MAKALAH TAUHID
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam
Agama Islam, dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk
pribadi-pribadi yang tangguh, selain juga sebagai inti atau akar daripada
‘Aqidah Islamiyah. Kalimat Tauhid atau lebih dikanal dengan kalimat Syahadat
atau juga disebut Kalimah Thayyibah (Laailaahaillallah) begitu masyhur di
kalangan umat Islam. Dalam kesehariannya, seorang muslim melafalkan kalimat
tersebut dalam setiap shalat wajibnya yang lima waktu.
Namun rupanya saat ini pembahasan masalah ‘Aqidah menjadi sesuatu
yang terkesampingkan dalam kehidupan, kencenderungan masyarakat yang hedonis
dengan persaingan hidup yang begitu ketat, sehingga urusan-urusan dunia menjadi
suatu hal yang menyita perhatian manusia daripada hal-hal lainnya, termasuk
masalah keberagamaan, sehingga kita dapatkan banyak sekali penyimpangan demi
penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam, dengan keadaan yang
semakin hari semakin buruk ini rupanya lambat laun akan menyadarkan kita semua
akan pentingnya peran agama Islam sebagai agama paripurna yang tidak mengatur
urusan ukhrawi saja, namun juga dalam mengatur urusan-urusan duniawi, yang
menjadikan ‘aqidah sebagai landasan berfikirnya.
Diharapkan dari penulisan makalah ini, selain pengetahuan yang
lebih luas tentang Tauhid sebagai intisari peradaban yang telah mengantarkan
umat Islam menuju kejayaan demi kejayaan yang tidak pernah tertandingi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tauhid
Tauhid secara bahasa arab
merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan
huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan
satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, pengertian tauhid adalah
menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala
kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari
makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan
sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang
shalih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya
menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut,
berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah
yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim
yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Tauhid Uluhiyyah dikatakan juga Tauhiidul ‘Ibaadah yang berarti
mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang
dengan cara itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’
(harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (meminta
pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah
(meminta perlindungan), dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan
Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua
ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas
karena-Nya, dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh, Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan sesuatu
apapun. Apabila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya
jatuh kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.
[Lihat QS. An-Nisaa: 48, 116][2]
Al-ilaah artinya al-ma’luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan
penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِلَٰهُكُمْ
إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang
diibadahi dengan benar melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
(wafat th. 1376 H) berkata: “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama,
Sifat-Sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya,
Nama-Nama, maupun Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada
yang sebanding, tidak ada yang setara, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada
yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah.Apabila
demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. Dia (Allah)
tidak boleh disekutu-kan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.[3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهِدَ اللَّهُ
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا
بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi
dengan benar selain Dia, Yang menegakkan keadilan.Para Malaikat dan orang-orang
yang berilmu (juga menyatakan demikian).Tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi dengan benar selain-Nya, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijak-sana.” [Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, ‘Uzza dan Manat
yang disebut sebagai tuhan oleh kaum Musyrikin:
إِنْ هِيَ
إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu
mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)nya…” [An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ
اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah,
Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah,
itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi
Mahabesar.” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf
Alaihissallam, yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
يَا
صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ
الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan
yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa?Kamu tidak
menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu…” [Yusuf: 39-40]
Tauhid Uluhiyyah merupakan inti dakwah para Nabi dan Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ , dari Rasul yang pertama hingga Rasul terakhir, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat
(untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thagut
itu…’” [An-Nahl: 36]
Dan firman-Nya:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak untuk
diibadahi dengan benar) selain Aku, maka ibadahilah olehmu sekalian akan Aku.’” [Al-Anbiyaa’: 25]
Semua Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ memulai dakwah
mereka kepada kaumnya dengan tauhid Uluhiyyah, agar kaum mereka beribadah dengan
benar hanya kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala saja.
Seluruh Rasul berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada
Allah saja.[1]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَأَرْسَلْنَا
فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka
sendiri (yang berkata): ‘Sembahlah Allah olehmu sekalian, sekali-kali tidak ada
sesembahan yang haq selain-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa
(kepada-Nya)?’” [Al-Mukminuun:
32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja
mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah,
meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini
telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti:
Bukti pertama: Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai
keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat
menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, serta
tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ
يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا
يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah),
yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan
dan tidak kuasa untuk (menolak) suatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula
untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.”
[Al-Furqaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا
يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا
لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ وَلَا تَنْفَعُ
الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ
“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan)
selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit
dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan)
langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi
pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi
orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at…” [Saba’: 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا
يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang
tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri
adalah buatan manusia.Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan
kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala
itu tidak dapat memberi pertolongan.”
[Al-A’raaf: 191-192]
Apabila keadaan tuhan-tuhan itu demikian, maka sungguh sangat
bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadikan mereka sebagai ilah (sesembahan)
dan tempat meminta pertolongan.
Bukti kedua: Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, Yang di tangan-Nya
kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat
melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi dari adzab-Nya.Ini mengharuskan
pengesaan Uluhiyyah (penghambaan) sebagaimana mereka mengesakan Rububiyyah
(ketuhanan) Allah.
Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk
melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya kepada Allah saja).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Wahai manusia, baribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.Dia-lah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah:
21-22]
Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya tauhid Uluhiyyah.
Allah memerintahkan kita untuk bertauhid Uluhiyyah, yaitu menyembah
dan beribadah hanya kepada-Nya. Dia Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan dalil
kepada mereka dengan tauhid Rububiyyah, yaitu penciptaan-Nya terhadap manusia
dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta
seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhan, dikeluarkannya
buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka, sangat tidak pantas bagi
kita jika menyekutukan Allah dengan selain-Nya; dari benda-benda ataupun
orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu
pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.
Maka, jalan fitrah untuk menetapkan tauhid Uluhiyyah adalah
berdasarkan tauhid Rububiyyah.Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung
kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemudharatannya.Setelah itu
berpindah kepada cara-cara bertaqarrub kepada-Nya, cara-cara yang bisa membuat
Allah ridha serta menguatkan hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya.Maka,
tauhid Rububiyyah adalah pintu gerbang dari tauhid Uluhiyyah. Karena itu Allah
berhujjah atas orang-orang musyrik dengan cara ini.
Allah Ta’ala berfirman:
ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَالِقُ
كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu adalah Allah,
Rabb-mu; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia;
Pencipta segala sesuatu, maka beribadahlah kepada-Nya …” [Al-An’aam: 102]
Dia berdalil dengan tauhid Rububiyyah-Nya atas hak-Nya untuk
disembah.Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.”
[Adz-Dzaariyaat: 56]
Arti لِيَعْبُدُوْنِ “Agar mereka menyembah-Ku,” adalah: “Mentauhidkan-Ku dalam
ibadah.” Seorang hamba tidaklah menjadi Muwahhid hanya dengan mengakui tauhid
Rububiyyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid Uluhiyyah serta
mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui
tahuid Rububiyyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam,
bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal
mereka mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang menghidupkan
dan mematikan.
Di antara kekhususan Ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak
dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan
semua ibadah mesti tertuju kepada-Nya; pengagungan, penghormatan, rasa takut,
do’a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan
rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara’ dan fitrah
agar ditujukan khusus hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak
kepada selain-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara istilah syar’i, pengertian tauhid adalah menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh
Tsalatsatil Ushul, 39).
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi
Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih,
bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan
Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Memperuntukkan satu jenis
ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya
yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
B. SARAN
Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca
1.
Memperoleh
pengetahuan yang lebih luas tentang tauhid
2.
Lebih
mendekatkan diri kepada Allah
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Hassan., At-Tauhid,
Bandung: Diponegoro, cetakan 15, 1994
Al-Qur'an dan Terjemahannya,
Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi Restu, 1976
[1]Sebagaimana perkataan Nabi Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Lihat
Al-Qur-an pada surat al-A’raaf: 65, 73 dan 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar