BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi
pembelajaran IPS dewasa ini khususnya pada jenjang sekolah dasar, menunjukan
indikasi bahwa pola pembelajaran yang di kembangkan oleh guru cenderung
bersifat guru sentris sehingga peserta didik hanya menjadi objek pembelajaran. Model pembelajaran yang demikian lebih cenderung beragkat dari
asumsi dasar bahwa pembelajaran IPS hanya dimaksudkan untuk mentransfer
pengetahuan atau konsep dari kepala guru ke kepala siswa. Akibatnya, mungkin
guru telah merasa membelajarkan siswa namun siswa belum belajar
Mengingat manusia
dalam kontek sosialnya sedemikian luas akan sulit kiranya memeberikan definisi
dari ilmu pengetahuan sosial, karena IPS suatu perwujudtan dari suatu
pendekatan interdisipliner dari penerapan ilmu-ilmu sosial lainya. Dalam
pembelajaran perlu menggunakan suatu pendekatan agara sisiwa mempunyai daya
tarik untuk memngikuti peajaran yang sedang berlangsung di dalam kelas. Adapun pendekatannya adalah seperangkat asumsi yang saling
berkaitan dengan hakikat bahasa, hakikat pengajaran biasa, serta hakikat apa
yang diajarkan. Pendekatan bersifat aksiomatis artinya bahwa kebenaran itu
tidak dipersoalkan atau tidak perlu dibuktikan lagi
Menurut Brown
(2009:9) dalam Ambar Setyowati Sri (2007) memperjelas konsep pembelajaran
dengan menambahkan kata kunsi yang harus di perhatikan, yaitu pembelajaran
menyangkut hal praktis, pembelajaran adalah penyimpanan informasi, pembelajaran
adalah penyusunan oganisasi, pembelajaran memerlukan keaktifan dan kesadaran,
pembelajaran relatif permanen, dan pembelajaran adalah perubahan tingkah laku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Pendekatan
Pembelajaran
2. Pendekatan Interdisipliner
3. Pendekatan Monodisipliner
4. Pendekatan Crossdisipliner
1.3 Tujuan
1. Mengetahu Pengertian
Pendekatan Pembelajaran
2. Mengetahui Pendekatan Interdisipliner
3. Mengetahui Pedekatan
Monodisipliner
4. Menegetahui Pendekata
Crossdisipliner
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Belajar adalah suatu aktivitas yang
mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral
change) pada individu yang belajar. Istilah pembelajaran merupakan padanan
dari kata dalam bahasa Inggris in-struction,
yang berarti proses membuat orang belajar. Tujuannya ialah membantu orang
belajar, atau memanipulasi (merekayasa) lingkungan sehingga memberi kemudahan
bagi orang yang belajar. Gagne dan
Briggs (1979) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu rangkaian events (kejadian, peristiwa, kondisi dan
sebagainya) yang sengaja dirancang untuk mempengaruhi siswa (pembelajar),
sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Sesuai dengan
perkembangan teknologi dan komputer, fungsi pembelajaran bukan hanya fungsi
guru, melainkan juga fungsi pemanfaatan sumber-sumber belajar lain yang
digunakan oleh pembelajar untuk belajar sendiri. Pada umumnya orang berpendapat
bahwa kegiatan pembelajaran adalah penerapan prinsip serta teori belajar.
2.2 Pendekatan Interdisipliner
Pentingnya pendekatan interdisipliner sebagai solusi
problematika masyarakat akademik terutama untuk kepentingan mahasiswa untuk
melihat masalah sosial dan budaya secara lebih luas dan komperehensi. Sehingga
pada akhirnya mereka dapat dapat melihat dan memecahkan masalah sosial secara
utuh. Jenis pendekatan ini pada hakekatnya sangat cocok dengan tuntutan pasal 5
ayat 1 keputusan Dirjen Dikti yangmerekomendasikan untuk melakukan pendekatan
multi disiplin.
Pengajaran ilmu sosial pada hakekatnya adalah membantu
siswa memperoleh informasi, nilai dan konsep yang komperhensip antara
gejala-gejala sosial yang heterogen yang ada dalam masyarakat. Gejala sosial
yang komplek tersebut harus dipelajari dan ditelaah dengan pendekatan integrasi
atau interdisiplner. Prinsip dasar pendekatan interdisipliner adalah yang
melihat keseluruhan (holistication)
peristiwa sosial yang terjadi merupakan suatu sistem yang teroganisir dan
sistemik. Gejala-gejala sosial masing-masing tidak berdiri sendiri atau
indenpenden, melainkan saling interelasi satu sama lainnya.
Dengan demikian, peristiwa sosial yang satu diakibatkan
oleh peristiwa yang lain atau sebaliknya. Pemecahan masalah-masalah sosial
tidak mungkin dilakukan dari sudut atau
tinjauan saja melainkan harus menggunakan tinjauan multiparadigma. Itu
sebabnya, dalam pengajaran ilmu pengetahuan sosial memandang suatu problem sosial
dalam masyarakat melalui sub-sub IPS yang terkandung didalamnya
Tujuan penggunaan pendekatan interdisipliner:
1.
Menciptakan kemampuan berfikir kognitif siswa yang
berwawasan luas dan interdisipliner pengetahuan.
2.
Mengantarkan siswa pada suatu pembahasan yang realistik
dan berdimen si ganda.
3.
Mengingat tujuan akhir sebuah pendidikan adlah terciptaya
kepribadian yang utuh dan bulat dalam setiap jenjang dan jenis pendidikana maka
kebulatan dan keutuhan konsep hanya dicapai dengan menggunakan pendekatan
interdisipliner.
4.
Menciptakan guru yang memiliki kompetensi luas terhadap
berbgai pengetahuan, karena dia harus memiliki dan bewawasan luas tentang ilmu
sosial kemasyarakatan.
5.
Tujuan-tujuan tersebut dimaksutkan agar para siswa pada
gilirannya dapat ikut serta aktif dalam penggunaan modernisasi
Bentuk-bentuk yang dapat dikembangkan dari
pendekatan interdisipliner:
1.
Pendekatan strukttual, yaitu suatu pendekatan dimana
materi dan bahan pelajaran harus terlebih dahulu didesain dalam suatu kerangka
kurikulum yang sistematik.
2. Pendekatan fungsional, yaitu jenis pendekatan
interdisipliner yang mengkaji masalah sosial berdasarkan tingkat
kebermaknaannya bagi perkembangan kekayaan pikir siswa.
3.
Pendekatan lapangan, pada hakikatnya pendekatan ini
memiliki dua konsep dalam pelaksanaannya, yaitu: satu pendekatan humanistikadalah suatu pendekatan yang menjadi inti
permasalahannya, kedua pendekatan
lapangan dengan pendekatan kedaerahan memandang kebudayaan daerah sebagai
bagian inti dalam pembahasannya.
Kelebihan pendekatan interdisipliner:
1. Siswa kaya akan pengetahuan
2. Guru harus berwawasan luas
3. Kurikulum terpadu
4. Siswa tidak bosan dengan pengetahuan homogen
5. Sebagai bekal siswa untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi
2.3 Pendekatan Monodisipliner
Pendekatan
monodisipliner sering juga disebut sebagai pendekatan struktural. Bila
dipenggal secara linguistik maka kata “monodisipliner” berasal dari dua kata
yaitu mono yang berarti satu atau tunggal dan disiplin. Dengan demikian maka, pendekatan monodisipliner
adalah suatu model pendekatan yang melakukan studi sosial berdasarkan satu
disiplin ilmu sosial saja tanpa menghubungkan dengan ilmu-ilmu sosial yang
lainnya. Dengan kata lain pendekatan monodisiplinermelihat gejala dan
kejadian-kejadian sosial kemasyarakatan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri
(independensi) dan bukan merupakan suatu komponen yang sistematik dan
berinterelasi.
2.4 Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL)
Pendekatan konsektual (Concextual Teaching And
Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarkat.
Pendekatan
konsektual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar
sebagai berikut:
1)
Belajar tidak hanya menghapal teori dan konsep sosial
tertentu tetapi siswa harus mengkontruksikan pengetahuannya sendiri.
2)
Anak belajar dari mengalami. Anak-anak mencatat pola-pola
bermakna dari dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
3)
Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh
sesorang itu teroganisasi dan mencerminkan pemahaman oyang mendalam tentang suatu
persoalan (subject matter).
4)
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi
fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang
dapat diterapkan.
5)
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi
situasi yang baru.
6)
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
7)
Proses belajar dapat mengubah struktur otak
Pendekatan
konstektual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengakaitkan antara
materi yang di ajarkan dengan situasi nyata siswa yang mendorong siswa membuat
hubungan antaa penegetahuan yang dimiikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan
melibatkan tuju komponen pendekatan kontektual yakni;
1. Konstruktivisme (contructivism)
Pengetahuan dapat di
bangun oleh manusia sendiri sedikit demi sedikit dengan pemikirannya
sendiri.untuk itu siswa di perlu di biasakan untuk memecahkan masalah dengan
pengetahuan dan kemampuan berfikir mereka sendiri, sehingga siswa akan selalu
berusaha untuk mandiri dan aktif dalam membangun pengetahuan mereka sendiri.
Dalam membangun pengetahuan siswa tidak dapat berdiri sendiri, harus ada
keterlibatan guru dalam membantu siswa untuk membangun pengetahuan sendiri.
Guru dapat membantu siswa memperoleh gambaran
awal tentang konsep suatu materi dengan memunculkan masalah konstektual
yang terkait dengan materi di awal
pembelajaran. Melalui masalah kontekstual tersebut siswa didorong untuk dapat
memecahkan masalah dengan kemampuan berfikir berfikir sendiri. Jika siswa
mengalami kesulitan guru dapat membantu dengan mengingatkan siswa beberapa
konsep yang telah di pelajari siswa yang dapat di gunakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut
2. Menemukan (inquiry)
Pengetahuan tidak akan
cepat hilang dari benak siswa jika siswa sendiri ikut terlibat dalam proses
penemuan suatu konsep pengetahuan tersebut. Dalam inquiri adalah suatu proses
belajar sosiokultural untuk menemukan suatu penegetahuan baru dengan cara
bekerja sama dengan orang lain yang
lebih tahu dalam proses menemukan siswa dapat bekerjasama dengan siswa lain
melalui kerja kelompok. selama diskusi berlangsung guru memberikan dukungan
yang di perlukan siswa baik secara klasik maupun individual sangat di
tekankan dalam pembelajaran karena
setiap siwa mempunyai kemampuan yang berbeda dalam hal menyerap informasi dan
setiap siswa mempunyai kemampuan awal yang berbeda.
3. Bertanya
Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaran yang berbasis konstektual. Bertanya dalam
pembelajaran di pandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan
menilai kemampuan siswanya. Bertanya tidak hanya di lakukan oleh guru, siswa
juga di harapkan untuk bertanya jika menemui kesulitan.
4. Masyarakat belajar
Dalam kelas dengan
pendekatan konstektual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam
bentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi dalam kelompok-kelompok yang
anggotanya heterogen. Masyarakat belajar dapat berjalan jika ada komunikasi
antar anggota-anggotanya. Guru dapat mengembangkan keberadaan masyarakat
belajar dalam kelas dengan menghidupkan diskusi dengan kelompok-kelompok kecil.
Pembelajaran dengan diskusi memungkinkan seluruh siswa untuk belajar menghargai
pendapat teman dan belajar untuk menyampaikan pendapat.
5. Pemodelan
Dalam sebuah
pembelajaran pengetahuan atau keterampilan tertentu, di harapkan ada model yang
bisa di tiru dan guru bukanlah satu-satunya model, model dapat di rancang
dengan melibatkan siswa. Guru dapat menggunakan alat peraga untuk mencontohkan
suatu konsep materi. Guru juga dapat memberikan contoh penerapan konsep dalam
kehidupan sehari-hari untuk menjukan pada siswa gambaran pada konsep tersebut.
6. Refleksi
Refleksi dalam
pembelajaran adalah mengingat kembali atau menegaskan apa yang sudah di
dapatkan selama pembelajaran berlangsung. Refleksi dapat di lakukan dengan
membuat kesimpulan dari keseluruhan materi yang di pelajari di akhir
pembelajaran.
7. Penilaian yang sebenarnyan
Penilaian adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar
siswa, sedangkan kemajuan belajar siwa dinilai dari proses bukan dari hasil
saja, maka penilaian harus di peroleh dari hasil kegiatan nyata yang di
kerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pendekatan dapat
diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara untuk mendekati sesuatu.
Sedangkan pembelajaran atau intruction merupakan usaha sadar dan disengaja oleh
guru untuk membuat siswa belajar dengan tujuan mengaktifkan faktor intern dan
faktor ekstern dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, pembelajaran juga
mengandung pengertian, bagaimana para guru mengajarkan sesuatu kepada peserta
didik, tetapi di samping itu juga terjadi peristiwa bagaimana peserta didik
mempelajarinya.
Sementara macam-macam
pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam IPS, yaitu antara lain pendekatan
keterampilan proses, pendekatan CBSA, pendekatan komunikatif, pendekatan
integrative, dan pendekatan konsep ilmu, teknologi, dan masyarakat dalam pemelajaran
IPS. Remy, 1990 (dalam Udin. S. Winataputra, dkk: 2007) mengemukakan hasil
tinjauan reformasi pendidikan di Amerika Serikat akhir-akhir ini yang
perhatiannya banyak dicurahkan terhadap konsep Ilmu, Teknologi dan Masyarakat
(ITM). Konsep Ilmu, Teknologi dan Masyarakat (ITM) memberikan kontribusi
secara langsung, terhadap misi pokok IPS, khususnya dalam mempersiapkan warga
Negara dengan sub pokok bahasan seperti memahami ilmu pengetahuan di
masyarakat, pengambilan keputusan warga negara, membuat hubungan antara
pengetahuan, dan mengingatkan generasi pada sejarah bangsa-bangsa beradab.
Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) di SD/MI harus memperhatikan kebutuhan anak yang
berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget
(1963) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada
tingkatan kongkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang
utuh, dan menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh.
3.2 Saran
Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap
makalah ini.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna apabila ada keslahan mohon
dapat mema’afkan dan memakluminya.
DAFTAR PUSTAKA
Tasrif. 2008. Pengantar Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: CV Printika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar