Sabtu, 02 Desember 2017

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
BAB I
PENAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank Islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan dengan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank Islam di Indonesia.
Upaya terus menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Seperti diketahui, prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan ideologis saja, melainkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.
Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah antara bank dengan  nasabah. Kemungkinan-kemungkinan sengketa biasanya berupa komplain karena ketidaksesuaian antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft akad, serta komplain terhadap lambatnya proses kerja. Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh.
Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.        Apa pengertian, prinsip dan tujuan penyelesaian sengketa perbankan syariah ?
2.        Apa landasan hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah ?
3.        Bagaimana prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama ?

C. Tujuan Penulisan
1.    Dapat memahami prinsip dan tujuan penyelesaian sengketa perbankan syariah.
2.   Dapat memahami landasan hukum penyelesaian sengketa perbankan syariah.
3.   Dapat memahami prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1.   Pengertian
Penyelesaian sengketa atau yang dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselisihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.
2.  Prinsip
Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a)        Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
b)        Kekeluargaan
c)        Menjamin kerahasian sengketa para pihak
d)       Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
3.    Tujuan
Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan.[1]

B.   Landasan Hukum Penyelesaian sengketa
1.    Al-Qur’an terdapat dalam surat Al Hujurat ayat 9
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
2.   Hadits
Hadits riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda, “perjanjian diantara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” At-Tirmizi dalam hal ini menambahkan muamalah orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
3.   Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan, “semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan baik”.

C. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama
1.    Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut.
Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
a)  Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
b)  Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antar para pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain-lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.[2]
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum Islam.
2.     Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya, bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil Islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum Islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.
Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.
Disatu sisi pihak, terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara, sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah.[3][5] Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
3.    Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
a)    Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menemukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

b) Sumber-Sumber Hukum Materiil dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah.
Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut.[4] Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.[5]
Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
1)   Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata.
2)     Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
a)        UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
b)        UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
c)        UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
d)       UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
e)    PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
f)    PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
g)       SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
h)        SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
i)   Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.  
3)    Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
a)     Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama
b)        Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat
c)        Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.[6]
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
4)  Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum Islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih-lebih terhadap pihak lain.[7] Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
5)    Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
6)    Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adalah pendapat-pendapat para pakar hukum Islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapat menempuh upaya lain, yaitu melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.

DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Gofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2009.
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, Yogyakarta : Politea Press, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1999.
Maksun, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum, 2000.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2002.
Salim, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Taufik, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, Yogyakarta : LKis, 2007.



 




[1] Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2002), hal. 34.
[2] Salim, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 7.
[3] Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, (Yogyakarta : Politea Press, 2008), hal. 6.
[4] Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 167.
[5] Taufik, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, (Yogyakarta : LKis, 2007), hal. 95.
[6] Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 99.
[7] Maksun, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, (Mimbar Hukum, 2000), hal. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar