PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir dan Takwil
Tafsir
merupakan bentuk dari akar kata yang maknanya adalah menjeaskan dan mengupas
kata. Kata ini merupakan bentuk pembalikan dari kata. Kamu berkata : (pagi telah
jelas) jika telah ada cahaya. Ada yang mengatakan bahwa kata ini di ambil dari
kata yang maknanya adalah sebuah nama alat yang digunakan oleh dokter untuk
mengetahui suatu penyakit.
Kata Takwil itu berasal dari akal kata yaitu
“kembali”, seolah-olah maknanya adalah mengembalikan suatu ayat kepada
makna-makna yang mungkin untuknya. Ada yang mengatakannya berasal dari kata:
yaitu “pengendalian”, seolah-olah oramg yang melakukan takwil itu mengendalikan
suatu pembicaraan dan menempatkan suatu makna pada tempatnya.
Tafsir
atau takwil itu diperselisihkan maknanya. Abu Ubaid dan beberapa ulama
mengatakan bahwa keduanya adalah satu makna. Ada sebagian kaum yang mengingkari
hal itu, sampai-sampai Ibnu Habid An-Naisaburi berlebih-lebihan dalam hal itu.
Dia berkata “pada masa kami ini banyak ahli tafsir yang jika mereka itu ditanya
perbedaan amtara tafsir dan takwil maka mereka tidak mengetahuinya.”
Lainnya berkata “Tafsir adalah menjelaskan
suatu lafadz yang tidak mengandung makna kecuali hanya satu saja. Sedangkan
takwil adalah menjelaskan suatu lafadz kepada makna-makna yang berbeda-beda
kepada satu buah makna berdasarkan dalil yang jelas padanya.”
Al-Matrudi
berkata, “Tafsir itu adalah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan lafadz ini
adalah makna ini dan menyaksikan bahwa Allah menghendaki makna itu. Jika ada
dalil yang qath’i, maka ia diterima. Jika tidak ada maka makna itu. Jika ada
dalil yang qath’i maka ia diterima. Jika tidak ada maka itu adalah tafsir birra’yi
(dengan pendapat) yang dilarang. Sedangkan Takwil adalah mentarjih diantara
makna-makna yang mungkin tanpa menegaskan dan tanpa mempersaksikan terhadap
Allah.”
Pendapat
lainnya: “Tafsir itu berhubungan dengan riwayat sedangkan takwil itu
berhubungan dengan dirayah
pemikiran.”
Ada
beberapa kaum, diantaranya adalah al-Baghawi dan al-Kwasyi yang berkata,
“Takwil adalah menjadikan makna suatu ayat sesuai dengan ayat sebelum dan
sesudahnya yang mungkin di kandung oleh ayat itu dengan tanpa menentang Al-Qur’an
atau Sunnah melalui jalur istinbath (ijtihad).”
Sebagian dari mereka berkata,
“Tafsir dalam pengertian istilah adalah mengetahui turunnya ayat dan segala
sesuatu tentangnya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, kemudian urutan
Makiyah dan Madaniyah yang muhkam
diantaranya dan yang mutasyabih, yang khusus dan yang umum, yang mutlaq dan
yang muqayyad, dan perumpamaan-perumpamaannya.”
B.
Perbedaan Tafsir dan Takwil
NO
|
TAFSIR
|
TAKWIL
|
1
|
Pemakaiannya banyak dalam
lafadh-lafadh dan mufrodat
|
Pemakaiannya lebih banyak pada
makna-makna dan susunan kalimat
|
2
|
Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan
hadits shahih
|
Kebanyakan diistimbat oleh para ulama
|
3
|
Banyak berhubungan dengan riwayat
|
Banyak berhubungan dengan dirayat
|
4
|
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat
|
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat
|
5
|
Bersifat menerangkan petunjuk yang
dikehendaki
|
Menerangkan hakikat yang dikehendaki
|
Sebagian
ulama berpendapat bahwa perbedaan tafsir adalah lebih umum daripada ta’wil,
sehingga ta’wil hanya memberikan kefahaman secara cepat sedangkan tafsir
memberikan kefahaman secara mutlak baik dengan cepat atau tidak.
C. Tafsir Bil Ma’tsur dan
Penjelasannya
Penafsiran
terhadap Al-qur’an ada dua macam, sebagai berikut : Pertama, yang dinamakan bil
ma’tsur atau dengan riwayat. Kedua, yag dinamakan tafsir bir ra’yi atau dengan
dirayah (pengetahuan).
1. Tafsir
bil ma’tsur
a.
Pengertian tafsir bil ma’tsur
Tafsir
bil ma’tsur adalah tafsir yang dapat diterapkan , bahwa Nabi sendiri atau
sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran. Hal itu telah
menjelaskannya dengan penjelasan makna-makna Al-qur’an.[1]
Yang
dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur atau taksir riwayat adalah taksir yang
terbatas pada riwayat Rsdulullah SAW. Dan dari sahabat atau murid-murid mereka
dan kalangan tabi’in, dan dapat juga dari tabi’in-tabi’in.
Kitab-kitab
hadits yang berisi tentang tafsir Al-qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua
kitab shahih Bukhari dan Muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu
Majah, kitab tafsir an-Nasa’I Ia menyediakan satu Juz dari sunan al-Kubra
khusus untuk tafsir shahih Ibnu Khuzaiman, shahih Ibnu Hibban dan Mustadrak
al-Hakim. Dan sebelum itu adalah al-Mushannaf Abdurrozzaq selain itu juga kitab
taksir yang terkenal adalah Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Guran yaitu kalangan
Syaikh Mufassirin Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang masuk
didalamnya tafsir riwayat dan dirayah sekaligus. Selain itu juga adalah taksir
Ibnu Katsir yang dinamakan tafsir al-Qur’an Azim.[2]
Pembagian
tafsir bil ma’tsur atau bi riwayah
a. Penafsiran
Al-qur’an dengan Al-qur’an
Contoh,
seperti firman Allah :
Ïä!$uK¡¡9$#ur É-Í$©Ü9$#ur ÇÊÈ
Artinya
: “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1
ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ
Artinya
: “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian
firman Allah ‘Azza wa jalla :
#¤)n=tGsù ãPy#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4
¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§qG9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ
Artinya
: “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun),
lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan
dengan firman Allah :
w$s% $uZ/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ÎÅ£»yø9$# ÇËÌÈ
Artinya
: “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,
jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah
kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.
Lagi
firman Allah ‘Azza wa jalla :
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû 7's#øs9 >px.t»t6B 4
$¯RÎ) $¨Zä. z`ÍÉZãB ÇÌÈ
Artinya
: “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS.
Ad-Dukhan : 3.
Penafsiran
Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak
diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber
berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.
Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk
menjelaskan dan menerangkan.
b. Penafsiran
Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# cqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûïÌyz#uäur `ÏB óOÎgÏRrß w ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷èt 4
$tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqã öNä3ös9Î) óOçFRr&ur w cqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ
Artinya : Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan).
Nabi
SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah dengan Ar-Ramnya yang
artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah,
ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
c.
Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya
tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki
hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan
hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.
Adapun
tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in
itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja
dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya
menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Kelemahan-kelemahan
tafsir bil ma’tsur diantaranya :
a. Adanya
riwayat dhoif, dan mungkar dari riwayat yang didapat dari Rasulullah, sahabat
dan tabi’in
b. Pertentangan
riwayat satu sama lain. Misalnya, kita mendapat riwayat dari Ibnu Abbas tentang
tafsir firman Allah SWT.
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB (
tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ (
wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# (
wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4
(#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya : Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (an-Nur
: 31).
Ia adalah celak mata dan cincin, atau wajah dan kedua telapak tangan. Kemusian
darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat al-Ahzam.
“ …. Hai…,Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka …” (al-Ahzab : 59).
D. Tafsir bi Ra’yi dan
Penjelasannya
Yang
dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan
menggunakan rasio atau akal. Dan makna Ar-Ro’yi adalah ijtihat dan olah piker
serta penelitian dalam memahami Al-qur’an dalam batas pengetahuan tentang
bahasa arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir
Al-qur’an dari perangkat syarat dan akhlak.[3]
Mengenai
tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal (tafsir bi ra’yi),
sekalipun memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji,
tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil ma’tsur yang kita
ketahui dengan pasti berdasarkan pada nash-nash hadits shahih. Sebab ar-ra’yu
adalah ijtihad, sedangkan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash
hadits. Lain halnya kalau tafsir bi Ra’yi tidak bertenangan dengan tafsir bil
ma’tsyur, dalam hal demikian itu maka, keduanya saling mendukung dan saling
memperkuat.[4]
a.
Hukum menggunakan tafsir bi ra’yi
Mengenai
tafsir bi ra’yi para ulama berbeda pendapat, ada yang mengharamkan ada pula
yang membolehkan. Adapun yang mengharamkan memiliki dasar sebagai berikut,
yakni hadits dari Ibnu Abbas :
Artinya
: “…. Dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-qur’an dengan
pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah untuk menikmati tempat di neraka”.
Jawaban
tentang hadits itu yang telah disebutkan tadi. Jika shahih sekalipun ia
mempunyai kemungkinan dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan Ar-ra’yu
adalah hawa nafsu. Yaitu, menyeret Al-qur’an untuk memperkuat hawa nafsunya dan
pemikiran yang ia anut. Kedua, maka hadits itu mencela orang yang berani
menafsirkan Al-qur’an sebelum memiliki perangkat yang seharusnya dibutuhkan
dalam menafsirkan Al-qur’an.
Adapun
yang memperbolehkan adalah dengan dasar hadits yang diriwayatkan dari beberapa
jalan, diantaranya :
Artinya
: “Siapa yang ditanya tentang sesuatu yang ia kuasai keilmuanya, kemudian ia
menyembuyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikendalikan mulutnya dengan
api neraka”.
Tetapi
juga ada yang mengambil tafshil dalam masalah ini yakni boleh dengan Ro’yi
(rasio) asalkan dengan menggunakan syarat-syarat Mufasyir yang ada tanpa
disertai hawa nafsu. Dan tidak boleh menggunakan Ro’yi bila diladeni hawa nafsu. Yusuf al-qaradhawi.[5]
b.
Syarat-syarat mufasyir bi-ro`yi ( penafsir al-quran )
Yakni
yang terkait dengan ilmu bahasa arab adalah nahwu, sharaf, isyriqaq lughah,
balaqhah, qira’at, ushuludin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh.
Selain itu As-Suyuthi mengutip pendpat dari Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan
mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh
menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat
pokok itu berkisar di sekitar empat pokok, yaitu :
1. Bepegang
pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah SAW. Dengan ketentua ia harus
waspada terhadap riwayat yang dhoif (lemah) mandhu’ (palsu).
2. Berpegang
pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakana, menurut peristilahan
hadits hukumnya mutlak marfu’, (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan
dengan asbabul nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat
(Ar-Ra’yu).
3. Mutlak
harus berpegang pada kaidah bahasa arab, dan harus tetap berhati-hati jangan
sampai menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang semestinya,
sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang arab.
4. Berpegang
teguh pada maksud, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan hokum
syara’. Itullah yang dimaksud Rasulullah dalam do’a beliau untuk Ibnu Abbas,
yaitu
Artinya : “ya Allah limpahkanlah kedalaman ilmu agama padanya dan ajaran
ta’wil padanya”[6]
c.
Kelemahan tafsir bi Ra’yi
Setiap
sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, begitu juga dengan tafsir bi
ra’yi ini. Pada tafsir ini tidak bisa dinilai dengan mutlak akan kebenarannya.
Karena pada tafsir ini tidak mengambil dari dalil-dali pasti, tetapi Cuma
menangkap dengan akal. Selain itu juga tidak ada sanad sebagaimana hadits
d. Contoh
Tafsir Bi ra`yi
Pada al-qur`an surat al ahzab ayat ke 59
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4
y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3
c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
Artinya
: “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri
orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh
tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka
mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah
berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak,
melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab,
manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian
dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama
kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka
hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’
didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat
ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da
hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban
memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
E.
Tafsir Maudu’I dan Penjelasannya
Kata
maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim
maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan,
mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang
dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor,
sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang
mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i
yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’
yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.
[7]
Adapun
pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah
“
Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama
membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai
dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian
mengistimbatkan.” [8]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk
menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma
yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut
sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[9][3] Namun ini bukan berarti metode ini
berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran
kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks suatu pencarian
tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Islam mengenai suatu pengalaman
manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke
dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar
keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan
sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar ciri kedua ini karena ia
melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan
yang tersusun.
Menurut
al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan
seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit
dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili
(representatif). Dari beberapa gambaran di atas dapat
dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat
Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau
sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk
memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu,
dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun
nuzul kalau perlu.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i adalah metode
tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas
topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Menurut Al-farmawi metode tafsir
maudhu’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait
dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.
Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas,
serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument yang berasal dari al-Qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional.
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an
tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil
sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis
yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di
dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an
terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i
mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam
al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan
tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai
ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna
menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam
perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan
kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum
pada satu surat saja.
Biasanya kandungan pesan tersebut
diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut
bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang
tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat
tidak hanya pada satu surah saja.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema.
Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode
ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau
topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu
sendiri, atau dari lain-lain.
Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu
dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran
atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam
pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir.
F.
Hikmah Mengetahui Tafsir dan Takwil
Adapun
hikmahnya maka tidak diragukan lagi. Allah berfirman:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# (
s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
`yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3
ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
“Allah
menganugerakan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan sunnah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah
itu,ia benar benar telah dianugerahi karunia yang banyak.”
(QS. Al-Baqarah:296)
Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Abu Darda’ tentang ayat Dia berkat, “Membaca Al-Qur’an
dan memikirkannya.” Ibnu Jarir meriwayatkan dengan riwayat yang seperti itu
dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Qatadah.
Allah berfirman:
ù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎôØnS Ĩ$¨Z=Ï9 (
$tBur !$ygè=É)÷èt wÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia: dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(QS. Al-Ankabut: 43)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Amru Bin Murrah
bahwa dia berkata, “Aku tidak melewati ayat yang aku tidak ketahui maknanya,
kecuali aku menjadi sedih, karna Allah berfirman:
Abu Ubaid meriwayatkan dari Hasan bahwa dia berkata,
“Allah tidak menurunkan suatu ayat, kecuali Dia menginginkan agar ayat itu
diketahui tentang apa diturunkan dan apa maksudnya.”
Al-Ashbahani berkata, “Ilmu manusia yang paling
mulia untuk didapatkan adalah tafsir Al-Qur’an. Penjelasannya bahwa kemuliaan
suatu dapat tergantung kepada keutamaan objeknya. Jika hal itu sudah dipahami
maka ilmu tafsir telah memiliki keistimewaan dari berbagai sisi. Adapun dari
sisi objek, karena objeknya adalh Firman Allah Ta’ala yang merupakan sumber dari semua hikmah dan
semua keutamaan, di dalamnya ada berita tentang umat sebelummu dan berita umat
sepeninggalanmu, serta hukum diantara kalian, tidak membosankan walaupun di
ulang-ulang dan tak terhingga keajaiban-keajaibannya.
Adapun dari sisi tujuan, karena tujuannya adalah
berpegang teguh kepada janji yang kuat, sampai kepada kebahagiaan hakiki, yang
abadi. Adapun dari sisi besarnya kebutuhan kepadanya adalah karena setiap
kesempurnaan, baik bersifat agama maupun dunia, yang cepat maupun yang lambat,
membutuhkan kepada ilmu-ilmu yang syariat dan pengetahuan-pengetahuan agama.
Semua itu tergantung kepada pengetahuan terhadap kitab Allah.”
G. Keutamaan Tafsir
Adapun keutamaannya makatidak di ragukan lagi, Allah
berfirman:
ÎA÷sã spyJò6Åsø9$# `tB âä!$t±o 4
`tBur |N÷sã spyJò6Åsø9$# ôs)sù uÎAré& #Zöyz #ZÏW2 3
$tBur ã2¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÏÒÈ
“Allah
menganugrahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-sunnah) kepada siapa
yang ia kehendaki. Dan barang siapa di anugrahi itu, ia benar-benar telah di
anugrahi karunia yang banyak (Q.S. Al-Baqarah; 269)
Ibnu Abi Hatim dan
yang lainnya meriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang
firman Allah: dia berkata, Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an,
yang menaskh diantaranya dan dinasakh, yang dimuhkam dan mutasyabih, yang
terdahulu dan yang kemudian, yang halal dan yang haram, dan perumpamaan- perumpamaannya.”
Ibnu Mardawih meriwayatkan dari jalur Jawabir dari
Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas secara marfu’ tentang ayat ………… Dia berkata,
“Al-Quran.” Ibnu Abbas berkata “Maksudnya adalah tafsirannya, karena
sesungguhnya Al-Quran itu dibaca oleh orang yang baik dan orang yang berhajat.”
Para ulama telah sepakat (ijmak) bahwa tafsir
merupakan fardhu kifayah dan termasuk diantaranya tiga ilmu paling mulia.
Al-Ashbahani berkata, “Ilmu manusia yang paling
mulia untuk didapatkan adalah tafsir Al-Quran.” Penjelasannya bahwa kemuliaan
suatu produk itu dapat tergantung pada keutamaan objeknya. Pekerjaan tukang
emas misalnya lebih utama daripada pekerjaan samak kulit. Yang pertama lebih
mulia karena obyeknya adalah emas dari pada obyeknyayang kedua yang objeknya
adalah kulit binatang. Dapat pila tergantung pada keutamaan tujuan dan dapat
pul;a tergantung pada besarnya kebutuhan.
Jika hal itu sudah dapat dipahami maka ilmu tafsir
telah memiliki keistimewaan dari tiga sisi itu. Adapun dari sisi objek karena
objeknya adalah firman Allah yang merupakan ssumber dari semua hikmah dan semua
keutamaan, dan didalamnya ada berita tentag umat sebelummu dan berita orang
sepeninggalmu, serta hokum dianatara kalian, tidak membosankan walaupun
diulang-ulang dan tidak terhingga keajaibannya. Adapun darisisi tujuan, kerena
tujuannya adalah berpegang terguh pada janji yang kuat, sampai kepada
kebahagiaan yang hakiki, yang abadi. Adapun dari sisi besarnya kebutuhan
kepadanya adalah karena setiap kesempurnaan, baik yang bersifat agama aupun
dunia, yang cepat maupun yang lambat, membutuhkan kepada ilmu-ilmu yang syariat
dan pengetahuan agama. Semua itu tergantung kepada pengetahuan terhadap kitab
Allah.”
Jika hal itu te
DAFTAR
PUSTAKA
Imam Jalaluddin As-Suyuthi. 2009. Ulumul Qur’an II (Study Al-Qur’an
Komprehensif). Jakarta: Indiva Media Kreasi Group.
Al-Ghazali,
Muhammad. 1997. Berdialog dengan Al-quran. Bandung : MIZAN
Al-Qaradhawi,
Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-qur’an. Jakarta : Gema Insani
Abdul
Djalal, 1990. Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini. Jakarta: Kalam
Mulia
[1]Ignat
Goldziher. Madzhab Taksir. (Yogyakarta : el-saq Press. 2003). Hal 87
[2]Yusuf al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an.
(Jakarta : Gema Insani 1999). Hal 296
[3] Yusuf
al-qaradhawi, Berinteraksi dengan al-qur’an. (Jakarta : Gema Insani
1999). Hal 297
[4] Subhi as-Shalin. Membahas
ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1999).hal 388
[6] Subhi
as-Shalin. Membahas ilmu-ilmu al-qur’an. (Jakarta : Pustaka Firdaus.
1999).hal 387
[7]Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta,
1990, hal. 83-84
[8]Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar
al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar