Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH PENGANTAR PRANATA SOSIAL ISLAM Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii

BAB I PE................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN      3
A. Pengertian Pranata Sosial Islam.....................................................................
B. Sumber Pranata Sosial Islam..........................................................................
C. Asas-Asas Pranata Sosial Islam......................................................................
D. Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam.............................................................
E  Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam..............................................................

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Agama dan nilai-nilai agama merupakan fakta yang konstan yang ada pada setiap masyarakat manusia sepanjang masa. Agama dan nilai-nilai agama bersatu dengan unsur-unsur budaya membentuk system dan struktural yang membina dan yang memunculkan arah kehidupan manusia yang secara nyata telah membedakaan kehidupan dan kualitas kehidupan manusia dari makhluk lainnya dibandingkan dengan faktor-faktor sosial budaya, maka faktor agama itulah yang sangat berpengaruh pada semua segi kehidupan mereka.
Dari segi ajaran agama dapat dikatakan bahwa agama merupakan sumber motivasi perilaku masyarakat dan bangsa. Keinginan untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kesejahteraan sesama warga bangsa akan lebih berhasil bila pula disertai motivasi keagamaan.
Pranata sosial adalah norma-norma yang mengatur kehidupan sekelompok manusia atau disebut masyarakat. Masyarakat yang dimaksud disni adalah sekelompok orang yang saling berhubungan yang berpusat pada berbagai aktifitas guna memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia secara kompleks, dengan kata lain pranata sosial disini adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di masyarakat. Kemudian, permasalahannya yang akan dibahas nanti adalah, mengapa manusia perlu lembaga-lembaga tersebut? Ini membuktikan, bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain, walaupun ia sendiri dilahirkan sendirian tetapi ketika berinteraksi dengan lingkungan ia memerlukan banyak orang untuk saling mengenal bekerjasama dan saling tolong menolong.
Hal ini telah digariskan oleh Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 13: Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
B.                 Rumusan Masalah
1. Apa saja Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam?
2. Bagaimana Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam?
3. Apa saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui Sumber dan Asas-Asas Pranata Sosial Islam.
2. Bagaimana Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam.
3. Apa saja Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam.

  
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pranata Sosial Islam
Beberapa ahli sosiologi menterjemahkan pranata social dengan istilah yang beengatur tingkah laku manusia di masyarakat. Dengan demikian pranata social erat hubungannya dengan budaya manusia. Bagi ummat Islam tentu saja hal ini berasal dari ajaran dasar yaitu pengembangan dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dilihat dari aspek kesejarahan maka pranata social dalam masyarakat Islam yang pernah menonjol adalah dalam bidang hukum, politik atau pemerintahan, peradilan, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan.[1]
B. Sumber Pranata Sosial Islam
Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah Swt yang dituangkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat. Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab” (Q.S. Al-An’am/6: 38).[2]
Pada masa sahabat apabila mereka menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan mereka lebih dahulu berpegang pada nash al Qur’an kemudian al-Hadits. Namun apabila tidak ditemui pemecahannya mereka berijtihad untuk menemukan hukumnya. Dalam berijtihad mereka berpegang pada pengalaman dalam bidang syariat, pergaulan mereka dengan Nabi dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Terkadang mereka menetapkan hokum dengan qiyas yaitu mengqiyaskan sesuatu yang ada nashnya. Terkadang pula hokum ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Dengan demikian para sahabat memperkaya bahkan mengembangkan hokum Islam. Memang terdapat perbedaan pemahaman antara para mujtahid dalam memahami yang tersurat atau tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadits, lebih-lebih ketika Islam telah meluas dan ummat Islam mengenal berbagai intuisi, pemikiran dan budaya dimana Islam berkembang. Ketika masing-masing pemahaman itu mendapat pengikut maka lahirlah apa yang dinamakan madzhab dalam fiqh. Madzhab itu muncul dan berkembang dalam perjalanan sejarah Islam ketika kondisi social, politik dan ekonomi menuntut keberadaannya. Dalam literature Islam tentang madzhab dalam fiqh yang pertamakali dikenal adalah yang beridentifikasi dengan kota tempat tinggal mujtahid/ pimpian madzhab. Maka dikenallah madzhab Kuffah, Madinah dan Syiria. Sangat sulit untuk menentukan kapan madzhab itu muncul, keberadaannya bertahap, tumbuh dengan perlahan-lahan menurut kebutuhan situasi dan kondisinya dan menurut catatan sejarah, tidak seorang mujtahid yang sengaja atau mengaku dirinya membentuk madzhab. Dikalangan ulama/mujtahidin dalam ijtihadnya terdapat perbedaan-perbedaan, mereka masing-masing mempunyai dasar yang mereka pegangi, kemudian pendapatnya itu tersebar ke mana-mana dan dianut oleh masyarakat kaum muslimin.[3]
Pada abad II H/VIII M madzhab tidak lagi diidentifikasikan dengan tempat melainkan dikaitkan dengan nama kelompoknya, maka lahirlah Madzhab Ashhab Auza’I (pengikut auza’i) di Syria, Madhab Ashhab Abu Hanifah di Kuffah, Ashhab Malik Ibn Anas di kalangan penduduk Madinah.
Selanjutnya pada abad III H madzhab-madzhab ini beridentifikasi dengan nama seseorang, maka lahirlah madzhab Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), madzhab Malik Ibnu Anas (w. 179 H/795 M), madzhab Asy-Syafi’I (w. 204 H/820 M) dan madzhab Ibnu Hambal (w. 241 H/855 M). Sebenarnya masih banyak lagi madzhab, akan tetapi empat madzhab itulah yang lebih dikenal dan dapat bertahan hingga sekarang. Tampaknya yang mendorong timbulnya ilmu fiqh lebih banyak didorong oleh kebutuhan agama. Lain halnya yang mendorong timbulnya ilmu Tauhid/Kalam lebih didominasi oleh factor politik, seperti timbulnya Madzhab Khawarij, dan Murji’ah.
Sejak keberadaannya, madzhab fiqh itu menjadi panutan atau identik dengan taklid, dan taklid dipandang sebagai sumber keterbelakangan, maka mulai abad kesembilan belas Masehi yaitu yang disebut abad kebangkitan ummat Islam, timbullah gerakan yang mencanangkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits atau setidak-tidaknya dalam kondisi ittiba atau mengikuti metode berfikir yang tertuang dalam kaidah usul fiqh atau kaidah fiqhiyah yang dipakai oleh para imam madzhab yang disesuaikan dengan kondisi dan tempat ia berada, yang pada gilirannya akan hilanglah fanatisme terhadap madzhab tertentu. Hal ini didorong pula oleh kebutuhan kehidupan yang semakin pragmatis akibat adanya tantangan modernisasi dan globalisasi.
C.  Asas-Asas Pranata Sosial Islam
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa Allah yang Maha Kuasa terlibat dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud diwaktu manapun yang tak memerlukan Allah.[4] Termasuk adanya akal menyebabkan manusia mengenal generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan kebatilan. Tetapi dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan lain. Akal tidak mempunyai kemampuan untuk melihat semua detail. Misalnya, semua orang bijaksana tahu bahwa keadilan adalah baik, dan kedzaliman adalah buruk. Tetapi mereka tak dapat membedakan detail-detail kasus keadilan dan kedzaliman untuk menentukan dimana tepatnya keadilan dan kedzaliman itu. Hal ini dapat sampai pada suatu titik dimana kebenaran dipandang sebagai kebatilan, dan keadilan sebagai kedzaliman. Allah Yang Maha bijaksana yang menciptakan manusia untuk mencapai kesempurnaan secara sukarela tidak membiarkannya tanpa tuntunan semacam itu. Allah telah menimpali kekurangannya dalam pemahaman dan pengenalan dengan wahyu dan kenabian (nubuwwah).[5]
Tuntunan tersebut ada tuntunan umum dan tuntunan khusus. Tuntunan umum yakni tuntunan yang meliputi kaum mukmin dan kaum kafir, yang bajik maupun yang durhaka. Sedangkan tuntunan khusus yakni tuntunan yang hanya untuk kaum mukmin, dimana orang kafir tidak berhak atasnya. Tuntunan khusus hanya meliputi orang-orang yang secara ikhlas beribadah kepada Allah Swt.
Untuk memperoleh tuntunan khusus Ilahi dan sekaligus terangkul dalam kewalian khusus Allah kita harus menghargai nikmat Allah, membuang egoism dan menggantikannya dengan takwa. Ini tak tercapai dengan slogan semata, tak akan didapat dengan melaksanakan shalat belaka. Untuk itu hati manusia harus diserahkan kepada Allah dan motif amal perbuatan haruslah suci. Semangat keakuan dan kelompok harus dihapus dari kehidupannya; maksud dan tujuannya haruslah hanya demi kesempurnaannya. Ia harus menghasratkan tuntunan Allah bagi dirinya dan orang lain dan tidak menghendaki apapun selain keridlaan Allah Swt.[6]
D.  Kaidah-Kaidah Pranata Sosial Islam
Tidak semua pemecahan masalah hokum atas berbagai kehidupan manusia di dunia ini dirinci secara jelas dan tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullaah Saw. Oleh karena itu lewat pendekatan linguistic (al-qawaaid al-lughawiyyah) para ahli ushul berusaha menetapkan kaidah-kaidah hokum. Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab akan dapat dipahami kandungan hokum-hukumnya dengan pemahaman yang sahih (valid) dengan memperhatikan bahasa Arab dan cara-cara pemahamannya. Pendekatan linguistic itu saja tidaklah memadai dan tidak cukup membantu memahami kaidah hokum. Oleh karena itu, berkenaan dengan persoalan ini para ahli ushul menetapkan kaidah-kaidah hokum yang dikenal dengan istilah al-qawaaid al-tasyri’iyyah. Para imam madzhab dalam mengistinmbatkan suatu hokum memiliki kerangka pikir tertentu yang dapat dijadikan sebagai aturan pokok, sehingga hasil ijtihadnya dapat dievaluasi secara obyektif oleh penerus-penerusnya. Kendati demikian kemampuan imam madzhab tidaklah sama, ketidaksamaan itu adakalanya dilatarbelakangi oleh kondisi serta lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu ia mencoba membahas generalisasi pokok-pokok pikirannya melaluli kaidah-kaidah dasar sebagai acuan dalam beristinbat. Melalui kaidah-kaidah dasar tersebut dapat diketahui titik relevansi antara satu ijtihad dengan ijtihad lainnya. Aturan-aturan pokok inilah yang disebut dengan al-qawaid al-fiqhiyyah.
Kajian fiqh sangatlah luas, oleh karena itu perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah fiqhiyyah yang sifatnya universal. Kaidah-kaidah ini berfungsi sebagai klarifikasi terhadap masalah-masalah furu’menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah ini para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengeluarkan hokum bagi suatu masalah.
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams (kaidah-kaidah yang lima). Kelima kaidah tersebut:
1.        Setiap perkara tergantung pada niatnya.
2.        Kemadharatan harus dihilangkan.
3.        Adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
4.        Kesulitan (kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5.        Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.[7]
E         Bidang-Bidang Pranata Sosial Islam
Berkenaan dengan ketertiban masyarakat, adalah ummah bertujuan sebagai saksi bagi perwujudan perutusan Tuhan seperti yang tertera dalam Al-Qur’an atau terutama pelaksanaan ibadah dan amanah. Untuk melaksanakan ketertiban social berdasar pada semua ini, maka ahli-ahli fikih Islam telah menghimpun dan menyusun peraturan-peraturan Tuhan untuk menciptakan system yang disebut syari’ah atau Undang-Undang Suci Islam. Undang-undang ini dari segi sejarahnya telah diatur di bawah Lima kategori umum:
1.        Kepercayaan (I’tiqadat) yang terdiri dari enam pasal tentang kepercayaan Islam.
2.        Akhlak atau adab yang membahas tentang keutamaan-keutamaan atau kebaikan akhlak.
3.        Persembahan kepada Tuhan dan ibadah yang diuraikan dalam rukun Islam yang lima.
4.        Muamalah yang membicarakan tentang kewajiban individu dalam masyarakat dan meliputi perjanjian, jaminan, perkongsian dan perniagaan disamping hal-hal yang termasuk di bawah tajuk undang-undang perdata atau keluarga seperti perkawinan, mahar, talak, warisan, anak angkat, dan lain-lain.
5.        Hukuman (‘Uqubat) yang berhubungan dengan pencurian, perzinaan, saksi palsu, dan lain-lain.
Kelima prinsip ini menunjukkan bagaimana luasnya hukum Islam yang sebenarnya meliputi semua tingkah laku manusia. Selanjutnya aspek agama dan moral meliputi semuanya, maka semua tindakan dibagikan kepada yang berikut ini:
1.        Wajib (fard), baik sebagai individu atau sebagai kumpulan.
2.        Dianggap baik (Sunnah, mandub, mustahab).
3.        Mubah atau boleh dibuat.
4.        Makruh atau dianggap tidak baik.
5.        Dilarang (haram).
Seperti telah diterangkan, sumber pertama undang-undang Islam adalah Al-Qur’an yang pada dasarnya adalah Peraturan Ilahi dan nasehat-nasehat moral tentang kepercayaan kepada Allah, kasih sayang, kebaikan hati, kejujuran, menepati janji, kesabaran, keberanian dan lain-lain.[8]
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sumber Hukum Islam adalah Wahyu Allah Swt yang dituangkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hokum tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan ayat. Demikian pula bila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hokum yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini. Ayat-ayat al-Qur’an yang agak terinci hanya hokum ibadah dan hokum keluarga. Namun demikian secara umum Allah menerangkan bahwa semua masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa Allah yang Maha Kuasa terlibat dalam penciptaan, dan bahwa tak ada wujud diwaktu manapun yang tak memerlukan Allah. Termasuk adanya akal menyebabkan manusia mengenal generalitas berbagai hal serta garis-garis utama kebenaran dan kebatilan. Tetapi dalam hal-hal mendetai dan halus ia memerlukan tuntunan lain.
Kaidah-kaidah yang dibentuk oleh para ulama pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al-qawaid al-khams (kaidah-kaidah yang lima). Kelima kaidah tersebut:
1.        Setiap perkara tergantung pada niatnya.
2.        Kemadharatan harus dihilangkan.
3.        Adat dapat dipertimbangkan menjadi hokum.
4.        Kesulitan (kesempitan) dapat menarik kemudahan.
5.        Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
Hasan Langgulung, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-HusnaM.
Yusran Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh dan Pranata Sosial. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, Jakarta : Lentera
 



[1] M. Yusran Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.101.
[2] Ade Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), hlm.1
[3] M. Yusran Asmuni, 1997. Dirasah Islamiyah 1 Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh dan Pranata Sosial. (Jakarta : Raja Grafindo Persada), hlm.102.
[4] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, (Jakarta : Lentera), hlm.47.
[5] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.70.
[6] Muhammad Taqi Misbah, 1996. Monoteisme, ..., hlm.73.
[7] Ade Dedi Rohayana, 2008. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, ..., hlm.201, 214, 218, 225, 231. Lihat juga : Asjmuni Abdurrahman, 2003. Qawa’id Fiqhiyyah, Arti, Sejarah, Dan Beberapa Qa’idah Kulliyah.(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah), hlm.19-54.
[8] Hasan Langgulung, 1989. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka Al-Husna), hlm : 88-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar