AL-GHAZALI
DAN KONSEP AJARAN TASAWUFNYA
DISUSUN DALAM RANGKA
MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH
AKHLAK TASAWUF
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah.............................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 1
C.
Tujuan
Pembahasan..................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
hidup Al-Ghazali............................................................................. 3
B.
Konsep
ajaran tasawuf Al-Ghazali.............................................................. 5
C.
Analisis
data ............................................................................................... 7
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................. .14
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Akhlak tasawuf adalah merupakan
salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini
semakin dirasakan. Secara hstoris dan teologis akhlak tasawuf tampil mengawal
dan memadu perjalan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah
berlebihan jika misi utama ke Rosulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.
Kepada umat manusia, khususnya yang
beriman kepada Allah diminta agar akhlak dan keluhuran budi Nabi Muhammad SAW
itu dijadikan contoh dalam kehidupan diberbagai bidang. Mereka yang mematuhi
permintaan ini dijamin keselamtan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Khazanah
pemikiran dan pandangan dibidang akhlak dan tasawuf itu kemudian menemukan
momentum pengembangannya dalam sejarah, yang antara lain ditandai oleh
munculnya sebagian besar ulama tasawuf dan ulama dibidang akhlak seperti Imam
Al-Ghazali.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
sejarah hidup Imam Al-Ghazali ?
2. Bagaimana
konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali ?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui
sejarah hidup Imam Al-Ghazali.
2. Mengetahui
konsep ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
HIDUP AL – GAZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil
Al-Ghazali karena dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran,
pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad[1].
Ayah Al-Ghazali adalah seoang miskin
pemintal kain wol yang sangat taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif
menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya
menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.
Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya, “Aku menyesal sekali karena aku tidak
belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu
melalui kedua putraku ini.”
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu
dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari ketika harta
titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, sufi itu
menitipkan kedua anak tersebut kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar
sekaigus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian,
Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia
berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai
ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat tasawuf dan retorika perdebatan.
Al-Juwaini sangat terkesan dengan kecemerlangan intelektual dan kemampuan
analisis Al-Ghazali, sehingga ia mencalonkan Al-Ghazali sebagai asisten
pengajarnya.
Selama berada di Naishabur, Al-Ghazali
tidak hanya belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk
belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan
latihan dan praktik tasawuf, kendati pun hal itu belum mendatangkan pengaruh
yang berarti dalam langkah hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari
Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat yang dari para
ahli ilmu tersebut, hingga ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para
penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki
Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan
dan keluasan berpikir yang dimiliki Al-Ghazali membuatnya menjadi popoler.
Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam dihati Imam Haramain timbul
rasa iri dan mendorongnya untuk mengatakan, “Engkau
telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku harus menahan
diri padahal ketenaranku telah mati.”
Setelah Imam Haramain wafat (487 H/ 1086
M) dan Al-Ghazali diminta menjadi profesor pemikiran Islam di Universitas
Nizamiyah di Kota Baghdad oleh Nizam Al-Mulk (wafat 485 H/ 1091 M), perdana
menteri Saljuk dan pendiri Universitas Nizamiyah. Kota Baghdad ini merupakan tempat berkumpul sekaligus
tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal. Sebagai
seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri
dalam perdebatan-perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan para ulama
ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Sejak saat itu, nama Al-Ghazali
menjadi termasyhur dikawasan kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya
dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas
Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/ 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.
Sebagai pelindungnya, Nizam Al-Mulk
secara rutin mengkonsultasikan semua isu agama dan politik penting saat itu.
Kuliah-kuliah Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi begitu terkenal sampai-sampai
dihadiri oleh 300 orang murid dalam sekali pekuliahannya. Namun, ketika
Al-Ghazali mengira telah mencapai semuanya dalam usia yang begitu muda,
tiba-tiba dia merasa dirinya terdampar ditengah-tengah krisis intelektual.
Krisis ini membuat Al-Ghazali gelisah. Dia sangat terganggu dengan konflik
nyata antara pandangan kaum rasionalis dan kaum tradisionalis. Di satu sisi,
kalangan rasionalis menganggap akal manusia lebih unggul dari pada wahyu Ilahi.
Di sisi lain, tradisionalis menilai wahyu Ilahi sudah sempurna, sehingga lebih
otoritatif dibandingkan akal manusia yang tidak sempurna.
Selain mengajar di Nizhamiyah, ia
juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang
waktu itu.
Kegiatan pedebatan dan penyelamatan
berbagai aliran, ternyata menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak ada
yang memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah ia memutuskan untuk melepaskan
jabatan dan pengaruhnya meninggalkan Baghdad menuju Siria, Palestina, kemudian
ke Mekkah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada
akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus
tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun
505 Hijriah (pada umur 52-53 tahun), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan
Al-Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang produktif.
Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai
guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun
setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan
Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu
masih di Naishabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama
30 tahun. Dengan perhitungan ini, setiap bulan ia mengahasilkan karya tidak
kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu
pengetahuan, antara lain filsafat dan ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, tafsir,
tasawuf dan akhlak.
Karya-karyanya membuat Al-Ghazali
tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas dunia yang sangat
berpengaruh. Di kalangan islam, banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran,
Al-Ghazali adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW.
Ini mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian
yang seperti itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh
dikalangan islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. “Titisan”
Al-Ghazali dalam pemikiran yahudi tampil dalam pribadi filsuf Yahudi besar,
Musa bin Maymun. Karya-karyanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan filsafat
Yahudi dapat sepenuhnya dibaca dalam sorotan pemikiran Al-Ghazali.
Di kalangan Kristen abad tengah,
pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin
Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai “titisan” Kristen dari
Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga memperoleh
salurannya dalam mistisisme kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah
ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan islam, memiliki orientasi
ilmiah yang lebih kuat dibanding ordo-ordolainnya, seperti ungkapan dalam novel
reseller-nya Umberto Eco, the name of the rose[2].
Banyak literatur yang menyebutkan
jasa-jasa Al-Ghazali bagi peradapan islam. Cryrill glasse, misalnya
menyebutkan, “peradaban islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Ghazali.”
Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Akan tetapi, tidaklah demikian
pada pandangan lawan-lawannya. Sebagaimana layaknya dalil umum bahwa tidak ada
manusia yang sempurna, Al-Ghazali pun tidak lepas dari kekurangan.
B. KONSEP
AJARAN TASAWUFNYA
Al- Ghazali
memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan semua kecendrungan gnostis yang
memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, ikhwan
Ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti
emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali
benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya
seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah
Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad[3].
Menurut Al- Ghazali, jalan menuju
tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta
membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari
segala sesuatu yang selain Allah SWT. Dan berhias dengan selalu mengingat jalan
kepada Allah SWT, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka
adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab,
gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dari cahaya kenabian.
Selain cahaya kenabian, di dunia initidak ada lagi cahaya yang lebih mampu
memberi penerangan.
Al-Ghazali menilai negative Syahadat
karena dianggap mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang
memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami,
mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah swtdapat
disaksikan. Kedua,syahadat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semifilsafat
meskipun ia mau memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan
yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani salah menilai Tuhannya,
seakan-akan ia berada pada diri Al-Masih.
Al-Ghazali
menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham
baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti
penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal,
sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut
berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah swt. Makrifat menurut Al-Ghazali
diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase
pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh
karena itu Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan
ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf
sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga sampai pada
makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah)
·
Pandangan Al-Ghazali
tentang makrifat
Menurut
Al-Ghazali sebagimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah
mengetahui rahasia Allah swt. Dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang
segala yang ada. Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh.
Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari
Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi
cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan
roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan
menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktu itulah Allah menurunkan
cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah swt
di sini sampailah ia ke tingkat makrifat.
Ringkasannya
makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam ataupun
makrifat ulama atau mutakalimin, tetapi makrifat sufi yang di bangun atas dasar
dzauq rohani dan kasyf Ilahi . makrifat semacam ini dapat dicapai
oleh para Khasawh auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah.
Sebagaimana ilmu kenabian yang diperolah langsung dari Allha walaupun dari segi
perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi Muhammad saw mendapat
ilmu Allah melalui perantaramalaikat sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham
sekalipun demikian keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah swt.
·
Pandangan Al-Ghazali
tentang As-Sa’adah
Menurut
Al-Ghazali kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah,
didalam kitab Kimiya’ As-Sa’adah ia menjelaskan bahwa as-sa’adah
(kebahagian) itu sesuia dengan watak, sedangkan watak sesuai dengan ciptaannya;
nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya
telinga terletak mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota
tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan sendiri.
Kenikmatannya
qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika melihat Allah
swt. Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya karena makrifat
itu agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan
akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat
Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati,
sebab qalb tidak ikut mati, bahkan kenikmatannya bertambah karena dapat keluar
dari kegelapan menuju cahaya terang.
Dalam
karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali menjelaskan berbagai ajaran tasawuf
yang dicoba dikombinasikan dengan syariah dengan baik berikut adalah metode
Tasawuf Akhlaki menurut Imam Al-Ghazali seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud,
tawakal, mahabbah, dan rida[4].
1. Tobat
Menurut Al-Ghazali, tobat intinya adalah
penyesalan, sesusai dengan sabdah Nabi, “Tobat adalah penyesalan”. Tetapi
menurut Al-Ghazali, hadis tersebut berkaitan dengan pengetahuan tentang dosa
serta akibatnya pada masa sekarang, dan keinginan untuk meninggalkan segala
dosa yang telah ia lakukan dimasa lalu dan dimasa yang akan datang. Jadi inti
tobat adalah menyesali perbuatan dosa yang dilakuakn di masa lalu dan akibatnya
yaitu terhalangnya ia dari Yang Dicintai (Tuhan) karena dosa tersebut. Lalu
bertekad untuk menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali
hubungan mesra dengan-Nya. Dengan begitu timbul lagi kesenangan dan kebahagiaan
dengan-Nya. Al-Ghazali menurunkan empat kriteri tobat, yaitu :
a. Meninggalkan
dosa dengan sekuat hati dan niat.
b. Meninggalkan
perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
c. Perbuatan
dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa yang
ditinggalkan sekarang.
d. Meninggalkan
perbuatan dosa semata-mata untuk mengagungkan Allah bukan karna yang lain.
2. Sabar
Menurut Al-Ghazali sabar ada dua, sabar
yang pertama berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul
beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan dengan perbuatan,
seperti sabar menahan pukulan yang berat, penyakit yang parah atau luka-luka
yang menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji bila sesuai dengan syariah.Sabar yang
kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang
berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau
tuntutan hawa nafsu.
3. Kafakiran
Diartikan sebagai ketak-tersedianya apa
yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini seluruh wujud
selain Allah adalah fakir karenamereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk
kelanjutan wujudnya. Tetapi yang disebut fakir disini adalah kebutuhan manusia
akan harta. Yang penting di antaranya adalah zuhud. Tapi ada juga yang lebih
tinggi dari zuhud, yaitu keadaan dimana keberadaan dan ketiadaan harta tidak
mengubah kebahagiaan seseorang. Kalau mendapatkan harta, ia tidak menampakkan
kebahagian yang berlebihan, demikian juga kalau ia tidak memilikinya, tidaklah
ia sedih dibuatnya.
4. Zuhud
Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya
perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan
celaan, karena kerabatnya dengan Tuhan. Al-Ghazali menyebutkan tiga tanda
zuhud. (1) tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada yang
hilang, ini adalah tanda zuhud dalam harta (2) sama saja baginya orang yang
mencela dan orang yang memujinya, ini adalah tanda zuhud dalam kedudukan (3)
hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan
dan cinta Allah.
5. Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan
kepada seseorang yang kemudian disebut wakil dan mempercayakan kepadanya dalam
urusan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada
orang lain (wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya
baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tentu saja dalam
hal ini yang dimaksud adalah tawakal kepada Allah. Keadaan tawakal ada
tigatingkatan : (1) keadaan menyangkut hak Allah dan keyakinannya kepada
jaminan dan perhatian-Nya adalah seperti keyakinannya kepada wakil (2) yang
lebih kuat, yaitu keadaanya bersama Allah adalah seperti keadaan anak kecil
bersama ibunya. Dimana ia tidak mengenal yang lainnya, dan tidak bersandar
kecuali kepadanya. (3) keadaan tawakal yang paling tinggi, yaitu hendaknya ia
berada di hadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya, seperti mayat yang ada
di tangan orang yang memandikannya. Ia punya keyakinan yang kuat bahwa Allah
adalah penggerak semua gerak, kekuatan, kemauan, pengetahuan dan semua sifat lainnya.
6. Cinta
ilahi (al-mahabbah)
Manurut Al-Ghazali orang yang mencintai
sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah, maka orang itu melakukannya
karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun cinta kepada selain
Allah tapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang baik.
Misalnya cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah
kecintaan kepada Allah. Pokoknya cinta kepada siapa pun yang Allah cintai
adalah baik, karena pencinta kekasih Allah adalah pencinta Allah.
Alasan bahwa Allah adalah yang paling
berhak mendapat cinta kita ada lima. (1) cinta manusia kepada dirinya menuntut
adanya cinta kepada Allah, karena wujud dan kesempurnaanya berasal dari Allah
(2) cinta kita kepada manusia yang berbuat baik, tidak bias dipisahkan dari
kecintaan kita kepada siapapun yang telah berbuat baik. Tetapi Allah adalah
pemberi terbaik, dan karena itu paling patut mendapat cinta kita (3) apabila
kita mencintai orang-orang besar dimasa lalu, maka ketahuilah bahwa sumber
kebaikan mereka tidak lain daripada Allah (4) manusia mencintai keindahan, tapi
ketahuilah bahwa segala keindahan yang ada berasa dari-Nya (5)manusia mencintai
karena kedektannya, kedekatan manusia dengan Allah adalah karena upaya ia
meneladani sifat-sifat tertentu Allah. Maka yang diteladani itu paling berhak
kita cintai.
7. Rida
Rida terkait erat dengan cinta. Kalau
cinta kepada Allah telah tertanam di hati seseorang, maka cinta tersebut akan menimbulkan
rasa rida atau senang atas semua perbuatan Tuhan, karena dua alasan : (1) cinta
bias menghilangkan sakit atau luka yang menimpa diri seseorang (2) ia mungkian
merasakan kesakitan atas apa yang menimpanya, tetapi ia merasa rida atasnya.
Misalnya, musibah yang diterimanya dari Allah, karena yakin bahwa pahala yang
akan dijanjikan Allah lebih besar, maka ia akan rela bahkan menginginkannya dan
mensyukurinya. Ini kalau ia peduli dengan pahala. Tetapi ketika cinta yang
telah mendominasikannya, maka kehendak sang kekasih dan rida-Nyalah yang lebih
ia cari dan ia cintai.
C.
ANALISIS
DATA
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i
Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia
dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M[5].
Ayah Al-Ghazali
adalah seoang miskin pemintal kain wol yang sangat taat, sangat menyenangi
ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang
wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada
seorang sufi. Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan
mengajar keduanya. Kemudian, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut kepada
pengelola sebuah madrasah untuk belajar.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian,
Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia
berguru kepada Imam Haramain. Selama berada di Naishabur, Al-Ghazali tidak
hanya belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk
belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Karena kemahirannya dalam
masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan
yang menghanyutkan).
Setelah Imam
Haramain wafat (487 H/ 1086 M) dan Al-Ghazali diminta menjadi profesor
pemikiran Islam di Universitas Nizamiyah di Kota Baghdad oleh Nizam Al-Mulk
(wafat 485 H/ 1091 M). Nama Al-Ghazali menjadi termasyhur dikawasan kerajaan
Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk
menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia
juga aktif mengadakan perdebatan dengan paham golongan-golongan yang berkembang
waktu itu.
Bahkan konon, ketika ia datang ke
istana, perdana Mentri Nizam Al-Mulk menempatkan Al-Ghazali pada sebuah kursi
yang lebih indah dan lebih tinggi dari pada kursinya sendiri, akan tetapi
kedahagaan spiritualnya tidak bisa diobati leh semua kemenangan duniawinya.
Al-Ghazali pergi menuju Mekkah bersimpuh di hadapan makam Nabi Ibrahim as dan
berdoa memohon kepada Allah SWT agar hatinya di teguhkan dalam menempuh jalan
sufistik. Ia berjanji tidak mau lagi menginjakkan kaki nya di istana dan ia pun
berjanji tidak akan menerima upah dalam bentuk apapun dari pemerintahan istanah
raja saat itu.
Sejak itulah
Al-Ghazali menempuh jalan suluk sufistik
dengan melakukan mujahadah dan riyadhah dengan menanggalkan pakaian-pakaian
kebesarannya seraya memakai pakaian yang buruk, kumel, dan lusuh agar tak
seorangpun yang mengenalnya. Al-Ghazali
terus melakukan pencarian spiritual kurang lebih selama sepuluh tahun hingga
akhirnya tirai-tirai kegaiban disingkapkan, ia merasakan kehadiran sang Khalik
secara langsung melalui penglihatan bashiroh
mata batin, lenyaplah segala keraguan yang menyelubungi hatinya selama ini,
dan ia menggenggam mutiara keyakinan yang dinamakan oleh orang-orang arif
dengan hakul yakin, sebuah keyakinan dengan penyaksian matahati langsung yang
terbebaskan dari segala bentuk keraguan sedikitpun.
Setelah memperoleh kebenaran hakiki
pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di
Th[6]us
tanggal 19 Desember 1111 Masehi, atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun
505 Hijriah (pada umur 52-53 tahun), dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
Al-
Ghazali memilih tasawuf sunni (tasawuf akhlaki) yang berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia menjauhkan
tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan
sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral.
Menurut Al- Ghazali, jalan menuju
tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta
membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari
segala sesuatu yang selain Allah SWT.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan
ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu
pendekatan diri kepada Allah swt tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan
menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah
moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan
menuju Allah swt. Makrifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam
tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Menurut
Al-Ghazali, makrifat adalah mengetahui rahasia Allah swt. Dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh makrifat
bersandar pada sir, qalb, dan roh. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa qalb dapat
mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan
kosong, tidak berisi apa pun saat itulah ketiganya akan menerima iluminasi
(kasyf) dari Allah.
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuia dengan watak, sedangkan
watak sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar
yang bagus dan indah; nikmatnya telinga terletak mendengar suara yang merdu.
Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat-makrifat terletak ketika
melihat Allah swt. Hal ini merupakan kenikmatan paling agung tiada taranya
karena makrifat itu agung dan mulia. Dalam karyanya khususnya Ihya Al-Ghazali
menjelaskan berbagai ajaran tasawuf yang dicoba dikombinasikan dengan syariah
dengan baik berikut adalah metode Tasawuf Akhlaki menurut Imam Al-Ghazali
seperti tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, dan rida.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf
akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlaki. Akhlak erat hubungannya
dengan prilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan
tempat tinggalnya. Jadi tasawuf aklaki dapat terealisasi secara utuh, jika
pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah SWT dibuktikan dalam kehidupan
sosial[7].
Tasawuf
akhlaki ini juga dikenal dengan tasawuf Sunni, yaitu bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist secara ketat, serta mengaitkan
ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan Rohaniah) mereka pada dua sumber
tersebut.
Tokoh
sufi yang termasuk tasawuf akhlaki adalah Imam Al-Ghazali atau nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali, yang dilahirkan dikampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad
bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi
Nizhamiyah di Naizhabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain.
Al-Ghazali
merupakan seorang manusia dengan pengetahuan yang amat luar biasa, yang
menyerap keseluruhan kebudayaan keilmuan pada zamannya. Al-Ghazali terlibat
dalam pengembangan ilmu teologi, filsafat, astronomi, politik, ekonomi,
sejarah, hukum, sastra, musik, etika, sufisme, kimia, ilmu kedokteran dan
biologi. Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tak dapat dibantah lagi dan begitu
meluasnya hingga saat ini, kerya-karya tulisannya dan pemikirannya dalam
berbagai buku tetap digemari dan dibaca secara meluas diseluruh dunia islam.
Demikian
pula ketika Al-Ghazali lebih mengutamakan ilmu tasawuf ketimbang ilmu-ilmu
lainnya, menyebabkan tumbuhnya pandangan pada sebagian umat islam yang
meremehkan ilmu-ilmu umum. Banyak kaum muslim selamjutnya lebih memfokuskan
pada ilmu-ilmu ukhrawi demi keselamatan diakhirat dan melalaikan ilmu-ilmu
duniawi yang bersifat umum. Sehingga tidak mengherankan jika Al-Ghazali sering
diasosialisasikan dengan sikap-sikap pasif yang mengajarkan sekap menyendiri
dan melepaskan diri dari keterlibatan dan persoalan-persoalan duniawi[8].
Namun
terlepas dari berbagai catatan kritis tersebut, Al-Ghazali merupakan tokoh
intelektual besar islam. Hal ini ditunjukkan dengan semangat intelektualnya
yang amat tinggi sehingga mendorongnya untuk mengkaji apa saja yang ada pada
lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta:
Erlangga, 2006)
Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)
Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam Dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013)
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf Dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
TAKUT MENANG TAPI TIDAK DI BAYAR ???
BalasHapusMau menang banyak dan langsung cair dalam hitungan menit ?
Hanya di P'O'K'E'R V`1`T`A yang bisa memuaskan pemain Judi Poker Online tanpa diragukan lagi.
100 % AKAN KAMI BAYAR ATAUPUN KEMBALIKAN DANA YANG ANDA MENANGKAN, BERAPAPUN NILAI NOMINAL TERSEBUT
BAHKAN RATUSAN JUTA !!!
P'O'K'E'R V`1`T`A Menyediakan BONUS-BONUS Untuk ANDA Diantaranya :
-BONUS REFERRAL 15% (SEUMUR HIDUP/SETIAP SENIN )
-BONUS CASHBACK TUROVER ( SETIAP HARI )
-NO ROBOT,NO ADMIN
-Proses Deposit dan Withdraw Dengan Cepat
-Dilayani CS Yang Ramah Dan Profesional
-Menyediakan 5 bank lokal : BCA,BNI,BRI,MANDIRI, DAN DANAMON
Festival Poker 2019
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
Makalah yang menarik, smoga menambah semangat literasi dan menambah khazanah keilmuan, utk kritikan sy tujuan ke sub konsep ajaran alinea ke 3 dan seterusnya yang terdapat kata "syahadat" menurut sy kata tersebut semestinya digantikan dengan kata "syatahat", terimakasih
BalasHapusMakalah ini sangat menambah semangat saya untuk mempelajari keilmuan tasawuf Al-Ghazali, ini sangat bermanfaat bagi saya
BalasHapusKx gak ada saran nya ya
BalasHapus