Minggu, 24 Desember 2017

MAKALAH LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

MAKALAH LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM

A.    Politik Pembidangan Ilmu PTI
Adanya perubahan dari STAIN menjadi IAIN lalu yang sekang menjadi UIN itu semua merupakan perkembangan dari bidang  keilmuan serta politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya tidak semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan fakultas agama/keagamaan terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk menjadi Universitas dengan tujuan memadukan dan mengintegrasikan kembali bidang-bidang keilmuan yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Dengan pengembangan institusi tersebut diperlukan pengembangan ilmu-ilmu PTI kedepannya dengan alasan yang memicu perubahan tersebut menjadi terlaksanakan yakni:
1.      Tau bahwa kita ini merupakan khalifah Allah SWT dibumi serta menjadi tugas kita untuk mengemban tugas kita sebagai khalifah dimuka bumi ini.
2.      Dalam tradisi keilmuan Islam muslim tidak hanya mementingkan bekal dari sisi ukhrawi saja namun duniwaipun haruslah seimbang jadi sebagai muslim yang baik kita haruslah  memikirkan keduanya yang saling berkaitan karena itu merupakan suatu disiplin ilmu.
3.      PTI dipahami sebagai lembaga dakwah islam yang bertugas untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dalam pengertiannya yang amat terbatas. Oleh karena itu, PTI dianggap tidak tepat untuk mengembangkan bidang keilmuan lain.
4.      Pengembangan bidang ilmu pada PTI akan terealisasi dengan baik tatkala ada political will dari pemegang kebijakan di negeri ini.
5.      PTI dituntut mampu mengemban bidang ilmu-ilmu yang dipahami secara integratif ,tidak lagi ada dikotomi ilmu dan PTI,keduanya diberi mandat akademis sepanjang ia memiliki kualifikasi untuk mengembangkannya .[1]
6.      Setiap muslim diberdayakan agar bisa menjadi insan kamil,manusia paripurna yang mampu mengemban amanat sebagai wakil Allah di bumi(khalifah fi al-ardh)yang mampu memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).

B.     Perubahan IAIN Menjadi UIN
Perguruan Tinggi Agama Islam pada awal berdirinya menyandang misi utama, yakni mencetak ulama yang berwawasan luas dan mampu menjadi panutan masyarakat. Perguruan Tinggi Islam pada hakikatnya merupakan lembaga bagian akademik yang mendidik atau santri lulusan Madrasah, Madrasah Diniyah, dan pesantren demi melanjutkan pendidikannya. IAIN pula merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam. IAIN diharapkan memproduksi sarjana Muslim yang mempunyai keahlian dalam ilmu agama Islam, berakhlak mulia, cakap, dan bertanggungjawab atas kesejahteraan umat serta masa depan bangsa Indonesia. Disamping itu juga harapan pemerintah untuk mengisi birokrasi pemerintahan di Departemen Agama, seperti urusan Haji, urusan Penerangan, dan urusan Pendidikan. Maka, dengan berkembangnya birokrasi Departemen Agama, tentu saja yang diharapakan untuk mengisinya adalah mereka yang berasal dari perguruan tinggi Islam seperti IAIN.[2]
Melihat semakin banyaknya IAIN yang berkeinginan menjadi UIN, karena dari segi peminat siswa Sekolah Menengah Atas yang cukup besar, maka UIN di masa mendatang semakin bertambah. Hanya saja pendirian IAIN ke UIN memunculkan pertanyaan, apakah produknya terutama program-program umum seperti kedokteran, teknik informatika dan lainnya hanya menambah daftar lulusan yang unggul dalam bidang teori atau hanya memproduksi lulusan untuk memenuhi tenaga pengajar di pendidikan tinggi tetapi lemah dalam bidang riset, yang hasilnya hanya pandai berteori namun tidak biasa mengembangkan ilmu. Jikalah demikian, nasib UIN akan sama dengan pendidikan tinggi di berbagai Negara Islam yang tidak member hasil apa-apa dalam pengembangan keilmuwan baik dalam sains maupun teknologi.
Para ilmuwan dan pejababat IAIN sudah lama menyadari dua kekurangan IAIN, yakni dalam merespon masa depan umatnya, serta dalam mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits.Misalnya perubahan pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Jakarta menjadi  salah satu bukti nyata perihal kesadaran tentang perlunyar evisiesensi-substansi kurikulum IAIN. Demikian pula halnya dengan sejumlah IAIN lain. Sebenarnya, yang terpenting bukanlah perubahan nama dari IAIN menjadi UIN akan tetapi sejauh mana esensi-substansi kurikulum memiliki relevansi dengan makna filosofis pendidikan Islam dan kebutuhan umat Islam itu berlangsung. Ini berarti berubah atau tidaknya nama IAIN yang diekspresikan dalam bentuk fakultas/jurusan/program itu semua dapat diwujudkan.[3]

C.     Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasinya
Pengertian Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya itu semua perlu mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang membentuk jasmanniah maupun rohanniahnya, menumbuhkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta. Pendidikan islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniyawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, pendidikan islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, agar orang tersebut tumbuh dan berkembang sesuai tujuan yang diharapkan yaitu tujuan duniyawi maupun ukhrawi.
Globalisasi itu berasal dari kata Globe yang berarti bumi,  ialah dunia saat ini. Maka “ Globalisasi” secara sederhana dapat diartikan sebagai proses menjadikan semuanya satu bumi atau satu dunia.[4] Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang namanya pendidikan islam. Bila pendidikan islam mengambil posisi anti global, maka mesin tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan islam pun mengalami intellectualshut down atau penutupan intellectual.


 Sebaliknya,bilapendidikan islam terseret oleh arus global,tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi. Karenanya ,pendidikan islam menarik ulur arus global,yang sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai diulur,dilepas atau ditinggalkan. [5]
Mengacu pada  kondisi secara nyatanya yang sedang dan akan terjadi, maka idealnya pengembangan perguruan Tinggi Islam juga harus pula mengacu pada realitas dan konteks perubahan-perubahan yang terjadi, baik pada tingkat   konsep   perubahan paradigma perguruan tinggi sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global. Konsep-konsep itu dijabarkan secara rinci untuk dioperasionalkan melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Secara umum lembaga pendidikan tinggi, termasuk PTI mempunyai beberapa tujuan. Pertama, menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan dan pengajaran di atas pendidikan menengah dalam bidang ilmu pengetahuan, sosial budaya. Kedua, menyelenggarakan dan mengembangkan penelitian. Ketiga, menyelenggarakan dan mengembangkan pengabdian pada masyarakat. Sebagai agen sosial,pendidikan islam yang berada dalam modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan pro aktif.Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat islam ,baik pada tataran intelektual maupu praktis.Pendidikan islam bukan sekedar proses penanaman moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi,tetapi yang paling penting adalahbagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan bebas dari impitan kemiskinan ,kebodohan,dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.[6]

1.      Krisis Moral-Akhlak
Memperhatikan kenyatan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya penyelenggaraan pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama tergugah untuk merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan akhlak yang sudah parah itu .Kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh banyak faktor,seperti pengaruh globalisasi,krisis ekonomi,s  osial,politik,budaya dan lainnya.
2.      Masih kuatnya manajemen patriarki(kekeluargaan)  
Dalam ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsure pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu keluarga-kerabat, misalnnya dari unsure ketua yayasan, pembina, pengawas, pengurus, kepalasekolah, bahkan guru dan staf. Pendekatan manajemen seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen organisasi kelembagaan pendidikan yang ada, hal tersebut sudah barang tentu akan menggangu profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut, sehingga dapat dikatakan tingkatak untabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama.[7] Karena akuntabilitas dan reliabilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsure kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
Guna mencapai birokrasi seperti di atas, perlu dilakukan terobosan tradisi baru. Misalnya, mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam proses penerimaan calon tenaga administrasi, calon PNS dan honorer. Terobosan seperti ini hanya bias berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan pemberantasan proses rekrutmen dengan cara-cara klasik yang umumnya didasarkan pada ikatan primordial yang sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi, sekolega) serta sarat dengan kolusi dan nepotisme. Di samping mementingkan aspek kompetensi, keterampilan, keahlian, dan integritas, manajemen pendidikan modern juga mensyaratkan bersebdikan pada system promosi jabatan yang transparan atas dasar pertimbangan yang rasional dan objektif. Jika hal-hal yang demikian dapat diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan manajemen birokrasi akan berjalan semakin baik pula di masa depan. Salah satu indikatornya adalah, setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang profesional. Satu yang perlu dicatat bahwa corporate culture dari IAIN adalah bersifat akademik. Oleh karenanya, iklim birokrasi yang hendak dikembangkan harus pula diarahkan kepada iklim birokrasi akademis. Hal ini membawa implikasi bahwa pihak-pihak yang terlibat di dalam system birokrasi IAIN harus pula memiliki visi birokrasi akademis.[8]
3.      Semakin diminatinya Pendidikan Umum
Telah lama dirasakan bahwa perguruan tinggi IAIN dianggap sebagai “kelas kedua” mereka masuk IAIN setelah mereka tidak diterima di universitas atau perguruan tinggi lain. Pendidikan Umum yang ternyata lebih mampu menghadapi tantangan duniawi dalam arti jasmaniah dan materi. Sedangkan pendidikan umum yang lebih bercorak Islam milik lembaga atau yayasan umat Islam tidak mampu bersaing dalam segi kualitas dan kuantitas.
4.      Pendidikanmenjadituntutanduniawi
Masyarakat cenderung untuk memilih pendidikan yang lebih dapat menjawab tuntutan dan tantangan atas kebutuhan hidup duniawi. Sedangkan Pendidikan Umum hanya memberikan bagian waktu yang kecil bagi Pelajaran Agama, misalnya hanya 2 kali 45 menit saja dalam satu minggu. Berarti kekurangan yang terjadi dalam Pendidikan Agama ini harus diperoleh dari sumber-sumber lain (pendidikan non formal). Jika kekurangan ini tidak terisi berarti akan hilanglah keseimbangan antara IMTAQ dan IPTEK dari pada peserta didik. Akibat Pendidikan Umum telah “lebih mampu” menjawab tantangan duniawi dan materi dari masyarakat, maka Pendidikan Agama dalam artil embaga (institusionil) merupakan pendidikan yang kurang mempunyai daya tarik bagi sebagian masyarakat Islam Indonesia.[9]
5.      Persaingan dunia kerja
Khusus bagi IAIN dan universitas swasta yang mengelola pendidikan Islam (misalnya Fakultas-Fakultas Tarbiyah Swasta) mulai saat ini sebaiknya meninjau kembali projeksi jumlah sarjana yang akan ditamatkan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Jika tidak hal ini akan menimbulkan inflasi bagi gelar sarjana pendidikan Agama Islam itu sendiri. Hal ini bukanlah merupakan batasan yang dibuat semata-mata oleh Pemerintah, tetapi ini adalah merupakan bagian dari persaingan hidup duniawi. Sebagai contoh lapangan pekerjaan bagi sarjana tamatan IKIP masih lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan pekerjaan bagi tamatan IAIN atau yang sama dengannya.[10]

D.    Potret PTI
Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia, namun sayang upaya untuk terus mengembangkan sering terabaikan. Kesadaran bahwa pengembangan pendidikan bernilai amat strategis baru pada batas wacana yang dalam realitasnya sering terabaikan, atau minimal dikembangkan namun dengan setengah hati, pada pergerakan maju sebuah komunitas tidak pernah terlepas dari kegiatan pendidikan. Kesadaran akan hal ini sebenarnya tak terbantahkan dan memiliki kekuatan sosiologis dan politis, namun sayang upaya pengembangan pendidikan tetap saja rendah. Keprihatinan akan semakin meningkat saat melihat sistem dan strategi yang dikembangkan dalam memanajemen pendidikan kita sistem pendidikan ala bank hanya menyediakan tenaga terampil namun minus hati dan keadilan strategi pembangunan yang mengejar keilmuan yang bersifat kognitif belaka.
Perjalanan panjang PTIN bermula dari niatan luhur untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang mampu mengisi kebutuhan tenaga profesional keagamaan. Saat ini, telah muncul banyak fakultas-fakultas cabang di daerah, baik kota provinsi diluar jawa maupun di daerah tingkat II kota dan kabupaten. Pada 1997, fakultas-fakultas didaerah tersebut menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang kadang disebut dengan IAIN mini. Perubahan ini merupakan gejala positif bagi STAIN meskipun masih sering dipertanyakan statusnya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal-hal positif tersebut diantaranya:
1.      Setelah terbebas dari induknya, STAIN menjadi leluasa untuk membuat program studi sesuai dengan kebutuhan riil dan tidak bergantung lagi dengan IAIN induknya[11]
2.      Meskipun awalnya harus tertatih-tatih dalam melaksanakan progran akademik dan administratif secara mandiri namun akhirnya STAIN menjadi dewasa dan terus menapak kearah kemajuan yang di inginkan
3.      Kemajuan yang telah diraih dan keinginan untuk melakukan penyasuaian dengan peraturan yang berlaku menyebabkan sebagian besar STAIN berusaha untuk menjadi IAIN atau UIN yang jelas memiliki payung peraturan yang jelas. Selama ini, STAIN dianggap sebagai IAIN kecil karna dilihat dari aspek program yang dibuka, yakni meliputi 3 jurusan atau lebuh dan pada setiap jurusan ada 2 program studi atau lebih. Hal ini sama dengan IAIN yang memiliki 3 fakultas atau lebih dan setiap fakultas memiliki 2 jurusan atau lebih. Fakultas di IAIN disederajatkan dengan jurusan STAIN dan seterusnya. Dengan kesamaan derajat ini, setiap ada kebijakan pusat terhadap IAIN akan berlaku pula pada STAIN. Fasilitas dan jenis keragaman buku referensi di STAIN juga tidak beda jauh dengan di IAIN 
4.      Upaya untuk menjadi IAINbagi sebagian besar STAIN yang telah siap merupakan hal yang niscaya sehingga peningkatan SDM khususnya dosen harus segera dilakukan. [12] Peningkatan pengalaman bagi setiap pimpinan STAIN hendaknya juga dilakukan pensejajaran dengan pihak IAIN, terutama terkait dengan pengalaman research di PT
5.      Dalam konteks persaingan global ,STAIN harus mengembangkan sayap menuju kompetisi internasional.Jika payung perundangan sudah jelas ,pengelolaan nya profesional maka sangat mungkin STAIN yang menjadi IAIN akan dapat melangkah lebih cepat dan mengesankan.
6.      Ada beberapa faktor yang membuat STAIN atau PTI itu sendri bergerak lamban,diantaranya adalah karena aspek kesejahahan yang panjang,terutama pada sistem pendidikan nasional diberlakukan melalui UU nomor 2 Tahun 1989 dan direvisi pada tahun2003.Pendidikan agama sekarang wajib diberukan disemua jenjang,jenismdan jalur pendidikan ,baik negeri maupun swasta ,termasuk pendidikan nonformal .problem terbesar bagi oengembangan pendidikan adalah ketersediaan SDM yang memadai,profesional,dan keuangan yang baik.[13]
A.    Kesimpulan
Perubahan beberapa STAIN dari IAIN menjadi UIN merupakan perkembangan keilmuan dan politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya tidak semua STAIN dan IAIN menjadi UIN telah mengakibatkan fakultas agama/keagamaan terkesan menjadi terpinggirkan sehingga akhirnya kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat. Upaya pengembangan PTI untuk menjadi Universitas dengan tujuan memadukan dang mengintegrasikan kembali bidang-bidang keilmuan yang selama ini terkesan dibeda-bedakan. Arus global itu bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan islam, melainkan sebagai dinamisator bagi mesin bagi yang namanya pendidikan islam. Bila pendidikan islam mengambil posisi anti global, maka mesin tersebut akan tidak stationaire alias macet, dan pendidikan islam pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intellectual. Sebaliknya,bila pendidikan islam terseret oleh arus global,tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilandas oleh “mesin”tadi.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bisa menambah wawasan bagi kami selaku penulis maupun bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Raqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS
Roqib, Moh. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta:  LKiS
 Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), Jurnal




[1]  Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 164.
[2] Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 164.
[3] Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 165.
[4]Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), hlm. 246.
[5] Cahya Setyadi, Alif, Pendidikan Islam dalam Lingkaran Globalisai , (2012), hlm. 246.
[6]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 166.
[7]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2017), hlm. 167.
[8]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2009), hlm. 168.
[9]Roqib Moh,  Ilmu Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Lkis,  2009), hlm. 168.

[11]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009),  Hal.168-169
[12]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2017),  Hal.169
[13]Moh Raqib,Ilmu Pendidikan Islam,(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009),  Hal.168-170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar