Rabu, 20 Desember 2017

MAKALAH IJAZ AL-QUR’AN

IJAZ AL-QUR’AN
BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad SAW.Kemukjizatan ini bersifat maknawi(abstrak),bukan sebagai mukjizat yang bersifat mahdziy(fisik) seperti mengubah tongkat menjadi seekor ular dan lain sebagainya.Adapun mukjizat yang bersifat maknawi bersamaan dengan bukti kerisalahan sampai hari kiamat.Karena nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia,dimana dan kapanpun hingga akhir zaman,maka bukti kebenaran nabi Muhammad SAW kekal dan dapat dipikirkan serta dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia.Disinilah terdapat fungsi Al-Qur’an sebagai kemukjizatan.
Dalam kehidupan ini,kita sering menilai sesuatu itu mustahil karena akal manusia yang terbatas dan terpaku dengan hukum-hukum alam hukum sebab akibat yang telah kita letahui.Sehingga kita sering menolak sesuatu yang tidak sejalan dengan logika atau hukum yang berlaku.Manusia dengan akal yang dimilikinya tidak mampu merenungkan ciptaan Allah SWT di muka bumi ini dan di alam semesta.Kemudian bersamaan dengan itu Allah bekali setiap Rasul dengan mukjizat sebagai tandingan terhadap kemampuan diluar kebiasaan yang berkembang ditengah-tengah kaumnya.

B.     Rumusan Makalah
            1.Apa pengertian I’jaz Al-Qur’an ?
`           2.Apa saja aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an ?
            3.Apa saja fakta dari aspek-aspek  Ijaz Al-Qur’an ?
            4.Bagaimana urgensi kajian ini dalam memahami Al-Qur’an ?

C.    Tujuan Makalah
            1.Supaya dapat memahami pengertian I’jaz Al-Qur’an
            2.Mengetahui aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an
            3.Mengetahui fakta aspek-aspek Ijaz Al-Qur’an



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian I’jaz Al-Qur’an
Kata “mukjizat” diambil dari kata kerja “a’jaza-i ‘ijaz’ yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu.” Ini sejalan dengan firman Allah :
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْأَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖفَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Maidah: 31)
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak umat menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, ia dinamai “mukjizat”. Tambahan ta’marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[1]
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama islam, antara lain, sebagai “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai se  suatu luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[2]
Dalam hal ini al-suyuthi membagi mukjizat menjadi dua macam, yaitu mukjizat hissi dan mukjizat aqli. Mukjizat hissi merupakan mukjizat yang dapat digapai melalui panca indera, yang ditujukan kepada manusia biasa yang tidak terbiasa menggunakan kecerdasan pikiran. Misalnya mukjizat Nabi Musa dengan tongkatnya yang ditujukan kepada Bani Israil. Sedangkan mukjizat aqli adalah mukjizat yang tidak mungkin dicapai melalui kekuatan panca indera, tetapi melalui kekuatan akal dengan kecerdasan pikirannya.
Al-zarqany mengartikan mukjizat al-  Qur’an dengan suatu perkara bagi manusia untuk mendatangkan semisal al-Qur’an baik secara individual maupun secara kelompok. Mukjizat dapat juga berrati sesuatu yang keluar dari kebiasaan dan ketentuan sebab-sebab yang diketahui serta diberikan kepada para Nabi untuk memperkuat dakwahnya.
Menurut Manna’ al-Qaththan yang dimaksud dengan mukjizat dalam al-Qur’an adalah: “sesuatu urusan(hal) yang menyalahi adat kebiasaan , dibarengi atau diiringi dengan tantangan atau pertandingan dan terbebas dari perlawanan(menang).
Jadi i’jaz al-Qur’an adalah  kekuatan, keunggulan, dan keistimewaan yang dimiliki al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia baik secara terpisah-pisah maupun secara berkelompok, untuk bisa mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya, hal ini menunjukkan atas kebenaran Rasulullah didalam mengembangkan misi dakwahnya.
B.     Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
            Menurut al-Shabûnî menandai tidak kurang dari sepuluh aspek kemukjizatan al-Qur’an, sebagai berikut:
1.      Susunan kata-katanya yang sangat indah dan menarik, sangat berbeda dengan susunan
2.      Susunan redaksional yang indah menawan, sangat berbeda dengan uslub-uslub orang Arab umunya.
3.      Kekayaan dan kepadatan makna yang dikandungnya. Tidak mungkin ada makhluk yang mampu mendatangkan ayat serupa ayat al-Qur’an.
4.      Muatan ajaran tasyriknya yang lengkap dan sempurna. Sama sekali berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia.
5.      Berita-berita gaib yang diceritakannya yang tidak mungkin diketahui selain lewat wahyu.
6.      Tidak adanya pertentangan dengan ilmu-ilmu kealamsemestaan.
7.      Ketepatan janji dan ancamannya sesuai dengan apa yang diberitakannya.
8.      Ilmu dan pengetahuan yang dikandungnya (ilmu-ilmu syariah dan kauniyah).
9.      Memenuhi segala kebutuhan manusia.
10.  Pengaruhnya yang mendalam dalam hati para pengikutnya.
            Dari sekian aspek kemukjizatan al-Qur’an tersebut di atas, ada tiga sisi yang penulis anggap perlu dibahas secara tersendiri, yaitu al-i’jâz al-‘ilmî (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ilmu pengetahuan kealaman), al-i’jâz al-lughawî (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek kebahasaan, uslub yang digunakan dan susunan serta tertib ayatnya) dan al-i’jâz al-tasyrî’î (kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ajaran syariat yang dikandungnya).
1.          Al-I’jâz al-‘Ilmî
Tentang hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, Quraish Shihab menyatakan bahwa ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan keesaan-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan keimanan dan kepercayaan kepada-Nya. Quraish lalu mengutip pendapat Mahmûd Syaltut yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni serta aneka warna pengetahuan.
Tentang hal ini, Quraish menyimpulkanenam hal yaitu :
Al-Qur’an adalah kitab hidayah yang memberikan petunjuk kepada manusia seluruhnya dalam persoalan-persoalan akidah, tasyrik dan akhlak demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
1.      Tiada pertentangan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
2.      Memahami hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru tersimpul di dalamnya, tapi dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorong lebih maju.
3.      Membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an bertentangan dengan tujuan pokok atau sifat al-Qur’an dan bertentangan pula dengan ciri khas ilmu pengetahuan.
4.      Sebab-sebab meluasnya penafsiran ilmiah (pembenaran teori-teori ilmiah berdasarkan al-Qur’an) adalah akibat perasaan rendah diri dari masyarakat Islam dan akibat pertentangan antara golongan gereja (agama) dengan ilmuan yang dikuatirkan akan terjadi pula dalam Islam, sehingga cendekiawan Islam berusaha menampakkan hubungan antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
5.      Memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai akidah Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip atau ketentuan bahasa.
Pendapat Quraish ini senada dengan Mannâ’ al-Qaththân yang dengan tegas menyatakan bahwa orang telah melakukan kesalahan ketika dengan menggebu mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Keyakinan serupa ini, kata al-Qaththân, akan bertabrakan dengan kenyataan bahwa sifat teori-teori ilmu pengetahuan senantiasa berubah sejalan dengan dinamika perubahan waktu sesuai dengan sunnah kemajuan. Apa yang diklaim sebagai kebenaran ilmiah pada satu saat, pada saat mendatang tidak mustahil terbukti kesalahannya.
            Kemukjizatan ilmiah al-Qur’an, tegas al-Qaththân, justru terletak pada motivasinya untuk berpikir. Ia mendorong manusia untuk memperhatikan dan mencermati alam dan gejalanya, sambil memberikan akses dan porsi yang baik dan besar bagi akal. Al-Qur’an tidak pernah menghalang-halangi pemeluknya untuk menambah ilmu pengetahuannya kapan dan di mana pun.Sedangkan menurut Ahmad Baiquni, hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan kealaman adalah bahwa sebagai hamba Allah manusia dikaruniai akal serta pikiran untuk dapat memilih tindakan mana yang baik dan mana yang tidak untuk kebahagiaan akhiratnya, tetapi juga untuk bertahan hidup di dunia dan memanfaatkan lingkungannya sebagai sumber bahan pangan dan papan, sehingga ia dapat memperoleh kebahagiaan dunia sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Untuk itu semua, Allah telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, secara garis besar, baik untuk ilmu keakhiratannya yang rinciannya ada di dalam Sunnah Rasul, maupun ilmu keduniaan yang rinciannya berada di dalam al-kaun (semesta).
2.          Al-I’jâz al-Lughawî
Al-Shabûnî menandai adanya tujuh karakteristik uslub al-Qur’an:
  1. Sentuhan serta nuansa kata-kata al-Qur’an yang indah dan menawan, seperti terlihat dalam keindahan bunyi dan nada yang ditimbulkan serta bahasa yang elok menarik.
  2. Membuat rela dan puas semua kalangan, baik khalayak awam maupun kalangan khusus tertentu. Dalam arti, semua sepakat mengakui keagungannya dan merasakan keindahannya.
  3. Memberikan kepuasan bagi akal dan emosi secara berbarengan. Ia menyentuh akal dan hati serta memadukan kebenaran dan keindahan secara apik dan indah.
  4. Kualitas pemaparan yang tinggi serta cara penuangan makna-makna yang kokoh. Keseluruhan al-Qur’an bak satu jalinan yang memikat dan memesona akal serta mengundang perhatian pandangan hati.
  5. Kelihaiannya dalam mengolah kata dan menuangkan aneka ragam penyampaian. Artinya, ia kerap menuangkan satu makna dengan beragam kata dan cara penuturan. Semua mempunyai nilai keindahan yang amat tinggi.
  6. Memadukan antara penuturan global dengan penjelasan detil.
  7. Singkat redaksi padat arti.
3.          Al-Ij’jâz al-Tasyrî’î
            Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini adalah bahwa al-Qur’an datang membawa manhaj tasyrî’ yang sempurna, yang menjamin terpenuhinya segala kebutuhan manusia seluruhnya pada setiap zaman dan tempat. Dengan ajaran ini kondisi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, menjadi mulia dan luhur, di dunia dan akhirat. Model tasyrî’ qur’ânî ini sangat berbeda dengan semua jenis hukum, aturan dan perundangan buatan manusia.
Masmû’ Abû Thâlib menilik beberapa butir yang menjadi bukti kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek ini. Sebagai berikut:
  1. Memperbaiki dan meluruskan akidah dengan jalan menunjukkan manusia akan hakikat asal kejadian (al-mabda`) dan akhir (al-ma’âd) kehidupan serta kehidupan di antara keduanya. Butir ini berisi ajaran tentang keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, para rasul dan hari akhir.
  2. Memperbaiki dan meluruskan praktik ibadah dengan jalan menunjukkan manusia akan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan mental manusia.
  3. Memperbaiki akhlak dengan jalan menunjukkan manusia akan nilai-nilai keutamaan dan perintah untuk menjauhi segala bentuk kekejian dan keburukan, serta menjaga keseimbangan.
  4. Memperbaiki dan meluruskan kehidupan dengan jalan memerintahkan manusia agar mereka menyatukan barisan, menghapus segala benih fanatisme dan gap yang membawa kepada perpecahan. Ini dilakukan dengan jalan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari jenis dan jiwa yang sama.
  5. Memerangi pemaksaan, intimidasi dan absolutisme. Meluruskan kehidupan politik dan tata kehidupan bernegara. Ini dilakukan dengan jalan memancangkan keadilan mutlak, persamaan antara sesama manusia dan memelihara nilai-nilai luhur keutamaan seperti keadilan, dedikasi, kasih sayang, persamaan dan kecintaan dalam segala bentuk hukum dan interaksi sosial.
  6. Memperbaiki dan meluruskan perilaku ekonomi dan pendayagunaan harta, dengan jalan anjuran untuk membudayakan hidup hemat, memelihara harta dari kesia-siaan dan kepunahan.
  7. Meluruskan aturan perang dan perdamaian, dengan jalan memberikan pengertian hakiki tentang perang, larangan menganiaya, kewajiban menepati perjanjian dan mengutamakan perdamaian daripada peperangan.
  8. Memerangi sistem perbudakan dan anjuran untuk memerdekakan para budak.
  9. Membebaskan akal budi dan nalar pikir dari segala tiran yang membelenggunya

C.    Fakta Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an
            Ada beberapa fakta historis dan sejumlah nas yang dapat kita nilai sebagai bukti bahwa al-Qur’an adalah benar-benar Kitab Mukjizat. Di antaranya:
Pertama, keyakinan kita bahwa al-Qur’an yang sekarang kita baca, yang terjaga dan termaktub dalam lembaran-lembaran mushhaf adalah benar- benar al-Qur’an yang dibawa Muhammad Saw., yang beliau bacakan kepada kaum sezamannya dalam rentang waktu sekitar 23 tahun.Keyakinan ini berdasar atas kenyataan bahwa al-Qur’an diterima dan disampaikan dengan sandaran sanad yang mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya, hal mana memberi jaminan akan orisinalitas dan otentisitas al-Qur’an. Selain kemutawatiran periwayatannya, otentisitas al-Qur’an lebih diperkuat lagi dengan kenyataan historis bahwa al-Qur’an segera dikodifikasi dari catatan-catatan yang masih tercecer tidak lama setelah Nabi Saw. meninggalkan generasi awal umat ini. Hafalan-hafalan para penghafal yang tidak pernah luput dari generasi-generasi semakin memperkuat keutuhan dan kemurnian al-Qur’an yang telah terkodifikasi dalam catatan.
Kedua, setelah kita yakin akan kemurnian al-Qur’an, dengan sendirinya kita mesti percaya atas kebenaran yang dibawanya. Dalam QS. al-Baqarah/2: 23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS.Al-Baqarah : 23)
Q.S Hûd/11: 13
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu", Katakanlah : "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".(QS.Huud: 13)
Q.S al-Isrâ`/17: 88
قُل لَّئِنِ ٱجْتَمَعَتِ ٱلْإِنسُ وَٱلْجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟ بِمِثْلِ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِۦ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
 al-Qur’an mengabarkan bahwa ia pernah menantang orang Arab yang terkenal dengan kesusastraannya yang tinggi untuk membuat rangkaian kata berupa ayat atau surat yang semisal dengan al-Qur’an. Mereka tidak mampu melakukan apa yang diminta al-Qur’an itu. Adanya tantangan al-Qur’an dan ketidakmampuan pihak yang ditantang, dua hal yang merupakan syarat terwujudnya mukjizat, merupakan bukti bahwa al-Qur’an itu betul-betul merupakan mukjizat.Jika mereka tidak mampu untuk menciptakan ayat atau surat yang semisal dengan al-Qur’an, maka mereka lebih tidak akan sanggup lagi untuk mendatangkan makna-makna, ajaran-ajaran dan dimensi-dimensi seperti yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an, sampai kapan pun.
Ketiga, pengaruh al-Qur’an terhadap orang Arab. Pengaruhnya terhadap orang Arab musyrikin terlihat pada pengakuan mereka akan keindahan gaya dan tata bahasa serta susunan redaksionalnya yang sangat memikat. Kenyataan inilah yang memaksa al-Walîd bin al-Mughîrah al-Makhzûmî untuk mengakui dan berterus terang kepada Abû Jahal bahwa al-Qur’an adalah al-haqq (kebenaran) yang luhur dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Sedang pengaruhnya terhadap orang Arab yang beriman, al-Qur’an lewat pendidikan yang diberikan pembawanya kepada para sahabat, telah mengubah jiwa mereka yang sebelumnya sarat dengan nilai-nilai buruk jahiliah menjadi jiwa-jiwa suci yang telah mencatat revolusi mental-sosial maha dahsyat dalam sejarah.
Demikian beberapa bukti kemukjizatan al-Qur’an yang dapat dijadikan landasan historis dan normatif ketika membahas aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an.

D.    Urgensi Kajian Dalam Memahami Al-Qur-an
Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran:
1.      Tataran Teologis Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang muslim. Yaitu bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an ini dan memahaminya, melakukan apa-apa yang diperintahkan Allah, maka Allah kelak akan memuliakannya dunia dan akhirat ( Imroatul Zahro, “Hujjah al-Qur’an dan I’jaz al-Qur’an“ ). Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah satua spek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan.
2.      Tataran Akademis Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)

 Cara Memahami Ijaz Al-Qur’an
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan guna mempermudah pemahaman bukti-bukti itu.
a.      Kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw. seorang yang tidak gila kedudukan, harta, dan wanita. Hal ini dibuktikan, ketika beliau diminta agar memberhentikan dakwahnya. Jika beliau mau menerima permintaan ini, tokoh-tokoh kaum musyrik Makkah memberikan kepadanya kedudukan, harta, dan wanita. namun itu semua ditolaknya, bahkan beliau menjawab:
Walau matahari diletakkan di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, tidak akan kutinggalkan misiku sampai berhasil atau aku gugur mempertahankannya, “jawab beliau.
Nabi yang ummi telah membawa Al-Quran yang mu’jiz dalam hal lafal dan maknanya. Ia tidak pernah belajar dari guru mana pun. Ia tidak pernah ber­guru kepada siapa pun. Ini dinyatakan Allah SWT,
Katakan: “ Jika Allah menghendaki, aku tidak akan membacakannya, kepadamu dan la pun tidak akan mengajarkannya kepadamu. Bukankah aku telah hidup sepanjang usiaku di tengah-tengah kamu. Tidakkah kamu merenungkannya." (Yunus 16).
b.      Kondisi Masyarakat Saat Turunnya Ayat
Tentu banyak sisi dari kondisi masyarakat yang dapat dikemukakan, namun yang terpenting dalam konteks uraian tentang mukjizat adalah perkembangan ilmu pengetahuan, kemampuan ilmiah masyarakat Arab, serta masyarakat umat manusia secara umum.
Al-Quran menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat ummiyyin. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata ummiy yang terambil dari kata umm yang anti harfiahnya adalah ibu dalam arti bahwa seorang ummiy adalah yang keadaannya sama dengan keadaan pada saat dilahirkan oleh ibunya dalam hal kemampuan membaca dan menulis.
Kemampuan tulis baca di kalangan masyarakat Arab—khususnya pada awal masa Islam—sangat minim, sampai-sampai ada riwayat yang menyebut jumlah mereka yang pandai menulis ketika itu tidak lebih dari belasan orang.
Jika demikian, pengetahuan masyarakat non-Arab pada masa turunnya Al-Quran bukan atas dasar metode ilmiah yang sistematik atau pengamatan dan hasil percobaan-percobaan dalam dunia empiris.
Semuanya itu kemudian mengantarkan ilmuwan untuk berkata bahwa masyarakat manusia secara umum belum lagi memiliki ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Memahami kondisi masyarakat dan perkembangan pengetahuan pada masa turunnya Al-Quran akan menunjang bukti kebenaran Al-Quran saat disadari betapa kitab suci ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal kecuali pada masa-masa sesudahnya.


c.      Masa dan Cara Kehadiran Al-Quran
Hal ketiga yang tidak kurang pentingnya dalam upaya lebih meyakinkan tentang kemukjizatan Al-Quran adalah masa dan cara turunnya wahyu AlQuran kepada Nabi Muhammad Saw.
Banyak aspek uraian yang berkaitan dengan topik ini, tetapi yang perlu digarisbawahi dalam konteks pembuktian kemukjizatan Al-Quran adalah :
1). Kehadiran wahyu Al-Quran diluar kehendak Nabi Muhammad Saw.
2). Kehadirannya secara tiba-tiba.
Menyangkut butir pertama, baik untuk diketahui bahwa tidak jarang Nabi Muhammad Saw. membutuhkan penjelasan bagi sesuatu yang sedang dihadapinya tetapi penjelasan yang dinantikan itu tak kunjung datang.
Setelah sepuluh kali menerima wahyu yang dimulai dengan awal surah (1) Iqra’, (2) Al-Qalam, (3) Al-Muddatstsir, dan (4) Al-Muzzammil, kemudian (5) surah Al-Masad, (6) At-Takwir, (7) Sabbihisma, (8) Alam Nasyrah, (9) A1-’Ashr dan (10) Al-Fajr, tiba-tiba wahyu terputus kehadirannya. Sekian lama beliau menanti dan mengharap tetapi Jibril - pembawa wahyu - tidak kunjung datang, maka timbul rasa gelisah di hati Nabi SAW. Sedemikian besar kegelisahan itu, sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa beliau nyaris menjatuhkan diri dari puncak gunung. Orang-orang musyrik Makkah pun mengejek beliau dengan berkata, “Tuhan telah meninggalkan Muhammad dan membencinya.” Kegelisahan ini baru berakhir dengan turunnya Q.S. al-Dhuha/93: 1 - 3
َالضُّحَى(1)وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى(2)مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
”Demi al-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidakpula membenci.”

Sumpah Allah terhadap Muhammad dengan tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu waktu dhuha, dan malam hari dengan kegelapannya.   Isi sumpah-Nya Bahwa Allah tidak meninggalkannya dan tidak membencinya. Hal ini menunjukkan bahwa wahyu adalah wewenang-Nya. Jadi, andaikata Nabi Saw. menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu merupakan ketetapan-Nya, bukan hasil perenungan Nabi.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.Kita tahu bahwa setiap nabi yang diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh nabi.Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukan karangan Nabi Muhammad,apalagi syair-syair dari penyair mereka.Mukjizat adalah keistimewaan  yang diberikan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul berupa sesuatu yang luar biasa,yang berfungsi sebagai risalah-Nya,bertujuan untuk melemahkan dan mengalahkan musuh yang menentangnya dan tidak ada seorang yang dapat menandinginya.
            Al-Qur’an memuat multidimensi yang diperuntukkan sebagai kebaikan umat manusia.Sebanyak dimensi yang dikandung Al-Qur’an sebanyak itu pula mukjizat yang dimilikinya.Itu tidak lain karena setiap dimensi yang dimilikinya,pada saat yang sama juga merupakan dimensi-dimensi kemukjizatan Al-Qur’an.Dari sini kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah seluruhnya mukjizat dan Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dalam islam.
B.     Saran
            Berdasarkan pembahasan mengenai Ijaz Al-Qur’an, maka sudah seharusnya kita sebagai generasi muda umat islam segera berlomba-lomba untuk memahami lebih dalam lagi mengenai makna dan kemukjizatan Al-Qur’an. Dimana Al-Qur’an adalah kitab pedoman umat islam yang wajib kita baca dan memahaminya, karena Al-Qur’an adalah sumber hukum islam yang utama dan paling utama.

DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2007.



[1] M. Quraish Shihab, Mukjizat  Al-Qur’an, Mizan, Bandung,  1997, hlm.23.
[2] Said Agil Husain Al-Munawar, Ijaz Al-Qur’an, dan Metodologi Tafsir, Dimas, Semarang, 1994, hlm. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar