IBADAH, PENGERTIAN DAN KEDUDUKANYA DALAM ISLAM DASAR
HUKUM PELAKSANAN IBADAH
1.
Pengertian Ibadah
A.DefinisiI badah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan
diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai
banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain
adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa
Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa
yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang
paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota
badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan
syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah
(fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan
dengan amalan hati, lisan dan badan.[1]
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.
Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا
أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا
أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.
Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi
sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah
penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada
Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada
Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong.
Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa
yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar
pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri,
sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus
terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.”
[Al-Maa-idah: 54]
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِّلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar
cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا
وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا
خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
[Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata , “Siapa yang beribadah kepada
Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq , siapa yang beribadah
kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’. Dan siapa yang beribadah
kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy . Barangsiapa yang
beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.”[2]
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu
bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak)
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[3]
:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari
kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar.
Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar
dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari
syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya
kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat
kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah
yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di
sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih
hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan
ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar
yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah
kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman:
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya
maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan
sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi
(perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad
Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali
kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik
kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk
mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di
samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama
kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang
Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka,
barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka
ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi
kita . Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti
ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna
(mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk
beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi
memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang
terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena
perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan
kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan
menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir
yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia,
mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang
melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela[4].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya
akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah
kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk
mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka
di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah
yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah
mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi
menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia
sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat
membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada
Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula
hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh
manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada
makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah
hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap
(bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah
merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada
Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari
Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama,
bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut
kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang,
dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka,
barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah
kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah
yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan
serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali
ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada
kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini
Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah
saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat
meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan
kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan
meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia
terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba
dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu
penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka.
Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan
takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah
merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat
dari siksa Neraka.
Tujuan ibadah :
Manusia, bahkan seluruh mahluk yang berkehendak dan
berperasaan, adalah hamba-hamba Allah. Hamba sebagaimana yang dikemukakan
diatas adalah mahluk yang dimiliki. Kepemilikan Allah atas hamba-Nya adalah
kepemilikan mutklak dan sempurna, oleh karena itu mahluk tidak dapat berdiri
sendiri dalam kehidupan dan aktivitasnya kecuali dalam hal yang oleh Alah swt.
Telah dianugerahkan untuk dimiliki mahluk-Nya seperti kebebasan memilih
walaupun kebebasan itu tidak mengurangi kepemilikan Allah. Atas dasar
kepemilikan mutak Allah itu, lahir kewajiban menerima semua ketetapan-Nya,
serta menaati seluruh perintah dan larangan-Nya.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di
dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan
oleh Allah untuk beribadahhal ini dapat difahami dari firman Allah swt. :
تُرْجَعُونَ لَا إِلَيْنَا وَأَنَّكُمْ عَبَثاً خَلَقْنَاكُمْ أَنَّمَا أَفَحَسِبْتُمْ
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya
kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami? (QS al-Mu’minun:115)
Karena Allah
maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya,
bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah
agar menusia itu mencapai taqwa
2. Makna
Ibadah dalam Islam
a. Ibnu
Taimiyyah menyatakan bahawa: Ibadah ialah nama yang menggabungkan setiap
perkara yang di sukai dan diredai Allah semata dari jenis perkataan atau
perbuatan, batin atau lahir.
b.
Selanjutnya beliau menyatakan: Maka solat, zakat, puasa, haji, berkata
benar, menunaikan amanah, berbakti kepada ibu-bapa, menghubungkan sillaturrahim,
menepati janji, menyuruh kepada
kebaikan, mencegah daripada kejahatan, berperang menentang orang kafir
dan munafik, bersikap ihsan kepada jiran, anak yatim, orang miskin, orang yang
kekurangan bekalan dalam perjalanan, hamba sahaya dan ihsan kepada binatang
peliharaan, berdoa, berzikir, membaca Al Quran, semuanya itu termasuk
sebahagian daripada ibadat. Demikian
pula cinta akan Allah dan cinta akan Rasul Nya, takut kepada Allah,
merujukkan sesuatu kepada Nya, memurnikan ketaatan kepada Nya, bersabar
menerima hukum Nya, bersyukur atas segala kurniaan Nya, reda dengan qada’ dan
qadar Nya, bertawakal kepada Nya, mengharap rahmat Nya dan takut kepada azab
siksa Nya dan amalan-amalan lainnya semuanya itu termasuk 'Al Ibadah'.
c. Menurut
Doktor Ibrahim Al Buraikan, Ibadah ialah: Nama yang mencakupi segala sesuatu
yang diredai Allah dan dicintai Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan
yang zahir mahupun yang batin, dengan penuh rasa cinta, kepasrahan (menyerah)
dan ketundukan (taat) yang sempurna, serta membebaskan diri daripada segala hal
yang bertentangan dan menyalahinya.
d. Dari
keterangan diatas kita dapat membuat kesimpulan bahawa makna Ibadah menurut
istilah ialah: Seluruh kegiatan lahir dan batin dalam pengamalan aqidah, syariah
dan akhlak yang diikuti dengan rasa cinta kepada Allah swt. (Al An'am
6:162-163)
3. Kedudukan Ibadah dalam Islam
1. Bahagian
ini amat penting dipelajari agar terbentuknya sahsiah Muslim yang memahami
ibadah dengan benar dan sanggup mengamalkannnya didalam kehidupan ini.[5]
2. Ini
kerana hidup ini hanyalah BERNILAI, apabila dipenuhi dengan amal ibadah kepada
Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan jin dan manusia tidak ada tujuan
lain melainkan hanya untuk beribadah kepada Nya sahaja dan hanya beribadah itu
sahajalah jalan yang dapat menyelamatkan jin dan manusia di dunia dan di
akhirat nanti. (Az Azzariyat 51: 56)
3. Itulah
sebabnya Allah selalu memerintahkan dan menggalakkan manusia khususnya orang
yang beriman agar memenuhi hidupnya untuk beribadah kepada Allah sahaja. (Al
Baqarah 2:21; Al Bayyinah 98:5)
4. Khususnya
kepada orang-orang yang beriman, Allah telah memberikan panduan, agar pada
setiap solat (sewaktu membaca doa iftitah) mereka mengucapkan secara tegas
suatu pernyataan, bahawa hanya kepada Allah sahaja kita beribadah: Sesungguhnya
solat ku, ibadah ku, hidup dan mati ku
adalah untuk Allah Rabb sekalian alam.(Hadis Riwayat Muslim)
5. Setiap
Rasul yang diutus kepada setiap umat, antara inti dakwah dan seruannya ialah
agar umatnya beribadah kepada Allah dan menjauhi Toghut (seseorang yang
melampui batas). (An Nahl 16:36)
6. Dan
demikianlah pentingnya pengertian beribadah kepada Allah dalam kehidupan di
dunia ini. Maka sudah seharusnya kita sebagai manusia yang beriman mencurahkan
segala perhatian kita untuk memahami erti dan hakikat ibadah ini sehingga dapat
memahaminya dengan benar-benar, dan selanjutnya dapat kita amalkan.
7. Ini
kerana sememangnya kita hidup di dunia ini tidak lain hanyalah untuk beribadah
kepada Allah sahaja.
8. Walaubagaimanapun
kita harus menerima satu kenyataan bahawa kebanyakan umat Islam keliru dan
salah faham tentang hakikat ibadah. Kebanyakan mereka menyangka bahawa ibadah
itu hanyalah berupa amalan-amalan penyembahan kepada Allah sahaja, seperti
solat, puasa, haji, zikir, zakat, membaca Al Quran, qorban, aqiqah dan pelbagai
lagi ibadah biasa berbentuk ritual semata-mata. Sedangkan itu sebenarnya
hanyalah sebahagian daripada tuntutan ibadah kepada Allah.
9. Kepada
mereka ibadah itu hanyalah di masjid, ketika ijab dan qabul (pernikahan),
sewaktu kematian dan ketika berdoa.
10. Ada
dikalangan umat Islam juga menganggap dan mengatakan bahawa Islam hanya
bersangkut-paut dengan hubungan manusia dengan Allah sahaja dan tidak mengatur
hubungan manusia dengan manusia (muamalat) dan hubungan manusia dengan alam.
Pada mereka ibadah itu hanya di masjid dan hanya di masjid sahaja.
11. Pada
mereka menjadi sesuatu yang aneh sekiranya kita mengatakan pada mereka bahawa
ibadah itu juga berlaku di rumah, pejabat, kelas, universiti, pasar-pasar
malam, kedai serbanika, kedai-kedai makan, parlimen, medan peperangan, mahkamah
dan di mana-mana sahaja tempat-tempat lain selain masjid.
12. Mereka
juga merasa aneh jika mereka diajak untuk beribadah kepada Allah dalam soal
pentadbiran negara, ekonomi, pendidikan, ketenteraan, sosial, perlembagaan dan
perundangan negara, hubungan luar, kebudayaan, sukan, undang-undang jenayah,
perlancongan dan teknologi.
13. Mereka
juga berasa aneh sekiranya seorang pemimpin negara membaca khutbah jumaat dan
mereka juga merasa aneh jika seseorang mengatakan kepada mereka tidak ada
sekularisme di dalam Islam. (pemisahan antara segala aspek muamalat dengan
Syareat Islam)
14. Pada
mereka urusan negara mesti dipegang oleh pemimpin yang dipilih melalui
pilihanraya dan pemimpin itu bukanlah seseorang yang memiliki Ilmu Dien,
memperjuangkan Dienul Islam, berjanggut dan berjubah manakala urusan Islam pula diberikan kepada
Imam dan juga mufti. (itupun hanya dalam persoalan ibadah mahdah/ khusus
sahaja)
15. Padahal
ibadah itu hakikatnya meliputi seluruh kehidupan manusia. (Az Azzariyat 51: 56;
Al An'am 6:162-163; Al Bayyinah 98:5)
Sesungguhnya solat ku,
ibadah ku, hidup dan mati ku adalah untuk Allah Rabb sekalian
alam.(Hadis Riwayat Muslim)
16. Terdapat
juga satu golongan lain yang terlalu berlebih-lebihan dalam perlaksanaan
ibadah. Mereka menganggap perkara sunat sebagai wajib dan perkara-perkara yang
mubah (harus) dianggap haram. Mereka cepat mengkafirkan golongan lain dan cepat
pula menghukum haram dan bida’ah nya sesuatu perbuatan.
17. Mereka
ini dalam beribadah (terutama sekali ibadah-ibadah mahdah/ khusus) tidak
berpandukan wahyu Allah dan petunjuk Rasul Nya dan mencipta ibadah-ibadah baru
kononnya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sesiapa yang mengerjakan sesuatu amalan yang bukan
daripada kami, maka amalan itu tertolak.(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
18. Mereka
pernah wujud pada zaman Nabi saw. Mereka ingin berpuasa sepanjang masa tanpa
berbuka, solat sepanjang malam tanpa tidur seketikapun dan tidak mahu berkahwin
dengan wanita.
19. Lalu
Rasulullah saw mencegah sahabatnya itu supaya tidak terlalu berlebih-lebihan
dengan sabdanya yang mulia:
Maka akupun berpuasa dan akupun berbuka, aku solat
namun aku juga beristirehat, dan aku juga menikahi wanita-wanita. Maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunnah ku, ia bukan dari golongan ku. (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam pengajian yang singkat ini dengan izin Allah
SWT, kita berusaha untuk memahami makna dan hakikat ibadah, sehingga kita dapat
mengamalkan dengan berdasarkan pemahaman yang benar dan sempurna dalam batas
yang dapat kita jangkau. Semoga dengan demikian selamatlah hidup kita di dunia
dan di akhirat amin
[1] Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam,
Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hlm. 1
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007, Hlm. 29-31
[3] .,Ibid., Hlm
22
[4] Hasan
Langugulung, Manusia dan Pendidikan suatu
analisa psikologi dan pendidikan, Jakarta, Al Khusna Zikra, 1995 Hlm. 147
[5] Mahmud Yunus, Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta,
Hidakarya Agung, 1978, Hlm. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar