MASA PEMBAHARUAN DI MESIR
Setelah selesainya Revolsi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar
yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah
meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan memutuskan komunikasi antara
Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu di
letakkan di bawah kekuasaan Prancis. Disamping itu Perancis perlu pada pasaran
baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatannya mempunyai
tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia
sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat
strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu,
adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong
Prancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Mesir pada waktu itu
berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sesungguhpun sejak ditaklukkan oleh
Sultan Salim di tahun 1517, tempat ini pada hakikatnya merupakan bagian dari Kerajaan
Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan di abad
ke-17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi
tempat otonom. Sultan-sultan Usmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo
untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah tempat ini. Tetapi karena
kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Kairo
tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar.
Kaum Mamluk berasal
dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu tempat pegunungan yang terletak
di tempat perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke
Kairo untuk diberi didikan militer dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka
meningkat dan di antaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi.
Setelah jatuhnya prestise sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk
kepada Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan
secara kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul. Kepala mereka disebut Syeikh
al-Balad dan syeikh inilah yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu
itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak
pandai berbahasa Arab, hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.
Bagaimana lemahnya
pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan
dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2
Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh. Sembilan
hari kemudian, Rasyid suatu kota yang terletak di sebelah Timur Alexandria,
jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di tempat piramid di
dekat Kairo. Pertempuran terjadi di tempat itu dan dan kaum Mamluk karena tak
sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetap di sini
mereka tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka
terpaksa lari lagi ke tempat Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak
sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandria, Napoleon telah dapat mengusai
Mesir.
Usaha Napoleon untuk
menguasai tempat-tempat lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara itu
perkembangan politik di Prancis menghendaki kehadirannya di Paris. Pada tanggal
18 Agustus 1799, ia meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang
dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran
yang terjadi di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir
mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada
tanggal 31 Agustus 1801.
Napoleon datang ke
Mesir bukan hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil
dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua unit percetakan dengan huruf
Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan
militer, tetapi juga keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut yang akhir ini banyak
di bentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d’Egypte, yang mempunyai empat
bagian : Bagian Ilmu Pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian
Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade
Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courrier d’Egypte, yang
diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon.
Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang mesir tidak kenal pada percetakan,
majalah atau surat kabar.
Institut d’Egypte
boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh
ilmuwan-ilmuwan Prancis yang berkerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan
mereka tentang Mesir, adat istiadatnya, bahasa dan agamanya. Di sinilah
orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung
dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd al-Rahman
al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi
lembaga itu di tahun 1799. Yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar
yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga
buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Di antara ahli-ahli yag
dibawa Napoleon memang terdapat kaum orientalis yang pandai dan mahir berbahasa
Arab. Merekalah yang mennerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke
dalam bahasa Arab. Alat-alat ilmiah, seperti teleskop,mikroskop, alat-alat
untuk percobaan kimiawi dan sebagainnya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan
di lembaga itu , kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada
ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
Kesimpulan tentang
kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut :
“ Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil
yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti
yang ada pada diri kita.”1
Di samping kemajuan
materi ini, Napoleon juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi
Prancis, seperti :
1.
Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih
untuk waktu tertentu, tunduk kepada Undang-undang Dasar dan bisa dijatuhkan
oleh parlemen. Sistem ini berlainan sekali dengan sistem pemerintahan absolut
raja-raja Islam, yang tetap menjadi raja selama ia masih hidup dan kemudian
digantikan oleh anaknya, tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena
konstitusi atau parlemen memang tidak ada dalam sistem kerajaan itu. Ide yang
terkandung dalam kata republik masih sulit untuk ditangkap dan dengan demikian
mencari terjemahannya kedalam bahasa Arab sulit pula. Dalam maklumat-makulumat
Napoleon, Republik Perancis diterjemahkan menjadi Al-Junhur al-Faransawi.
2.
Ide persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan dan turut
sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Kalau sebelum ini, rakyat Mesir tak
turut serta dalam pemerintahan negara mereka, Napoleon mendirikan suatu badan
kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azha dan pemuka-pemuka dalam dunia
dagang dari Kairo dan tempat-tempat. Tugas badan ini ialah membuat
undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi pengantara antara
penguasa-penguasa Perancis dan rakyat Mesir. Di samping itu didirikan pula satu
badan lain bernama Diwan al-Ummah yang dalam waktu-waktu tertentu mengadakan
sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan
nasional. Tiap-tiap tempat mengirimkan sembilan wakil ke Sidang Diwan itu, tiga
dari golongan ulama, tiga dari golongan pedagang dan satu dari masing-masing
golongan petani, kepala desa dan kepala suku bangsa Arab. Diwan ini mempunyai
180 anggota dan sidang pertama diadakan dari tanggal 5 sampai 20 Oktober 1798.
Putusan yang diambil ialah menganjurkan perubahan peraturan pajak yang
ditetapkan Kerajaan Usmani.
Sistem pemilihan ketua lembaga juga merupakan hal baru bagi rakyat
Mesir. Ketika dari para anggota Diwan diminta memilih ketua, anggota-anggota
menunjuk dan menyebut nama ulama yang mereka hormati, yaitu Syaikh Al-Syarqawi.
Petunjukan serupa ini ditolak penguasa Prancis sambil menjelaskan cara
pengadaan pemilihan.
3.
Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang
Prancis merupakan suatu banga (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing
dan datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguhpun orang islam tetapi berlainan
bangsa dengan orang Mesir. Juga maklumat itu mengandung kata-kata umat Mesir.
Bagi orang islam di waktu itu yang ada hanyalah umat islam dan tiap orang islam
adalah saudaranya dan ia tak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku
bangsa. Yang disadarinya ialah perbedaan agama, oleh karena itu untuk
menerjemahkan kata nation ke dalam bahasa Arab juga sulit. Kata Arab yang di
pakai ialah Al-Millah, umpamanya dalam Al-Millah al-Faransiah untuk ia
nation Francaise. Millah berarti
agama. Kata Arab yang kemudian di pakai untuk nation ialah qaum,
sya’b dan ummah.[1]
Inilah beberapa dari ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir,
ide-ide yang pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat islam
di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19 ide-ide
itu makin jelas dan kemudian diterima dan dipraktekkan. Bagaimanapun ekspedisi
Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelamahan dan kemunduran
mereka.
Muhammad Ali Pasya
Untuk melawan tentara Napoleon yang telah menguasai seluruh Mesir
serta pula telah menyerang Syria dan dari sini mungkin akan terus ke Istambul,
Sultan Salim III (1789-1807) mengumpulkan tentara. Salah satu di antara perwira
dari pasukan-pasukan yang disediakan itu bernama Muhammad Ali, seorang
keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765 dan meninggal di
Mesir pada tahun 1849. Orang tuanya bekerja sebagai penjuak rokok dan dari
kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk
masuk sekolah dan dengan demikian tidak pandai menulis maupun membaca. Setelah
dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak dan karena kecakapannya dalam
pekerjaan ini, ia menjadi kesayangan Gubernur Usmani setempat. Akhirnya ia
diangkat sebagai menantu oleh gubernur tersebut dan mulai dari waktu itu
bintangnya terus menaik. Selanjutnya ia masuk dinas militer dan dalam lapangan
ini ia juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupan sehingga pangkatnya cepat
menaik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir ia mempunyai kedudukan wakil
perwira yang mengepalai pasukan yang dikirim dari tempatnya.
Dalam pertempuran
yang terjadi dengan tentara Prancis ia menunjukkan keberanian luar biasa dan
segera diangkat menjadi kolonel. Ketika tentara Prancis keluar dari Mesir di
tahun 1801, Muhammad Ali turut memainkan peranan penting dalam kekosongan
keuasaan politik yang timbul sebagai akibat dari kepergian tentara itu. Kaum Mamluk,
yang dahulu lari dikejar Napoleon, kembali ke Kairo untuk memegang kekuasaan
mereka yang lam. Dari Istambul datang pula Pasya dengan tentar Usmani. Kedua
golongan ini berusaha keras untuk merebut kekuasaan bagi pihaknya. Muhammad Ali
mengambil sikap mengadu domba antara keduanya. Simpati rakyat Mesir yang
menaruh rasa benci kepada kaum Mamluk dapat diperolehya. Pasukan yang
dipimpinnya bukan terdiri dari orang-orang Turki, tetapi dari orang-orang
Albania. Kedua unsur ini memperkuat kedudukannya untuk memasuki pertarungan
merebut kekuasaan.
Muhammad Ali mulia
dengan memukul saingan yang terlemah. Pasukan yang dikirim Sultan ia kepung.
Pasya menyerah dan dipaksa kembali ke Istanbul. Muhammad Ali mengangkat dirinya
sendiri sebagai Pasya yang baru dan akhirnya terpaksa diakui oleh Sultan Usmani
pada tahun 1805.
Setelah menduduki
puncak kekuasaan Mesir ia pun mulai memusnahkan pihak-pihak yang mungkin akan
menentang kekuasaanya, terutama kaum Mamluk. Kesempatan timbul, ketika yang
tersebut belakangan ini berusaha untuk membunuh Muhammad Ali, tetapi konspirasi
mereka ketahuan, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan dibunuh. Muhammad Ali
bersikap seolah-olah mengampuni yang lain dan pada suatu ketika mengundang
mereka berpesta di istananya di Bukit Mukattam. Setelah mereka semua masuk,
pintu yang membawa ke tempat istana dikunci dan sebelum pesta selesai ia beri
tanda untuk menyembelih mereka semuanya. Menurut cerita dari 470 kaum Mamluk,
hanya seorang yang dapat melepaskan diri dengan melompat dari pagar istana ke
jurang yang ada di Bukit Mukattam itu. Kudanya mati tetapi ia selamat dengan
pergi lari. Kaum Mamluk yang ada diluar Kairo kemudian diburu, mana yang dapat
dibunuh dan sebagian kecil dapat melarikan diri ke Sudan. Pada akhir tahun
1811, kekuatan kaum Mamluk di Mesir telah habis.
Sekarang Muhammad
Ali berkuasa penuh. Ia telah menjadi Wakil Sultan dengan resmi di Mesir dan
rakyat Mesir sendiri tidak mempunyai organisasi dan kekuatan untuk menentang
kekuaasaanya. Ia pun bertindak sebagai diktator. Muhammad Ali, seperti
raja-raja Islam lainnya juga mementingkan soal yang bersangkutan dengan militer
karena ia yakin bahwa kekuasaanya hanya dapat dipertahankan dan di perbesar
dengan kekuatan militer. Tetapi berlainan dengan raja-raja lain, ia mengerti bahwa
di belakang kekuatan militer itu mesti ada kekuatan ekonomi yang sanggup
membelanjai pembaharuan dalam bidang militer dan bidang-bidang yang
bersangkutan denganurusan militer. Jadi ada duahal yang penting baginya,
kemajuan ekonomi dan kemajuan militer dan kedua hal ini menghendaki ilmu-ilmu
modern yang telah dikenal orang di Eropa.
Kaum Mamluk yang
telah dimusnahkannya itu, hartanya dirampas dan demikian pula harta-harta orang
kaya di Mesir dikuasainya, sehingga pada akhirnya segala kekayaan Mesir berada
di bawah kekuasaannya. Mesir adalah negeri pertanian dan untuk mempertinggi
hasil-hasil pertanian, di samping memperbaiki irigasi lama, ia mengadakan
irigasi baru , memasukkan penanaman kapas dari India dan Sudan (1821-1822) dan
mendatangkan ahli pertanian dari Eropa untuk memimpin pertanian. Untuk kemajuan
ekonomi ia mengadakan industri modern Mesir, tetapi gagal karena kekurangan
tenaga ahli Mesir dan ketiadaan pasaran.
Sungguhpun ia
seorang buta huruf ia mengerti akan pentingnya arti pendidikan dan ilmu
pengetahuan untuk kemajuan sesuatu negara. Dalam hal ini ia terpengaruh oleh
cerita-cerita pembesar yang berada di sekitarnya mengenai unsur-unsur dan
hal-hal baru yang dibawa ekspedisi Napoleon. Untuk membantunya dalam bidang
ilmu penegtahuan ini ia mendirikan Kementerian Pendidikan. Untuk pertama
kalinya di Mesir ia buka Sekolah Militer di tahun 1815, Sekolah Teknik di tahun
1816 dan Sekolah Kedokteran di tahun 1827. Guru-gurunya didatangkan dari Barat
dan karena tak pandai berbahasa Arab , maka ceramah-ceramah mereka
diterjemahkan oleh penerjemah Arab dan Turki. Selain mendatangkan ahli-ahli
dari Eropa, ia mengirim siswa-siswa untuk bekajar ke sana. Menurut statistik di
antara 1813 dan 1849, ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris
dan Austria. Di Paris didirikan satu Rumah Mesir untuk menampung
pelajar-pelajar itu. Yang dipentingkan ialah ilmu kemiliteran darat dan laut,
arsitek, kedokteran dan obat-obatan. Semua ilmu yang tersebut belakangan ini
dekat hubungannya dengan soal kemiliteran.
Selain dari-dari
soal-soal militer ia mementingkan pengetahuan tentang administrasi negara.
Tetapi sistem politik di Eropa tak menarik perhatiannya. Ia terus memerintah
sebagai diktator. Ia mempunyai penasehat-penasehat politik, tetapi putusan
terakhir terletak di tangannya Mahasiswa yang dikirimnya ke Eropa tidak
dianjurkan, malahan dilarangnya untuk mempelajari ilmu politik. Kepada
mahasiswa yag menerangkan bahwa di Eropa ia mempelajari soal-soal politik ia
menerangkan: “ Di sini saya yang memrintah. Pergi kembali dan terjemahkan
buku-buku militer”.2 Dan ketika seorang dari menteri-menterinya
menerjemahkan kepadanya buku Machiavelli tentang sebab-sebab naik dan jatuhnya
sesuatu negara dan bagaimana caranya untuk mengelakkan keruntuhan negara,
bagiku ia tak mengandung sesuatu yang baru. Semuanya adalah hal-hal yang biasa.
Machiavelli tak membawa hal-hal baru yang dapat saya pelajari. Pengetahuan saya
tentang tipu muslihat pemerintahan lebih banyak daripada pengetahuannya. Buku
itu tak perlu engkau terjemahkan lagi.3
Hal-hal ini memberi
gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan
tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang
akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke
Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya dan oleh karena itu
mahasiswa itu berada di bawah pengawasan yang ketat. Mereka tak diberi
kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa,
terutama Perancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan
Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai
demokrasi, parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republik,
konstitusi, kemerdekaan berpikir, dinamisme Barat diperbandingkan dengan sikap
statis Timur, cinta tanah air (patriotisme), keadilan sosial dan sebagainya,
disamping ilmu-ilmu teknik, falsafat, pendidikan, alam (paham evolusi Darwin)
kemasyarakatan dan sebagainya.[2]
Pada
mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilmu-ilmu baru hanya terbatas bagi
orang-orang yang telah ke Eropa dan tahu bahasa Barat. Kemudian paham-paham ini
mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada
permulaannya dengan perantara kontak mereka dengan mahasiswanya yang kembali
dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kedalam
bahasa Arab. Penerjemahan buku-bukuasing ke dalam bahasa Arab mulanya
disesuaikan dengan sekolah-sekolah yang dibentuk Muhammad Ali. Selain dari
Sekolah Militer, Teknik dan Kedokteran
tersebut di atas didirikan pula Sekolah Obat-obatan (apoteker) di tahun
1829, Sekolah Pertambangan di tahun 1834, Sekolah Pertanian di tahun 1836 dan
Sekolah Penerjemahaan di tahun 1836, boleh dikatakan bahwa sekolah serupa ini
barulah kali ini didirikan di dunia islam.
Penerjemahan
buku-buku mulai berjalan lancar setelah di dirikan Sekolah Penerjemahan di
tahun 1836. Sekolah ini beberapa tahun kemudian diserahkan kepada pimpinan
Rifa’ah al-Tahtawi, seorang ulama Azhar yang pernah belajar di Paris dan
kemudian ada pengaruhnya dalam penyiaran ide-ide Barat di Mesir. Di sekolah ini
terdapat ahli-ahli yang tahu akan vaknya masing-masing. Usaha-usaha
penerjemahaan pun mulai membawa hasil yang lebih baik dalam waktu yang lebih
singkat. Bagian penerjemahan di sekolah ini dibagi empat: Bagian Ilmu Pasti,
Bagian Ilmu Kedokteran dan Ilmu Fisika, Bagian Sastra dan Bagian Turki. Yang
akhirnya ini bertugas menerjemahkan buku-buku pedoman militer yang akan dipakai
oleh perwira Turki yang terdapat dalam angkatan perang Muhammad Ali.
Yang penting di antara bagian-bagian
tersebut vagi perkembangan ide-ide Barat ialah Bagian Sastra. Di antara
buku-buku yang diterjemahkan ialah buku-buku mengenai falsafat, riwayat hidup
orang-orang besar di Eropa, logika, ilmu bumi, kunjungan-kunjungan ke
negara-negara asing, politik, ilmu asal manusia (antropologi) dan lain-lain.
Dari penerjemahan buku-buku Eropa ini. Orang-orang Mesir selanjutnya mulai
kenal pada negara-negara Barat, negara-negara yang dijumpai orang Barat di
Timur Jauh dan Amerika. Dunia yang digambarkan buku-buku Barat itu jauh
berlainan dari dunia yang mereka kenal dari buku yang dikarang orang Islam di
zaman klasik. Juga mereka mulai kenal dengan falsafat Yunani, adat istiadat
Barat yang jauh berlainan dengan adat istiadat Islam. Kalau sebelumnya orang
Barat bagi orang islam adalah semuanya orang Prancis, sekarang mulai mereka
tahu bahwa orang-orang Barat terdiri dari berbagai bangsa, ada Perancis, ada
Jerman, ada Inggris, ada Italia dan sebagainya.
Diperbandingkan dengan gerakan
penerjemahan di abad ke-9, perhatian gerakan penerjemahan abad ke-19 agak
terbatas, yaitu pada soal teknik dan sedikit sekali mengenai sejarah, hukum,
apalagi falsafat. Di abad ke-9, gerakan penerjemahan itu lebih luas, meliputi
ilmu pengetahuan Yunani, logika, ilmu pasti, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan,
ilmu bintang dan falsafat. Perbandingan besar lagi di antara kedua gerakan ini
ialah bahwa gerakan penerjemahan abad ke-9 terjadi di ketika uamat Islam dalam
keadaan makmur dan menuju kemajuan, sedangkan di Barat di waktu itu berada
dalam zaman kegelapan. Dalam suasana yang demikian pengetahuan yang diajarkan
oleh buku-buku Yunani itu cepat membawa kepada kemajuan umat Islam.
Gerakan penerjemahan di abad ke-19
ini terjadi di ketika suasana dunia Barat dan Islam berada dalam keadaan
sebaliknya. Dunia Islam sedang dalam keadaan kemunduran, sedang Dunia Barat
dalam keadaan maju. Penerjemahan sekarang dengan demikian tidak cepat membawa
kemajuan Islam seperti di abad ke-9. Dahulu Dunia Islamlah yang mempunyai
kemajuan tinggi, boleh dikata tidak ada saingan, sedang sekarang Dunia Islam
mempunyai saingan besar, yaitu Barat yang kemajuannya terus berkembang. Di
ketika Islam di zaman sekarang meningkat sedikit, Barat terus meningkat pula,
sehingga perbedaan antara kedua kebudayaan ini tetap seperti pada masa seratus
tahun yang lalu.
Al-Tahtawi
Rifa’ah Badawi Rafi’al al-Tahtawi adalah pembawa pemikiran
pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di
Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi turut memainkan
peranan. Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir
bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Ketika Muhammad Ali
mengambil ahli seluruh kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa
kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi
ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai
dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.
Ia adalah murid
kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Attar yang banyak mempunyai hubungan
dengan ahli-ahli ilmu penegtahuan Prancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir.
Ia selalu mengadakan kunjungan kepada ahli-ahli itu untuk menetahui kemajuan
ilmu pengetahuan mereka. Kunjungan itu mereka terima dengan senang hati, karena
mereka dapat memperdalam pengetahuan mereka tentang bahasa Arab dari pergaulan
dengan beliau sebagai ulama Al-Azhar.
Syaikh Al-‘Attar
melihat bahwa Al-Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam
pikirannya dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk
senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari studi di Al-Azhar,
Al-Tahtawi mengajar di sana selama dua tahun, kemudian diangkat emnjadi imam
tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi imam mahasiswa
yang dikirim Muhammad Ali ke Paris. Ia tinggal di sana selama lima tahun. Atas
pengaruh ajaran Syaikh Al-‘Attar, masa itu tidak dipergunakannya hanya untuk
pekerjaan, tetapi disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar.
Imam-imam lainnya kurang mempergunakan kesempatan itu untuk menambah ilmu
pengetahuan mereka.
Al-Tahtawi pun segera
belajar bahasa Prancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris. Dan di Paris
ia menggaji guru khusus untuk menolongnya dalam bahasa Prancis. Dalam masa
singkat ia menguasai bahasa itu dan selama lima tahun di Paris ia menerjemahkan
12 buku dan risalah, di antaranya risalah
tentang sejarah Alexander Macedonia, buku mengenai pertambangan, buku mengenai
akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, buku menegenai ilmu bumi, risalah
mengenai ilmu teknik, risalah mengenai hak-hak manusia, risalah tentang
kesehatan jasmani dan sebagainya. Waktu di Paris banyak dipergunakannya untuk
membaca buku-buku Prancis dengan pertolongan gurunya, antara lain buku-buku
sejarah, teknik, ilmu bumi, olitik dan lain-lain. Ia juga membaca buku-buku
karangan Montesquiue, Voltaire dan Rousseau.
Buku-buku yang
dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Kelihatannya ia
dengan sengaja membaca lapangan-lapangan yang begitu berbeda dan tidak
mencurahkan perhatiannya ke suatu lapangan tertentu, karena tujuannya ialah
menerjemahkan buku-buku Prancis ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian
pembaca-pembaca Arab akan dapat mengetahui ilmu-ilmu pengetahuan Barat yang ia
rasa perlu mereka ketahui untuk kemajuan mereka. Dan ujiannya yang terakhir di
Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sebagai bukti bagi kesanggupannya
kedalam hal ini ia mengemukakan kedua belas buku dan risalah tersebut di atas.
Panitia penguji berpendapat bahwa ia memang telah cakap dalam hal ini dan bahwa
Mesir akan mendapat manfaat dari kecakapannya menerjemahkan buku-buku yang
penting dan perlu bagi kemajuan negeri itu.
Di tahun 1836
didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah
Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa-bahasa yang diajarkan di sekolah itu ialah Arab,
Prancis, Turki, Persia, Italia dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah dan ilmu
bumi. Pimpinan sekolah ini diserahkan kepadanya. Selain dari mengajar, dalam
tugasnya termasuk pula mengoreksi buku-buku yang diterjemahkan murid-muridnya.
Menurut keterangan hampir seribu buah buku yang diterjemahkan sekolah ini
kedalam bahasa Arab. Setelah Muhammad Ali meninggal di tahun 1848 cucunya
Abbas, menjadi Pasya di Mesir. Abbas , karena hal-hal yang kurang jelas, tidak
senang dengan al-Tahtawi dan ia dipindahkan ke Sudan untuk mengepalai sebuah
sekolahan dasar di sana. Setelah Abbas wafat di
tahun 1854, ia dipanggil kembali ke Kairo oleh Said, Pasya yang baru. Ia
diangkat menjadi “Kepala Sekolah Militer”. Di sana ia pentingkan pelajaran
bahasa asing dan mengadakan satu bagian khusus untuk penerjemahan. Di tahun
1863, Khedewi Ismail mengadakan “Badan Penerjemahan Undang-Undang Prancis” dan
pimpinannya diserahkan kepada al-Tahtawi.
Sekian jauh
aktivitasnya kelihatan berpusat pada penerjemahan dan mengepalai
sekolah-sekolah. Al-Tahtawi memang berpendapat bahwa penerjemahan buku-buku
Barat kedalam bahasa Arab penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu
yang membawa kemajuan Barat dan dengan demikian umat Islam berusaha pula
memajukan diri mereka. Di samping aktivitas dalam lapangan karang mengarang. Di
tahun 1828, tentunya setelah mendengar pentingnya arti surat kabar resmi yang
diterbitkan Napoleon sewaktu ia berada di Mesir, Muhammad Ali menerbitkan pula
satu surat kabar resmi, yang diberi nama Al-Waqa-i’ul Misriyah. Al-Tahtawi
pernah menjadi pemimpinnya dan di bawah pimpinannya surat kabar itu bukan hanya
memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan tentang kemajuan Barat.
Di tahun 1870
didirikan pula majalah Raudatul Madaris yang bertujuan memajukan bahasa Arab
dan menyebarkan ilmu-ilmu penegtahuan modern kepada khalayak ramai. Majalah itu
mengandung tulisan-tulisan tentang sastra Arab, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu
akhlak, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pasti dan lain-lain.
Selain dari mengarang untuk majalah-majalah tersebut di atas
Al-Tahtawi juga mengarang buku-buku. Di antara buku-buku yang terpenting ialah
:
Takhlisul-Ibriz fi
Talkhisi Bariz (“Intisari dari Kesimpulan tentang Paris”), mengandung
kesan-kesan Al-Tahtawi tentang perjalanan ke Paris, selama ia tinggaldi sana
dan perjalanan pulang ke Mesir. Buku itu bukan hanya menceritakan sejarah
perjalanannya, tetapi yang terpenting menerangkan hal-hal bersangkutan dengan
hidup dan kemajuan orang Eropa sebagai dilihatnya di Paris. Di dalamnya ia
terangkan sistem pemerintahan Prancis, revolusi di tahun 1789, cara
pemeliharaan kesehatan penduduk Paris (rumah sakit, pengobatan dan sebagainya),
ilmu-ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah-sekolah Paris, konstitusi
Prancis, adat istiadat Eropa dan sebagainya. Karena pentingnya arti buku ini
untuk mengetahui hidup dan kemajuan Eropa bagi orang Islam di waktu itu, ia
terjemahkan ke dalam bahasa Turki dan dianjurkan oleh Muhammad Ali supaya di
baca pegawau pemerintahannya.
Buku kedua,
Manhijul-albab al-Misriyyah, fi manahijil-adab al-‘Asriyyah (“ Jalan Bagi Orang
Mesir untuk Mengetahui Literatur Modern”), menerangkan betapa pentingnya
kemajuan ekonomi bagi kemajuan sesuatu negara. Menurut pendapatnya masyarakat
manusia mempunyai dua tujuan : menjalankan perintah Allah dan mencari
kesejahteraan di dunia ini. Kesejahteraan akan tercapai dengan dua jalan:
berpegang pada agama serta budi pekerti baik dan kemajuan ekonomi. Mesir
ekonominya bergantung pada pertanian dan ia memuji-muji usaha-usaha yang di
jalankan Muhammad Ali dalam lapangan ini. Juga ia menekankan pendapat ahli
ekonomi Eropa, bahwa Mesir mempunyai potensi besar dalam lapangan ekonomi.
Dengan memajukan ekonomi ini , kesejahteraan dunia akan tercapai. Hal ini
adalah baru, karena tradisi dalam Islam tidak mementingkan hidup di dunia.
Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa pemerintahan yang baiklah yang dapat memajukan ekonomi, dan
oleh karena itu buku tersebut seterusnya menerangkan ketatanegaraan yang baik
menurut paham tradisional dalam islam. Raja atau sultan mempunyai kekuasaan
eksekutif yang mutlak, tetapi kekuasaannya itu harus dibatasi oleh syariat dan
syura dengan para ulama. Syariat adalah di atas raja. Raja harus menghormati
ulama dan memandang mereka sebagai pembantunya dalam soal pemeritahan. Syariat,
menurut pendapatnya harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi modern, dan
kaum ulama harus mengetahui kemajuan modern untuk dapat menafsirkan syariat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Oleh karena itu mereka harus
mempelajari ilmu pengetahuan Barat. Di zaman dahulu, ia menjelaskan lebih
lanjut, kaum ulama mempelajari falsafat dan ilmu akal yang ada di zaman mereka.
Ahli-ahli yang mempunyai ilmu pengetahuan modern seperti dokter, insinyur dan
lain-lain harus diajak bermusyawarah oleh raja dalam menentukan siasat negara.
Masyarakat sesuatu
negara, menurut pendapatnya tersusun dari empat golongan: raja, kaum ulama dan
ahli-ahli, tentara dan kaum produsen. Dua golongan pertama adalah golongan
rakyat yang harus patut dan setia kepada pemerintah. Sesungguhnya raja
bertanggung jawab hanya kepada Allah saja, raja tak boleh melupakan kepentingan
rakyat. Raja harus selamanya ingat kepada Allah dan siksaan yang disediakan-Nya
bagi orang yang zalim. Perasaan takut pada Allah akan membuat raja bertindak
baik bagi rakyatnya. Selain dari takut kepada Tuhan, tindak tanduk seorang raja
dikontrol pula oleh “pendapat umum”. Oleh sebab itu antara yang memerintah dan
yang diperintah harus ada hubungan yang baik. Orang-orang pemerintahan dan
administrasi harus mempunyai didikan yang baik dan sesuai untuk tugasnya.
Seorang kepala kampung pun harus terlebih dahulu di didik dan dilatih sebelum
ia menempati kedudukannya sebagai kepala kampung.
Tadi telah
dijelaskan bahwa salah satu jalan untuk kesejahteraan menurut Al-Tahtawi, ialah
berpegang pada agama dan budi pekerti yang baik. Untuk itu pendidikan perlu.
Hal ini dijelaskan dalam buku Al-Mursyidul-Amin
lil Banati wal Banin (“ Petunjuk bagi Pendidikan Putra dan Putri”).
Pendidikan dasar mesti bersifat universal dan sama bentuknya untuk segala
golongan. Didikan menengah mesti mempunyai kualitas tinggi. Anak-anak perempuan
mesti memperoleh didikan yang sama dengan anak lelaki. Kaum ibu harus mempunyai
didikan, agar dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi teman suami dalam
kehidupan intelek dan sosial dan bukan hanya menjadi istri yang dapat memenuhi
kebutuhan jasmani keluarganya juga agar dapat bekerja sebagai lelaki dalam
batas-batas kesanggupan dan pembawaan mereka, selanjutnya agar mereka dapat
melepaskan diri dari kekosongan waktu di rumah tangga dan dari kebiasaan
mengobrol dengan tetangga. Orang yang mengatakan menyekolahkan anak wanita
adalah makruh, demikian Al-Tahtawi, lupa bahwa istri Nabi, Hafsah dan Aisyah,
pandai membaca dan menulis.4 Sebelum Qasim Amin muncul, Al-Tahtawi
telah menganjurkan: tahrir al-mar-ah (emansipasi wanita).
Tujuan pendidikan
bukanlah hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi terutama untuk membentuk
rasa kepripadian dan untuk menanamkan hubb al-watan (rasa patriotisme).
Patriotisme adalah dasar yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu
masyarakat yang mempunyai peradaban. Al-Tahtawi adalah orang Mesir yang pertama
sekali menganjurkan patriotisme. Paham bahwa seluruh dunia islam adalah tanah
air tiap orang muslim, telah mulai berubah tekanannya. Tanah air sekarang
ditekankan artinya pada tanah tumpah darah seseorang dan bukan seluruh dunia
islam. Jadi ada dua persaudaraan, persaudaraan Islam dan persaudaraan setanah
air. Mana yang lebih penting di antara kedua ini bagi Al-Tahtawi tidak jelas.
Tapi perkembangan dalam dunia Islam selanjutnya membuat persaudaraan setanah
air lebih kuat daripada persaudaraan keislaman. Kata-kata watan dan hubb
al-watan kelihatan selalu dipakai oleh Al-Tahtawi dalam buku kedua dan ketiga.
Dalam kewajiban seseorang terhadap tanah airnya termasuk mengadakan persatuan,
tunduk kepada undang-undang dan sedia mengorbankan harta dan diri. Di antara
hak-hak yang terpenting bagi seorang warga negara ialah kemerdekaan, karena
kemerdekaanlah yang dapat mewujudkan masyarakat yang sejati dan patriotisme
yang kokoh. [3]
Watan yang
dimaksudnya ialah Mesir. Dalam buku lain, Anwaru Taufiq al-Jalil fi Akhbari
Misra, wa Tausiqi Bani Ismail (“Cahaya Taufik Yang Agung pada berita-berita
Mesir dan Pengukuhan Anak Keturunan Khedewi Ismail”), yang mengandung sejarah
Mesir dari mulai zaman Firaun, ia memperlihatkan kebanggaannya akan perdaban
dan kemajuan ekonomi Mesir di zaman Firaun. Mesir modern adalah lanjutan dari
Mesir zaman firaun dan kerena itu ia tak enggan menulis syair-syair yang memuji
Firaun. Mesir modern betul islam, tetapi bukan semua putra Mesir beragama
Islam. Orang-orang yang bukan beragama Islam harus diberi kemerdekaan beragama
dan Mesir Islam dan Mesir bukan Islam adalah bersaudara. Semua ini adalah
konsep baru bagi dunia Islam di zaman Al-Tahtawi. Persaudaraan yang dikenal
orang adalah persaudaraan keislaman dan tanah air adalah seluruh negara islam
dan sejarah adalah sejarah Islam. Dalam konsep baru ini terdapat benih
nasionalisme.
Tadi telah
disebutkan bahwa Al-Tahtawi berpendapat bahwa kaum ulama, harus mengetahui
ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan
modern. Ini mengandung arti bahwa ijtihad yang telah tertutup pintunya semenjak
abad ke-11 Masehi, bagi Al-Tahtawi adalah terbuka, tetapi ia kelihatannya belum
berani menyatakan pendapat ini dengan jelas dan terang-terangan. Masyarakat
Islam belum dapat menerima pendapat yang untuk zaman itu masih dianggap terlalu
radikal. Dalam bukunya tentang ijtihad dan taklid, Al-Qaul as-Sadid
fil-Ijtihadi wat-Taqlid (“Perkataan yang Benar tentang Ijtihad dan Taklid”), Al-Tahtawi
hanya menerangkan syarat-syarat dan rupa-rupa ijtihad yang ada dalam Islam,
ijtihad mutlak, ijtihad dalam mazhab, ijtihad dalam fatwa. Tetapi bagaimanapun,
penjelasan Al-Tahtawi ini menarik
perhatian orang pada Ijtihad dan akhirnya membawa pada pendapat bahwa pintu
ijtihad adalah terbuka dan bukan tertutup.
Mengenai soal
fatalisme ia mencela orang Paris karena mereka tak percaya pada kada dan kadar,
sedang pendapat yang semestinya menurut Al-Tahtawi ialah orang harus percaya
kada dan kadar Tuhan, tetapi di samping itu harus berusaha. Tidak boleh manusia
mengembalikan segala-galanya pada kada dan kadar, karena pendirian serupa ini
menunjukkan kelemahan. Orang tak boleh berserah kepada kada dan kadar tetapi
harus dalam segala hal berusaha terlebih dahulu dan kemudian baru berserah
kepada kehendak Tuhan. Orang Eropa berkepercayaan bahwa manusia dapat
memperoleh apa yang dikehendakinya dengan kemauan dan usahanya sendiri dan bila
ia gagal dalam usahanya, itu bukan karena kada dan kadar Tuhan, tetapi karena
salah perkiraan atau kurang dalam berpikir atau kurang kuat berusaha. Disini
terdapatlah ide dinamisme sebagai lawan dari sikap statis yang umum terdapat
dalam Dunia Islam pada waktu itu.
Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam
Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke
negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkannya di Mesir dan oleh
karena itu bukanlah tidak pada tempatnya kalau uraian mengenai pemikiran dan
aktivitasnya dimasukkan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir.
Jamaluddin lahir di
Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897.
Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost
Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana
Mentri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik dalam negeri
Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Al-Afghani memilih pihak yang
melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afghani
merasa lebih aman meningggalkan tanah tempat kelahirannya dan pergi ke India di
tahun 1869.
Di India ia juga
merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan
Inggris dan oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di
Kairo dan pada mulanya menjauhi persoalan politik Mesir dan memusatkan
perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat ia tinggal menjadi
tempat pertemuan murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Di sanalah ia memberikan
kuliah dan mengadakan diskusi.
Menurut keterangan
Muhammad Salam Madkur,1 para
peserta terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dari
Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi lain dan juga pegawai-pegawai pemerintah.
Di antara murid-murid Al-Afghani itu ada yang kemudian menjadi pemimpin
kenamaan di Mesir seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaglul, pemimpin kemerdekaan
Mesir.
Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun
1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat.
Untuk dapat bergaul dengan orang-orang politik di Mesir ia memasuki perkumpulan
Freemason Mesir. Di antara anggota perkumpulan ini terdapat Putra Mahkota
Taufik.[4]
Di ketika itu ide-ide baru disiarkan Al-Tahtawi melalui buku-buku
terjemahan dan karangannya, telah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, di
antaranya ide Trias Politica dan patriotisme. Telah matang waktunya untuk
membentuk suatu patrai politik, maka pada tahun 1879 atas usaha Al-Afghani
terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (Patrai Nasional). Slogan “Mesir untuk
orang Mesir” mulai kedengaran. Tujuan patrai ini selanjutnya ialah
memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur
Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer.
Atas sokongan partai
ini Al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa di waktu itu,
yakni Khedewi Ismail, untuk diganti dengan Putra Mahkota Taufik. Yang tersebut
akhir ini berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang dituntut
Al-Hizb al-Watani. Tetapi setelah menjadi Khedewi, Taufik, atas tekanan Inggris
mengusir Al-Afghani keluar dari Mesir di tahun 1879. Masa delapan tahun menetap
di Mesir itu menurut pihak Mesir sendiri mempunyai pengaruh yang tidak kecil
bagi umat Islam di sana. Menurut M.S. Madkur, Al-Afghanilah yang membangkitkan
gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir
modern”, demikian Madkur, “adalah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin al-Afghani”.6
Dari Mesir
Al-Afghani pergi ke Paris dan di sini ia dirikan perkumpulan Al-‘Urwah
al-Wusqa. Anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria,
Afrika Utara dan lain-lain. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah
memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat islam kepada
kemajuan. Majalah Al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan perkumpulan ini cukup
terkenal, juga di Indonesia, tetapi tidak berumur panjang. Penerbitannya
terpaksa dihentikan karena Dunia Barat melarang pemasukannya ke negara-negara
Islam yang berada di bawah kekuasaan mereka.
Sewaktu di Eropa,
Al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolph Churchil dan Drummond
Wolf tentang masalah Mesir dan tentang penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di
Sudan secara damai. Wolf meminta bantuannya untuk mewujudkan hubungan
persahabatan antara Kerajaan Usmani, Persia dan Afghanistan. Persahabatan
ketiga negara itu perlu bagi Inggris dalam menentang politik Rusia di Timur
Tengah. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.
Di tahun 1889
Al-Afghani diundang datang ke Persia untuk menolong mencari penyelesaian
tentang persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris yang
dianut pemerintah Persia ketika itu. Al-Afghani tidak setuju dengan pemberian
konsesi-konsesi kepada Inggris dan akhirnya timbul pertikian paham antara
Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Al-Afghani melihat bahwa Syah perlu
digulingkan, tetapi sebelum sempat menjatuhkannya ia telah dipaksa keluar dari
Persia. Di tahun 1896 Syah dibunuh oleh seorang pengikut Al-Afghani.[5]
Atas undangan Sultan
Abdul Hamid, Al-Afghani selanjutnya pindah ke Istambul di tahun1892.
Pengaruhnya yang besar di berbagai negara Islam diperlukan dalam rangka
pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Bantuan dari
negara-negara Islam dibutuhkan Sultan Abdul Hamid untuk menentang Eropa yang di
waktu itu telah kian mendesak kedudukan Kerajaan Usmani di Timur Tengah.
Tetapi kerja sama
antara Al-Afghani, sebagai pemimpin yang mempunyai pemikiran demokratis tentang
pemerintahan dengan Abdul Hamid sebagai Sultan yang masih mempertahankan
kekuasaan otokrasi lama, tidak bisa tercapai. Karena takut akan pengaruh
Al-Afghani yang demikian besar, kebebasannya dibatasi Sultan dan ia tak dapat
keluar dari Istambul. Ia tetap tinggal di sana sampai ia wafat di tahun 1897,
pada lahirnya sebagai tamu yang mendapat penghormatan, tetapi pada hakikatnya
sebagai tahanan Sultan.
Melihat kepada
kegiatan politik yang demikian besar di tempat yang demiian luas, pada
tempatnyalah kalau dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin
politik dari pada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam. Tidak salah
kalau Stoddard7 mengatakan bahwa ia sedikit sekali memikirkan
masalah-masalah agama dan sebaliknya memusatkan pemikiran dan aktivitas dalam
bidang politik. Dan tidak pula mengherankan kalau Goldziher8
memandang Al-Afghani terutama sebagai tokoh poitik dan bukan sebagai pemimpin
pembaharuan dalam soal-soal agama.
Tetapi dalam pada
itu tak boleh dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan Al-Afghani
sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Kegiatan
politik itu timbul sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-pemikirannya
tentang pembaharuan. Ia pada hakikatnya adalah sekaligus pemimpin pembaharuan
dan pemimpin politik. Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa
Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau
kelihatan ada pertentang ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa
perubahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuain dapat diperoleh dengan
mengadakan interpretasi baru tentang ajaran islam seperti yang tercantum dalam
Al-qur’an dan Hadis. Untuk interpretsi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad
baginya terbuka.[6]
Kemunduran umat
islam bukanlah karena islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan
perubahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang
dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya hanya
tinggal dalam ucapan dan di atas kertas. Sebagian dari ajaran-ajaran asing itu
dibawa orang-orang yang pura-pura bersikap suci, sebagian lain oleh
oraang-orang yang mempunyai keyakinan yang menyesatkan dan sebagian lain lagi
oleh hadis-hadis buatan. Paham kada dan kadar umpamanya, demikian Al-Afghani,
telah dirusak dan diubah menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada
keadaan statis. Kada dan kadar sebenarnya mengandung arti bahwa segala sesuatu
terjadi menurut ketentuan sebab musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu
dari mata rantai sebab musabab itu. Di masa yang silam keyakinan pada kada dan
kadar serupa ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk
menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karena percaya pada kada dan
kadar inilah maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan dapat
menimbulkan peradaban yang tinggi.9
Suatu sebab lain
lagi ialah salah pengertian tentang maksud hadis yang mengatakan bahwa umat
Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat
umat Islam tidak berusaha mengubah nasib mereka. Sebab-sebab kemunduran yang
bersifat politis ialah perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam,
pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tak
dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan
administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing.
Lemahnya rasa
persaudaraan Islam juga merupakan sebab bagi kemunduran umat Islam. Tali
persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan awam saja, tetapi juga di
kalangan alim ulama. Ulama Turki tidak kenal lagi pada ulama Hejaz, demikian
pula ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama Afghanistan. Tali
persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah terputus. Jalan untuk
memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Al-Afghani, ialah melenyapkan
pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya dan kembali kepada
ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti
luhur dihidupkan kembali, dan demikian pula kesediaan berkorban untuk
kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar, umat Islam akan
dapat begerak mau mencapai kemajuan.[7]
Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan
demokrasi. Kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin
masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman. Pengetahuan manusia secara
individual terbatas sekali. Islam dalam pendapat Al-Afghani menghendaki
pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat
dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-undang dasar.
Di atas
segala-galanya persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu
mengadakan kerja sama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh
kemajuan. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam
Islam. Semasa hidupnya Al-Afghani memang berusaha untuk mewujudkan persatuan
itu. Yang terkandung dalam ide Pan-Islam ialah persatuan seluruh umat Islam.
Tetapi usahanya tidak berhasil. Bagaimanapun ide-idenya banyak mempengaruhi
pemikiran Muhammad Abduh tentang pembaharuan Islam. Dan Abduh, sebagai gurunya
juga mempunyai pengaruh besar di Dunia Islam.
[1] M.Q. al-Baqli,ed., Al-Mukhtar Min Tarikh
al-Jabarti (Kairo: Matabi’al-Sya’b, 1958), hlm.287
2
I. Abu Lughod, Arab Redisicovery of Europe
(Princeton: Princeton University Press, 1963), hlm
.40.
3 A. Hourani, Arabic Thought
in the
Liberal Age 1798-1939
(London: Oxford University
Press, 1962), hlm.
52
8
The Encyclopedia of Islam, ed. 1965, pada entri “Jamal al-Din al-Afghani”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar