JURNAL LANDASAN PENDIDIKAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN PSIKOLOGIS PESERTA DIDIK SD/MI
MELALUI PEMBELAJARAN TEMATIK-TERPADU
Andi Prastowo
Abstrak:
Salah satu problematika pendidikan di Indonesia yang terbesar
adalah rendahnya mutu pendidikan dasar di SD/MIyang sangat menentukan bagi
kelanjutan pendidikan berikutnya. Pemerintah sesungguhnya telah mengupayakan
berbagai kebijakan untuk mengatasi hal tersebut, namun terbukti belum
menghasilkan perbaikan yang signifikan. Dilihat dari pengamatan di lapangan,
problematika rendahnya mutu pendidikan ini tampaknya lebih karena faktor mutu
proses pembelajaran yang masih jauh dari kebutuhanpsikologispeserta didik.
Namun, dengan ditetapkannya Kurikulum 2013 yang mengamanatkan kepada setiap guru
di di SD/MI agar menggunakan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu adalah
terobosan cerdas karena selaras dengan karakteristik berpikir peserta didik
yang masih operasional konkret dan holistik.
Kata kunci: Mutu
pendidikan, kebijakan, pembelajaran tematik-terpadu, berpikir holistik.
Abstract: One of
thebiggest education problematika in Indonesia is lowering of quality of
education of base in elementary school which is very determine to next
education continuation. Real government have strived various policy to overcome
the mentioned, proven but not yet yielded repair which is significant. Seen
from perception in field, the problem of low quality of this education seems
more because factor quality of study process which a long way off from
psychological requirement of student. But, specified of Curriculum 2013
commending to every teacher in elementary school to be using approach of
integrated learning is smart breakthrough because in harmony with
characteristic think student which still operational of concrete and holistik. Keywords:
quality of education, policy, integrated learning, thinking, holistic.
PENDAHULUAN
Meskipun selama ini pemerintah di Indonesia telah melakukan
berbagai upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan namun ternyata hal ini masih
menjadi problem utama yang hingga saat ini belum bisa dituntaskan. Sebagaimana diungkapkan
Suryadi dan Budimansyahbahwa upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia pada semua jenis dan jenjang pendidikan, paling tidal sejak
awal periode pembangunan nasional jangka panjang pertama, telahmengeluarkan
biaya yang besar,tenagayang banyak, dan waktu yang cukup panjang. Namun
demikian, selama itu pula dan sampai sekarang, mutu pendidikan masih tetap
dirasakan sebagai tantangan yang cukup berat, mungkin tidak berbeda jauh dengan
tantangan yang dirasakan masyarakat Indonesia 40 tahun yang lalu (Suryadi dan
Budimansyah, 2009:127). Keberadaan
kualitas pendidikan dapat diidentifikasi antara lain dari peringkat kualitas SDM
yang diukur berdasarkan IPM, prestasi belajar yang dicapai berdasarkan nilai
hasil ujian nasional, dan hasil-hasil studi internasional seperti yang
dilakukan oleh TIMS dan PISA. Berdasarkan hasil-hasil pengukuran ini Indonesia masih
tergolong belum termasuk kategori
JPSD: Jurnal
Pendidikan Sekolah Dasar, Volume 1, Nomor 1, Agustus 2014
tinggi. Peringkat IPM masih tertinggal dari sejumlah negara-negara
di kawasan ASEAN hasilujian nasional juga angka kelulusannya masih di bawah
angka enam, di bawah batas lulus di Malaysia dan Singapura, dan hasil studi
internasional pun peringkatnya masih di bawah sejumlah negara ASEAN lain.
Adapun masalah relevansi pendidikan dapat diidentifikasi dari masih tingginya
angka pengangguran. Kualitas dan relevansi pendidikan ini berdampak pada kurangnya
daya saing yang dapat diidentifikasi dari kemampuan SDM dalam memenangkan persaingan
merebut pasar tenaga kerja (Ali, 2009:250-251). Ada kemungkinan banyak faktor
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan suatu bangsa. Seperti di antaranya
belum optimalnya upaya yang dilakukan pemerintah dalam melakukan peningkatan
mutu pendidikan, mungkin juga karena upaya-upaya yang telah dilakukan telah
berjalan relatif lebih lambat ketimbang aspirasi masyarakat tentang mutu pendidikan
yang berubah dan berkembang dengan cepat. Di samping itu, mungkin juga kita telah
memecahkan permasalahan yang keliru. Secara konseptual, mutu pendidikan dapat
diartikan sebagai berikut: Kemampuan lembaga pendidikan dalam
mendayagunakan sumbersumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar
seoptimal mungkin (Ace Suryadi, 1992). Dengan demikian, menurut Suryadi dan
Budimansyah (2009:197)mutu pendidikan akan dapat diukur dengan pertanyaan
sebagai berikut: “apakah anak didik atau lulusan pendidikan sudah memiliki
kemampuan belajar seperti yang dimaksudkan”. Jika jawabannya ‘tidak’, maka upaya
yang telah dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan cenderung telah membidik
sasaran masalah yang keliru. Ini dalam pandanga William Dunn adalah jenis
kesalahan ketiga (type three error), yaitusolving the wrong problem
with the sophisticated methods of solution. Di samping itu, sangat besar
pula kemungkinan justru rendahnya mutu pendidikan nasional tersebut berakar
dari rendahnya mutu pendidikan pada level Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah(MI),
sebagai pendidikan dasar yang menjadi landasan bagi pendidikan pada jenjang berikutnya.
Jika pada level SD/MI ini saja mutu pendidikannya sudah buruk maka sangat besar
kemungkinan bahwa mutu pendidikan pada level di atasnya tidak jauh berbeda.
Logika ini mempertimbangkan sejumlah pendapat berikut ini. Pertama, Andi
Prastowo(2013:13) yang menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan fondasi
dasar dari semua jenjang sekolah selanjutnya. Kedua, Mohammad Ali,
mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, mengungkapkan
bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) adalah
menyiapkan siswa agar menjadi manusia yang bermoral, menjadi warga negara yang
mampu melaksanakan kewajibankewajibannya, dan menjadi orang dewasa yang mampu
memperoleh pekerjaan. Dan, secara operasional, tujuan pokok pendidikan dasar
adalah membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan mentalnya,
proses perkembangan sebagai individu yang mandiri, proses perkembangan sebagai
makhluk sosial, belajar hidup menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan, dan meningkatkan kreativitas (Ali, 2009:290-291). Dan,
terakhir atau yang ketiga, pendapat A. Malik Fadjar (1999:34) yang
menyatakan bahwa sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah (Ml) adalah
pendidikandasar awal sebeium memasuki pendidikan dasar menengah, yaitu SMP/MTs.
Pendidikan di sekolah dasar ataupun
madrasah ibtidaiyah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian
siswa, baik yang bersifat internal (bagaimana mempersepsi dirinya), eksternal (bagaimana
mempersepsi lingkungannya), dan suprainternal (bagaimana mempersepsi dan
menyikapi
Tuhannya sebagai ciptaan-Nya. Hal tersebut diperkuat oleh sejumlah
indikasi di lapangan yang diungkap oleh Mohammad Ali (2009:252-259) sebagai
berikut: pertama, masih rendahnya kualitas hasil belajar yang ditandai
oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10 dan 4,50 pada
tahun 2008. Seorang siswa dinyatakan lulus meskipun hanya mampu menyerap mata pelajaran
sebesar 4,25%, Dengan standar kelulusan yang rendah pun masih banyak siswa yang
tidak lulus pada Ujian Nasional 2007. Nilai kelulusan Ujian Nasional ini
ternyata masih di bawah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kondisi
ini menunjukkan peserta didik kurang dapat bersaing dengan negara-negara
tetangga. Walaupun angka kelulusan ujian nasional setiap tahun mengalami
kenaikan, tetapi masih di
bawah negara-negara Asia lain yang telah mematok angka di atas
enam. Indikasi kedua yakni angka ketidaklulusan ujian nasional (UN)
tahun 2004/2005 lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2003/2004. Namun,. bila
dilihat dari nilai rata-rata yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup
berarti yakni dari 5,55 tahun 2003/2004 menjadi 6,76 pada tahun 2004/2005.
Angka mengulang kelas pada SD kelas awal juga cukup tinggi, yaitu I 7,92%. Kondisi
ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat kecenderungan angka mengulang kelas menurut tingkat, makin
tinggi tingkat kelas makin rendah angka mengulang kelas di I SD. Walaupun
menunjukkan kecenderungan yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini
sekitar 700.000 siswa SD/ Ml putus sekolah setiap tahun. Indikasi ketiga yakni
dilihat dari kualifikasi guru yang mengajar di SD/MI maka pendidik pada jenjang
SD dengan kualifikasi sarjana (S1) persentasenya masih sangat kecil. Sebagian
besar pendidik SD mayoritas pendidikan berlatar belakang D1 dan D2. Seperti
diungkap Balitbang Depdiknas RI tahun 2005/2006 bahwa dari sejumlah 1.346.846
orang guru SD yang berpendidikan Sarjana hanya 15.18%, S2/S3 berjumlah 0,12 %,
D3 sebanyak 2,97%, D2 berjumlah 48,95%, dan D1 atau dibawahnya sebanyak 32,78%.
Indikasi keempat, yaitu menurut kelayakan mengajar guru, data Balitbang
tahun 2006 menyebutkan bahwa persentase guru yang tidak layak mengajar terutama
di jenjang SD mencapai sekitar 1.140.836 orang (84,70%) baik pada sekolah
negeri maupun swasta. Rinciannya sebagai berikut: untuk SD Negeri guru yang
layak sejumlah 14,37% dan 85,63% tidak layak; sedangkan untuk SD Swasta guru yang
layak 25,89% dan guru yang tidak layak 74,11%. Dari empat indikasi yang
disebutkan oleh Mohammad Ali tersebut sudah dapat dilihat bahwa besar
kemungkinan bahwa mutu pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
yang masih begitu rendah ditambah dengan peranannya yang sangat penting bagi pendidikan
pada jenjang berikutnya sebagaimana dikemukakan Prastowo, Mohammad Ali, dan A.
Malik Fadjar maka buruknya mutu pendidikan dasar di SD/MI memiliki kontribusi
yang besar dalam menentukan rendahnya mutu pendidikan nasional. Untuk itu,
perlu dikembangkankan solusi kebijakan terbaik untuk mengatasi problem
rendahnya mutu pendidikan pada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah agar
benarbenar sesuai dengan masalah yang semestinya di atasi sehingga tepat sesuai
sasaran, efektif dan efisien. Menurut Karwati dan Triansa (2013:51), upaya
peningkatan mutu bidang pendidikan difokuskan kepada mutu proses pendidikan.
Inti dari proses pendidikan adalah pembelajaran peserta didik. Proses
pembelajaran ini mencakup sejumlah unsur utama yang mendasar yang membentuk
mutu pembelajaran. Unsur-unsur tersebut adalah tujuan pembelajaran, isis
kurikulum, guru, sarana dan prasarana, dana, manajemen dan evaluasi. Tujuan penting yang diperlukan dalam
peningkatan mutu adalah ketepatan dan kejelasan. Hal tersebut juga ditegaskan
Zamroni (2011:136-137), bahwa peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai
suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun
keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan, pendekatan dan
praktek. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran
dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua
upaya peningkatan mutu sekolah harus
melewati variabel ini. Proses
pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah. Oleh karena
iu, peningkatan mutu pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di
negara manapun. Dalam upaya peningkatan mutu proses pembelajaran tersebut, ada
banyak variabel yang saling berinteraksi secara kompleks dan rumit. Variabel-variabel
dalam banyak proses interaksi antara guru dan peserta didik berkaitan dengan suatu
materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti.Terdapat keterkaitan
berbagai materi yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan
mana yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara
matematis, pasti (Zamroni, 2011:136- 137).Namun, menurut La Iru dan La Ode Safiun
Arihi (2012:1), kompetensi dan tujuan pembelajaran akan tercapai secara
optimalapabila pemilihan pendekatan, metode, strategi,dan model-model
pembelajaran tepat dan disesuaikan dengan materi, tingkat kemampuan siswa, karakteristik
siswa. Dengan kata lain, ketepatan dalam menentukan pendekatan pembelajaran menjadi
faktor yang penting dalam upaya penngkata mutu proses pembelajaran. Mulai tahun
2013, pemerintah menetapkan kebijakan baru seiring dengan implementasi Kurikulum
2013, yaitu penggunaan pendekatan pembelajaran ematik-terpadu untuk SD/MI. Seperti
disebutkan dalamlampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah bahwa kegiatan pembelajaran untuk SD/MI/SDLB/ Paket A menggunakan
pendekatan pembelajaran tematik-terpadu. Hal serupa juga dijelaskan dalam
Lampiran Permendikbud RI No. 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan
Struktu Kurikulum Sekolah Dasa / Madrasah Ibtdaiyah bahwa untuk proses
pembelajaran pada jenjang SD/MI dari kelas 1 hingga kelas VI menggunakan pembelajaran
tematik-terpadu. Pembelajaran tematik-terpadu merupakan pendekatan pembelajaran
yang memadukan bebagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai
tema (Madjid, 2014:49). Keputusan pemerintah untuk menggunakan pendekatan
pembelajaran tematik-terpadu ini tampaknya relevan dengan upaya peningkatan mutu
proses pembelajaran di SD/MI. Karena, menurut Ridwan Abdullah Sani
(2013:vii-viii) perbaikan mutu seharusnya dilakukan dalam upaya memenuhi
kebutuhan peserta didik untuk hidup di masyarakat pada era persaingan dengan
bangsa asing yang mulai merambah ke Indonesia.
Adapun pemaduan melalui pembelajaran tematik terpadu tersebut yang dilakukan melalui
dua hal yaitu integrasi sikap, keterampilan, dan pengetahuan dalam proses
pembelajaran dan terpadunya berbagai konsep dasar yang berkaitan menjadikan
peserta didik tidak belajar konsep dasar secara parsial akan tetapi justr memberikan
makna yang utuh. Di samping itu, pemaduan ini secara psikologis memberikan
keuntungan bagi kemampuan berpikir selanjutnya (Madjid, 2014:50). Hal ini
tampaknya juga sesuai dengan karakteristik dunia anak yang dalam tahap
perkembangan mentalnya selalu dimulai dari tahap berpikir nyata dalam kehidupan
sehari-hari yang memandang obyek yang ada di sekelilingnya secara utuh
(Susanto, 2013:94). Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat bahwa kebijakan
pemerintah berkaitan dengan penggunaan pendekatan pembelajaran tematikterpadu di
SD/MI tampaknya merupakan upaya yang akan memenuhi kebutuhan psikologis peserta
didik di SD/MI. Jika kebutuhan perkembangan peserta didik terpenuhi dan
terlayani dengan efektif dan efisien maka sangat besar kemungkinan bahwa mutu
proses pembelajaran di SD/MI kedepannya akan meningkat. Berangkat dari sinilah
penulis memandang penting kajian secara lebih mendalam tentang kebijakan
pendidikan penerapan pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI dari perspektif psikologi
pendidikan. Adapun beberapa rumusan masalah yang dikaji di antaranya, pertama,
bagaimanakah karakteristik perkembangan peserta didik di SD/MI?, kedua,
bagaimanakah kebijakan pembelajaran tematik-terpadu di SD/ MI?, dan ketiga,
sejauhmana relevansi kebijakan pembelajaran tematik-terpadu bagi pemenuhan kebutuhan
perkembangan peserta didik di SD/ MI? Kajian dalam artikel ini dilakukan dengan
menggunakan library research (studi kepustakaan dengan menggunakan metode analisis konten
kebijakan. Adapun untuk melihat sejauh mana kebijakan penerapan pembelajaran
tematik- terpadu di SD/MI relevan dengan kebutuhan perkembangan peserta didik
menggunakan pendekatan psikologi pendidikan.
Karakteristik Perkembangan Siswa SD/MI
Kajian pada segmen pertama ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa
pemahaman yang baik terhadap karakteristik kebutuhan perkembangan peserta didik
di SD/MI merupakan kunci bagi keberhasilan proses pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan
Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad (2011:261) bahwa dengan memahami siswa dengan
baik, diharapkan kita dapat memberikan layanan pendidikan yang tepat dan bermanfaat
bagi masing-masing anak. Selain itu, pentingnya memahami dan memenuhi kebutuhan
perkembangan peserta didik di SD/MI bagi guru menurut Sumantri dalam Ahmad
Susanto (2013:71), yaitu sebagai berikut:pertama, kita akan memperoleh
ekspektasi yang nyat tentang anak dan remaja; kedua, pengetahuan tentang
psikologi perkembangan anak membantu kita untuk merespons sebagaimana mestinya pada
perilaku tertentu pada seorang anak; ketiga, pengetahuan tentang
perkembangan anak akan membantu mengenali berbagai penyimpangan dari
perkembangan yang normal; keempat, dengan mempelajari perkembangan anak
akan membantu memahami diri sendiri. Karakteristik perkembangan anak pada usia biasanyapertumbuhan
fisiknya telah mencapai kematangan. Mereka telah mampu mengontrol tubuh dan
keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dapat
menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan dan matanya untuk dapat
memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial anak
yang berada pada usia kelas awal SD, antara lain mereka telah dapat menunjukkan
keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya,
mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri (Madjid, 2014:7). Untuk
perkembangan bahasa, bagi anak usia sekolah dasar minimal dapat menguasai tiga
kategori, yaitu:pertama, dapat membuat kalimat yang lebih sempurna; kedua,
dapat membuat kalimat majemuk; dan ketiga, dapat menyusun dan mengajukan
pertanyaan. Di samping itu, menurut Syamsu Yusuf dalam Ahmad Susanto (2013:74-76),
pada usia sekolah dasar ini anak mulai belajar mengendalikan dan mengontrol ekspresi
emosinya. Syamsu juga mengatakan bahwa karakteristik emosi yang stabil (sehat) ditandai
dengan menunjukkan wafah yang ceria, bergaul dengan teman secara baik, dapat berkonsentrasi
dalam belajar, bersifat respek (menghargai) terhadap diri sendiri dan
orang lain. Adapun perkembangan moral pada anak usia SD/MIyaitumereka sudah
dapat mengikuti peraturan atau tuntutan dari orangtua atau lingkungan sosialnya.
Pada akhir usia ini (usia 11 atau 12 tahun), anak bahkan sudah dapat memahami alasan
yang mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat
mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar salah atau baik
buruk.
Menurut Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohama (2011:282), sebagai makhluk
psiko-fisik, anak-anak sejak bayi sudah memiliki kebutuhan- kebutuhan dasar,
yaitu seperti kebutuhan fisik dan psikis. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak menuju kedewasaan, terjadi perubahan-perubahan kebutuhan seperti
di atas menjadi lebih besar. Dan, kebutuhan sosial psikologis seseorang akan lebih
banyak dibandingkan kebutuhan fisiknya sejalan dengan usianya. Ada dua teori
kebutuhan yang perlu diungkapkan untuk memahami kebutuhan peserta didik SD/MI,
yaitu teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow dan teori kebutuhan yang dikembangkan
oleh Lindgren. Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan yang rendah dalam
hierakhi kebutuhan individu paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum
kebutuhan yang lebih tinggi pada hierarkhi tersebut menjadi sumber motivasi
yang penting. Kebutuhan mendasar seorang individu adalah kebutuhan fisiologis,
lalu kebutuhan individu berkembang dengan kebutuhan ingin dilindungi, kebutuhan
akan cinta dan rasa memiliki, dan seterusnya sehingga kebutuhan tersebut
mencapai klimaks pada kebutuhan mengaktualisasikan diri. Tahapan tersebut tidak
bersifat statis. Setiap kebutuhan bisa semakin meningkat atau melemah tergantung
dari perkembangan masing-masing individu. Sedangkan menurut Lindgren kebutuhan dasar
individu dikelompokkan menjadi
4 (empat) aspek, yaitu untuk kebutuhan paling dasar (pertama),
yaitu kebutuhan jasmaniah, termasuk keamanan dan pertahanan diri; tingkat kedua,
kebutuhan perhatian dan kasih sayang; tingkat ketiga, kebutuhan untuk
memiliki; dan tingkat keempat, kebutuhan aktualisasi diri (Uno dan
Mohamad, 2011:282-285). Pada masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah, yaitu
usia enam hingga dua belas tahun, mereka
memiliki sejumlah tugas perkembangan, yaitu sebagai berikut: pertama,
belajar keterampilan fisik untuk pertandingan biasa sehari- hari; kedua,
membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sebagai organisme yang sedang tumbuh
kembang; ketiga, belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya; keempat,
belajar peranan sosial yang sesuai sebagai pria atau wanita; kelima,
mengembangkan konsep-konsep yang perlu bagi kehidupan sehari-hari; keenam,
mengembangkan kata hati, moralitas, dan suatu skala nilai-nilai; ketujuh,
mencapai kebebasan pribadi; dan kedelapan, mengembangkan sikapsikap terhadap
kelompok-kelompok dan institusi- institusi sosial. Menurut Havighurst tugas-tugas
perkembangan ini merupakan tugas yang muncul pada saat atau di sekitar suatu
periode tertentu dari kehidupan individu yang jika berhasil akan menimbulkan
rasa bangga dan membawake arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya (Susanto, 2013:72). Sementara itu, tahap perkembangan tingkah laku
belajar anak Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah sangat dipengaruhi oleh
berbagai aspek dari dalam diri dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kedua hal
tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam
interaksi diri siswa dengan lingkungannya (Prastowo, 2013:33-34). Seperti diungkapkan
oleh Piaget,setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi
dengan lingkungannya (Rusman, 2010:250). Dikatakan pula oleh Piaget bahwa pada diri
anak terdapat struktur kognitif yang disebut skema. Dalam memahami dunia mereka
secara aktif, anak-anak menggunakan skema (schema). Skema bisa merentang
mulai dari skema sederhana (contohnya, seperti skema seekor gajah) sampai skema
kompleks (seperti skema tentang bagaimana terjadinya alam semesta). Ditegaskan Piaget
bahwa ada dua proses yang bertanggungjawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi
skema mereka, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seorang anak
memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi
terjadi ketika anak menyesuaikan diri pada informasi baru, yaitu anak
menyesuaikan skema mereka dengan lingkungannya (Santrock, 2007:46). Kedua
proses tersebut apabila berlangsung secara terus-menerus akan membuat
pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu
anak secara bertahap dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan
lingkungan sekitarnya (Rusman, 2010:250).Dengan kata lain, proses belajar dapat
berlangsung jika terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak pembelajar.
Pengolahan data yang aktif merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan mencari
informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuan (Madjid, 2014:7).
Selaras dengan pendapat Piaget bahwa kematangan biopsikologis
seseorang memiliki tingkatan-tingkatan, maka kematangan biopsikologis peserta
didik di SD/MI juga bertingkat- tingkat. Tingkatan perkembangan intelektual peserta
didik SD/MI merujuk pada pendapat Piaget memiliki ciri-ciri yaitu: tahap
pra-operasional (2-7 tahun), tahap berpikir pra-konseptual (2—4 tahun) yang
ditandai dengan mulainya adaptasi terhadap simbol, mulai dan tingkah laku
berbahasa, aktivitas imitasi dan permainan.
Kemudian pada tahap berpikir intuitif (4-7 tahun) ditandai oleh berpikir
pralogis yaitu antara operasional konkret dengan prakonseptual. Pada tahap ini
perkembangan ingatan peserta didik sudah mulai mantap, tetapi kemampuan
berpikir deduktif dan induktif masih lemah/belum mantap.Perkembangan
intelektual siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret (7-11
tahun) yang ditandai oleh kemampuan berpikir konkret dan mendalam, mampu
mengklasifikasi dan mengontrol persepsinya. Pada tahap ini, perkembangan
kemampuan berpikir siswa sudah mantap, kemampuan skema asimilasinya sudah lebih
tinggi dalam melakukan suatu koordinasi yang konsisten antar skema (Madjid 2014:8). Kemudian, pada usia 11 tahun hingga dewasa,
peserta didik memiliki karakteristik perkembangan intelektual yang disebut
tahap operasional formal. Pada tahap ini peserta didik sudah mapu berpikir
secara lebih abstrak, idealistik, dan logis (Santrock, 2007:47-48). Berdasarkan
tahapan tersebut, siswa sekolah dasar kelas I-VI memiliki tingkatan intelektual
operasional konkret dan siswa kelas enam memiliki tingkatan operasional formal
(Madjid, 2014:8). Di samping itu,
kecenderungan peserta didik di SD/MI ketika belajar memunyai tiga karakteristik
yang menonjol yaitu: konkret, integratif, dan hierakhis. Dijelaskan secara
detail oleh Rusman (2010:251-252) ketiga hal tersebut sebagai berikut: pertama,
konkret maksudnya proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkret dengan
titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar yang dapat dioptimalkan
untuk pencapaian proses dan hasil pembelajaran
yang berkualitas bagi anak usia SD/MI. Penggunaan lingkungan akan menghasilkan proses
dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, karenasiswa dihadapkan dengan
peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih
nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenaranya lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua, integratif maksudnya adalah memandang
sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan dan terpadu. Anak usia SD/MI
belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini
menggambarkan cara berpikir deduktif. Dengan demikian, keterpaduan konsep tidak
dipilah-pilah dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi dikait-kaitkan menjadi
pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning). Ketiga,
hierakhis maksudnya adalah berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang
sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Oleh karena itu, dalam hal ini
persoalanpersoalan seperti urutan logis, keterkaitan antar materi pelajaran,
dan cakupan keluasan materi pelajaran menjadi penting dan sangat perlu untuk diperhatikan.
Kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar tersebut akan
memengaruhi seluruh kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan guru. Oleh
karena itu, kegiatan pembelajaran pendidikan Sains, Bahasa Indonesia, dan Budi
Pekerti, serta mata pelajaran lainnya diarahkan
pada pendekatan “meaningfullearning” yang didasarkan kepada pengembangan
kemampuan berpikir disesuaikan dengan biopsikologis siswa yang hendaknya
dijadikan tolok ukur guru, baik dalam pengembangan materi, strategi mengajar,
pendekatan, media, maupun dalam melakukan evaluasi hasil belajar
(Madjid,2014:8).
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa karakteristik perkembangan peserta didik di SD/MI dapat
dipilah menjadi dua macam yaitu perkembangan pada aspek jasmaniah dan perkembangan
pada aspek mental. Pada aspek jasmaniah, peserta didik SD/MI telah memiliki kematangan
sehingga mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Pada aspek mental yang
meliputi perkembangan inteletual, bahasa, sosial, emosi, dan moral keagamaan , peserta
didik SD/MI secara intelektual berada pada tahap perkembangan operasional
konkret (kelas I-V) dan operasional formal (kelas VI), yang memiliki
kecenderungan belajar bersifat konkret, integratif, dan hierarkhis. Dari aspek bahasa,
mereka telah mampu membuat kalimat sempurna, bahkan kalimat majemuk, dan juga dapat
mengajukan pertanyaan.
Dari aspek sosial, peserta didik di SD/MI mulai membentuk ikatan
baru dengan teman sebaya dan mulai mampu menyesuaikan diri sendiri kepada sikap
bekerjasama. Mereka secara emosi juga telah mulai belajar mengendalikan dan
mengontrol ekspresi emosinya. Sedangkan pada aspek moral, peserta didik SD/MI
sudah dapat mengikuti peraturan atau tuntuntan dari orangtua atau lingkungannya
, bahkan di akhir jenjang SD/MI juga mampu memahami alasan yang mendasari suatu
peraturan.
KEBIJAKAN PEMBELAJARAN
TEMATIK-TERPADU UNTUK SD/MI
DALAM KURIKULUM 2013
Kebijakan tentang penggunaan pendekatan pembelajaran
tematik-terpadu untuk SD/MI terlahir seiring dengan kebijakan Kurikulum 2013 untuk
pendidikan dasar dan menengah. Menuru Ridwan Abdullah Sani, pengembangan
Kurikulum 2013 merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan untuk menghasilkan
lulusan yang kreatif dan mampu menghadapi kehidupan di masa yang akan datang
(Sani, 2013:vii-viii). Hal serupa juga diungkapkan Abdul Madjid, pengembangan
Kurikulum 2013 adalah bagian dari strategi meningkatkan capaian pendidikan. Di
samping kurikulum, terdapat sejumlah faktor di antaranya lama siswa bersekolah;
lama siswa tinggal di sekolah; pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi;
buku pegangan dan peranan guru sebagai ujung tombak pelaksanaan
pendidikan (Madjid, 2014:27-28). Orientasi Kurikulum 2013 adalah
terjadinyapeningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap(attitude),keterampilan(skill)
dan pengetahuan(knowledge).Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 20
Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 35, yaitu kompetensi
lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan,
dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Hal ini sejalan
pula dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada
tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
secara terpadu (Madjid, 2014:28). Pengembangan kurikulum 2013 tidak terlepas dari
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Kurikulum 2006 atau biasa dikenal
denga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yaitu sebagai berikut: pertama,konten
kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran
dan banyak materi vang keluasan dan kesukarannya melampaui tingkat perkembangan
usia anak; kedua, kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai
dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; ketiga,
kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap keterampilan, dan
pengetahuan; keempat, beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif,
keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum
terakomodasi di dalam kurikulum; kelima, kurikulum belum peka dan tanggap
terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun
global; keenam, standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan
pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beranekaragam
dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; ketujuh, standar
penilaian belum mengarahkan kepada penilaian berbasis kompetensi (sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan) dan belum tegas menuntut adanya remediasi secara
berkala; dan kedelapan, dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum
yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multitafsir (Madjid,
2014:28-29). Sementara itu,kebijakan bahwa kegiatan pembelajaran di SD/MI harus
menggunakan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu ini didasarkan pada
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Pasal 19 Ayat (1) yang menyebutkan, “Proses
Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis Peserta Didik”.Kemudian secara lebih spesifik diatur dalam
Permendikbud RI No.67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah pada lampirannya menyebutkan
bahwa kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola salah satunya
sebagai berikut,“Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines)”.
Sedangkan pada Bab III Poin E dalam lampiran Permendikbud RI No.67 Tahun 2013
ini disebutkan: Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan tematik-terpadu dari
Kelas I sampai Kelas VI. Matapelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
dikecualikan untuk tidak menggunakan pembelajaran tematik-terpadu. Dalam
penjelasan Poin E Bab III lampiran Permendikbud RI No.67 Tahun 2013 diungkapkan
pula bahwa maksud dari pendekatan tematik-terpadu yaitu pendekatan pembelajaran
yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai matapelajaran ke dalam
berbagai tema.Pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan kompetensi dasar
dari berbagai matapelajaran yaitu intra-disipliner, interdisipliner, multi-disipliner,
dan trans-disipliner. Integrasi intra-disipliner dilakukan dengan cara mengintegrasikan
dimensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan menjadi satu kesatuan yang utuh di
setiap matapelajaran. Integrasi inter-disipliner dilakukan dengan menggabungkan
kompetensi- kompetensi dasar beberapa matapelajaran agar terkait satu dengan
yang lainnya, sehingga dapat saling memperkuat, menghindari terjadinya tumpang
tindih, dan menjaga keselarasan pembelajaran. Integrasi multi-disipliner dilakukan
tanpa menggabungkan kompetensi dasar tiap matapelajaran sehingga tiap
matapelajaran masih memiliki kompetensi dasarnya sendiri. Integrasi
trans-disipliner dilakukan dengan mengaitkan berbagai matapelajaran yang ada
dengan permasalahan-permasalahan yang dijumpai di sekitarnya sehingga
pembelajaran menjadi kontekstual. Lebih lanjut menurut lampiran Permendikbud RI
No.67 Tahun 2013 tersebut juga ditegaskan bahwa tema merajut makna berbagai
konsep dasar sehingga peserta didik tidak belajar konsep dasar secara parsial. Dengan
demikian,pembelajarannya memberikan makna yang utuh kepada peserta didik
seperti tercermin pada berbagai tema yang tersedia. Tematik terpadu disusun
berdasarkan gabungan proses integrasi seperti dijelaskan di atas sehingga
berbeda dengan pengertian tematik seperti yang diperkenalkan pada kurikulum
sebelumnya. Selain itu, pembelajaran tematik-terpadu ini juga diperkaya dengan
penempatan matapelajaran Bahasa Indonesia di Kelas I, II, dan III sebagai
penghela matapelajaran lain. Melalui perumusan Kompetensi Inti sebagai pengikat
berbagai matapelajaran dalam satu kelas dan tema sebagai pokok bahasannya,
sehingga penempatan matapelajaran Bahasa Indonesia sebagai penghela matapelajaran
lain menjadi sanga memungkinkan. Penguatan peran matapelajaran Bahasa Indonesia
dilakukan secara utuh melalui penggabungan kompetensi dasar matapelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam ke dalam matapelajaran Bahasa
Indonesia. Kedua ilmu pengetahuan tersebut menyebabkan pelajaran Bahasa
Indonesia menjad kontekstual, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi
lebih menarik (Lampiran Permendikbud RI No.67 Tahun 2013). Pendekatan sains
seperti itu terutama di Kelas I, II, dan III menyebabkan semua matapelajaran yang diajarkan
akan diwarnai oleh matapelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Untuk kemudahan pengorganisasiannya, kompetensi-kompetensi dasar kedua
matapelajaran ini diintegrasikan ke matapelajaran lain (integrasi
inter-disipliner). Kompetensi dasar matapelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
diintegrasikan ke kompetensi dasar matapelajaran Bahasa Indonesia dan kompetens
dasar matapelajaran MatematikaKompetensi dasar matapelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial diintegrasikan ke kompetensi dasar matapelajaran Bahasa
Indonesia, ke kompetensi dasar matapelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, dan ke kompetensi dasar matapelajaran Matematika. Sedangkan
untuk kelas IV, V, dan VI, kompetensi dasar matapelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam masing-masing berdiri sendiri, sehingga pendekatan
integrasinya adalah multi-disipliner, walaupun pembelajarannya tetap
menggunakan tematik terpadu (Lampiran Permendikbud RI No.67 Tahun 2013). Prinsip
pengintegrasian inter-disipliner untuk matapelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu
Pengetahuan Sosial seperti diuraikan di atas dapat juga diterapkan dalam
pengintegrasian muatan lokal. Kompetensi Dasar muatan lokal yang berkenaan
dengan seni, budaya, keterampilan, dan bahasa daerah diintegrasikan ke dalam
matapelajaran Seni Budaya dan Prakarya. Kompetensi Dasar muatan lokal yang
berkenaan dengan olahraga serta permainan daerah diintegrasika ke dalam
matapelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan(Lampiran Permendikbud
RI No.67 Tahun 2013). Selain itu acuan tentang pelaksanaan pendekatan
pembelajaran tematik-terpadu untuk SD/MI juga disebutkan dalam Lampiran Permendikbud
RI No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
yang menyebutkan yakni: Pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI/ SDLB/Paket Adisesuaikan dengan tingkat perkembangan
peserta didik....Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga
ranahtersebut (sikap, keterampilan, pengetahuan) secara utuh/holistik, artinya pengembangan
ranah yang satu tidakbisa dipisahkan dengan ranah lainnya.Dengan demikian proses
pembelajaransecara utuh melahirkan kualitas pribadi yang mencerminkan
keutuhanpenguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam lampiran
Permendikbud RI No.67 Tahun 2013 diungkapkan yaitu ada lima faktor yang menjadi
dasar pemerintah melakukan pengembangan Kurikulum 2013 yang disertai, salah
satunya, dengan penetapan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu untuk SD/MI, sebagai
berikut : pertama, tantangan internal. Tantangan internal antara lain
terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang
mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan internal lainnya terkait
dengan perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak
dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia
65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya
pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Olehsebab it tantangan
besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia
produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia
yang memiliki kompetensi
dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban. Kedua, tantangan
eksternal. Tantanganeksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan
berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan
informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan
di tingkat internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat
dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industr dan
perdagangan modern seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO),
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Community, Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh
dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan.
Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in International
Mathematics
and Science Study (TIMSS) dan Program
for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga
menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang
dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain
banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam
kurikulum Indonesia. Ketiga, Kurikulum 2013 dikembangkan dengan
penyempurnaan pola pikir sebagai berikut:
a. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran
berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihanpilihan terhadap
materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama.
b. Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru- peserta didik)
menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didikmasyarakat- lingkungan
alam, sumber/ media lainnya).
c. Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara
jejaring (peserta didik dapatnmenimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja
yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet).
d. Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari
(pembelajaran siswa aktif
mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan
sains).
e. Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim).
f. Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis
alat multimedia.
g. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users)
dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta
didik
h. Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu
pengetahuan jamak (multidisciplines); dan
i. Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis. Keempat,
penguatan tata kelola kurikulum. Pelaksanaan kurikulum selama ini telah
menempatkan kurikulum sebagai daftar matapelajaran. Pendekatan Kurikulum 2013
untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah diubah sesuai dengan kurikulum satuan
pendidikan. Oleh karena itu dalam Kurikulum 2013 dilakukan penguatan tata
kelola sebagai berikut: tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi
tata kerja yang bersifat kolaboratif; penguatan manajeman sekolah melalui
penguatan kemampua manajemen kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational
leader); dan penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan
proses pembelajaran. Sedangkan faktor kelima, penguatan materi.
Penguatan materi dilakukan dengan cara pendalaman dan perluasan materi yang
relevan bagi peserta didik. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan
pemerintah tentang pendekatan pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI yakni
dilakukan dari kelas I hingga kelas VI yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik.Pembelajaran tematik terpadu untuk SD/MI merupakan
pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai
matapelajaran, terkecuali Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, ke dalam berbagai dengan
menggunakan empat pendekatan, yaitu intra-disipliner, inter-disipliner,
multi-disipliner, dan trans-disipliner sehingga mampu memberikan makna yang
utuh kepada peserta didik.
Relevansi Kebijakan Pembelajara
Tematik-Terpadu Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Perkembangan Peserta Didik SD/MI
Dari sisi konten kebijakan, penetapan penggunaan pendekatan
pembelajaran tematikterpadu adalah sebuah langkah yang positif yang dilakukan
oleh pemerintah dalam upaya perbaikan mutu pendidikan dasar di Indonesia, terutama
pada jenjang Sekolah Dasar/Madrasa Ibtidaiyah. Sebagaimana disebutkan dala lampiran
Permendikbud RI No. 67 Tahun 2013 maupun Permendikbud RI No. 65 Tahun 2013 bahwa
pembelajaran di SD/MI menggunakan pendekatan tematik-terpadu untuk semua mata pelajaran
dari kelas I hingga kelas VI, terkecuali Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Hal
ini menjadi sebuah kebijakan yang positif karena selaras dengan kebutuhan,
karakteristik, dan tugas perkembangan peserta didik SD/MI. Atau dalam istilah
Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohammad yakni jika proses pembelajaran didasari oleh
pemahaman dan pemenuhan kebutuhan perkembangan peserta didik maka proses tersebut
akan memberikan layanan yang tepat dan bermanfaat bagi masing-masing siswa (Uno
dan Mohamad, 2011:261). Pendekatan pembelajaran tematik-terpadu untuk SD/MI
dalam Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan pengintegrasian yaituintra-disipliner,
inter-disipliner, multi-disipliner, dan trans-disiplinerinimenjadikan
pengalaman yang diberikan kepada peserta didik utuh dan lebih bermakna.
Ditambah lagi peserta didik akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari
itu melalui pengamatan langsung dan menghubungkannya dengan konseplain yang
sudah mereka pahami. Hal ini selaras dengan pendapat Piaget bahwa proses belajar
dapat berlangsung jika terjadi proses pengolahan data yang aktif di pihak
pembelajar. Pengolaha data yang aktif merupakan aktivitas lanjutan dari
kegiatan mencari informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuan (Madjid,
2014:7). Dewey juga mengungkapkan bahwa “Education is growth,
development, life”. Hal ini berarti bahwa proses pendidikantidak mempunyai tujuan
di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan
juga bersifat kontinu yang merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup,
dan juga perubahan pengalaman hidup (Madjid, 2014:8). Dalam pendekatan
tematik-terpadu, tema merajut makna berbagai konsep dasar sehingga peserta didik tidak belajar konsep dasar
secara parsial. Kegiatan pembelajaran justru memberikan makna yang utuh kepada
peserta didik seperti tercermin pada berbagai tema yang tersedia. Kegiatan
pembelajaran seperti ini sejalan dengan kecenderungan peserta didik SD/MI yang mempunyai
tiga karakteristik utama dalam belajar yaitu: konkret, integratif, dan
hierakhis (Rusman, 201:251-252).Selain itu, dunia anak adalah dunia nyata dan
tingkat perkembangan mental anak selalu dimulai dari tahap berpikir nyata dalam
kehidupan sehari-hari yang memandang objek yang ada di sekelilingnya secara utuh.
Untuk itu, pembelajaran hendaknyadari lingkungan terdekat, yaitu mulai dari
diri sendiri kemudian dikembangkan kepada keluarg dan sekolah (Susanto,
2013:72). Penggunaan pendekatan pembelajara tematik-terpadu bagi peserta didik
SD/MI juga sesuai dengan pendapat Kolb dalam Malcol Tight, bahwa belajar adalah
proses pengetahuan dikreasi melalui transformasi pengalaman. Belajar adalah
kebutuhan dalam kehidupan manusia sama pentingnya seperti bekerja dan berteman (Trianto,
2012:20). Sementara itu, jika mencermati tentang prinsip pembelajaran tematik-terpaduyaitu: pertama,
pembelajaran tematik-terpadu memiliki satu tema yang aktual, dekat dengan dunia
siswa dan ada dalam kehidupan sehari-hari; kedua, pembelajaran
tematik-terpadu perlu memilih materi beberapa mata pelajaran yang mungki saling
terkait; ketiga, pembelajaran tematikterpadu tidak boleh bertentangan
dengan tujuan kurikulum yang berlaku tetapi sebaliknya harus mendukung
pencapaian tujuan utuh kegiatan pembelajaran yang termuat dalam kurikulum; keempat,
matei pembelajaran dapat dipadukan dalam satu tema selalu mempertimbangkan karakteristik
siswa; dan kelima, materi pelajaran yang dipadukan tidak terlalu
dipaksakan, maka sangat jelas terlihat bahwa pendekatan ini relevan dengan
kecenderungan perilaku peserta didik SD/MI sebagaimana diungkapkan Rusma yakni:
pertama, anak mulai memandang dunia secara obyektif, bergeser dari satu
aspek ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak.
Kedua, anak mulai berpikir secara operasional; keempat, anak mampu
megunaka cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda; dan kelima,
anak dapat memahami konep substansi, panjang, lbar, luas, tingi, rendah,
ringan, dan berat (Rusman, 2010:251). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rudy
Gunwan bahwa proses pembelajaran di SD bergerak dari hal-hal yang konkrit ke
halhal yang abstrak. Ia mencontohkan dalam pembelajaran IPS SD, salah satu pola
yang dapat digunakan yaitu dengan pola pendekatan lingkungan yang meluas (expanding
environment approach) dan pendekatan spiral yaitu dari mulai yang
mudah kepada yang sukar, dari yang sempit ke yang luas, dan seterusnya
(Gunawan,2013:82-83).
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan penetapan
pendekatan pembelajaran tematik-terpadu dengan segala prinsip dan karakteristiknya
ternyata relevan dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan peserta didik
SD/MI. Relevansi tersebut tampak dari pemaduan berbagai matapelajaran dengan
suatu tema yang aktual dan dekat dengan kehidupan peserta didik. Kemudian,
model pembelajaran melalui pengalaman langsung yang dikembangkan dalam pendekatan pembelajaran tematikterpadu menjadikan
embelajaran lebih efektif dan lebih bermakna bagi peserta didik. Selai itu,
pengintegrasian ketiga ranah pembelajaran yang meliputi aspek sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan dalam semua mata pelajaran menjadikan pendekatan
tematik-terpadu menjadi semakin relevan dengan kebutuhan perkembangan peserta
didik SD/MI yang juga mencakup kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan
psikomotor. Dengan demikian, secar konten
kebijakan penetapan penggunaan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI
adalah tepat karena sudah sesuai dengan karakteristik perkembangan peserta
didik.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
jawaban dari tiga rumusan masalah di awal artikel ini yaitu sebagai berikut: pertama,
karakteristik perkembangan peserta didik di SD/MI dapat dipilah menjadi dua
macam yaitu perkembangan pada aspek jasmaniah dan perkembangan pada aspek
mental. Pada aspek jasmaniah, peserta didik SD/MI telah memiliki kematangan
sehingga mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Pada aspek mental yang
meliputi perkembangan inteletual bahasa, sosial, emosi, dan moral keagamaan, peserta
didik SD/MI secara intelektual berada pada tahap perkembangan operasional konkret
(kelas I-V) dan operasional formal (kelas VI), yang memiliki kecenderungan belajar bersifat konkret,
integratif, dan hierarkhis. Dari aspek bahasa, mereka telah mampu membuat kalimat
sempurna, bahkan kalimat majemuk, dan juga dapat mengajukan pertanyaan. Dari
aspek sosial, peserta didik di SD/MI mulai membentuk ikatan baru dengan teman
sebaya dan mulai mampu menyesuaikan diri sendiri kepada sikap bekerjasama.
Mereka secara emosi juga telah mulai belajar mengendalikan dan mengontrol
ekspresi emosinya. Sedangkan pada aspek moral, peserta didik SD/MI sudah dapat mengikuti
peraturan atau tuntuntan dari orangtua atau lingkungannya , bahkan di akhir
jenjang SD/MI juga mampu memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Kedua,
kebijakan pemerintah tentang pendekatan pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI
yakni dilakukan dari kelas I hingga kelas VI yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik. Pembelajaran tematik terpadu untuk SD/MI merupakan pendekatan
pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai
matapelajaran, terkecuali Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, ke dalam berbagai
tema dengan menggunakan empat pendekatan, yaitu intradisipliner, inter-disipliner,
multi-disipliner, da trans-disipliner sehingga mampu memberikan makna yang utuh
kepada peserta didik. Ketiga, kebijakan penetapan pendekatan
pembelajaran tematik-terpadu dengan segala prinsip dan karakteristiknya
ternyata relevan dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan peserta didik
SD/MI. Relevansi tersebut tampak dari pemaduan berbagai matapelajaran dengan
suatu tema yang aktual dan dekat dengan kehidupan peserta didik. Kemudian,
model pembelajaran melalui pengalaman langsung yang dikembangkan dalam
pendekatan pembelajaran tematikterpadmenjadikan pembelajaran lebih efektif dan
lebih bermakna bagi peserta didik. Selain itu, pengintegrasian ketiga ranah
pembelajaran yang meliputi aspek sikap, ketrampilan, dan pengetahuan dalam
semua mata pelajaran menjadikan pendekatan tematik-terpadu menjadi semakin
relevan dengan kebutuhan perkembangan peserta didik SD/MI yang juga mencakup kemampuan
kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotor. Dengan demikian, secara konten
kebijakan penetapan penggunaan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu di SD/MI
adalah tepat karena sudah sesuai dengan karakteristik perkembangan peserta
didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. (2009).Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Bandung:
ImperialBhakti Utama.
Fadjar, A. Malik. (1999).Madrasah dan Tantangan Modernitas,
Cet. II, Bandung: YASMIN Bekerjasama dengan Mizan.
Gunawan, Rudy. (2013).Pendidikan IPS: Filosofi, Konsep dan
Aplikasi, Cet. II. Bandung:
Alfabeta.
Karwati, Euis, dan Donni Juni Priansa. (2013). Kinerja dan
Profesionalisme Kepala Sekolah: Membangun Sekolah yang Bermutu. Bandung:
Alfabeta.
La Iru dan La Ode Safiun Arihi. (2012). Analisis Penerapan
Pendekatan, Metode, Strategi, dan Model-Model Pembelajaran.. Yogyakarta:
Multi Presindo.
Madjid, Abdul (2014).Pembelajaran Tematik- Terpadu. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Permendikbud RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah Permendikbud RI Nomor 67
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar / Madrasah Ibtidaiyah
Prastowo, Andi (2013). Pengembangan Bahan Ajar Tematik. Yogyakarta:
Diva Press.
Rusman, (2010).
Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru,
Jakarta: Rajawali Pers.
Sani, Ridwan Abdullah (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
- Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Suryadi, Ace, dan Dasim Budimansyah. (2009). Paraigma
Pembangunan Pendidikan Nasional: Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis
Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara Press.
Susanto, Ahmad. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran di
Sekolah Dasar. Jakarta:
Kencana Prenada
Media Group.
Trianto. (2012)Mengembangkan
Model Pembelajaran Tematik, Cet. III. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Hamzah B., dan Mohamad, Nurdin (2011). Belajar dengan Pendekatan
Pembelajaran
Aktif
Inovatif Lingkungan Kreatif Efektif, Menarik ,
Cet. II. Jakarta: Bumi Aksara.
Zamroni (2011).Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama.
Did you hear there's a 12 word phrase you can tell your man... that will induce deep emotions of love and impulsive appeal for you deep inside his heart?
BalasHapusThat's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, idolize and look after you with his entire heart...
12 Words That Trigger A Man's Love Response
This impulse is so built-in to a man's brain that it will drive him to try better than before to build your relationship stronger.
In fact, triggering this mighty impulse is absolutely important to achieving the best possible relationship with your man that the instance you send your man one of these "Secret Signals"...
...You will immediately notice him open his heart and soul to you in a way he's never experienced before and he will perceive you as the one and only woman in the galaxy who has ever truly interested him.