MAKALAH LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
A. Politik Pembidangan Ilmu PTI
Adanya perubahan dari STAIN menjadi IAIN lalu yang sekang
menjadi UIN itu semua merupakan perkembangan dari bidang keilmuan serta politik yang harus didukung,
walaupun sebaiknya tidak semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan
fakultas agama/keagamaan terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya
kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk
menjadi Universitas dengan tujuan memadukan dan mengintegrasikan kembali
bidang-bidang keilmuan yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Dengan pengembangan institusi tersebut diperlukan
pengembangan ilmu-ilmu PTI kedepannya dengan alasan yang memicu perubahan tersebut menjadi
terlaksanakan yakni:
1. Tau bahwa kita ini merupakan khalifah Allah SWT dibumi serta menjadi tugas kita untuk mengemban
tugas kita sebagai khalifah dimuka bumi ini.
2. Dalam tradisi keilmuan Islam muslim tidak hanya mementingkan bekal dari
sisi ukhrawi saja namun duniwaipun haruslah seimbang jadi sebagai muslim yang
baik kita haruslah memikirkan keduanya
yang saling berkaitan karena itu merupakan suatu disiplin ilmu.
3. PTI dipahami sebagai lembaga dakwah islam yang bertugas untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dalam pengertiannya yang amat terbatas. Oleh karena itu, PTI dianggap tidak tepat untuk mengembangkan bidang
keilmuan lain.
4. Pengembangan bidang ilmu pada PTI akan terealisasi dengan baik tatkala ada political
will dari pemegang kebijakan di negeri ini.
5. PTI dituntut mampu mengemban bidang ilmu-ilmu yang dipahami secara
integratif ,tidak lagi ada dikotomi ilmu dan PTI,keduanya diberi mandat
akademis sepanjang ia memiliki kualifikasi untuk mengembangkannya .[1]
6. Setiap muslim diberdayakan agar bisa menjadi insan kamil,manusia
paripurna yang mampu mengemban amanat sebagai wakil Allah di bumi(khalifah fi
al-ardh)yang mampu memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).
B.
Perubahan IAIN Menjadi
UIN
Perguruan Tinggi Agama Islam pada awal berdirinya
menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan mampu
menjadi panutan masyarakat. Perguruan Tinggi
Islam pada hakikatnya merupakan lembaga bagian akademik yang mendidik atau santri lulusan
Madrasah, Madrasah Diniyah, dan pesantren demi melanjutkan pendidikannya. IAIN
pula merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. IAIN diharapkan memproduksi sarjana
Muslim yang mempunyai keahlian dalam ilmu agama Islam, berakhlak mulia, cakap,
dan bertanggungjawab atas kesejahteraan umat serta masa depan bangsa
Indonesia. Disamping itu juga harapan pemerintah untuk mengisi birokrasi pemerintahan di Departemen Agama, seperti urusan
Haji, urusan Penerangan, dan urusan Pendidikan. Maka, dengan berkembangnya birokrasi Departemen Agama, tentu saja yang
diharapakan untuk mengisinya adalah mereka yang berasal dari perguruan tinggi Islam seperti IAIN.[2]
Melihat semakin banyaknya
IAIN yang berkeinginan menjadi UIN, karena dari segi peminat siswa Sekolah Menengah Atas yang cukup besar,
maka UIN di masa mendatang semakin bertambah. Hanya saja pendirian IAIN ke UIN memunculkan pertanyaan,
apakah produknya terutama program-program umum seperti kedokteran, teknik informatika
dan lainnya hanya menambah daftar lulusan yang unggul dalam bidang teori atau hanya
memproduksi lulusan untuk memenuhi tenaga pengajar di pendidikan tinggi tetapi lemah
dalam bidang riset, yang hasilnya hanya pandai berteori namun tidak biasa mengembangkan
ilmu. Jikalah demikian,
nasib UIN akan sama dengan pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam yang tidak member hasil apa-apa dalam pengembangan keilmuwan baik dalam sains maupun teknologi.
Para ilmuwan dan pejababat IAIN sudah lama menyadari dua
kekurangan IAIN, yakni dalam merespon masa depan umatnya, serta dalam
mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana ditetapkan oleh
al-Qur’an dan al-Hadits.Misalnya perubahan pada IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Jakarta menjadi salah satu bukti nyata perihal kesadaran tentang
perlunyar evisiesensi-substansi kurikulum IAIN. Demikian pula halnya dengan
sejumlah IAIN lain. Sebenarnya, yang terpenting bukanlah perubahan nama dari
IAIN menjadi UIN akan tetapi sejauh mana esensi-substansi kurikulum memiliki
relevansi dengan makna filosofis pendidikan Islam dan kebutuhan umat Islam itu
berlangsung. Ini berarti berubah atau tidaknya nama
IAIN yang diekspresikan dalam bentuk fakultas/jurusan/program itu semua dapat diwujudkan.[3]
C. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasinya
Pengertian Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya itu semua perlu mengembangkan seluruh potensi manusia baik
yang membentuk jasmanniah maupun rohanniahnya, menumbuhkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta. Pendidikan islam berarti
sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang telah menjiwai
dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain Pendidikan Islam adalah
suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia baik duniyawi maupun ukhrawi. Dengan demikian,
pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, agar
orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan yaitu tujuan
duniyawi maupun ukhrawi.
Globalisasi itu berasal dari kata Globe yang berarti
bumi, ialah dunia saat ini. Maka “ Globalisasi” secara
sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuanya satu bumi atau
satu dunia.[4]
Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan islam, melainkan
sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang namanya pendidikan islam. Bila
pendidikan islam mengambil posisi anti global, maka mesin tersebut akan tidak
stationaire alias macet, dan pendidikan islam pun mengalami intellectualshut
down atau penutupan intellectual.
Sebaliknya,bilapendidikan islam
terseret oleh arus global,tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses
pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi. Karenanya ,pendidikan islam menarik ulur arus global,yang
sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai diulur,dilepas atau
ditinggalkan. [5]
Mengacu
pada kondisi secara nyatanya yang sedang
dan akan terjadi, maka idealnya pengembangan perguruan Tinggi Islam juga harus
pula mengacu pada realitas dan konteks perubahan-perubahan yang terjadi, baik
pada tingkat konsep perubahan paradigma perguruan tinggi
sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi
dan politik nasional dan global. Konsep-konsep itu dijabarkan secara rinci
untuk dioperasionalkan melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Secara umum lembaga
pendidikan tinggi, termasuk PTI mempunyai beberapa tujuan. Pertama,
menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan dan pengajaran di atas pendidikan
menengah dalam bidang ilmu pengetahuan, sosial budaya. Kedua, menyelenggarakan
dan mengembangkan penelitian. Ketiga, menyelenggarakan dan mengembangkan
pengabdian pada masyarakat. Sebagai agen sosial,pendidikan islam yang berada dalam
modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya
secara dinamis dan pro aktif.Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan
dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat islam ,baik pada tataran
intelektual maupu praktis.Pendidikan islam bukan sekedar proses penanaman moral
untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi,tetapi yang paling
penting adalahbagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan islam
tersebut mampu berperan sebagai kekuatan bebas dari impitan kemiskinan
,kebodohan,dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.[6]
1. Krisis Moral-Akhlak
Memperhatikan kenyatan merosotnya akhlak sebagian besar
bangsa kita, tentunya penyelenggaraan pendidikan agama beserta para guru agama
dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan
kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan
akhlak yang sudah parah itu .Kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak
faktor,seperti pengaruh globalisasi,krisis ekonomi,s osial,politik,budaya dan lainnya.
2. Masih kuatnya manajemen patriarki(kekeluargaan)
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan
agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsure pemangku kebijakan di
lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnnya dari unsure
ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus, kepalasekolah, bahkan guru dan staf.
Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada, hal tersebut sudah barang tentu akan menggangu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut,
sehingga dapat dikatakan tingkatak untabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur manajemen secara baik,
dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian
program-program sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan
agama.[7] Karena akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur
yang ada sulit ditegakkan secara
ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan
agama yang ada. Kalaupun ada unsure kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
Guna mencapai birokrasi seperti
di atas, perlu dilakukan terobosan tradisi baru. Misalnya, mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam
proses penerimaan calon tenaga administrasi, calon PNS dan honorer.
Terobosan seperti ini hanya bias berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses rekrutmen dengan cara-cara klasik
yang umumnya didasarkan pada ikatan primordial yang sempit (hubungan saudara,
sedaerah, seorganisasi, sekolega) serta sarat dengan kolusi dan nepotisme.
Di samping mementingkan aspek kompetensi, keterampilan, keahlian, dan integritas,
manajemen pendidikan modern juga mensyaratkan bersebdikan pada system promosi jabatan
yang transparan atas dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal
yang demikian dapat diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di masa depan. Salah satu indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa corporate
culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya,
iklim birokrasi
yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada iklim birokrasi akademis. Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak
yang terlibat di dalam system birokrasi IAIN harus pula memiliki visi birokrasi akademis.[8]
3.
Semakin diminatinya Pendidikan Umum
Telah lama
dirasakan bahwa perguruan tinggi IAIN dianggap sebagai “kelas kedua”
mereka masuk
IAIN setelah mereka tidak diterima di universitas atau perguruan tinggi
lain. Pendidikan Umum yang ternyata lebih mampu menghadapi tantangan duniawi dalam arti jasmaniah dan materi. Sedangkan pendidikan umum yang lebih bercorak Islam milik lembaga atau yayasan umat
Islam tidak mampu bersaing dalam segi kualitas dan kuantitas.
4.
Pendidikanmenjadituntutanduniawi
Masyarakat cenderung untuk memilih pendidikan
yang lebih dapat menjawab tuntutan dan tantangan atas kebutuhan hidup duniawi. Sedangkan Pendidikan Umum hanya memberikan bagian waktu yang kecil bagi Pelajaran Agama, misalnya hanya 2 kali 45
menit saja dalam satu minggu.
Berarti kekurangan
yang terjadi dalam Pendidikan Agama ini harus diperoleh dari sumber-sumber
lain (pendidikan non formal). Jika kekurangan ini tidak terisi berarti akan hilanglah keseimbangan antara
IMTAQ dan IPTEK dari pada peserta didik. Akibat Pendidikan Umum telah “lebih mampu” menjawab tantangan duniawi dan materi dari masyarakat, maka Pendidikan Agama dalam artil embaga
(institusionil) merupakan pendidikan yang kurang mempunyai daya tarik bagi sebagian masyarakat
Islam Indonesia.[9]
5.
Persaingan dunia kerja
Khusus bagi IAIN dan universitas swasta yang mengelola
pendidikan Islam (misalnya Fakultas-Fakultas Tarbiyah Swasta) mulai saat ini
sebaiknya meninjau kembali projeksi jumlah sarjana yang akan ditamatkan sesuai
dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jika tidak hal ini akan menimbulkan inflasi bagi gelar sarjana pendidikan
Agama Islam itu sendiri. Hal ini bukanlah merupakan batasan yang dibuat semata-mata oleh Pemerintah, tetapi ini adalah merupakan bagian dari persaingan hidup duniawi. Sebagai contoh lapangan pekerjaan bagi sarjana tamatan IKIP
masih lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan pekerjaan bagi tamatan IAIN
atau yang sama dengannya.[10]
D. Potret PTI
Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan
manusia, namun sayang upaya untuk terus mengembangkan sering terabaikan.
Kesadaran bahwa pengembangan pendidikan bernilai amat strategis baru pada batas
wacana yang dalam realitasnya sering terabaikan, atau minimal dikembangkan
namun dengan setengah hati, pada pergerakan maju sebuah komunitas tidak pernah
terlepas dari kegiatan pendidikan. Kesadaran akan hal ini sebenarnya tak
terbantahkan dan memiliki kekuatan sosiologis dan politis, namun sayang upaya pengembangan
pendidikan tetap saja rendah. Keprihatinan akan semakin meningkat saat melihat
sistem dan strategi yang dikembangkan dalam memanajemen pendidikan kita sistem
pendidikan ala bank hanya menyediakan tenaga terampil namun minus hati
dan keadilan strategi pembangunan yang mengejar keilmuan yang bersifat kognitif
belaka.
Perjalanan panjang PTIN bermula dari niatan luhur untuk
mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mampu mengisi kebutuhan tenaga
profesional keagamaan. Saat ini, telah muncul banyak fakultas-fakultas cabang
di daerah, baik kota provinsi diluar jawa maupun di daerah tingkat II kota dan
kabupaten. Pada 1997, fakultas-fakultas didaerah tersebut menjadi Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang kadang disebut dengan IAIN mini.
Perubahan ini merupakan gejala positif bagi STAIN meskipun masih sering
dipertanyakan statusnya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal-hal positif
tersebut diantaranya:
1. Setelah terbebas dari induknya, STAIN menjadi leluasa untuk membuat program
studi sesuai dengan kebutuhan riil dan tidak bergantung lagi dengan IAIN
induknya[11]
2. Meskipun awalnya harus tertatih-tatih dalam melaksanakan progran akademik
dan administratif secara mandiri namun akhirnya STAIN menjadi dewasa dan terus
menapak kearah kemajuan yang di inginkan
3. Kemajuan yang telah diraih dan keinginan untuk melakukan penyasuaian dengan
peraturan yang berlaku menyebabkan sebagian besar STAIN berusaha untuk menjadi
IAIN atau UIN yang jelas memiliki payung peraturan yang jelas. Selama ini, STAIN dianggap sebagai IAIN kecil karna
dilihat dari aspek program yang dibuka, yakni meliputi 3 jurusan atau lebuh dan
pada setiap jurusan ada 2 program studi atau lebih. Hal ini sama dengan IAIN
yang memiliki 3 fakultas atau lebih dan setiap fakultas memiliki 2 jurusan atau
lebih. Fakultas di IAIN disederajatkan dengan jurusan STAIN dan seterusnya.
Dengan kesamaan derajat ini, setiap ada kebijakan pusat terhadap IAIN akan
berlaku pula pada STAIN. Fasilitas dan jenis keragaman buku referensi di STAIN
juga tidak beda jauh dengan di IAIN
4. Upaya untuk menjadi IAINbagi sebagian besar STAIN yang telah siap merupakan
hal yang niscaya sehingga peningkatan SDM khususnya dosen harus segera
dilakukan. [12]
Peningkatan pengalaman bagi setiap pimpinan STAIN hendaknya juga dilakukan
pensejajaran dengan pihak IAIN, terutama terkait dengan pengalaman research di
PT
5. Dalam konteks persaingan global ,STAIN harus mengembangkan sayap menuju
kompetisi internasional.Jika payung perundangan sudah jelas ,pengelolaan nya
profesional maka sangat mungkin STAIN yang menjadi IAIN akan dapat melangkah
lebih cepat dan mengesankan.
6. Ada beberapa faktor yang membuat STAIN atau PTI itu sendri bergerak
lamban,diantaranya adalah karena aspek kesejahahan yang panjang,terutama pada
sistem pendidikan nasional diberlakukan melalui UU nomor 2 Tahun 1989 dan
direvisi pada tahun2003.Pendidikan agama sekarang wajib diberukan disemua
jenjang,jenismdan jalur pendidikan ,baik negeri maupun swasta ,termasuk
pendidikan nonformal .problem terbesar bagi oengembangan pendidikan adalah
ketersediaan SDM yang memadai,profesional,dan keuangan yang baik.[13]
A.
Kesimpulan
Perubahan beberapa STAIN dari IAIN menjadi UIN merupakan
perkembangan keilmuan dan politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya tidak
semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan fakultas agama/keagamaan
terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya kurang mendapatkan respon
positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk menjadi Universitas
dengan tujuan memadukan dang mengintegrasikan kembali bidang-bidang keilmuan
yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Arus global itu bukanlah kawan maupun
lawan bagi pendidikan islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang
namanya pendidikan islam. Bila pendidikan islam mengambil posisi anti global,
maka mesin tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan islam
pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intellectual.
Sebaliknya,bila pendidikan islam terseret oleh arus global,tanpa daya lagi
identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi.
B. Saran
Demikianlah makalah
ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari
kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen
pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bisa menambah wawasan bagi kami selaku penulis maupun
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Raqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS
Roqib, Moh. 2017. Ilmu Pendidikan
Islam. Yogyakarta: LKiS
Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam
Lingkaran Globalisai , (2012), Jurnal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar