Rabu, 13 Desember 2017

MASA PEMBAHARUAN DI MESIR



MASA PEMBAHARUAN DI MESIR
Setelah selesainya Revolsi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan memutuskan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu di letakkan di bawah kekuasaan Prancis. Disamping itu Perancis perlu pada pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatannya mempunyai tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong Prancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
          Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sesungguhpun sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, tempat ini pada hakikatnya merupakan bagian dari Kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan di abad ke-17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi tempat otonom. Sultan-sultan Usmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah tempat ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar.
          Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu tempat pegunungan yang terletak di tempat perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke Kairo untuk diberi didikan militer dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka meningkat dan di antaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi. Setelah jatuhnya prestise sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan secara kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul. Kepala mereka disebut Syeikh al-Balad dan syeikh inilah yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tak pandai berbahasa Arab, hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.
          Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh. Sembilan hari kemudian, Rasyid suatu kota yang terletak di sebelah Timur Alexandria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di tempat piramid di dekat Kairo. Pertempuran terjadi di tempat itu dan dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetap di sini mereka tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa lari lagi ke tempat Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandria, Napoleon telah dapat mengusai Mesir.
          Usaha Napoleon untuk menguasai tempat-tempat lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara itu perkembangan politik di Prancis menghendaki kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.
          Napoleon datang ke Mesir bukan hanya membawa tentara. Dalam rombongannya terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Napoleon juga membawa dua unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga keperluan ilmiah. Untuk hal tersebut yang akhir ini banyak di bentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d’Egypte, yang mempunyai empat bagian : Bagian Ilmu Pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama La Decade Egyptienne. Di samping itu ada lagi suatu majalah, Le Courrier d’Egypte, yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang ikut dengan ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi ini orang mesir tidak kenal pada percetakan, majalah atau surat kabar.
          Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang berkerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adat istiadatnya, bahasa dan agamanya. Di sinilah orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
          Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga itu di tahun 1799. Yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Di antara ahli-ahli yag dibawa Napoleon memang terdapat kaum orientalis yang pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang mennerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab. Alat-alat ilmiah, seperti teleskop,mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi dan sebagainnya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu , kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
          Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut :
“ Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita.”1
          Di samping kemajuan materi ini, Napoleon juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis, seperti :
1. Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada Undang-undang Dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen. Sistem ini berlainan sekali dengan sistem pemerintahan absolut raja-raja Islam, yang tetap menjadi raja selama ia masih hidup dan kemudian digantikan oleh anaknya, tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena konstitusi atau parlemen memang tidak ada dalam sistem kerajaan itu. Ide yang terkandung dalam kata republik masih sulit untuk ditangkap dan dengan demikian mencari terjemahannya kedalam bahasa Arab sulit pula. Dalam maklumat-makulumat Napoleon, Republik Perancis diterjemahkan menjadi Al-Junhur al-Faransawi.
2. Ide persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Kalau sebelum ini, rakyat Mesir tak turut serta dalam pemerintahan negara mereka, Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azha dan pemuka-pemuka dalam dunia dagang dari Kairo dan tempat-tempat. Tugas badan ini ialah membuat undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi pengantara antara penguasa-penguasa Perancis dan rakyat Mesir. Di samping itu didirikan pula satu badan lain bernama Diwan al-Ummah yang dalam waktu-waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional. Tiap-tiap tempat mengirimkan sembilan wakil ke Sidang Diwan itu, tiga dari golongan ulama, tiga dari golongan pedagang dan satu dari masing-masing golongan petani, kepala desa dan kepala suku bangsa Arab. Diwan ini mempunyai 180 anggota dan sidang pertama diadakan dari tanggal 5 sampai 20 Oktober 1798. Putusan yang diambil ialah menganjurkan perubahan peraturan pajak yang ditetapkan Kerajaan Usmani.
Sistem pemilihan ketua lembaga juga merupakan hal baru bagi rakyat Mesir. Ketika dari para anggota Diwan diminta memilih ketua, anggota-anggota menunjuk dan menyebut nama ulama yang mereka hormati, yaitu Syaikh Al-Syarqawi. Petunjukan serupa ini ditolak penguasa Prancis sambil menjelaskan cara pengadaan pemilihan.
3. Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Prancis merupakan suatu banga (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguhpun orang islam tetapi berlainan bangsa dengan orang Mesir. Juga maklumat itu mengandung kata-kata umat Mesir. Bagi orang islam di waktu itu yang ada hanyalah umat islam dan tiap orang islam adalah saudaranya dan ia tak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa. Yang disadarinya ialah perbedaan agama, oleh karena itu untuk menerjemahkan kata nation ke dalam bahasa Arab juga sulit. Kata Arab yang di pakai ialah Al-Millah, umpamanya dalam Al-Millah al-Faransiah untuk ia nation  Francaise. Millah berarti
agama. Kata Arab yang kemudian di pakai untuk nation ialah qaum, sya’b dan ummah.[1]

Inilah beberapa dari ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir, ide-ide yang pada waktu itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat islam di Mesir. Tetapi dalam perkembangan kontak dengan Barat di abad ke-19 ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima dan dipraktekkan. Bagaimanapun ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelamahan dan kemunduran mereka.
                                                                          

Muhammad Ali Pasya

Untuk melawan tentara Napoleon yang telah menguasai seluruh Mesir serta pula telah menyerang Syria dan dari sini mungkin akan terus ke Istambul, Sultan Salim III (1789-1807) mengumpulkan tentara. Salah satu di antara perwira dari pasukan-pasukan yang disediakan itu bernama Muhammad Ali, seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765 dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Orang tuanya bekerja sebagai penjuak rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dan dengan demikian tidak pandai menulis maupun membaca. Setelah dewasa ia bekerja sebagai pemungut pajak dan karena kecakapannya dalam pekerjaan ini, ia menjadi kesayangan Gubernur Usmani setempat. Akhirnya ia diangkat sebagai menantu oleh gubernur tersebut dan mulai dari waktu itu bintangnya terus menaik. Selanjutnya ia masuk dinas militer dan dalam lapangan ini ia juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupan sehingga pangkatnya cepat menaik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir ia mempunyai kedudukan wakil perwira yang mengepalai pasukan yang dikirim dari tempatnya.

          Dalam pertempuran yang terjadi dengan tentara Prancis ia menunjukkan keberanian luar biasa dan segera diangkat menjadi kolonel. Ketika tentara Prancis keluar dari Mesir di tahun 1801, Muhammad Ali turut memainkan peranan penting dalam kekosongan keuasaan politik yang timbul sebagai akibat dari kepergian tentara itu. Kaum Mamluk, yang dahulu lari dikejar Napoleon, kembali ke Kairo untuk memegang kekuasaan mereka yang lam. Dari Istambul datang pula Pasya dengan tentar Usmani. Kedua golongan ini berusaha keras untuk merebut kekuasaan bagi pihaknya. Muhammad Ali mengambil sikap mengadu domba antara keduanya. Simpati rakyat Mesir yang menaruh rasa benci kepada kaum Mamluk dapat diperolehya. Pasukan yang dipimpinnya bukan terdiri dari orang-orang Turki, tetapi dari orang-orang Albania. Kedua unsur ini memperkuat kedudukannya untuk memasuki pertarungan merebut kekuasaan.
         
          Muhammad Ali mulia dengan memukul saingan yang terlemah. Pasukan yang dikirim Sultan ia kepung. Pasya menyerah dan dipaksa kembali ke Istanbul. Muhammad Ali mengangkat dirinya sendiri sebagai Pasya yang baru dan akhirnya terpaksa diakui oleh Sultan Usmani pada tahun 1805.
         
          Setelah menduduki puncak kekuasaan Mesir ia pun mulai memusnahkan pihak-pihak yang mungkin akan menentang kekuasaanya, terutama kaum Mamluk. Kesempatan timbul, ketika yang tersebut belakangan ini berusaha untuk membunuh Muhammad Ali, tetapi konspirasi mereka ketahuan, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan dibunuh. Muhammad Ali bersikap seolah-olah mengampuni yang lain dan pada suatu ketika mengundang mereka berpesta di istananya di Bukit Mukattam. Setelah mereka semua masuk, pintu yang membawa ke tempat istana dikunci dan sebelum pesta selesai ia beri tanda untuk menyembelih mereka semuanya. Menurut cerita dari 470 kaum Mamluk, hanya seorang yang dapat melepaskan diri dengan melompat dari pagar istana ke jurang yang ada di Bukit Mukattam itu. Kudanya mati tetapi ia selamat dengan pergi lari. Kaum Mamluk yang ada diluar Kairo kemudian diburu, mana yang dapat dibunuh dan sebagian kecil dapat melarikan diri ke Sudan. Pada akhir tahun 1811, kekuatan kaum Mamluk di Mesir telah habis.

          Sekarang Muhammad Ali berkuasa penuh. Ia telah menjadi Wakil Sultan dengan resmi di Mesir dan rakyat Mesir sendiri tidak mempunyai organisasi dan kekuatan untuk menentang kekuaasaanya. Ia pun bertindak sebagai diktator. Muhammad Ali, seperti raja-raja Islam lainnya juga mementingkan soal yang bersangkutan dengan militer karena ia yakin bahwa kekuasaanya hanya dapat dipertahankan dan di perbesar dengan kekuatan militer. Tetapi berlainan dengan raja-raja lain, ia mengerti bahwa di belakang kekuatan militer itu mesti ada kekuatan ekonomi yang sanggup membelanjai pembaharuan dalam bidang militer dan bidang-bidang yang bersangkutan denganurusan militer. Jadi ada duahal yang penting baginya, kemajuan ekonomi dan kemajuan militer dan kedua hal ini menghendaki ilmu-ilmu modern yang telah dikenal orang di Eropa.
         
          Kaum Mamluk yang telah dimusnahkannya itu, hartanya dirampas dan demikian pula harta-harta orang kaya di Mesir dikuasainya, sehingga pada akhirnya segala kekayaan Mesir berada di bawah kekuasaannya. Mesir adalah negeri pertanian dan untuk mempertinggi hasil-hasil pertanian, di samping memperbaiki irigasi lama, ia mengadakan irigasi baru , memasukkan penanaman kapas dari India dan Sudan (1821-1822) dan mendatangkan ahli pertanian dari Eropa untuk memimpin pertanian. Untuk kemajuan ekonomi ia mengadakan industri modern Mesir, tetapi gagal karena kekurangan tenaga ahli Mesir dan ketiadaan pasaran.

          Sungguhpun ia seorang buta huruf ia mengerti akan pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan sesuatu negara. Dalam hal ini ia terpengaruh oleh cerita-cerita pembesar yang berada di sekitarnya mengenai unsur-unsur dan hal-hal baru yang dibawa ekspedisi Napoleon. Untuk membantunya dalam bidang ilmu penegtahuan ini ia mendirikan Kementerian Pendidikan. Untuk pertama kalinya di Mesir ia buka Sekolah Militer di tahun 1815, Sekolah Teknik di tahun 1816 dan Sekolah Kedokteran di tahun 1827. Guru-gurunya didatangkan dari Barat dan karena tak pandai berbahasa Arab , maka ceramah-ceramah mereka diterjemahkan oleh penerjemah Arab dan Turki. Selain mendatangkan ahli-ahli dari Eropa, ia mengirim siswa-siswa untuk bekajar ke sana. Menurut statistik di antara 1813 dan 1849, ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Di Paris didirikan satu Rumah Mesir untuk menampung pelajar-pelajar itu. Yang dipentingkan ialah ilmu kemiliteran darat dan laut, arsitek, kedokteran dan obat-obatan. Semua ilmu yang tersebut belakangan ini dekat hubungannya dengan soal kemiliteran.

          Selain dari-dari soal-soal militer ia mementingkan pengetahuan tentang administrasi negara. Tetapi sistem politik di Eropa tak menarik perhatiannya. Ia terus memerintah sebagai diktator. Ia mempunyai penasehat-penasehat politik, tetapi putusan terakhir terletak di tangannya Mahasiswa yang dikirimnya ke Eropa tidak dianjurkan, malahan dilarangnya untuk mempelajari ilmu politik. Kepada mahasiswa yag menerangkan bahwa di Eropa ia mempelajari soal-soal politik ia menerangkan: “ Di sini saya yang memrintah. Pergi kembali dan terjemahkan buku-buku militer”.2 Dan ketika seorang dari menteri-menterinya menerjemahkan kepadanya buku Machiavelli tentang sebab-sebab naik dan jatuhnya sesuatu negara dan bagaimana caranya untuk mengelakkan keruntuhan negara, bagiku ia tak mengandung sesuatu yang baru. Semuanya adalah hal-hal yang biasa. Machiavelli tak membawa hal-hal baru yang dapat saya pelajari. Pengetahuan saya tentang tipu muslihat pemerintahan lebih banyak daripada pengetahuannya. Buku itu tak perlu engkau terjemahkan lagi.3
         
          Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya dan oleh karena itu mahasiswa itu berada di bawah pengawasan yang ketat. Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Perancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai demokrasi, parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republik, konstitusi, kemerdekaan berpikir, dinamisme Barat diperbandingkan dengan sikap statis Timur, cinta tanah air (patriotisme), keadilan sosial dan sebagainya, disamping ilmu-ilmu teknik, falsafat, pendidikan, alam (paham evolusi Darwin) kemasyarakatan dan sebagainya.[2]

Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilmu-ilmu baru hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan tahu bahasa Barat. Kemudian paham-paham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantara kontak mereka dengan mahasiswanya yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kedalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-bukuasing ke dalam bahasa Arab mulanya disesuaikan dengan sekolah-sekolah yang dibentuk Muhammad Ali. Selain dari Sekolah Militer, Teknik dan Kedokteran  tersebut di atas didirikan pula Sekolah Obat-obatan (apoteker) di tahun 1829, Sekolah Pertambangan di tahun 1834, Sekolah Pertanian di tahun 1836 dan Sekolah Penerjemahaan di tahun 1836, boleh dikatakan bahwa sekolah serupa ini barulah kali ini didirikan di dunia islam.
           
Penerjemahan buku-buku mulai berjalan lancar setelah di dirikan Sekolah Penerjemahan di tahun 1836. Sekolah ini beberapa tahun kemudian diserahkan kepada pimpinan Rifa’ah al-Tahtawi, seorang ulama Azhar yang pernah belajar di Paris dan kemudian ada pengaruhnya dalam penyiaran ide-ide Barat di Mesir. Di sekolah ini terdapat ahli-ahli yang tahu akan vaknya masing-masing. Usaha-usaha penerjemahaan pun mulai membawa hasil yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat. Bagian penerjemahan di sekolah ini dibagi empat: Bagian Ilmu Pasti, Bagian Ilmu Kedokteran dan Ilmu Fisika, Bagian Sastra dan Bagian Turki. Yang akhirnya ini bertugas menerjemahkan buku-buku pedoman militer yang akan dipakai oleh perwira Turki yang terdapat dalam angkatan perang Muhammad Ali.

            Yang penting di antara bagian-bagian tersebut vagi perkembangan ide-ide Barat ialah Bagian Sastra. Di antara buku-buku yang diterjemahkan ialah buku-buku mengenai falsafat, riwayat hidup orang-orang besar di Eropa, logika, ilmu bumi, kunjungan-kunjungan ke negara-negara asing, politik, ilmu asal manusia (antropologi) dan lain-lain. Dari penerjemahan buku-buku Eropa ini. Orang-orang Mesir selanjutnya mulai kenal pada negara-negara Barat, negara-negara yang dijumpai orang Barat di Timur Jauh dan Amerika. Dunia yang digambarkan buku-buku Barat itu jauh berlainan dari dunia yang mereka kenal dari buku yang dikarang orang Islam di zaman klasik. Juga mereka mulai kenal dengan falsafat Yunani, adat istiadat Barat yang jauh berlainan dengan adat istiadat Islam. Kalau sebelumnya orang Barat bagi orang islam adalah semuanya orang Prancis, sekarang mulai mereka tahu bahwa orang-orang Barat terdiri dari berbagai bangsa, ada Perancis, ada Jerman, ada Inggris, ada Italia dan sebagainya.

            Diperbandingkan dengan gerakan penerjemahan di abad ke-9, perhatian gerakan penerjemahan abad ke-19 agak terbatas, yaitu pada soal teknik dan sedikit sekali mengenai sejarah, hukum, apalagi falsafat. Di abad ke-9, gerakan penerjemahan itu lebih luas, meliputi ilmu pengetahuan Yunani, logika, ilmu pasti, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu bintang dan falsafat. Perbandingan besar lagi di antara kedua gerakan ini ialah bahwa gerakan penerjemahan abad ke-9 terjadi di ketika uamat Islam dalam keadaan makmur dan menuju kemajuan, sedangkan di Barat di waktu itu berada dalam zaman kegelapan. Dalam suasana yang demikian pengetahuan yang diajarkan oleh buku-buku Yunani itu cepat membawa kepada kemajuan umat Islam.
            Gerakan penerjemahan di abad ke-19 ini terjadi di ketika suasana dunia Barat dan Islam berada dalam keadaan sebaliknya. Dunia Islam sedang dalam keadaan kemunduran, sedang Dunia Barat dalam keadaan maju. Penerjemahan sekarang dengan demikian tidak cepat membawa kemajuan Islam seperti di abad ke-9. Dahulu Dunia Islamlah yang mempunyai kemajuan tinggi, boleh dikata tidak ada saingan, sedang sekarang Dunia Islam mempunyai saingan besar, yaitu Barat yang kemajuannya terus berkembang. Di ketika Islam di zaman sekarang meningkat sedikit, Barat terus meningkat pula, sehingga perbedaan antara kedua kebudayaan ini tetap seperti pada masa seratus tahun yang lalu.


Al-Tahtawi

Rifa’ah Badawi Rafi’al al-Tahtawi adalah pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi turut memainkan peranan. Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Ketika Muhammad Ali mengambil ahli seluruh kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.

          Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu penegtahuan Prancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Ia selalu mengadakan kunjungan kepada ahli-ahli itu untuk menetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Kunjungan itu mereka terima dengan senang hati, karena mereka dapat memperdalam pengetahuan mereka tentang bahasa Arab dari pergaulan dengan beliau sebagai ulama Al-Azhar.

          Syaikh Al-‘Attar melihat bahwa Al-Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari studi di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar di sana selama dua tahun, kemudian diangkat emnjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi imam mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Paris. Ia tinggal di sana selama lima tahun. Atas pengaruh ajaran Syaikh Al-‘Attar, masa itu tidak dipergunakannya hanya untuk pekerjaan, tetapi disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar. Imam-imam lainnya kurang mempergunakan kesempatan itu untuk menambah ilmu pengetahuan mereka.

          Al-Tahtawi pun segera belajar bahasa Prancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris. Dan di Paris ia menggaji guru khusus untuk menolongnya dalam bahasa Prancis. Dalam masa singkat ia menguasai bahasa itu dan selama lima tahun di Paris ia menerjemahkan 12 buku  dan risalah, di antaranya risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku mengenai pertambangan, buku mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, buku menegenai ilmu bumi, risalah mengenai ilmu teknik, risalah mengenai hak-hak manusia, risalah tentang kesehatan jasmani dan sebagainya. Waktu di Paris banyak dipergunakannya untuk membaca buku-buku Prancis dengan pertolongan gurunya, antara lain buku-buku sejarah, teknik, ilmu bumi, olitik dan lain-lain. Ia juga membaca buku-buku karangan Montesquiue, Voltaire dan Rousseau.

          Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Kelihatannya ia dengan sengaja membaca lapangan-lapangan yang begitu berbeda dan tidak mencurahkan perhatiannya ke suatu lapangan tertentu, karena tujuannya ialah menerjemahkan buku-buku Prancis ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian pembaca-pembaca Arab akan dapat mengetahui ilmu-ilmu pengetahuan Barat yang ia rasa perlu mereka ketahui untuk kemajuan mereka. Dan ujiannya yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sebagai bukti bagi kesanggupannya kedalam hal ini ia mengemukakan kedua belas buku dan risalah tersebut di atas. Panitia penguji berpendapat bahwa ia memang telah cakap dalam hal ini dan bahwa Mesir akan mendapat manfaat dari kecakapannya menerjemahkan buku-buku yang penting dan perlu bagi kemajuan negeri itu.

          Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa-bahasa yang diajarkan di sekolah itu ialah Arab, Prancis, Turki, Persia, Italia dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah dan ilmu bumi. Pimpinan sekolah ini diserahkan kepadanya. Selain dari mengajar, dalam tugasnya termasuk pula mengoreksi buku-buku yang diterjemahkan murid-muridnya. Menurut keterangan hampir seribu buah buku yang diterjemahkan sekolah ini kedalam bahasa Arab. Setelah Muhammad Ali meninggal di tahun 1848 cucunya Abbas, menjadi Pasya di Mesir. Abbas , karena hal-hal yang kurang jelas, tidak senang dengan al-Tahtawi dan ia dipindahkan ke Sudan untuk mengepalai sebuah sekolahan dasar di sana. Setelah Abbas wafat di  tahun 1854, ia dipanggil kembali ke Kairo oleh Said, Pasya yang baru. Ia diangkat menjadi “Kepala Sekolah Militer”. Di sana ia pentingkan pelajaran bahasa asing dan mengadakan satu bagian khusus untuk penerjemahan. Di tahun 1863, Khedewi Ismail mengadakan “Badan Penerjemahan Undang-Undang Prancis” dan pimpinannya diserahkan kepada al-Tahtawi.

          Sekian jauh aktivitasnya kelihatan berpusat pada penerjemahan dan mengepalai sekolah-sekolah. Al-Tahtawi memang berpendapat bahwa penerjemahan buku-buku Barat kedalam bahasa Arab penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat dan dengan demikian umat Islam berusaha pula memajukan diri mereka. Di samping aktivitas dalam lapangan karang mengarang. Di tahun 1828, tentunya setelah mendengar pentingnya arti surat kabar resmi yang diterbitkan Napoleon sewaktu ia berada di Mesir, Muhammad Ali menerbitkan pula satu surat kabar resmi, yang diberi nama Al-Waqa-i’ul Misriyah. Al-Tahtawi pernah menjadi pemimpinnya dan di bawah pimpinannya surat kabar itu bukan hanya memuat berita-berita resmi, tetapi juga pengetahuan tentang kemajuan Barat.
          Di tahun 1870 didirikan pula majalah Raudatul Madaris yang bertujuan memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu penegtahuan modern kepada khalayak ramai. Majalah itu mengandung tulisan-tulisan tentang sastra Arab, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu akhlak, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pasti dan lain-lain.
Selain dari mengarang untuk majalah-majalah tersebut di atas Al-Tahtawi juga mengarang buku-buku. Di antara buku-buku yang terpenting ialah :
          Takhlisul-Ibriz fi Talkhisi Bariz (“Intisari dari Kesimpulan tentang Paris”), mengandung kesan-kesan Al-Tahtawi tentang perjalanan ke Paris, selama ia tinggaldi sana dan perjalanan pulang ke Mesir. Buku itu bukan hanya menceritakan sejarah perjalanannya, tetapi yang terpenting menerangkan hal-hal bersangkutan dengan hidup dan kemajuan orang Eropa sebagai dilihatnya di Paris. Di dalamnya ia terangkan sistem pemerintahan Prancis, revolusi di tahun 1789, cara pemeliharaan kesehatan penduduk Paris (rumah sakit, pengobatan dan sebagainya), ilmu-ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah-sekolah Paris, konstitusi Prancis, adat istiadat Eropa dan sebagainya. Karena pentingnya arti buku ini untuk mengetahui hidup dan kemajuan Eropa bagi orang Islam di waktu itu, ia terjemahkan ke dalam bahasa Turki dan dianjurkan oleh Muhammad Ali supaya di baca pegawau pemerintahannya.

          Buku kedua, Manhijul-albab al-Misriyyah, fi manahijil-adab al-‘Asriyyah (“ Jalan Bagi Orang Mesir untuk Mengetahui Literatur Modern”), menerangkan betapa pentingnya kemajuan ekonomi bagi kemajuan sesuatu negara. Menurut pendapatnya masyarakat manusia mempunyai dua tujuan : menjalankan perintah Allah dan mencari kesejahteraan di dunia ini. Kesejahteraan akan tercapai dengan dua jalan: berpegang pada agama serta budi pekerti baik dan kemajuan ekonomi. Mesir ekonominya bergantung pada pertanian dan ia memuji-muji usaha-usaha yang di jalankan Muhammad Ali dalam lapangan ini. Juga ia menekankan pendapat ahli ekonomi Eropa, bahwa Mesir mempunyai potensi besar dalam lapangan ekonomi. Dengan memajukan ekonomi ini , kesejahteraan dunia akan tercapai. Hal ini adalah baru, karena tradisi dalam Islam tidak mementingkan hidup di dunia.

          Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pemerintahan yang baiklah yang dapat memajukan ekonomi, dan oleh karena itu buku tersebut seterusnya menerangkan ketatanegaraan yang baik menurut paham tradisional dalam islam. Raja atau sultan mempunyai kekuasaan eksekutif yang mutlak, tetapi kekuasaannya itu harus dibatasi oleh syariat dan syura dengan para ulama. Syariat adalah di atas raja. Raja harus menghormati ulama dan memandang mereka sebagai pembantunya dalam soal pemeritahan. Syariat, menurut pendapatnya harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi modern, dan kaum ulama harus mengetahui kemajuan modern untuk dapat menafsirkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Oleh karena itu mereka harus mempelajari ilmu pengetahuan Barat. Di zaman dahulu, ia menjelaskan lebih lanjut, kaum ulama mempelajari falsafat dan ilmu akal yang ada di zaman mereka. Ahli-ahli yang mempunyai ilmu pengetahuan modern seperti dokter, insinyur dan lain-lain harus diajak bermusyawarah oleh raja dalam menentukan siasat negara.
         
          Masyarakat sesuatu negara, menurut pendapatnya tersusun dari empat golongan: raja, kaum ulama dan ahli-ahli, tentara dan kaum produsen. Dua golongan pertama adalah golongan rakyat yang harus patut dan setia kepada pemerintah. Sesungguhnya raja bertanggung jawab hanya kepada Allah saja, raja tak boleh melupakan kepentingan rakyat. Raja harus selamanya ingat kepada Allah dan siksaan yang disediakan-Nya bagi orang yang zalim. Perasaan takut pada Allah akan membuat raja bertindak baik bagi rakyatnya. Selain dari takut kepada Tuhan, tindak tanduk seorang raja dikontrol pula oleh “pendapat umum”. Oleh sebab itu antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang baik. Orang-orang pemerintahan dan administrasi harus mempunyai didikan yang baik dan sesuai untuk tugasnya. Seorang kepala kampung pun harus terlebih dahulu di didik dan dilatih sebelum ia menempati kedudukannya sebagai kepala kampung.

          Tadi telah dijelaskan bahwa salah satu jalan untuk kesejahteraan menurut Al-Tahtawi, ialah berpegang pada agama dan budi pekerti yang baik. Untuk itu pendidikan perlu. Hal ini dijelaskan dalam buku Al-Mursyidul-Amin lil Banati wal Banin (“ Petunjuk bagi Pendidikan Putra dan Putri”). Pendidikan dasar mesti bersifat universal dan sama bentuknya untuk segala golongan. Didikan menengah mesti mempunyai kualitas tinggi. Anak-anak perempuan mesti memperoleh didikan yang sama dengan anak lelaki. Kaum ibu harus mempunyai didikan, agar dapat menjadi istri yang baik dan dapat menjadi teman suami dalam kehidupan intelek dan sosial dan bukan hanya menjadi istri yang dapat memenuhi kebutuhan jasmani keluarganya juga agar dapat bekerja sebagai lelaki dalam batas-batas kesanggupan dan pembawaan mereka, selanjutnya agar mereka dapat melepaskan diri dari kekosongan waktu di rumah tangga dan dari kebiasaan mengobrol dengan tetangga. Orang yang mengatakan menyekolahkan anak wanita adalah makruh, demikian Al-Tahtawi, lupa bahwa istri Nabi, Hafsah dan Aisyah, pandai membaca dan menulis.4 Sebelum Qasim Amin muncul, Al-Tahtawi telah menganjurkan: tahrir al-mar-ah (emansipasi wanita).

          Tujuan pendidikan bukanlah hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi terutama untuk membentuk rasa kepripadian dan untuk menanamkan hubb al-watan (rasa patriotisme). Patriotisme adalah dasar yang kuat untuk mendorong orang mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai peradaban. Al-Tahtawi adalah orang Mesir yang pertama sekali menganjurkan patriotisme. Paham bahwa seluruh dunia islam adalah tanah air tiap orang muslim, telah mulai berubah tekanannya. Tanah air sekarang ditekankan artinya pada tanah tumpah darah seseorang dan bukan seluruh dunia islam. Jadi ada dua persaudaraan, persaudaraan Islam dan persaudaraan setanah air. Mana yang lebih penting di antara kedua ini bagi Al-Tahtawi tidak jelas. Tapi perkembangan dalam dunia Islam selanjutnya membuat persaudaraan setanah air lebih kuat daripada persaudaraan keislaman. Kata-kata watan dan hubb al-watan kelihatan selalu dipakai oleh Al-Tahtawi dalam buku kedua dan ketiga. Dalam kewajiban seseorang terhadap tanah airnya termasuk mengadakan persatuan, tunduk kepada undang-undang dan sedia mengorbankan harta dan diri. Di antara hak-hak yang terpenting bagi seorang warga negara ialah kemerdekaan, karena kemerdekaanlah yang dapat mewujudkan masyarakat yang sejati dan patriotisme yang kokoh. [3]
          Watan yang dimaksudnya ialah Mesir. Dalam buku lain, Anwaru Taufiq al-Jalil fi Akhbari Misra, wa Tausiqi Bani Ismail (“Cahaya Taufik Yang Agung pada berita-berita Mesir dan Pengukuhan Anak Keturunan Khedewi Ismail”), yang mengandung sejarah Mesir dari mulai zaman Firaun, ia memperlihatkan kebanggaannya akan perdaban dan kemajuan ekonomi Mesir di zaman Firaun. Mesir modern adalah lanjutan dari Mesir zaman firaun dan kerena itu ia tak enggan menulis syair-syair yang memuji Firaun. Mesir modern betul islam, tetapi bukan semua putra Mesir beragama Islam. Orang-orang yang bukan beragama Islam harus diberi kemerdekaan beragama dan Mesir Islam dan Mesir bukan Islam adalah bersaudara. Semua ini adalah konsep baru bagi dunia Islam di zaman Al-Tahtawi. Persaudaraan yang dikenal orang adalah persaudaraan keislaman dan tanah air adalah seluruh negara islam dan sejarah adalah sejarah Islam. Dalam konsep baru ini terdapat benih nasionalisme.

          Tadi telah disebutkan bahwa Al-Tahtawi berpendapat bahwa kaum ulama, harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan modern. Ini mengandung arti bahwa ijtihad yang telah tertutup pintunya semenjak abad ke-11 Masehi, bagi Al-Tahtawi adalah terbuka, tetapi ia kelihatannya belum berani menyatakan pendapat ini dengan jelas dan terang-terangan. Masyarakat Islam belum dapat menerima pendapat yang untuk zaman itu masih dianggap terlalu radikal. Dalam bukunya tentang ijtihad dan taklid, Al-Qaul as-Sadid fil-Ijtihadi wat-Taqlid (“Perkataan yang Benar tentang Ijtihad dan Taklid”), Al-Tahtawi hanya menerangkan syarat-syarat dan rupa-rupa ijtihad yang ada dalam Islam, ijtihad mutlak, ijtihad dalam mazhab, ijtihad dalam fatwa. Tetapi bagaimanapun, penjelasan Al-Tahtawi  ini menarik perhatian orang pada Ijtihad dan akhirnya membawa pada pendapat bahwa pintu ijtihad adalah terbuka dan bukan tertutup.

          Mengenai soal fatalisme ia mencela orang Paris karena mereka tak percaya pada kada dan kadar, sedang pendapat yang semestinya menurut Al-Tahtawi ialah orang harus percaya kada dan kadar Tuhan, tetapi di samping itu harus berusaha. Tidak boleh manusia mengembalikan segala-galanya pada kada dan kadar, karena pendirian serupa ini menunjukkan kelemahan. Orang tak boleh berserah kepada kada dan kadar tetapi harus dalam segala hal berusaha terlebih dahulu dan kemudian baru berserah kepada kehendak Tuhan. Orang Eropa berkepercayaan bahwa manusia dapat memperoleh apa yang dikehendakinya dengan kemauan dan usahanya sendiri dan bila ia gagal dalam usahanya, itu bukan karena kada dan kadar Tuhan, tetapi karena salah perkiraan atau kurang dalam berpikir atau kurang kuat berusaha. Disini terdapatlah ide dinamisme sebagai lawan dari sikap statis yang umum terdapat dalam Dunia Islam pada waktu itu.


Jamaluddin al-Afghani

Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkannya di Mesir dan oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya kalau uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir.

          Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897. Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Mentri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Al-Afghani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Al-Afghani merasa lebih aman meningggalkan tanah tempat kelahirannya dan pergi ke India di tahun 1869.

          Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris dan oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan pada mulanya menjauhi persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat ia tinggal menjadi tempat pertemuan murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi.

          Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur,1  para peserta terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang  pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dari Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi lain dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Di antara murid-murid Al-Afghani itu ada yang kemudian menjadi pemimpin kenamaan di Mesir seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaglul, pemimpin kemerdekaan Mesir.

             Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Untuk dapat bergaul dengan orang-orang politik di Mesir ia memasuki perkumpulan Freemason Mesir. Di antara anggota perkumpulan ini terdapat Putra Mahkota Taufik.[4]

Di ketika itu ide-ide baru disiarkan Al-Tahtawi melalui buku-buku terjemahan dan karangannya, telah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, di antaranya ide Trias Politica dan patriotisme. Telah matang waktunya untuk membentuk suatu patrai politik, maka pada tahun 1879 atas usaha Al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (Patrai Nasional). Slogan “Mesir untuk orang Mesir” mulai kedengaran. Tujuan patrai ini selanjutnya ialah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer.

          Atas sokongan partai ini Al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa di waktu itu, yakni Khedewi Ismail, untuk diganti dengan Putra Mahkota Taufik. Yang tersebut akhir ini berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang dituntut Al-Hizb al-Watani. Tetapi setelah menjadi Khedewi, Taufik, atas tekanan Inggris mengusir Al-Afghani keluar dari Mesir di tahun 1879. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu menurut pihak Mesir sendiri mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam di sana. Menurut M.S. Madkur, Al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern”, demikian Madkur, “adalah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin al-Afghani”.6

          Dari Mesir Al-Afghani pergi ke Paris dan di sini ia dirikan perkumpulan Al-‘Urwah al-Wusqa. Anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara dan lain-lain. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat islam kepada kemajuan. Majalah Al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkan perkumpulan ini cukup terkenal, juga di Indonesia, tetapi tidak berumur panjang. Penerbitannya terpaksa dihentikan karena Dunia Barat melarang pemasukannya ke negara-negara Islam yang berada di bawah kekuasaan mereka.
         
          Sewaktu di Eropa, Al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolph Churchil dan Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di Sudan secara damai. Wolf meminta bantuannya untuk mewujudkan hubungan persahabatan antara Kerajaan Usmani, Persia dan Afghanistan. Persahabatan ketiga negara itu perlu bagi Inggris dalam menentang politik Rusia di Timur Tengah. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.

          Di tahun 1889 Al-Afghani diundang datang ke Persia untuk menolong mencari penyelesaian tentang persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris yang dianut pemerintah Persia ketika itu. Al-Afghani tidak setuju dengan pemberian konsesi-konsesi kepada Inggris dan akhirnya timbul pertikian paham antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Al-Afghani melihat bahwa Syah perlu digulingkan, tetapi sebelum sempat menjatuhkannya ia telah dipaksa keluar dari Persia. Di tahun 1896 Syah dibunuh oleh seorang pengikut Al-Afghani.[5]

          Atas undangan Sultan Abdul Hamid, Al-Afghani selanjutnya pindah ke Istambul di tahun1892. Pengaruhnya yang besar di berbagai negara Islam diperlukan dalam rangka pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul. Bantuan dari negara-negara Islam dibutuhkan Sultan Abdul Hamid untuk menentang Eropa yang di waktu itu telah kian mendesak kedudukan Kerajaan Usmani di Timur Tengah.

          Tetapi kerja sama antara Al-Afghani, sebagai pemimpin yang mempunyai pemikiran demokratis tentang pemerintahan dengan Abdul Hamid sebagai Sultan yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, tidak bisa tercapai. Karena takut akan pengaruh Al-Afghani yang demikian besar, kebebasannya dibatasi Sultan dan ia tak dapat keluar dari Istambul. Ia tetap tinggal di sana sampai ia wafat di tahun 1897, pada lahirnya sebagai tamu yang mendapat penghormatan, tetapi pada hakikatnya sebagai tahanan Sultan.

          Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar di tempat yang demiian luas, pada tempatnyalah kalau dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat pemimpin politik dari pada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam. Tidak salah kalau Stoddard7 mengatakan bahwa ia sedikit sekali memikirkan masalah-masalah agama dan sebaliknya memusatkan pemikiran dan aktivitas dalam bidang politik. Dan tidak pula mengherankan kalau Goldziher8 memandang Al-Afghani terutama sebagai tokoh poitik dan bukan sebagai pemimpin pembaharuan dalam soal-soal agama.

          Tetapi dalam pada itu tak boleh dilupakan bahwa kegiatan politik yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Kegiatan politik itu timbul sebagai akibat yang semestinya dari pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan. Ia pada hakikatnya adalah sekaligus pemimpin pembaharuan dan pemimpin politik. Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau kelihatan ada pertentang ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuain dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran islam seperti yang tercantum dalam Al-qur’an dan Hadis. Untuk interpretsi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka.[6]

          Kemunduran umat islam bukanlah karena islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan di atas kertas. Sebagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang pura-pura bersikap suci, sebagian lain oleh oraang-orang yang mempunyai keyakinan yang menyesatkan dan sebagian lain lagi oleh hadis-hadis buatan. Paham kada dan kadar umpamanya, demikian Al-Afghani, telah dirusak dan diubah menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada keadaan statis. Kada dan kadar sebenarnya mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu dari mata rantai sebab musabab itu. Di masa yang silam keyakinan pada kada dan kadar serupa ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karena percaya pada kada dan kadar inilah maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi.9

          Suatu sebab lain lagi ialah salah pengertian tentang maksud hadis yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha mengubah nasib mereka. Sebab-sebab kemunduran yang bersifat politis ialah perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing.

          Lemahnya rasa persaudaraan Islam juga merupakan sebab bagi kemunduran umat Islam. Tali persaudaraan Islam telah terputus, bukan di kalangan awam saja, tetapi juga di kalangan alim ulama. Ulama Turki tidak kenal lagi pada ulama Hejaz, demikian pula ulama India tidak mempunyai hubungan dengan ulama Afghanistan. Tali persaudaraan antara raja-raja Islam juga sudah terputus. Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Al-Afghani, ialah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali, dan demikian pula kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar, umat Islam akan dapat begerak mau mencapai kemajuan.[7]

             Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak mempunyai pengalaman. Pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali. Islam dalam pendapat Al-Afghani menghendaki pemerintahan republik yang didalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-undang dasar.

          Di atas segala-galanya persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu mengadakan kerja sama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Semasa hidupnya Al-Afghani memang berusaha untuk mewujudkan persatuan itu. Yang terkandung dalam ide Pan-Islam ialah persatuan seluruh umat Islam. Tetapi usahanya tidak berhasil. Bagaimanapun ide-idenya banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh tentang pembaharuan Islam. Dan Abduh, sebagai gurunya juga mempunyai pengaruh besar di Dunia Islam.


[1]  M.Q. al-Baqli,ed., Al-Mukhtar Min Tarikh al-Jabarti (Kairo: Matabi’al-Sya’b, 1958), hlm.287
2    I. Abu Lughod, Arab Redisicovery of  Europe (Princeton: Princeton University Press, 1963), hlm .40.
3  A. Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 52
4  Dr. H.F. al-Najjar, Rifa’ah al-Tahtawi (Kairo: Maktabah Misr , t.t), hlm. 149
5 Al-Hakim al-sair Jamal al-Din al-Afghani (Kairo: t.p., 1962), hlm 54.                                   
6 Ibid.
7 The New world of Islam (London: t.p., 1921), hlm. 52.
8 The Encyclopedia of Islam, ed. 1965, pada entri “Jamal al-Din al-Afghani”.
9 Al-Urwah al-Wusqa, edisi 1-5-1884 (4 Rajab 1301), hlm161. 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar