DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB I PE................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A.
Pengertian Pranata Sosial Islam.....................................................................
B.
Sumber Pranata Sosial Islam..........................................................................
C.
Asas-Asas Pranata Sosial Islam......................................................................
D.
Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam.............................................................
E Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam..............................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama dan nilai-nilai
agama merupakan fakta yang konstan yang ada pada setiap masyarakat manusia sepanjang
masa. Agama dan nilai-nilai agama bersatu dengan unsur-unsur budaya membentuk
system dan struktural yang membina dan yang memunculkan arah kehidupan manusia
yang secara nyata telah membedakaan kehidupan dan kualitas kehidupan manusia
dari makhluk lainnya dibandingkan dengan faktor-faktor sosial budaya, maka
faktor agama itulah yang sangat berpengaruh pada semua segi kehidupan mereka.
Dari segi ajaran agama
dapat dikatakan bahwa agama merupakan sumber motivasi perilaku masyarakat dan
bangsa. Keinginan untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kesejahteraan sesama
warga bangsa akan lebih berhasil bila pula disertai motivasi keagamaan.
Pranata sosial adalah
norma-norma yang mengatur kehidupan sekelompok manusia atau disebut masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud disni adalah sekelompok orang yang saling berhubungan
yang berpusat pada berbagai aktifitas guna memenuhi kebutuhan hajat hidup
manusia secara kompleks, dengan kata lain pranata sosial disini adalah
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di masyarakat. Kemudian,
permasalahannya yang akan dibahas nanti adalah, mengapa manusia perlu
lembaga-lembaga tersebut? Ini membuktikan, bahwa manusia itu adalah makhluk
sosial yang memerlukan bantuan orang lain, walaupun ia sendiri dilahirkan
sendirian tetapi ketika berinteraksi dengan lingkungan ia memerlukan banyak
orang untuk saling mengenal bekerjasama dan saling tolong menolong.
Hal ini telah digariskan oleh Allah SWT dalam Surah
al-Hujurat ayat 13: Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
saja Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam?
2. Bagaimana
Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam?
3. Apa
saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Dapat
mengetahui Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam.
2. Bagaimana
Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam.
3. Apa
saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pranata Sosial Islam
Beberapa ahli sosiologi menterjemahkan
pranata social dengan istilah yang beengatur tingkah laku manusia di
masyarakat. Dengan demikian pranata social erat hubungannya dengan budaya
manusia. Bagi ummat Islam tentu saja hal ini berasal dari ajaran dasar yaitu
pengembangan dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dilihat dari aspek kesejarahan maka
pranata social dalam masyarakat Islam yang pernah menonjol adalah dalam bidang
hukum, politik atau pemerintahan, peradilan, keamanan, kesehatan dan
kesejahteraan.[1]
B. Sumber Pranata Sosial Islam
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah
Swt yang dituangkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat
al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan ayat. Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini.
Ayat-ayat al-Qur’an yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga.
Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah
(pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab” (Q.S. Al-An’am/6: 38).[2]
Pada masa sahabat apabila mereka
menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan mereka lebih dahulu berpegang
pada nash al Qur’an kemudian al-Hadits. Namun apabila tidak ditemui
pemecahannya mereka berijtihad untuk menemukan hukumnya. Dalam berijtihad
mereka berpegang pada pengalaman dalam bidang syariat, pergaulan mereka dengan
Nabi dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Terkadang mereka menetapkan hokum dengan qiyas yaitu mengqiyaskan sesuatu yang
ada nashnya. Terkadang pula hokum ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan dan
menolak kemudharatan. Dengan demikian para sahabat memperkaya bahkan
mengembangkan hokum Islam. Memang terdapat perbedaan pemahaman antara para
mujtahid dalam memahami yang tersurat atau tersirat dalam al-Qur’an dan
al-Hadits, lebih-lebih ketika Islam telah meluas dan ummat Islam mengenal
berbagai intuisi, pemikiran dan budaya dimana Islam berkembang. Ketika
masing-masing pemahaman itu mendapat pengikut maka lahirlah apa yang dinamakan
madzhab dalam fiqh. Madzhab itu muncul dan berkembang dalam perjalanan sejarah
Islam ketika kondisi social, politik dan ekonomi menuntut keberadaannya. Dalam
literature Islam tentang madzhab dalam fiqh yang pertamakali dikenal adalah
yang beridentifikasi dengan kota tempat tinggal mujtahid/ pimpian madzhab. Maka
dikenallah madzhab Kuffah, Madinah dan Syiria. Sangat sulit untuk menentukan
kapan madzhab itu muncul, keberadaannya bertahap, tumbuh dengan perlahan-lahan
menurut kebutuhan situasi dan kondisinya dan menurut catatan sejarah, tidak
seorang mujtahid yang sengaja atau mengaku dirinya membentuk madzhab.
Dikalangan ulama/mujtahidin dalam ijtihadnya terdapat perbedaan-perbedaan,
mereka masing-masing mempunyai dasar yang mereka pegangi, kemudian pendapatnya
itu tersebar ke mana-mana dan dianut oleh masyarakat kaum muslimin.[3]
Pada abad II H/VIII M madzhab tidak lagi
diidentifikasikan dengan tempat melainkan dikaitkan dengan nama kelompoknya,
maka lahirlah Madzhab Ashhab Auza’I (pengikut auza’i) di Syria, Madhab Ashhab
Abu Hanifah di Kuffah, Ashhab Malik Ibn Anas di kalangan penduduk Madinah.
Selanjutnya pada abad III H
madzhab-madzhab ini beridentifikasi dengan nama seseorang, maka lahirlah
madzhab Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), madzhab Malik Ibnu Anas (w. 179 H/795 M),
madzhab Asy-Syafi’I (w. 204 H/820 M) dan madzhab Ibnu Hambal (w. 241 H/855 M).
Sebenarnya masih banyak lagi madzhab, akan tetapi empat madzhab itulah yang
lebih dikenal dan dapat bertahan hingga sekarang. Tampaknya yang mendorong
timbulnya ilmu fiqh lebih banyak didorong oleh kebutuhan agama. Lain halnya
yang mendorong timbulnya ilmu Tauhid/Kalam lebih didominasi oleh factor
politik, seperti timbulnya Madzhab Khawarij, dan Murji’ah.
Sejak keberadaannya, madzhab fiqh itu
menjadi panutan atau identik dengan taklid, dan taklid dipandang sebagai sumber
keterbelakangan, maka mulai abad kesembilan belas Masehi yaitu yang disebut
abad kebangkitan ummat Islam, timbullah gerakan yang mencanangkan kembali
kepada al-Qur’an dan al-Hadits atau setidak-tidaknya dalam kondisi ittiba atau
mengikuti metode berfikir yang tertuang dalam kaidah usul fiqh atau kaidah
fiqhiyah yang dipakai oleh para imam madzhab yang disesuaikan dengan kondisi
dan tempat ia berada, yang pada gilirannya akan hilanglah fanatisme terhadap
madzhab tertentu. Hal ini didorong pula oleh kebutuhan kehidupan yang semakin
pragmatis akibat adanya tantangan modernisasi dan globalisasi.
C. Asas-Asas
Pranata Sosial Islam
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa
Allah yang Maha Kuasa terlibat dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud
diwaktu manapun yang tak memerlukan Allah.[4]
Termasuk adanya akal menyebabkan manusia mengenal generalitas berbagai hal
serta garis-garis utama kebenaran dan kebatilan. Tetapi dalam hal-hal mendetai
dan halus ia memerlukan tuntunan lain. Akal tidak mempunyai kemampuan untuk
melihat semua detail. Misalnya, semua orang bijaksana tahu bahwa keadilan
adalah baik, dan kedzaliman adalah buruk. Tetapi mereka tak dapat membedakan
detail-detail kasus keadilan dan kedzaliman untuk menentukan dimana tepatnya
keadilan dan kedzaliman itu. Hal ini dapat sampai pada suatu titik dimana
kebenaran dipandang sebagai kebatilan, dan keadilan sebagai kedzaliman. Allah
Yang Maha bijaksana yang menciptakan manusia untuk mencapai kesempurnaan secara
sukarela tidak membiarkannya tanpa tuntunan semacam itu. Allah telah menimpali
kekurangannya dalam pemahaman dan pengenalan dengan wahyu dan kenabian
(nubuwwah).[5]
Tuntunan tersebut ada tuntunan umum dan
tuntunan khusus. Tuntunan umum yakni tuntunan yang meliputi kaum mukmin dan
kaum kafir, yang bajik maupun yang durhaka. Sedangkan tuntunan khusus yakni
tuntunan yang hanya untuk kaum mukmin, dimana orang kafir tidak berhak atasnya.
Tuntunan khusus hanya meliputi orang-orang yang secara ikhlas beribadah kepada
Allah Swt.
Untuk memperoleh tuntunan khusus Ilahi
dan sekaligus terangkul dalam kewalian khusus Allah kita harus menghargai
nikmat Allah, membuang egoism dan menggantikannya dengan takwa. Ini tak
tercapai dengan slogan semata, tak akan didapat dengan melaksanakan shalat
belaka. Untuk itu hati manusia harus diserahkan kepada Allah dan motif amal
perbuatan haruslah suci. Semangat keakuan dan kelompok harus dihapus dari
kehidupannya; maksud dan tujuannya haruslah hanya demi kesempurnaannya. Ia
harus menghasratkan tuntunan Allah bagi dirinya dan orang lain dan tidak
menghendaki apapun selain keridlaan Allah Swt.[6]
D.
Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam
Tidak semua pemecahan masalah hokum atas
berbagai kehidupan manusia di dunia ini dirinci secara jelas dan tegas dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullaah Saw. Oleh karena itu lewat pendekatan
linguistic (al-qawaaid al-lughawiyyah) para ahli ushul berusaha menetapkan
kaidah-kaidah hokum. Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab akan dapat
dipahami kandungan hokum-hukumnya dengan pemahaman yang sahih (valid) dengan
memperhatikan bahasa Arab dan cara-cara pemahamannya. Pendekatan linguistic itu
saja tidaklah memadai dan tidak cukup membantu memahami kaidah hokum. Oleh
karena itu, berkenaan dengan persoalan ini para ahli ushul menetapkan
kaidah-kaidah hokum yang dikenal dengan istilah al-qawaaid al-tasyri’iyyah.
Para imam madzhab dalam mengistinmbatkan suatu hokum memiliki kerangka pikir
tertentu yang dapat dijadikan sebagai aturan pokok, sehingga hasil ijtihadnya
dapat dievaluasi secara obyektif oleh penerus-penerusnya. Kendati demikian
kemampuan imam madzhab tidaklah sama, ketidaksamaan itu adakalanya
dilatarbelakangi oleh kondisi serta lingkungan dimana ia berada. Oleh karena
itu ia mencoba membahas generalisasi pokok-pokok pikirannya melaluli
kaidah-kaidah dasar sebagai acuan dalam beristinbat. Melalui kaidah-kaidah
dasar tersebut dapat diketahui titik relevansi antara satu ijtihad dengan
ijtihad lainnya. Aturan-aturan pokok inilah yang disebut dengan al-qawaid
al-fiqhiyyah.
Kajian fiqh sangatlah luas, oleh karena
itu perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang sifatnya
universal. Kaidah-kaidah ini berfungsi sebagai klarifikasi terhadap masalah-masalah
furu’menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan
dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah ini para
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengeluarkan hokum bagi suatu masalah.
Kaidah-kaidah
yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada
lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam
kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima kaidah pokok
tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams (kaidah-kaidah yang lima). Kelima
kaidah tersebut:
1.
Setiap perkara
tergantung pada niatnya.
2.
Kemadharatan
harus dihilangkan.
3.
Adat dapat
dipertimbangkan menjadi hokum.
4.
Kesulitan
(kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5.
Keyakinan tidak
dapat hilang oleh keraguan.[7]
E Bidang-Bidang
Pranata Sosial Islam
Berkenaan dengan
ketertiban masyarakat, adalah ummah bertujuan sebagai saksi bagi perwujudan
perutusan Tuhan seperti yang tertera dalam Al-Qur’an atau terutama pelaksanaan
ibadah dan amanah. Untuk melaksanakan ketertiban social berdasar pada semua
ini, maka ahli-ahli fikih Islam telah menghimpun dan menyusun
peraturan-peraturan Tuhan untuk menciptakan system yang disebut syari’ah atau
Undang-Undang Suci Islam. Undang-undang ini dari segi sejarahnya telah diatur
di bawah Lima kategori umum:
1.
Kepercayaan
(I’tiqadat) yang terdiri dari enam pasal tentang kepercayaan Islam.
2.
Akhlak atau adab
yang membahas tentang keutamaan-keutamaan atau kebaikan akhlak.
3.
Persembahan
kepada Tuhan dan ibadah yang diuraikan dalam rukun Islam yang lima.
4.
Muamalah yang
membicarakan tentang kewajiban individu dalam masyarakat dan meliputi
perjanjian, jaminan, perkongsian dan perniagaan disamping hal-hal yang termasuk
di bawah tajuk undang-undang perdata atau keluarga seperti perkawinan, mahar,
talak, warisan, anak angkat, dan lain-lain.
5.
Hukuman
(‘Uqubat) yang berhubungan dengan pencurian, perzinaan, saksi palsu, dan
lain-lain.
Kelima prinsip ini
menunjukkan bagaimana luasnya hukum Islam yang sebenarnya meliputi semua
tingkah laku manusia. Selanjutnya aspek agama dan moral meliputi semuanya, maka
semua tindakan dibagikan kepada yang berikut ini:
1.
Wajib (fard),
baik sebagai individu atau sebagai kumpulan.
2.
Dianggap baik
(Sunnah, mandub, mustahab).
3.
Mubah atau boleh
dibuat.
4.
Makruh atau
dianggap tidak baik.
5.
Dilarang
(haram).
Seperti telah diterangkan, sumber
pertama undang-undang Islam adalah Al-Qur’an yang pada dasarnya adalah
Peraturan Ilahi dan nasehat-nasehat moral tentang kepercayaan kepada Allah,
kasih sayang, kebaikan hati, kejujuran, menepati janji, kesabaran, keberanian
dan lain-lain.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah
Swt yang dituangkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat
al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan ayat. Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang
harus diberi ketetapan hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini.
Ayat-ayat al-Qur’an yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga.
Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah
(pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa
Allah yang Maha Kuasa terlibat dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud
diwaktu manapun yang tak memerlukan Allah. Termasuk adanya akal menyebabkan
manusia mengenal generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan
kebatilan. Tetapi dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan lain.
Kaidah-kaidah
yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada
lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam
kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima kaidah pokok
tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams (kaidah-kaidah yang lima). Kelima
kaidah tersebut:
1.
Setiap perkara
tergantung pada niatnya.
2.
Kemadharatan
harus dihilangkan.
3.
Adat dapat
dipertimbangkan menjadi hokum.
4.
Kesulitan
(kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5.
Keyakinan tidak
dapat hilang oleh keraguan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ade
Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta
: Gaya Media Pratama
Hasan
Langgulung, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-HusnaM.
Yusran
Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh
dan Pranata Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Muhammad
Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam,
Jakarta : Lentera
[1] M. Yusran
Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh
dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.101.
[2] Ade Dedi
Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta
: Gaya Media Pratama), hlm.1
[3] M. Yusran
Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh
dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.102.
[4] Muhammad Taqi
Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam,
(Jakarta : Lentera), hlm.47.
[5] Muhammad Taqi
Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.70.
[6] Muhammad Taqi
Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.73.
[7] Ade Dedi
Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, ..., hlm.201, 214, 218, 225,
231. Lihat juga : Asjmuni Abdurrahman, 2003. Qawa’id Fiqhiyyah, Arti, Sejarah,
Dan Beberapa Qa’idah Kulliyah.(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah), hlm.19-54.
[8] Hasan
Langgulung, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka Al-Husna), hlm : 88-90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar