Kamis, 06 April 2017

MAKALAH TAFSIR DAN TAKWIL

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir dan Takwil
     Tafsir merupakan bentuk dari akar kata yang maknanya adalah menjeaskan dan mengupas kata. Kata ini merupakan bentuk pembalikan dari kata. Kamu berkata :                              (pagi telah jelas) jika telah ada cahaya. Ada yang mengatakan bahwa kata ini di ambil dari kata yang maknanya adalah sebuah nama alat yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui suatu penyakit.
      Kata Takwil itu berasal dari akal kata yaitu “kembali”, seolah-olah maknanya adalah mengembalikan suatu ayat kepada makna-makna yang mungkin untuknya. Ada yang mengatakannya berasal dari kata: yaitu “pengendalian”, seolah-olah oramg yang melakukan takwil itu mengendalikan suatu pembicaraan dan menempatkan suatu makna pada tempatnya.
     Tafsir atau takwil itu diperselisihkan maknanya. Abu Ubaid dan beberapa ulama mengatakan bahwa keduanya adalah satu makna. Ada sebagian kaum yang mengingkari hal itu, sampai-sampai Ibnu Habid An-Naisaburi berlebih-lebihan dalam hal itu. Dia berkata “pada masa kami ini banyak ahli tafsir yang jika mereka itu ditanya perbedaan amtara tafsir dan takwil maka mereka tidak mengetahuinya.”
      Lainnya berkata “Tafsir adalah menjelaskan suatu lafadz yang tidak mengandung makna kecuali hanya satu saja. Sedangkan takwil adalah menjelaskan suatu lafadz kepada makna-makna yang berbeda-beda kepada satu buah makna berdasarkan dalil yang jelas padanya.”
     Al-Matrudi berkata, “Tafsir itu adalah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan lafadz ini adalah makna ini dan menyaksikan bahwa Allah menghendaki makna itu. Jika ada dalil yang qath’i, maka ia diterima. Jika tidak ada maka makna itu. Jika ada dalil yang qath’i maka ia diterima. Jika tidak ada maka itu adalah tafsir birra’yi (dengan pendapat) yang dilarang. Sedangkan Takwil adalah mentarjih diantara makna-makna yang mungkin tanpa menegaskan dan tanpa mempersaksikan terhadap Allah.”

            Pendapat lainnya: “Tafsir itu berhubungan dengan riwayat sedangkan takwil itu berhubungan dengan dirayah pemikiran.”
            Ada beberapa kaum, diantaranya adalah al-Baghawi dan al-Kwasyi yang berkata, “Takwil adalah menjadikan makna suatu ayat sesuai dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang mungkin di kandung oleh ayat itu dengan tanpa menentang Al-Qur’an atau Sunnah melalui jalur istinbath (ijtihad).”
            Sebagian dari mereka berkata, “Tafsir dalam pengertian istilah adalah mengetahui turunnya ayat dan segala sesuatu tentangnya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, kemudian urutan Makiyah dan Madaniyah yang muhkam diantaranya dan yang mutasyabih, yang khusus dan yang umum, yang mutlaq dan yang muqayyad, dan perumpamaan-perumpamaannya.”
B. Perbedaan Tafsir dan Takwil
NO
TAFSIR
TAKWIL
1
Pemakaiannya banyak dalam lafadh-lafadh dan mufrodat
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits shahih
Kebanyakan diistimbat oleh para ulama
3
Banyak berhubungan dengan riwayat
Banyak berhubungan dengan dirayat
4
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat
5
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki
Menerangkan hakikat yang dikehendaki
Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan tafsir adalah lebih umum daripada ta’wil, sehingga ta’wil hanya memberikan kefahaman secara cepat sedangkan tafsir memberikan kefahaman secara mutlak baik dengan cepat atau tidak.



C. Tafsir Bil Ma’tsur dan Penjelasannya
Penafsiran terhadap Al-qur’an ada dua macam, sebagai berikut : Pertama, yang dinamakan bil ma’tsur atau dengan riwayat. Kedua, yag dinamakan tafsir bir ra’yi atau dengan dirayah (pengetahuan).
1. Tafsir bil ma’tsur
a. Pengertian tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan , bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an.[1]
Yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur atau taksir riwayat adalah taksir yang terbatas pada riwayat Rsdulullah SAW. Dan dari sahabat atau murid-murid mereka dan kalangan tabi’in, dan dapat juga dari tabi’in-tabi’in.
Kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua kitab shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, kitab tafsir an-Nasa’I Ia menyediakan satu Juz dari sunan al-Kubra khusus untuk tafsir shahih Ibnu Khuzaiman, shahih Ibnu Hibban dan Mustadrak al-Hakim. Dan sebelum itu adalah al-Mushannaf Abdurrozzaq selain itu juga kitab taksir yang terkenal adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Guran yaitu kalangan Syaikh Mufassirin Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang masuk didalamnya tafsir riwayat dan dirayah sekaligus. Selain itu juga adalah taksir Ibnu Katsir yang dinamakan tafsir al-Qur’an Azim.[2]
Pembagian tafsir bil ma’tsur atau bi riwayah
a. Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh, seperti firman Allah :
Ïä!$uK¡¡9$#ur É-Í$©Ü9$#ur ÇÊÈ  
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1
ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ  
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
Ÿw$s% $uZ­/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ  
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4 $¯RÎ) $¨Zä. z`ƒÍÉZãB ÇÌÈ  
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.


b. Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
    Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûï̍yz#uäur `ÏB óOÎgÏRrߊ Ÿw ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷ètƒ 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqムöNä3ös9Î) óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ  
Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah dengan Ar-Ramnya       yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
c. Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.

Kelemahan-kelemahan tafsir bil ma’tsur diantaranya :
a.       Adanya riwayat dhoif, dan mungkar dari riwayat yang didapat dari Rasulullah, sahabat dan tabi’in
b.      Pertentangan riwayat satu sama lain. Misalnya, kita mendapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah SWT.
 @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (an-Nur : 31).
     Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan kedua telapak tangan. Kemusian darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat al-Ahzam.    “ …. Hai…,Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).

D. Tafsir bi Ra’yi dan Penjelasannya
Yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah piker serta penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir Al-qur’an dari perangkat syarat dan akhlak.[3]
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal (tafsir bi ra’yi), sekalipun memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur yang kita ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash hadits shahih. Sebab ar-ra’yu adalah ijtihad, sedangkan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash hadits. Lain halnya kalau tafsir bi Ra’yi tidak bertenangan dengan tafsir bil ma’tsyur, dalam hal demikian itu maka, keduanya saling mendukung dan saling memperkuat.[4]
a.     Hukum menggunakan tafsir bi ra’yi
Mengenai tafsir bi ra’yi para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan ada pula yang membolehkan. Adapun yang mengharamkan memiliki dasar sebagai berikut, yakni hadits dari Ibnu Abbas :
Artinya : “…. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menikmati tempat di neraka”.
Jawaban tentang hadits itu yang telah disebutkan tadi. Jika shahih sekalipun ia mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan Ar-ra’yu adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan pemikiran yang ia anut. Kedua, maka hadits itu mencela orang yang berani menafsirkan Al-qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dibutuhkan dalam menafsirkan Al-qur’an.
Adapun yang memperbolehkan adalah dengan dasar hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan, diantaranya :
Artinya : “Siapa yang ditanya tentang sesuatu yang ia kuasai keilmuanya, kemudian ia menyembuyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikendalikan mulutnya dengan api neraka”.
Tetapi juga ada yang mengambil tafshil dalam masalah ini yakni boleh dengan Ro’yi (rasio) asalkan dengan menggunakan syarat-syarat Mufasyir yang ada tanpa disertai hawa nafsu. Dan tidak boleh menggunakan Ro’yi bila diladeni hawa nafsu.  Yusuf al-qaradhawi.[5]
b. Syarat-syarat mufasyir bi-ro`yi ( penafsir al-quran )
Yakni yang terkait dengan ilmu bahasa arab adalah nahwu, sharaf, isyriqaq lughah, balaqhah, qira’at, ushuludin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Selain itu As-Suyuthi mengutip pendpat dari Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar di sekitar empat pokok, yaitu :
1.      Bepegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah SAW. Dengan ketentua ia harus waspada terhadap riwayat yang dhoif (lemah) mandhu’ (palsu).
2.      Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakana, menurut peristilahan hadits hukumnya mutlak marfu’, (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbabul nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (Ar-Ra’yu).
3.      Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa arab, dan harus tetap berhati-hati jangan sampai menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya, sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang arab.
4.      Berpegang teguh pada maksud, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hokum syara’. Itullah yang dimaksud Rasulullah dalam do’a beliau untuk Ibnu Abbas, yaitu

     Artinya : “ya Allah limpahkanlah kedalaman ilmu agama padanya dan ajaran ta’wil padanya”[6]
c.    Kelemahan tafsir bi Ra’yi
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan tafsir bi ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bisa dinilai dengan mutlak akan kebenarannya. Karena pada tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi Cuma menangkap dengan akal. Selain itu juga tidak ada sanad sebagaimana hadits
d. Contoh Tafsir Bi ra`yi
      Pada al-qur`an surat al ahzab ayat ke 59
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
E. Tafsir Maudu’I dan Penjelasannya
Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat. [7]
Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah
“ Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan.” [8]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[9][3] Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Islam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.

        Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif). Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
    Metode tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
    Menurut  Al-farmawi metode  tafsir maudhu’i  ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.
   Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
   Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
   M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
    Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja.
   Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.
   Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain.
   Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.




F. Hikmah Mengetahui Tafsir dan Takwil
Adapun hikmahnya maka tidak diragukan lagi. Allah berfirman:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
“Allah menganugerakan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu,ia benar benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. Al-Baqarah:296)
     Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Darda’ tentang ayat Dia berkat, “Membaca Al-Qur’an dan memikirkannya.” Ibnu Jarir meriwayatkan dengan riwayat yang seperti itu dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Qatadah.
Allah berfirman:
šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎŽôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷ètƒ žwÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ  
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia: dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut: 43)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Amru Bin Murrah bahwa dia berkata, “Aku tidak melewati ayat yang aku tidak ketahui maknanya, kecuali aku menjadi sedih, karna Allah berfirman:
Abu Ubaid meriwayatkan dari Hasan bahwa dia berkata, “Allah tidak menurunkan suatu ayat, kecuali Dia menginginkan agar ayat itu diketahui tentang apa diturunkan dan apa maksudnya.”
Al-Ashbahani berkata, “Ilmu manusia yang paling mulia untuk didapatkan adalah tafsir Al-Qur’an. Penjelasannya bahwa kemuliaan suatu dapat tergantung kepada keutamaan objeknya. Jika hal itu sudah dipahami maka ilmu tafsir telah memiliki keistimewaan dari berbagai sisi. Adapun dari sisi objek, karena objeknya adalh Firman Allah Ta’ala  yang merupakan sumber dari semua hikmah dan semua keutamaan, di dalamnya ada berita tentang umat sebelummu dan berita umat sepeninggalanmu, serta hukum diantara kalian, tidak membosankan walaupun di ulang-ulang dan tak terhingga keajaiban-keajaibannya.
Adapun dari sisi tujuan, karena tujuannya adalah berpegang teguh kepada janji yang kuat, sampai kepada kebahagiaan hakiki, yang abadi. Adapun dari sisi besarnya kebutuhan kepadanya adalah karena setiap kesempurnaan, baik bersifat agama maupun dunia, yang cepat maupun yang lambat, membutuhkan kepada ilmu-ilmu yang syariat dan pengetahuan-pengetahuan agama. Semua itu tergantung kepada pengetahuan terhadap kitab Allah.”
G. Keutamaan Tafsir
       Adapun keutamaannya makatidak di ragukan lagi, Allah berfirman:
ÎA÷sムspyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4 `tBur |N÷sムspyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 3 $tBur ㍞2¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ  
“Allah menganugrahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-sunnah) kepada siapa yang ia kehendaki. Dan barang siapa di anugrahi itu, ia benar-benar telah di anugrahi karunia yang banyak (Q.S. Al-Baqarah; 269)
Ibnu Abi Hatim dan yang lainnya meriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: dia berkata, Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an, yang menaskh diantaranya dan dinasakh, yang dimuhkam dan mutasyabih, yang terdahulu dan yang kemudian, yang halal dan yang haram, dan perumpamaan- perumpamaannya.”
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari jalur Jawabir dari Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas secara marfu’ tentang ayat ………… Dia berkata, “Al-Quran.” Ibnu Abbas berkata “Maksudnya adalah tafsirannya, karena sesungguhnya Al-Quran itu dibaca oleh orang yang baik dan orang yang berhajat.”
Para ulama telah sepakat (ijmak) bahwa tafsir merupakan fardhu kifayah dan termasuk diantaranya tiga ilmu paling mulia.
Al-Ashbahani berkata, “Ilmu manusia yang paling mulia untuk didapatkan adalah tafsir Al-Quran.” Penjelasannya bahwa kemuliaan suatu produk itu dapat tergantung pada keutamaan objeknya. Pekerjaan tukang emas misalnya lebih utama daripada pekerjaan samak kulit. Yang pertama lebih mulia karena obyeknya adalah emas dari pada obyeknyayang kedua yang objeknya adalah kulit binatang. Dapat pila tergantung pada keutamaan tujuan dan dapat pul;a tergantung pada besarnya kebutuhan.
Jika hal itu sudah dapat dipahami maka ilmu tafsir telah memiliki keistimewaan dari tiga sisi itu. Adapun dari sisi objek karena objeknya adalah firman Allah yang merupakan ssumber dari semua hikmah dan semua keutamaan, dan didalamnya ada berita tentag umat sebelummu dan berita orang sepeninggalmu, serta hokum dianatara kalian, tidak membosankan walaupun diulang-ulang dan tidak terhingga keajaibannya. Adapun darisisi tujuan, kerena tujuannya adalah berpegang terguh pada janji yang kuat, sampai kepada kebahagiaan yang hakiki, yang abadi. Adapun dari sisi besarnya kebutuhan kepadanya adalah karena setiap kesempurnaan, baik yang bersifat agama aupun dunia, yang cepat maupun yang lambat, membutuhkan kepada ilmu-ilmu yang syariat dan pengetahuan agama. Semua itu tergantung kepada pengetahuan terhadap kitab Allah.”
Jika hal itu te


DAFTAR PUSTAKA

Imam Jalaluddin As-Suyuthi. 2009. Ulumul Qur’an II (Study Al-Qur’an Komprehensif). Jakarta: Indiva Media Kreasi Group.
Al-Ghazali, Muhammad. 1997. Berdialog dengan Al-quran. Bandung : MIZAN
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-qur’an. Jakarta : Gema Insani
Abdul Djalal, 1990. Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini. Jakarta: Kalam Mulia


[1]Ignat Goldziher. Madzhab Taksir. (Yogyakarta : el-saq Press. 2003). Hal 87
[2]Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 296
[3] Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal  297
[4] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal 388
[5]Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 299
[6] Subhi as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal 387
[7]Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84
[8]Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar