PEMIKIRAN KALAM KONTEMPORER MUHAMMAD
ABDUH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Blakang
Mempelajari mata kuliah
ilmu kalam merupakan salah satu dari komponen utama rukun iman. Ketiga komponen
itu, yaitu nutqun bi al-lisani (mengucapkan dengan lisan), ‘amalun bi al-arkani (melaksanakan sesuai
dengan rukun-rukun), dan tashdiqun bi al-qalbi (membenarkan dalam hati). Agar
keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya, para ulama dahulu dan telah
melakukan kajian secara mendalam.
Untuk menjadikan ucapan
lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya, yaitu ilmu tauhid, ilmu
yang membahas tentang ketuhanan. Pada gilirannya dengan perkembangan situasi
dan kondisi sosial yang berlaku saatnya, ilmu tauhid telah berkembang menjadi
ilmu kalam. Sementara itu ilmu yang dapat memperkukuh amalan-amalan iman
dinamakan ilmu fiqh. Ilmu fiqh menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan
amalan-amalan seorang beriman agar keimanannya kuat.
Di antara amalan itu,
yaitu amalan-amalan ibadah mahdhah, seperti shalat,puasa,zakat, dan berhaji ke
baitullah. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mu’min dapat memperileh
iman yang kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawuf. Dengan ilmu ini,
diharapkan iman seorang mukmin mampu meresap ke dalam hati seseorang mukmin
yang terdalam.
Ketiga komponenilmu itu,
dalam kajian ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi kajian utamanya. Hanya,
sterssingya terkadang berbeda-beda antara satu wilayah atau negara dengan
wilayah lain atau negara lain. Terkadang di satu wilayah atau negara, ilmu fiqh
dan ilmu kalam di perkuat seperti itu tasawufnya kurang berkembang. Di wilayah
atau negara lain ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf yang lebih di kembangkan, dengan
kurang memperhatikan pengembangan ilmu kalam,atau berbagai model lagi.
B. Rumusa Masalah
1. Mengkaji pemikiran kalam Muhammad Abduh.
C. Tujuan Masalah
1. Mahasiswa mengenal dan mampu memahami pemikiran kalam Muhammad Abduh.
BAB II
Kajian Pustaka
A.
Syekh Muhammad Abduh
1.
Riwayat Hidup Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin ‘Abduh bin Hasan
Khairullah di lahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah,Mesir,
pada tahun 1849 M. Beliau berasal dari keturunan bangsawan. Namun demikian,
ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka meberi pertolongan.[1]
Kekerasan yang ditetapkan penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali alam memungut pajak
menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk menghindarinya. Abduh mulai
dilahirkan dalam kindisi yang penuh kecemasan ini.[2]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi Tatan tempat ini
menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Akan tetapi, sistem pembelajaran di
sana sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun di sana, ia memutuskan
untuk kembali ke desanya dan bertani, seperti saudara-saudara atau kerabatnya.
Waktu kembali ke desa, ia di nikahkan saat ia berumur 16 tahun. Semula ia
berkekas untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi akhirnya kembali belajar atas
dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh
sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Atas jasanya, Abduh berkata, “ia
telah membebaskanku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan
membimbingku menuju ilmu pengetahuan.”[3]
Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh
melanjutkan studi Al-Azhar pada bulan februari 1866.[4]
Pada tahun 1871,
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) tiba di Mesir. Saat itu, Abduh menjadi
mahasiswa Al-Azhar. Kehadirannya di sambut Abduh dengan menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiyahnya. Untuk yang selanjutnya, ia menjadi murid
kesayangan Al-Afghani.
Lalu, Afghani yang
mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang sosial dan politik. Artikel-artikel
pembaruannya banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram di Kairo.[5]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada pada tahun 1877 dengan
gelar “alim”, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, kemudian da Dar Ulum dan di
rumanhya. Tak lama kemudian Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena
dituduh mengadakan gerakan penenyangan terhadap Khadewi Taufiq, Abduh juga di
pandang ikut campur di dalamnya, di buang di Kairo. Pada tahun 1880 ia di
peroleh kembali ke ibu kota kemudian di angkat menjadi redaktur surat kabar
resmi pemerintahan Mesir, Al-Waqa’i Al-Mishriyah. Pada waktu bersamaan,
kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu
membuat artikel-artikel tentang ugernes nasionl Mesir di samping berita-berita
resmi.[6]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh ketika
itu masih memimpin surat kaar Al-Waqa’i dituduh terlibat dalam revolusi besar
tersebut, sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama
tiga tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, Ia
pun memilih Suriah. Dia menetap selama satu tahun. Kemudian ia menyusul
gurunya, Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris.
Di sana mereka menerbitkan
surat kabarAl-‘Urwah Al-Wutsqa pada tahun 1884.
Karya-karyanya
yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern .
Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para
fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah. [7] Yang bertujuan
mendirikan Pan Islam serta menentang penjajah Barat, khususnya Inggris.
Pada Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar terseut ke inggris untuk
menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.[8]
Tahun 1899, Abduh di angkat menjadi multi Mesir. Kedudukan tinggi iu di
pegangnya ia meniggal dunia tahun 1905.
B.
Pemikiran-pemikiran Kalam
Syekh Muhammad Abduh
a.
Kedudukan akal dan fungsi
wahyu
Ada dua persoalan pokok
yang menjadi fokus pemikiran Abduh, sebagai mana yang diakuinya, yaitu:
1)
Membebaskan akal pikiran
dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan
agama sebagaimanahak salaf al-ummah (ulama sebelun abad ke-3 Hijrah), sebelum
timbulnya perpecahan , yaitu memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an.
2)
Memperbaiki gaya bahasa
Arab, baik digunakan dalan percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun
dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua persoalan pokok yang
menjadi fokus pemikiran Abduh tampanya ia muncul ketika ia meratapi
perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana yang di jelaskan Sayyid Quthb
(l. 1906), kondisi umat islam saat itu di gambarkan sebagai “suatu masyarakat
yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal
dalam memahami syariat Allah atau men-istinbat-kan para hukum-hukum karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya
para pendahulunya yang hidup dalam masa kebekalan akal serta yang
berdasarkan khurafat-khutafat.[9]
Atas dasar kedua
pikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar pada akal.
Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi pada akal
dari pada Mu’tazilah.[10]
Menurut Abduh , akal dapat hal-hal berikut ini antara lain :
1)
Tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Keberadaan hidup di
akhirat.
3)
Kebahagiaan jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat.
4)
Kewajiban manusia mengenal
tuhan.
5)
Kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
7)
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu
tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal
bertentang maka ada dua kemungkinan.[12]
8)
Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai
dengan akal.
9)
Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini
sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas
berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori
ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa
barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis
dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan
pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal, dapat diketahui pula bagaimana
fungsiwahyu baginya. Wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan
untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu menolong akal untuk mengetahui
sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat dan mengetahui cara beribadah kepada
tuhan.
Dengan demikian, wahyu
bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan
menyempurnakan pengetahuan akkal dan informasi. Abduh memandang bahwa menggunakan
akal merupakan salah satu dasar islam. Imam seseorang tidak sempurna apabila
tidak didasarkan persadaraan antara akal dan agama. Islam menurut agama pertama
kali mengikat mengikat persaudaraan akal dan agama.
Menurut kepercayaannya,
pada eksistensi Tuhan yang didasarkan akal. Wahyu yang di bawa Nabi tidak
mungkin bertentangan degan akal. Apabila ternyata antara keduanya terdapat
pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi
sehingga di perlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
b.
Kebebasan manusia dan
fanalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang harus ada dalam diri
manusia. Jika sifat ini di hilangkan dari dirinya sendiri, ia bukan manusia
lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat
perbuatannya yang di lakukuan, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya
dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada di dalam dirinya.
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam
kemauan dan daya untuk mewujudkan kamauan. Menurutnya, manusia adalah manusia
karena ia mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih.manusia
tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia
mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut
sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan yang
lain, menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk
mengetahuinya.
d. Kehendak mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebsan dn kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan
tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlaknya dengan memberi kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah
yang telah ditetapkannya. Di dalam kandungannya arti bahwa Tuhan dengan
kemauannya telah membatasi kehendaknya dengan sunnatullah yan diciptakannya
untuk mengatur alam.
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar pada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam bukan hanya dari segi
kehendak mutlak Tuhan, melainkan juga dari segi pandangan dan kepentingan
manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan
tidak satu pun ciptaan Tuhan tang tidak membawa manfaat bagi manusia.
Mengenai keadialan Tuhan,
ia memandang tidak hanya dari segi kesempurnaannya, tetapi juga dari pemikiran
rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan
alam semesta.
f. Antropomorfisme
Karena itu Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima
paham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifatjasmani. Abduh memberi kekuatan besar
pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan
mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah,tangan dan
sebagainya harus di pahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab
kepadanya.
Demikian kata al-arsy
dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy berarti
pengetahuan.
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya, apakah Tuhan yang bersifat
rohani itu dapat di lihat oleh manusia dengan mata kepalanya pada hari
perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih
sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat di gambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugrahkan hanya kepada
orang-orang tertentu di akhirat.
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham
dengan mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang
terbaik untuk manusia.
BAB III
ANALISIS
PENULIS
Menurut penulis kajian pemikiran kalam Muhammad Abduh sangat jelas dan rinci yaitu dimana beliau menjelaskan tentang kedudukan
akal dalam fungsi wahyu, kebebasan manusia, sifat-sifat tuhan, kehendak mutlak
tuhan, keadilan tuhan, antropomorfisme,
melihat tuhan, dan perbuatan tuhan. Sehingga penulis dapat mengetahui
persoalan-persoalan dalam mengkaji pemikiran kalam muhammad abduh.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Muhammad
Abduh merupakan salah satu tokoh yang memberikan peranan besar terhadap ilmu
kalam. Dan pemikiran kalam menurut muhammad abduh antara lain:
a)
Kedudukan
akal dan fungsi wahyu
yang menurutnya kekuatan akal lebih tinggi daripada
mutazilah. Dimana akal terdapat hal-hal sebagai berikut:
2.
Tuhan
dan sifat sifatnya .
3.
Keberadaan
hidup di akhirat.
4.
Kebahagiaan
jiwa di akhirat tergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraanya bergantung pada tidak
mengenal tuhan dan berbuat jahat.
5.
Kewajiban
manusia mengenal tuhan
6.
Kewajiban
manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk untuk kebahagiannya di
akhirat.
7.
Hukum
hukum mengenai kewajiban itu.
8.
Wahyu
sudah diubah sehingga tidak sesuai dengan akal.
9.
Kesalahan
dalam menggunakan penalaran.
b)
Kebebasan
manusia dan fatalisme
c)
Sifat
sifat tuhan
d)
Kehendak
mutlak tuhan
e)
Keadilan
tuhan
f)
Antropomorfisme
g)
Melihat
tuhan
h)
Perbuatan
tuhan
B. SARAN
Penulis berharap agar makalah ini bermamfaat
guna menunjang pemahaman terhadap mata kuliah Ilmu Kalam. Semoga makalah ini bermamfaat
bagi pembaca serta penulis sendiri. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran
guna perkembangan kedepan dalam menyusun makalah kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag, ; Prof. Dr. H. Rosihon Anwar,M.Ag. 2012. Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasir. A.
Sahilun. 2010. Pemikiran kalam (teologi
islam). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Ilyas,yunahar.2013.Kuliah aqidah islam. Yogyakarta;LPPI
[1]Quraish Sihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hlm.12; Versi lain mengatakan bahwa Abduh lahir
di Mesir Hilir dan akhirnya menetap di Mahallah Nashr setelah lari dari ancaman
para penguasa muhammad ‘Ali. Lihat Harun Nasution, pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.68
[3]Albert Huorani, Arabic Thought in the Liberal
Age:179-1939, combridge University Press, 1993, hlm. 131.
Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, (CV Pustaka Setia: Bandung, 2006), hlm 252.
[4]Kendatipun Abduh tidak puas dengan sistem
pengajaran Al-Azhar, tetapi di sana ia beruntung dapat berjumpa dengan Syekh
Hasan Ath-Thahawi yang mengajarinya kitab-kitab filsafat Ibn Sina, logika karangan
Aristoteles, ddan lain-lan. Lihat Shihab, op. Cit., hlm. 13.
[8]Di antara tujuan kunjungannya adalah
mendiskusikan kemerdekaan Mesir dengan para diplomat Inggris. Disini pula,
Abduh berkenalan dengan Wilfrid Scawen Blunt, seorang penulis Inggrisyang
berpartisipasi atas nasib Mesir..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar