Minggu, 02 April 2017

PAPER MENDIDIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS



MENDIDIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

             Secara teknis operasional pendidikan khusus diatur  dengan  Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus yang secara sederhana dapat dipahami sbb :
  1. Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B untuk siswa Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahiata ringan, Bagian C1 untuk siswa Tunagrahita sedang,  Bagian D untuk siswa Tunadaksa, bagian D1  untuk siswa Tunadaksa sedang  dan bagian E untuk  anak Tunalaras.
  2. Pengelolaan kelas diatur untuk jenjang TKLB dan SDLB maksimum 5 anak per kelas, dan untuk SMPLB dan SMALB  8 anak perkelas.
  3. Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP  dalam bentuk kurikulum jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing untuk bagian A, B, C, C1, D, D1  dan E
  4. Pembelajaran bersifat indifidual.
  5. Pembagian tugas untuk jenjang TKLB dan SDLB  adalah guru kelas, sedang untuk SMPLB dan SMALB  sebagai guru matapelajaran.
  6. Persyaratan untuk menjadi guru pada  TKLB dan SDLB diharuskan  berijazah S1 (sarjana) Pendidikan Khusus (PK)  atau Pendidikan Luar Biasa (PLB), sedang untuk guru SMPLB dan SMALB dapat S1 PK / PLB  atau S1 matapelajaran yang diajarkan di SMPLB dan SMALB.
PEMBINAAN
Pada saat Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 masih berlaku, pembinaan SLB berada di Pemerintah Provinsi. Kewenangan penyelenggaraan SLB berada di Dinas Pendidikan Provinsi. Atas kondisi ini ( pada saat itu) Pemerintah Kabupaten belum menempatkan pembinaan SLB sebagai tanggungjawabnya. Pembinaan dititipkan pada Pengaswas TK/SD. Bagi SDLB tak masalah, tetapi bagi SMPLB dan SMALB adakalanya  menemui situasi yang kurang menguntungkan.  Hal ini berlangsung hingga lahir PP No. 38 Tahun 2007.
Perkembangan selanjutnya pembinaan umum kelembagaan mengacu  pada UU No. 32 tahun 1999  dan PP No. 38 Tahun 2007  dimana pada hakekatnya adalah sama dengan pembinaan terhadap pendidikan jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah pada umumnya.  Hal yang membedakan adalah pembinaan teknis pendidikannya. Atas dasar ketentuan ini selanjutnya   SECARA NORMATIF tanggungjawab pembinaan berada di pundak PEMERINTAH KABUPATEN melalui dinas terkaitnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat sifatnya memvasilitasi.
Oleh karena itu demi terselenggaranya  pembinaan teknis, idealnya setiap Kabupaten memiliki minimal seorang Pengawas Pendidikan Khusus, sehingga diharapkan pembinaan teknis edukatif tidak terlewatkan.
KENDALA YANG DIHADAPI
  1. Kendala  senantiasa kita temui dan kita hadapi  dalam perjalanannya hingga sekarang,  walaupun kita sadar bahwa pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus  pada hakekatnya sama dengan pelayanan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi inilah kenyataannya.
  2. Kendala dari sisi anak, belum semua anak dapat mengikuti program pendidikan khusus karena berbagai sebab.
  3. Kendala dari sisi tenaga guru, entah karena apa, dari dahulu hingga sekarang jumlah tenaga guru belum mencukupi.
  4. Masih minimnya publikasi dan sosialisasi,  sehingga adakalanya masyarakat kurang mengetahui keberadaan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di daerahnya, serta minimnya dukungan stikholder  yang ada.
  5. Kendala dari sisi pembinaan ( menurut hemat penulis) ada beberapa sebab  antara lain:
a)       Belum tercipta kesamaan persepsi di jajaran pendidikan khusus ( SDLB, SMPLB, dan SMALB) sehingga ada yang belum bisa menerima  kenyataan bahwa aturan normatif nya pembinaan  adalah PP No. 38 Tahun 2007. Ada sebagian sekolah (khususnya swasta)  yang masih berbeda persepsi dengan pembina di tingkat kabupaten.
b)       Demikian pula di jajaran pembina pendidikan kabupaten, masih ada sebagian pembina tingkat Pemerintah Kabupaten yang belum berkenan menempatkan pendidikan khusus sebagai bagian dari tanggungjawabnya.  Hal ini  berdampak pada terbatasnya pembinaan dalam segala aspeknya. Mudahan ini kerliru !
c)       Apabila telah tercipta kesepaham di tingkat Pembina Kabupaten, belum semua Kabupaten memiliki seorang pengawas Pendidikan Khusus  sebagai pembina teknisnya.
d)       Belum tercipta kesamaan persepsi bentuk pembinaan terhadap pendidikan khusus antara jajaran Pembina tingkat Provinsi, Tingkat kabupaten dasn kalangan sekolah sendiri. Ini sebuah kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar