PENYELESAIAN
SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan
masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam
undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut
eksistensi bank Islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit,
melainkan baru disebutkan dengan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”.
Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut yang menyatakan adanya bank berdasarkan
prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya
kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank Islam di Indonesia.
Upaya terus
menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank
syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008
tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya
undang-undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di
Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya
dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Seperti
diketahui, prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas
landasan ideologis saja, melainkan juga sebagai landasan operasionalnya.
Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak
hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip
syariah tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang
timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank
syariah dengan nasabahnya.
Ada berbagai
permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah antara bank
dengan nasabah. Kemungkinan-kemungkinan sengketa biasanya berupa komplain
karena ketidaksesuaian antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan
aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk
dalam draft akad, serta komplain terhadap lambatnya proses kerja. Pada awalnya
yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah
hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak
menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan
wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas
mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh.
Hal inilah
yang melatar belakangi lahirnya UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan
lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian, prinsip dan tujuan penyelesaian sengketa
perbankan syariah ?
2.
Apa landasan hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah ?
3.
Bagaimana prosedur
penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Dapat memahami prinsip dan tujuan penyelesaian sengketa
perbankan syariah.
2. Dapat memahami landasan hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah.
3. Dapat memahami prosedur
penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1. Pengertian
Penyelesaian sengketa atau yang
dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselisihan
atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk
mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.
2.
Prinsip
Penyelesaian sengketa memiliki
prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan
benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Adil dalam memutuskan perkara
sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
b)
Kekeluargaan
c)
Menjamin kerahasian sengketa para
pihak
d) Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
3. Tujuan
Tujuan diadakannya penyelesaian
sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan
dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan
persengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak
diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan
persengketaan.[1]
B. Landasan Hukum Penyelesaian sengketa
1. Al-Qur’an
terdapat dalam surat Al Hujurat ayat 9
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan
itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”.
2.
Hadits
Hadits riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan
Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda, “perjanjian diantara orang-orang muslim
itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.” At-Tirmizi dalam hal ini menambahkan muamalah orang-orang muslim itu
berdasarkan syarat-syarat mereka.
3.
Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)
menyatakan, “semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan baik”.
C. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan
Agama
1.
Penyelesaian Melalui Proses Persidangan
(Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan
kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut
secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada
menyertai substansi perkara tersebut.
Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara
tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah
mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses
pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa
perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal
penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
a) Pastikan
lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih
dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai
pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar
jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara
tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan
peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang
didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting
untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan
perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan
sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut
merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tidak
perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas
perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama.
Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak
berwenang.
Perkara yang mengandung klausula
arbitrase adalah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada
prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai
perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase
yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa
yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi
pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah
menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa
pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
b) Pelajari
secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara
perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian
bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal
penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian
atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang
dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari
Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun
hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain-lain yang disebut dengan
perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.[2]
Ketentuan-ketentuan hukum
perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan
ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Islam baik yang diatur dalam
Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan
lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam
penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka hakim
harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum Islam.
2. Prinsip utama dalam menangani perkara
perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi
syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama
sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan
prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah
di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat
(7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain
berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan
dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan
cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum
formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti
HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan
dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil Islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum
tidak banyak yang bertentangan dengan hukum Islam, tetapi tidak mustahil masih
ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa
adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip
syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala
aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.
Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim
dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada
fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu
yang menunda-nunda pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini
dikalangan ulama masih kontroversial.
Disatu sisi pihak, terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi
berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi
semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,
sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional
justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama
yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena
beralasan untuk menegakkan maqasid
asy-syariah.[3][5] Berkaitan dengan hal itu jika
dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan
secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip
syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
3. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
a) Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara
Perdata
Apabila upaya penyelesaian
melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak
mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal
18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut
akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana
mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan
syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya,
setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses
pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara
perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara
tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut
akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan
penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan
jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik
dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab
tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada
tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan
bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan.
Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya
adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan
perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil
putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut.
Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan
mengkonstituir guna menemukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara
tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.
b) Sumber-Sumber Hukum
Materiil dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah.
Dalam mengadili perkara, hakim
mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian
diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara
tersebut.[4]
Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis
adalah isi perjanjian, undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian
internasional, dan ilmu pengetahuan.[5]
Adapun bagi lingkungan peradilan
agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah
sebagai sumber utama, antara lain adalah :
1) Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah
satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan
syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana
digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata.
2) Peraturan
Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber
hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
a)
UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
b)
UU No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
c)
UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
d) UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
e) PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah
f) PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1
Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
g) SK Direksi Bank Indonesia No.
21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
h)
SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG
tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
i) Berbagai surat Keputusan dan
Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha
Perbankan Syariah.
3) Kebiasaan-kebiasaan di
bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah
mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
a) Perbuatan itu dilakukan oleh
masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama
b)
Kebiasaan itu sudah merupakan
keyakinan hukum masyarakat
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai
tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah.
4) Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di
Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara
perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan
syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran
hukum Islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons atas
pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak
memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih-lebih terhadap
pihak lain.[7] Namun
dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa
DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu
diperlakukan tersendiri.
5) Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili
perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan
hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri
yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
6) Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adalah pendapat-pendapat
para pakar hukum Islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan diatas
bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah yang
mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan
hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian
sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa
dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50
Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang
menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih
mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi
sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan
persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan
baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya.
Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapat
menempuh upaya lain, yaitu melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta
litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh
para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul
Gofur, Perbankan Syariah Di
Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2009.
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam
Perbankan Syariah, Yogyakarta : Politea Press, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1999.
Maksun, Problematika
Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum, 2000.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2002.
Salim, Hukum
Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika,
2006.
Taufik, Nadhariyyatu
Al-Uqud Al-Syar’iyah, Yogyakarta : LKis, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar