MASYARAKAT MADANI
MAKALAH PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.Konsep Masyarakat Madani................................................................................... 2
B.Pengertian Masyarakat Madani.............................................................................. 3
C.Masyarakat Madani Dalam Sejarah........................................................................ 3
D.Karakteristik Masyarakat Madani........................................................................... 4
E.Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani................................. 10
F.Kualitas SDM Umat Manusia................................................................................. 10
G.Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat................................................... 11
H.Unsur-Unsur Masyarakat Madani......................................................................... 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................... ...13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep masyrakat madani kurang terlihat,
terutamabagi bangsa indonesia. Berbagai kegiatan konsep masyarakat madani ini
dikemas secara kreatif, inovatif, dan dilaksanakan di lokasi yang variatif
pula, tidak hanya di linkungan islam saja saya berharap masyarakat bangsa
indonesia menganut konsep ,asyarakt madani ini agar kesejahteraan dan keadilan
dapat di rasakan oleh rakyat indonesia. Fenomena lain terlihat pada suksesnya
berbagai bidang penerapan konsep masyarakat madani yang berhubungan sistem ekonomi sukses mensejahterakan rakyat tanpa ada merugikan sebelah pihak.
Realita ini benimbas pada peningkatan penghargaan pemimpin kepada masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian konsep masyarakat madani?
2. Apa
pengertian masyarakat madani?
3. Bagaimana
sejarah masyrakat madani?
4. Apa
tujuan dari konsep masyarakat madani?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui
pengertian konsep masyarakat madani dan masyarakat madani
2. Mengetahui
Bagaimana sejarah masyrakat madani
3. Paham
dengan tujuan konsep masyarakat madani
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Masyarakat Madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidak bersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna
Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep
civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero
adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque,
JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut
dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di
luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran
atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan
persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan
lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan
buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans;
gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society
mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan
masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari
alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat
yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal
dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari
masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani
sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which
takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller
(1997).
B. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.Allah
SWT memberikan ganbaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam
Q.S.Saba’ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
C. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada
dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)
Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)
Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
D. Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7.
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
8.
Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,
yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9.
Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.
Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
11.
Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah
diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh
aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.
Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat
manusia.
14.
Berakhlak mulia.
Dari
beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila
diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan
dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.
Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.
Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama
dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.
Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.
Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,
hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.
Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa
prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang
tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar
hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu
diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley,
1992).Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat
menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.
Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2.
Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap
minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan
mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi
karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari
ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3.
Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan
terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep
Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang
berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil
society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan
masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis.
Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual
dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau
berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu
bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral
dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti
Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia
melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai
landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika
menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat
komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam
konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan
sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya
sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan
di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi
jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan
hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu
sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat
komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang
digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan
musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu
Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi
kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di
dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi
sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada
bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada
kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah
secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi
masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan
mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat
sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat
sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang
sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para
sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan
faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama
kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih.
Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani
tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan
Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di
Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan
syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat
madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat
madani adalah Alquran.
Meski
Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan
pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual,
sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan
rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di
Madinah.
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari
tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah
sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang
dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau
kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem
sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis
seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat
itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam
pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat
madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah
menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau,
pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran.
Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah),
sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan
kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan.
Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas)
juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas
(penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat
perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu
hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang
kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan
mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar.
Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama
tetap terjaga.
Kedua,
adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada
dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak
semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan
seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah
dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap
toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat
Al-An’am ayat 108.
Ketiga,
adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan
istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep
demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada
wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat
nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga
prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini.
Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang
dicita-citakan.
E.
Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
F. Kualitas SDM
Umat Islam
Dalam
Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari
ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDMnya dibanding umat non
Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu
sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
G. Sistem
Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut
ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi
haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan
antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan
ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian
realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab
hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya
ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah
hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik
apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan
manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah
ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan
batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri,
yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang
terlibat di dalamnya.
Di
dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun
atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua,
tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan
tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam
memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama
derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di
muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi
yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap
masyarakat.Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.
al-Syu’ara ayat 183
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan
dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa
semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada
masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya
dalam masyarakat.Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan)
rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.
Dalam
ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan
atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah.
H.
Unsur-Unsur Masyarakat Madani
1
.Adanya wilayah dan sarana publik yang luas untuk mengemukakan pendapat.
2.
Terdapat Demokrasi (Ini merupakan syarat dan unsur mutlak dari terbentuknya
masyarakat madani).
3
.Masyarakat saling memiliki rasa toleransi dan menghormati adanya perbedaan
antar masyarakat.
4.Dapat
hidup saling berdampingan dalam masyarakat dalam keragaman umat beragama, adat
istitiadat dan kebudayaan (Pluralisme).
5
.Dapat membedakan dan mengimplementasikan hak dan kewajiban secara seimbang.
BAB III
PENUTUP
A.KESIPULAN
Kita sebagai sesama manusia
bermasyarakat di tuntut untuk menyebarluaskan ajaran islam yang bertujuan untuk
kebahagian dunia dan akhirat.serta bagaimana seorang PEMIMPIN untuk membawa
masyrakatnya lebih merasakan keadilan dan kesejahteraan yang nyata dengan
mempelajari konsep-konsep masyarakat madani akan meningkatkan
masyarakat yang berbudi luhur.
DAFTAR
PUSTAKA
Suito, Deny.
2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:
Jakarta.
Mansur,
Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI:
Jakarta.
Suharto,
Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers
Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro,
Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI:
Jakarta.
Sutianto,
Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran
Rakyat: Bandung.
Suryana, A.
Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono.
1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN
Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Prenada Media: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar