Minggu, 03 Desember 2017

AL-GHAZALI DAN KONSEP AJARAN TASAWUFNYA DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF

AL-GHAZALI DAN KONSEP AJARAN TASAWUFNYA
DISUSUN DALAM RANGKA MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH

AKHLAK TASAWUF


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.     Tujuan Pembahasan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Sejarah hidup Al-Ghazali............................................................................. 3
B.     Konsep ajaran tasawuf Al-Ghazali.............................................................. 5
C.     Analisis data ............................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................. .14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Akhlak tasawuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara hstoris dan teologis akhlak tasawuf tampil mengawal dan memadu perjalan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama ke Rosulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW itu dijadikan contoh dalam kehidupan diberbagai bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini dijamin keselamtan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Khazanah pemikiran dan pandangan dibidang akhlak dan tasawuf itu kemudian menemukan momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh munculnya sebagian besar ulama tasawuf dan ulama dibidang akhlak seperti Imam Al-Ghazali.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah hidup Imam Al-Ghazali ?
2.      Bagaimana konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali ?

C.     TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Mengetahui sejarah hidup Imam Al-Ghazali.
2.      Mengetahui konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEJARAH HIDUP AL – GAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad[1].
Ayah Al-Ghazali adalah seoang miskin pemintal kain wol yang sangat taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya, “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui kedua putraku ini.”
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaigus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat tasawuf dan retorika perdebatan. Al-Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan analisis Al-Ghazali, sehingga ia mencalonkan Al-Ghazali sebagai asisten pengajarnya.
Selama berada di Naishabur, Al-Ghazali tidak hanya belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf, kendati pun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat yang dari para ahli ilmu tersebut, hingga ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi popoler. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam dihati Imam Haramain timbul rasa iri dan mendorongnya untuk mengatakan, “Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku harus menahan diri padahal ketenaranku telah mati.”
Setelah Imam Haramain wafat (487 H/ 1086 M) dan Al-Ghazali diminta menjadi profesor pemikiran Islam di Universitas Nizamiyah di Kota Baghdad oleh Nizam Al-Mulk (wafat 485 H/ 1091 M), perdana menteri Saljuk dan pendiri Universitas Nizamiyah. Kota Baghdad  ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama Al-Ghazali menjadi termasyhur dikawasan kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/ 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.
Sebagai pelindungnya, Nizam Al-Mulk secara rutin mengkonsultasikan semua isu agama dan politik penting saat itu. Kuliah-kuliah Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi begitu terkenal sampai-sampai dihadiri oleh 300 orang murid dalam sekali pekuliahannya. Namun, ketika Al-Ghazali mengira telah mencapai semuanya dalam usia yang begitu muda, tiba-tiba dia merasa dirinya terdampar ditengah-tengah krisis intelektual. Krisis ini membuat Al-Ghazali gelisah. Dia sangat terganggu dengan konflik nyata antara pandangan kaum rasionalis dan kaum tradisionalis. Di satu sisi, kalangan rasionalis menganggap akal manusia lebih unggul dari pada wahyu Ilahi. Di sisi lain, tradisionalis menilai wahyu Ilahi sudah sempurna, sehingga lebih otoritatif dibandingkan akal manusia yang tidak sempurna.
Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Kegiatan pedebatan dan penyelamatan berbagai aliran, ternyata menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya meninggalkan Baghdad menuju Siria, Palestina, kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah (pada umur 52-53 tahun), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naishabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama 30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap bulan ia mengahasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu pengetahuan, antara lain filsafat dan ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlak.
Karya-karyanya membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas dunia yang sangat berpengaruh. Di kalangan islam, banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, Al-Ghazali adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. Ini mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian yang seperti itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh dikalangan islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. “Titisan” Al-Ghazali dalam pemikiran yahudi tampil dalam pribadi filsuf Yahudi besar, Musa bin Maymun. Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan filsafat Yahudi dapat sepenuhnya dibaca dalam sorotan pemikiran Al-Ghazali.
Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai “titisan” Kristen dari Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh salurannya dalam mistisisme kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan islam, memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibanding ordo-ordolainnya, seperti ungkapan dalam novel reseller-nya Umberto Eco, the name of the rose[2].
Banyak literatur yang menyebutkan jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradapan islam. Cryrill glasse, misalnya menyebutkan, “peradaban islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.” Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.

B.     KONSEP AJARAN TASAWUFNYA
Al- Ghazali memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan Ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad[3].
Menurut Al- Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT. Dan berhias dengan selalu mengingat jalan kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian, di dunia initidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali menilai negative Syahadat karena dianggap mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah swtdapat disaksikan. Kedua,syahadat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semifilsafat meskipun ia mau memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani salah menilai Tuhannya, seakan-akan ia berada pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt. Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada makrifat yang membantu menciptakan  (sa’adah)
·         Pandangan Al-Ghazali tentang makrifat
Menurut Al-Ghazali sebagimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah swt. Dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itulah Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah swt di sini sampailah ia ke tingkat makrifat.
Ringkasannya makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam ataupun makrifat ulama atau mutakalimin, tetapi makrifat sufi yang di bangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf Ilahi . makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para Khasawh auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperolah langsung dari Allha walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi Muhammad saw mendapat ilmu Allah melalui perantaramalaikat sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham sekalipun demikian keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah swt.
·         Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah, didalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuia dengan watak, sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan sendiri.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika melihat Allah swt. Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat itu agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.
Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf yang dicoba dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode Tasawuf Akhlaki menurut Imam Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, dan rida[4].
1.      Tobat
Menurut Al-Ghazali, tobat intinya adalah penyesalan, sesusai dengan sabdah Nabi, “Tobat adalah penyesalan”. Tetapi menurut Al-Ghazali, hadis tersebut berkaitan dengan pengetahuan tentang dosa serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala dosa yang telah ia lakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang. Jadi inti tobat adalah menyesali perbuatan dosa yang dilakuakn di masa lalu dan akibatnya yaitu terhalangnya ia dari Yang Dicintai (Tuhan) karena dosa tersebut. Lalu bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali hubungan mesra dengan-Nya. Dengan begitu timbul lagi kesenangan dan kebahagiaan dengan-Nya. Al-Ghazali menurunkan empat kriteri tobat, yaitu :
a.       Meninggalkan dosa dengan sekuat hati dan niat.
b.      Meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
c.       Perbuatan dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa yang ditinggalkan sekarang.
d.      Meninggalkan perbuatan dosa semata-mata untuk mengagungkan Allah bukan karna yang lain.

2.      Sabar
Menurut Al-Ghazali sabar ada dua, sabar yang pertama berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan dengan perbuatan, seperti sabar menahan pukulan yang berat, penyakit yang parah atau luka-luka yang menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji bila sesuai dengan syariah.Sabar yang kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu.

3.      Kafakiran
Diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini seluruh wujud selain Allah adalah fakir karenamereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Tetapi yang disebut fakir disini adalah kebutuhan manusia akan harta. Yang penting di antaranya adalah zuhud. Tapi ada juga yang lebih tinggi dari zuhud, yaitu keadaan dimana keberadaan dan ketiadaan harta tidak mengubah kebahagiaan seseorang. Kalau mendapatkan harta, ia tidak menampakkan kebahagian yang berlebihan, demikian juga kalau ia tidak memilikinya, tidaklah ia sedih dibuatnya.

4.      Zuhud
Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena kerabatnya dengan Tuhan. Al-Ghazali menyebutkan tiga tanda zuhud. (1) tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada yang hilang, ini adalah tanda zuhud dalam harta (2) sama saja baginya orang yang mencela dan orang yang memujinya, ini adalah tanda zuhud dalam kedudukan (3) hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.

5.      Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang yang kemudian disebut wakil dan mempercayakan kepadanya dalam urusan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain (wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tentu saja dalam hal ini yang dimaksud adalah tawakal kepada Allah. Keadaan tawakal ada tigatingkatan : (1) keadaan menyangkut hak Allah dan keyakinannya kepada jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada wakil (2) yang lebih kuat, yaitu keadaanya bersama Allah adalah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Dimana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar kecuali kepadanya. (3) keadaan tawakal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia berada di hadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya. Ia punya keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan, pengetahuan dan semua sifat lainnya.

6.      Cinta ilahi (al-mahabbah)
Manurut Al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah, maka orang itu melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun cinta kepada selain Allah tapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang baik. Misalnya cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan kepada Allah. Pokoknya cinta kepada siapa pun yang Allah cintai adalah baik, karena pencinta kekasih Allah adalah pencinta Allah.
Alasan bahwa Allah adalah yang paling berhak mendapat cinta kita ada lima. (1) cinta manusia kepada dirinya menuntut adanya cinta kepada Allah, karena wujud dan kesempurnaanya berasal dari Allah (2) cinta kita kepada manusia yang berbuat baik, tidak bias dipisahkan dari kecintaan kita kepada siapapun yang telah berbuat baik. Tetapi Allah adalah pemberi terbaik, dan karena itu paling patut mendapat cinta kita (3) apabila kita mencintai orang-orang besar dimasa lalu, maka ketahuilah bahwa sumber kebaikan mereka tidak lain daripada Allah (4) manusia mencintai keindahan, tapi ketahuilah bahwa segala keindahan yang ada berasa dari-Nya (5)manusia mencintai karena kedektannya, kedekatan manusia dengan Allah adalah karena upaya ia meneladani sifat-sifat tertentu Allah. Maka yang diteladani itu paling berhak kita cintai.

7.      Rida
Rida terkait erat dengan cinta. Kalau cinta kepada Allah telah tertanam di hati seseorang, maka cinta tersebut akan menimbulkan rasa rida atau senang atas semua perbuatan Tuhan, karena dua alasan : (1) cinta bias menghilangkan sakit atau luka yang menimpa diri seseorang (2) ia mungkian merasakan kesakitan atas apa yang menimpanya, tetapi ia merasa rida atasnya. Misalnya, musibah yang diterimanya dari Allah, karena yakin bahwa pahala yang akan dijanjikan Allah lebih besar, maka ia akan rela bahkan menginginkannya dan mensyukurinya. Ini kalau ia peduli dengan pahala. Tetapi ketika cinta yang telah mendominasikannya, maka kehendak sang kekasih dan rida-Nyalah yang lebih ia cari dan ia cintai.


C.    ANALISIS DATA
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M[5].
Ayah Al-Ghazali adalah seoang miskin pemintal kain wol yang sangat taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya. Kemudian, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain. Selama berada di Naishabur, Al-Ghazali tidak hanya belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). 
Setelah Imam Haramain wafat (487 H/ 1086 M) dan Al-Ghazali diminta menjadi profesor pemikiran Islam di Universitas Nizamiyah di Kota Baghdad oleh Nizam Al-Mulk (wafat 485 H/ 1091 M). Nama Al-Ghazali menjadi termasyhur dikawasan kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Bahkan konon, ketika ia datang ke istana, perdana Mentri Nizam Al-Mulk menempatkan Al-Ghazali pada sebuah kursi yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada kursinya sendiri, akan tetapi kedahagaan spiritualnya tidak bisa diobati leh semua kemenangan duniawinya. Al-Ghazali pergi menuju Mekkah bersimpuh di hadapan makam Nabi Ibrahim as dan berdoa memohon kepada Allah SWT agar hatinya di teguhkan dalam menempuh jalan sufistik. Ia berjanji tidak mau lagi menginjakkan kaki nya di istana dan ia pun berjanji tidak akan menerima upah dalam bentuk apapun dari pemerintahan istanah raja saat itu.
Sejak itulah Al-Ghazali menempuh jalan suluk sufistik dengan melakukan mujahadah dan riyadhah dengan menanggalkan pakaian-pakaian kebesarannya seraya memakai pakaian yang buruk, kumel, dan lusuh agar tak seorangpun yang mengenalnya.  Al-Ghazali terus melakukan pencarian spiritual kurang lebih selama sepuluh tahun hingga akhirnya tirai-tirai kegaiban disingkapkan, ia merasakan kehadiran sang Khalik secara langsung melalui penglihatan bashiroh mata batin, lenyaplah segala keraguan yang menyelubungi hatinya selama ini, dan ia menggenggam mutiara keyakinan yang dinamakan oleh orang-orang arif dengan hakul yakin, sebuah keyakinan dengan penyaksian matahati langsung yang terbebaskan dari segala bentuk keraguan sedikitpun.
Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Th[6]us tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah (pada umur 52-53 tahun), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
 Al- Ghazali memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral.
Menurut Al- Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt. Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Menurut Al-Ghazali, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah swt. Dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuia dengan watak, sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak mendengar suara yang merdu. Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika melihat Allah swt. Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat itu agung dan mulia. Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf yang dicoba dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode Tasawuf Akhlaki menurut Imam Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, dan rida.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlaki. Akhlak erat hubungannya dengan prilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi tasawuf aklaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah SWT dibuktikan dalam kehidupan sosial[7].
Tasawuf akhlaki ini juga dikenal dengan tasawuf Sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan Rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut.
Tokoh sufi yang termasuk tasawuf akhlaki adalah Imam Al-Ghazali atau nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali, yang dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain.
Al-Ghazali merupakan seorang manusia dengan pengetahuan yang amat luar biasa, yang menyerap keseluruhan kebudayaan keilmuan pada zamannya. Al-Ghazali terlibat dalam pengembangan ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, ekonomi, sejarah, hukum, sastra, musik, etika, sufisme, kimia, ilmu kedokteran dan biologi. Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tak dapat dibantah lagi dan begitu meluasnya hingga saat ini, kerya-karya tulisannya dan pemikirannya dalam berbagai buku tetap digemari dan dibaca secara meluas diseluruh dunia islam.
Demikian pula ketika Al-Ghazali lebih mengutamakan ilmu tasawuf ketimbang ilmu-ilmu lainnya, menyebabkan tumbuhnya pandangan pada sebagian umat islam yang meremehkan ilmu-ilmu umum. Banyak kaum muslim selamjutnya lebih memfokuskan pada ilmu-ilmu ukhrawi demi keselamatan diakhirat dan melalaikan ilmu-ilmu duniawi yang bersifat umum. Sehingga tidak mengherankan jika Al-Ghazali sering diasosialisasikan dengan sikap-sikap pasif yang mengajarkan sekap menyendiri dan melepaskan diri dari keterlibatan dan persoalan-persoalan duniawi[8].
Namun terlepas dari berbagai catatan kritis tersebut, Al-Ghazali merupakan tokoh intelektual besar islam. Hal ini ditunjukkan dengan semangat intelektualnya yang amat tinggi sehingga mendorongnya untuk mengkaji apa saja yang ada pada lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006)
Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam Dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013)
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)


[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 242-246.
[2] Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 128-132.
[3] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 246-249.
[4] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm 197-202.
[5] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 242-246.
[6] Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 128-132.
[7] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 250.
[8] Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm 154-156.

4 komentar:

  1. TAKUT MENANG TAPI TIDAK DI BAYAR ???
    Mau menang banyak dan langsung cair dalam hitungan menit ?
    Hanya di P'O'K'E'R V`1`T`A yang bisa memuaskan pemain Judi Poker Online tanpa diragukan lagi.

    100 % AKAN KAMI BAYAR ATAUPUN KEMBALIKAN DANA YANG ANDA MENANGKAN, BERAPAPUN NILAI NOMINAL TERSEBUT
    BAHKAN RATUSAN JUTA !!!

    P'O'K'E'R V`1`T`A Menyediakan BONUS-BONUS Untuk ANDA Diantaranya :
    -BONUS REFERRAL 15% (SEUMUR HIDUP/SETIAP SENIN )
    -BONUS CASHBACK TUROVER ( SETIAP HARI )
    -NO ROBOT,NO ADMIN
    -Proses Deposit dan Withdraw Dengan Cepat
    -Dilayani CS Yang Ramah Dan Profesional
    -Menyediakan 5 bank lokal : BCA,BNI,BRI,MANDIRI, DAN DANAMON
    Festival Poker 2019
    WA: 0812.2222.996
    BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
    Wechat: pokervitaofficial
    Line: vitapoker

    BalasHapus
  2. Makalah yang menarik, smoga menambah semangat literasi dan menambah khazanah keilmuan, utk kritikan sy tujuan ke sub konsep ajaran alinea ke 3 dan seterusnya yang terdapat kata "syahadat" menurut sy kata tersebut semestinya digantikan dengan kata "syatahat", terimakasih

    BalasHapus
  3. Makalah ini sangat menambah semangat saya untuk mempelajari keilmuan tasawuf Al-Ghazali, ini sangat bermanfaat bagi saya

    BalasHapus