BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Korupsi telah mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat
besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan
pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota
legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya
di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara
demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu warga indonesia, sehingga yang
menonjol adalah sikap kerakusan. Maka dari itu korupsi harus di berantas, jika
kita tidak dapat memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada
titik nadir yang paling rendah.
Namun, Pada saat ini ada indikasi terjadinya sikap apatis masyarakat
terhadap tindakan korupsi. Masyarakat seakan telah jenuh dan terbiasa dengan
kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dari
masyarakat terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi
telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek
kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi
kebiasaan lumrah setiap orang.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang kami dapatkan yaitu sebagai berikut:
1) Apa itu korupsi?
2) Bagaimana gambaran umum korupsi serta jenis-jenisnya?
3) Dari mana awal mulanya sehingga terjadi korupsi?
4) Bagaimana persepsi masyarakat tentang korupsi?
5) Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi?
6) Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam memberantas korupsi?
7) Upaya apa yang dapat di tempuh dalam pemberantasan korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian korupsi
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere
yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik atau menyogok. Arti harfiahnya adalah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat di suap, Tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan
perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai
macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari
struktur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagai
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan
gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi,
salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.
Wertheim dalam Lubis, 1970 menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam
bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh
seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau kelompoknya atau
orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap
sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling
menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal ( UU
No.31 Tahun 1999. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak
pidana korupsi, yang di kelompokkan
- Kerugian keuangan negara
- Suap menyuap
- Penggelapan dalam jabatan
- Pemerasan
- Perbuatan curang
- Benturan kepentingan dalam pengadaan
- Gratifikasi
Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Masyarakat
pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian
tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan
keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan perilaku
korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan
atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.
Dalam mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi,
Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi
sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah
mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa Agung
Dan kapolri:
- Mengoptimalkan upaya–upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
- Mencegah & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
- Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkah – langkah pencegahan dalam RAN-PK di
prioritaskan pada :
- Mendesain ulang layanan publik .
- Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
- Meningkatkan pemberdayaan pangkat–pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
B.
Gambaran umum dan
Jenis-jenis Korupsi
Korupsi di Indonsia
dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada
tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang
diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang
dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul
Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan Operasi Tertib yang dilakukan Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan
iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah
dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun
korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis
politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi
krisis multidimensi. Gerakan
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya
supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan
tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih
& Bebas dari KKN.
Jenis korupsi yang
lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais
yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu:
- Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
- Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.
- Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.
- Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah:
pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah
atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a
General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk
korupsi yang umum dikenal, yaitu:
- Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.
- Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
- Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.
- Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.
- Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.
C. Awal Mula Munculnya Korupsi
Korupsi
dalam sejarah manusia bukanlah hal baru. Ia lahir berbarengan dengan umur
manusia itu sendiri. Ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, di sanalah awal
mula terjadinya korupsi. Penguasaan atas suatu wilayah dan sumber daya alam
oleh segelintir kalangan mendorong manusia untuk saling berebut dan menguasai.
Berbagai taktik dan strategi pun dilaksanakan. Perebutan manusia atas sumber
daya alam dan politik inilah awal mula terjadinya ketidakadilan. Padahal
kebutuhan untuk bertahan hidup kian menanjak, tapi kesempatan untuk memenuhinya
semakin terbatas. Sejak saat itu moralitas dikesampingkan. Orientasi hidup yang
mengarah pada keadilan berubah menjadi kehidupan saling menguasai dan
mengekploitasi. Di dalam sejarah, kita dapat menemukan banyak catatan yang
terkait dengan kondisi tersebut.
Di India
korupsi sudah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal ini
terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40
cara untuk mencuri kekayaan negara. Kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu
telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-lien yaitu hadiah untuk pejabat
negara yang bersih, sebagai insentif untuk menekan korupsi. Tujuh abad silam,
Dante menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan
Shakespeare mengangkat tema-tema korupsi dalam berbagai karyanya.
Pada abad ke-14 Abdul
Rahman berpendapat bahwa akar korupsi adalah keinginan hidup bermewah-mewah
dikalangan elit pemegang kekuasaan, sehingga mereka menghalalkan berbagai cara
untuk membiayai gaya hidup mereka.
Di Indonesia, korupsi
mulai terjadi sejak jaman kerajaan. Bahkan VOC bangkrut pada awal abad 20
akibat korupsi yang merajalela di tubuhnya. Setelah proklamasi kemerdekaan,
banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya, posisi kosong
mereka kemudian diisi oleh kaum pribumi pegawai pemerintah Hindia Belanda
yang tumbuh dan berkembang di lingkungan koruptor. Kultur korupsi
tersebut berlanjut hingga masa pemerintah Orde Lama. Di awal
pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan berbagai upaya untuk
memberantas korupsi. Terlepas dari upaya tersebut, Presiden Soeharto tumbang
karena isu korupsi. Perjalanan panjang korupsi telah membuat berbagai kalangan
pesimis akan prospek pemberantasan korupsi, baik di Indonesia maupun di
berbagai belahan dunia.
Dalam dua
dekade terakhir, dunia mulai memandang korupsi sebagai isu penting.
Berbagai inisiatif untuk memerangi korupsi dilakukan mulai dari tingkat
nasional, regional hingga level internasional. Pandangan bahwa korupsi
mendorong pertumbuhan ekonomi mulai ditinggalkan banyak kalangan. Korupsi
dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral semata, tetapi sebagai
permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, social dan budaya).Perubahan
cara pandang dan pendekatan terhadap korupsi, yang diikuti dengan menjamurnya
kerjasama antar bangsa dalam isu ini menyemai optimisme bahwa perang melawan
korupsi adalah perang yang bisa kita menangkan.
D. Persepsi Mayarakat tentang Korupsi
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya
praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan
korupsi dengan emosi dan demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah
“penguasa yang korup” dan “derita rakyat”. Mereka memberikan saran kepada
pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor. Hal ini cukup berhasil
terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak puas terhadap
perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu, mereka ingin
berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan sistem
pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.
E. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
Faktor-Faktor yang
menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1) Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagai make-up
politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2) Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila
tidak menggunakan kesempatan.
3)
Langkahnya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya
dilakukan sebatas formalitas.
4) Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara
negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5) Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena
kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
6) Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7) Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya
diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila
tertangkap.
8) Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila
ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya
sendiri terlindungi.
9)
Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam
mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk
agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah
saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial.
Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan
insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama
tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan
dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
F. Peran Serta Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat
dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang
diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
- Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
- Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good governance.
- Membangun kepercayaan masyarakat.
- Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
- Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
- Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
- Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
- Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
- Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari
- Hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
G. Upaya yang
Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
1.
Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya
korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya
yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah
adanya korupsi.
2.
Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka
perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai
aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan
korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3.
Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara
cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar
pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara
terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan
strategi yang hendak dilaksanakan.
Adapula strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara
represif antara lain :
- Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
- Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
- Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korupsi.
- Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari materi yang telah kami paparkan pada makalah ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) korupsi merupakan perbuatan curang yang
merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
2)
Ada 4 jenis korupsi yaitu: Korupsi ekstortif, Korupsi manipulatif,
Korupsi nepotistik,Korupsi subversif.
3) Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya
praktik-praktik korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
4) Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara
berkembang contohnya Indonesia ialah: Proses modernisasi belum ditunjang oleh
kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada. Selalu
muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan
kepentingan pribadinya dengan dalih kepentingan rakyat.
5) Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah : Penegakan hukum
tidak konsisten, Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap
bodoh bila tidak menggunakan kesempatan. Langkahnya lingkungan yang antikorup,
Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara, Kemiskinan, keserakahan.
Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi. Budaya
permisif/serba membolehkan, Gagalnya pendidikan agama dan etika.
6) Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat
dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
7) Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut : Strategi Preventif, strategi dedukatif strategi
represif.
B.
Saran
1) Perlu dikaji lebih dalam lagi
tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia agar mendapat informasi
yang lebih akurat.
2) Diharapkan para pembaca setelah
membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
3) Semoga kedepannya negri ini jauh dari korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul, 2006, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan
Peradaban (PSAP).
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta:
GhaliaIndonesia
Supeno, Hadi, 2009. Korupsi di Daerah. Yogyakarta : Total Media.
izin copy gan buat memenuhi tugas kulia saya......sekian terimakasi
BalasHapustks tuk referensi
BalasHapusIzin copy sebagai referensi
BalasHapusIzin copy sebagai referensi tugas saya mata kulaih PKN. Trimakasih
BalasHapus