adanya larangan nabi untuk meuliskan
selain Al-Qur’an. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan
tulisan-tulisan hadis. Disamping larangan, ada pemberitahuan dari Nabi tentang
kebolehan menulis hadis.
Sifat darar menusia yang pelupa dan
senang kepada kemudahan, menyaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada
mengingat susunan kata-katanya.[18]
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Tahammul adalah proses menerima
periwayatan sebuah hadis dari dari seseorang guru dengan metode-metode
tertentu. Sedangkan Al-Ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis.
Mayoritas ulama cenderung
membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang
mencapai usia taklif. Sedangkan sebagaian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama
yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh
diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan
pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat kelayakan al-Ada adalah:
Islam, baligh, sifat adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahamul al-ada’ aalah
melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ala Syaikh, al-Ijazah,
al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
Ketentuan hadis secara maknawi yang
boleh meriwayatkan hadis secara maknawi adalah mereka yang benar-benar memiliki
penegtahuan Bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis
akan terhindar dari kekeliruan, misalnya menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.
Yang diriwayatkan dengan makna
bukanlah Sabda Nabi SAW bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan
zikir, doa, azan,takbir, dan syahadat dan juga bukan sabda nabi dalam
bentuk jawami’ al-kalim.
Periwayatan yang meriwayatkan hadis
secara maknawi, atau yang mengalami keraguan akan susunan
matan hadis yang diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata atau yang
semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
[1] Mahmud at-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadis. H.157
[2] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w.911 H), Tadribu ar-Rawi fi
Syarhih an-Nawawi, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisiah, t.t), tahqiq Abdul
Wahab Abdullatif, juz ii, h.8
[4] Mahmud at-Thahhan, tafsir Musthalah al-hadis, h. 158
[5] Mahmud at-Thahhan, Tafsir Musthalah al- hadis, h.145
[6] Tahammul al-Ilm (penerimaan pengetahuan hadis)
[7] Untuk keterangan rinci liat studies
[8] Namun, beberapa ulama menyalin informasi dari naskah-naskah tertentu
yang mereka temukan dan menerangkan secara eksplisit bahwa mereka telah
menemukan itu dalam naskah tertentu, ini tidak sah dalam pandangan ulama awal,
karena salinan dapat dipalsukan atau karena juru tulis dapat membuat kesalahan
pada saat membacanya.
[9] Untuk lebih detail, lihat studies, h.88-93
[10] Untuk rincian, lihat ibid, h.41-42
[11] Untuk rincian, lihat ibid, h.63
[12] Ibid:156
[13] Ibid Ajjaj Al-Khattib, op. Cit., hlm. 130. Lihat juga Al-Khattib
Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq Al-Rawi wa Abadi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub
Al-Maishriyah,t.t) hlm.106
[14] M.Syuhudi Ismail, kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), hlm.70
[15] Ibid., hlm.71:Bandingkan Al-Ramahirmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i, Ed.
M.’Ajjaj al-Khatib (Beirut; Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), hlm. 530-531: Ibn
al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis; h. 187-192; ‘Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah,
hlm.132-135.
[16] A. Hafiz Anshary AZ, periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna, dalam Khazanah Nomor 54 Oktober
Desember 2000, IAIN antasari, 2000 hlm.96
[17] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis, Dar al-Fikr, 2000
hlm.132-135
[18] A.Rahman Ritonga, op Cit, hlm.181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar