DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Sombong 3
B.
Bahaya
Kesombongan 3
C.
Sasaran
Kesombongan 4
D.
Kewajiban
Mempertahankan Fitrah 5
E.
Waspada Virus
Perusak Kefitrahan 7
F.
Waspada
Terhadap Virus Perusak Fitrah 8
BAB III
PENNUTUP
A.
Kesimpulan 13
B.
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
diciptakan Allah SWT. dengan fitrahnya yang bersih (hanif), yaitu berakidah dan
bertauhid dalam arti kata manusia awal penciptaannya mengesakan Allah SWT
semata, sebagaimana dalam QS. al A’raaf ayat 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ
بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (ke-esaan Tuhan)”.
Ketika
manusia masih di alam rahim Allah SWT. telah mengambil perjanjian suci atas
kesiapan tulusnya menyembah hanya kepada-Nya sebelum lahir ke muka bumi ini,
lalu ruh ditanya tentang kesiapan mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya dengan
semua konsekuensinya, kemudian ruh menjawab bersaksi tiada Tuhan selain Allah.
Untuk menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan tersebut maka Allah SWT.
memerintahkan manusia setelah lahir sampai akhir hayatnya, agar menghadapkan
wajahnya kepada agama yang lurus sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana QS.
ar Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
manusia dapat berprilaku sombong dan arogan ?
2. Mengapa
Allah dan Rasullullah SAW melarang manusia untuk berprilaku sombong dan arogan?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan
dari penulisan makalah ini agar manusia dapat memahami hikmah larangan dari
berprilaku sombong dan arogan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Sombong
Ada dua jenis kesombongan, yang terbuka
terang-terangan, nyata dan tersembunyi diam-diam, rahasia. Kesombongan yang
tersembunyi adalah sebutan bagi perasaan dalam diri seseorang yang merasa serba
lebih daripada orang lain. Bilamana ia diwjudkan dalam tindakan, maka ia
disebut kesombongan yang terbuka, sombong yang terang-terangan. Perasaan unggul
atau lebih (superioritas dari orang lain di dalam hati diisebut kibr (merasa
lebih dari orang lain). Ketika kibr diungkapkan dalam perbuatan, ia disebut
sombong (takabbur). Oleh karena itu merasa diri unggul, merasa lebih menjadi
pokok pangkal kesombongan. Merasa diri lebih adalah takjub (heran dan bangga)
bahwa dirinya lebih hebat, lebih pandai, lebih kaya, dan lebih saleh daripada
orang lain. Ada tiga unsure yang terkait dengan kesombongan :
1.
Pelaku kesombongan (orang yang menyombongkan
diri)
2.
Sasaran kesombongan (orang yang menjadi obyek
kesombongan, orang yang kepada siapa kesombongan diperlihatkan)
3.
Tujuan untuk apa kesombongan diperlihatkan.
B.
Bahaya Kesombongan
Rasulullah SAW bersabda, ‘ tidak akan masuk
sorga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun hanya seberat atom”
seseorang yang sombong tidak akan mencintai orang lain seperti ia mencintai
dirinya sendiri karena ada rasa sombong di dalam hatinya. Ia juga tidak dapat
melepaskan kebencian, iri dan dengki, karena rasa sombong tersebut.
Kesombongan juga tidak memungkinkan seseorang
menegakkan kebenaran. Rasa sombong di dalam hati menyebabkan seseorang tidak
dapat mengendalikan kemarahannya. Seseorang tidak akan mendapat ampunan karena
ada rasa sombong di dalam hatinya. Ia pun tidak akan selamat dari celaan orang
karena ada rasa sombong. Akibat terburuk dari rasa sombong seseorang terhadap
orang lain yaitu ia tidak akan mendapatkan manfaat dari ilmu yang dimiliknya,
tidak berusaha untuk mengenali kebenaran, dan tidak mengikutinya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman,” masuklah ke pintu neraka dan tinggalah selamanya di
dalamnya. Dan betapa buruklah tempat orang-orang yang sombong.” (Qs Az-Zuma
[39]:72).
C.
Sasaran Kesombongan
Ada beberapa sasaran kepada siapa kesombongan
diperlihatkan, yaitu:
1.
Sikap dan perilaku kesombongan terhadap Allah
Ta’ala adalah kesombongan terburuk. Kesombongan seperti ini disebabkan
semata-mata oleh kebodohan dan kekufuran seperti kebodohan dan kekufuran Namrud
dan Fir’aun.
2.
Sombong terhadap para nabi dan rasul. Ada orang
yang menganggap dirinya lebih hebat dari pada nabi dan rasul, karena itu tidak
mau mengikuti mereka dan rendah hati kepada mereka. Karena kebodohannya ia
merasa dan menyangka bahwa kata-katanya niscaya benar.
3.
Sombong terhadap orang kebanyakan. Mengangap dirinya
lebih besar, lebih pandai dibandingkan dengan orang lain dan memandang
hina/rendah kepada mereka bearti kesombongan atasnya. Karena kesombongannya
itu, ia menjaga jarak bahkan menjauhkan diri tidak mau bergaul dengan orang
lain. Perbuatan itu adalah sangat buruk karena dua alasan. Alasan pertama
adalah bahwa kesombongan, kebesaran, dan kehebatan hanya semata milik Tuhan
Yang Mahatinggi. Manusia, yang secara alamiah lemah dan tak berdaya,
sesungguhnya tidak mampu melakukan sesuatupun. Alasan kedua adalah kesombongan
atau takabur mengakibatkan seseorang tidak menaati perintah Allah Ta’ala,
karena orang yang sombong cenderung tidak mau mendengar nasihat dari seseorang
Allah Azza Wa Jallaj bermain, “Dan orang-orang yang kafir berkata, “janganlah
kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah
hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Qs.
Fushshilat: 41:26). Inilah kebiasaan orang-orangkafir yang tidak mau
mendengar-apalagi menerima kebenaran.
Setan adalah contoh paling baik untuk
menggambarkan takabur atau kesombongan. Ia diusir oleh Allah dari Sorga karena
bersikup takabur dan tidak mau sujud (maksudnya: menghormat) kepada Adam As
karena tidak taat (membangkang) kepada perintah perintah Allah. Iblis berkata,
“Aku lebih baik darinya, karena engkau ciptkan aku dari apai, sedangkan dia
Engkau ciptakan dari tanah.” (Qs. Shad: 38: 76). Sifat takabur inilah yang
menentukan nasib Iblis selamanya.
D.
Kewajiban Mempertahankan Fitrah
Umat
Islam telah melewati sebuah masa yang penuh kemuliaan dan keberkahan, suatu
waktu dimana banyak sekali mereka melakukan ketaatan, menyibukkan dan
mengisinya dengan amal peribadatan. Masa itu dinamakan bulan Ramadhan penuh
keberkahan (syahrun barakah), hari-harinya penuh kemuliaan, dan
malam-malamnya bertebar keutamaan (fadhilah). Orang-orang beriman
bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan berlomba-lomba menuju pintu-pintu
kebaikan. Sesungguhnya seorang mukmin merasa senang melihat orang-orang
melaksanakan ketaatan dan berlomba-lomba dalam beribadah, dan menegakkan amal
kebajikan di bulan yang agung tersebut.[1]
Menggapai
niai fitrah bukan suatu yang mudah, tetapi merupakan perjuangan panjang
sekurang-kurangnya berjumlah 29 atau 30 hari selama Ramadhan. Usaha menggapai
kefitrahan ini dilalui dengan berbagai macam latihan (tadribat) melalui
amalan ibadah wajib dan sunnah lainnya. Setelah memperoleh kefitrahan itu,
menjaga fitrah itu akan terus bertahan (survive) dan kontinyu tidak
kalah pentingnya. Agak ironis dan miris jika seseorang rajin shalat jama’ah,
tadarus Qur’an dan berzikir selama bulan Ramadhan, namun pasca Ramadhan menjadi
malas, jarang ke mesjid, tidak lagi memegang Qur’an, bibirnya kering dari
menyebut asma Allah, tanganya pelit mengulurkan infaq. Dengan demikian
latihan selama bulan Ramadhan yang ditempa dan digembleng tidak memberikan
dampak positif dan signifikan dalam kehidupan sehari-harinya.[2]
Madrasah
Ramadhan telah berlalu, hakikatnya sebagai traning centre untuk mendidik umat
selama sebulan dengan berbagai kegiatan ibadah agar menjadi bekal dalam
menjalani hidup sebelas bulan berikutnya atau hingga sampai Ramadhan yang akan
datang. Bukankah yang keluar dari madrasah Ramadhan itu adalah mereka yang
dibersihkan dari segala debu-debu dosa terdahulu kemudian memperoleh kemenangan
hakiki. Tentu kefitrahan diri dan peleburan dosa itu akan diraih dengan satu
catatan jika benar-benar mengoptimalkan diri dalam beribadah selama sebulan
dengan penuh harap akan ampunan Allah SWT.
Banyak
hal-hal positif yang dapat dilakukan agar kefitrahan yang telah diraihi saat
tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) menjadi sempurna adanya. Caranya setiap pribadi
harus selalau berupaya untuk meneruskan semua perilaku shalih selamai bulan
Ramadhan yang telah berlalu, amaliah sunnah yang biasa dikerjakan karena pahala
berlipat-ganda di bulan Ramadan haruslah dapat dipertahankan mulai dari
bulan Syawal hingga berjumpa kembali dengan Ramadhan akan datang.
Menjaga
kefitrahan dengan cara menanamkan adanya rasa kawatir dan takut kembali kepada
jurang debu-debu dosa (baik kecil, besar, tersembunyi atau pun terang-terangan)
dan sekaligus berusaha menjauhi diri dari perbuatan maksiat, dan perbuatan
sia-sia pasca Ramadhan. Kewajiban puasa telah memberi garansi taqwa bagi orang
beriman yang memenuhi perintah kewajiban puasa. Jaga dengan erat amanah
kefitrahan sebaik-baiknya dengan harapan akan lahir insan yang bertaqwa dapat
terwujud secara kaffah di muka bumi ini dan diharapkan akan menjadi bagian dari
penyelesaian ragam persoalan umat (problem solving) yang kian hari
semakin kompleks.
E.
Waspada Virus Perusak Kefitrahan
Meskipun
manusia saat dilahirkan membawa keadaan fitrah yang hanif, tapi bagaiamana pun
akhir perjalanan hidupnya tidak ada yang bisa menaksir dan mengetahuinya.
Berbagai faktor dan rintangan dalam perjalanan hidupnya tentu bisa menjadi
penyebab seorang keluar dari fitrahnya. Perubahan bisa saja terjadi secara
berlahan-lahan dan bisa juga cepat.
Oleh
karena itu setiap orang telah diberi fitrah oleh Yang Maha Pencipta berupa
kefitrahan hanif (jiwa yang lurus). Setiap manusia mengawali kehidupannya
dengan modal fitrah hanif ini, setelah itu bisa saja akan terjadi perubahan
yang sangat cepat dan drastis tanpa bisa diduga kemana tujuan arahnya. Ingat
dan waspada para penyeru dan penyebar virus untuk merusak fitrah ini jumlahnya
sangat banyak dan bertebaran sehingga jangan heran bila orang yang keluar dari
jalur kefitrahan jiwa ini lebih banyak daripada yang istiqamah. Dalam konteks
ini berbagai kisah-kisah sebelum dan saat nenek moyang manusia Adam as diturunkan
ke muka bumi ini cukup menjadi pelajaran betapa makhluk Tuhan saat
penciptaannya berada dalam bingkai fitrah pada akhirnya tergelincir dari fitrah
yang hanif bahkan menjadi durhaka dan mendapat laknat Allah SWT.
Tergelincirnya
seseorang dari fitrahnya yang hanif, di antaranya disebabkan faktor pendidikan.
Tingkat pendidikan rendah dan lemah, maka akidahnya mudah goyah dan mempunyai
pola fikir menerima apa adanya. Karena itu, pendidikan akidah harus diajarkan
sedini mungkin. Oleh karena itu pendidikan akidah sudah dimulai pra menikah,
ditanamkan pada anak saat masih dalam kandungan, saat dilahirkan dan sesudah
dilahirkan, maupun selama masa pertumbuhannya. Demikian juga terkadang juga
disebabkan oleh faktor ekonomi saat mapan ataupun lemahnya ekonomi sehingga
bisa membuat keluar dari fitrahnya yang hanif, orang bisa menjadi goyah dan
mengambil jalan pintas, akibat kemiskinan membuat orang berpindah keyakinan dan
ketika kaya pun akan lupa diri.
F.
Waspada Terhadap Virus Perusak Fitrah
Agar kefitrahan terus terpelihara, ada empat
hal yang perlu diperhatikan dengan serius, dari keempat hal itu ada yang perlu
dijauhi, namun perlu juga diarahkan secara proporsional. Dari keempat hal itu
jika tidak dapat dijauhi tapi justeru terperdaya dan terpesona maka virus telah
mengerongoti sehingga merusak fitrah yang hanif, keempat virus itu, ialah:
1.
Sifat
kesombongan atau arogansi
2.
Limpahan harta
kekayaan
3.
Kekuasaan dan
Jabatan
4.
Tradisi nenek
moyang.
Sifat
sombong atau arogansi merupakan kagum terhadap diri sendiri dan merasa lebih
tinggi daripada yang lain. Nabi Saw. mengingatkan agar hati-hati terhadap sifat
sombong:
مَنْ كاَنَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ ٬ كَبَّهُ اﷲُ لِوَجْهِهِ
فِي النَّارِ
Artinya
: "Barang siapa ada dalam hatinya seberat biji sawi ada kesombongan
(sikap arogan), Allah akan menelungkupkan wajahnya dalam neraka." (HR.
Ahmad).
Arogan
merupakan sikap angkuh dan sombong yang ditunjukkan seseorang yang merasa
dirinya yang paling; hebat, pintar, berkuasa, berperan jika dibandingkan dengan
orang lain. Penyakit mental ini biasanya menjangkiti seseorang yang sedang
berada dalam posisi puncak, dan karirnya menanjak atau bisnisnya berkembang
pesat. Kesombongan bisa berarti kecongkakan, kesombongan, keangkuhan, dimana
sifat sombong bisa hinggap pada siapa saja tanpa pandang strata sosial. Pejabat
dihinggapi sifat sombong karena kekuasaan yang dimilikinya. Orang kaya harta
bersifat sombong karena dengan kekayaan yang dimiliki yakin dapat membeli
apapun juga. Orang berwajah ganteng atau cantik, bisa sombong karena wajahnya.
Bahkan sifat sombong itu juga melekat pada orang miskin, dan pada rakyat
jelata. Oleh karenanya sikap arogansi bisa terjangkit pada siapa saja dan dalam
jabatan saja. Oleh karenanya kriteria yang sombong dilihat dari aspek ketika ia
menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Sikap
kesombonganlah yang mengikis habis kefitrahan fitrah Iblis dan
menggelincirkannya ke lembah kekafiran dan kesesatan sampai akhir zaman,
padahal menurut riwayat sebelum Nabi Adam as. diciptakan Iblis sudah terlebih
dahulu mengabdikan dirinya untuk menyembah Allah SWT. dengan ketaatannya kurun
waktu 6000 tahun lamanya. Kisah tergelincirnya Iblis diabadikan oleh Allah SWT.
dalam Al Quran, di antaranya QS. al A’raf ayat 13:
قَالَ
فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ
مِنَ الصّٰغِرِينَ ﴿الأعراف:١٣﴾
Artinya: "Turunlah kamu
dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka
keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".
(Al-A’raf 7:13)
Namun
tidak sedikit manusia mengikuti jejak Iblis. Merasa apa yang dimilikinya
merupakan hasil jerih payah sendiri dan tidak ada sangkut-paut dengan Sang Maha
Pencipta, mereka telah lupa bahwa ketika dilahirkan tidak lebih daripada
makhluk lemah dan takberdaya atau tidak membawa apa-apa. Mereka menjadi
bertenaga karena Allah yang menguatkan fisiknya, kaya arena Allah memberinya
rezki, berilmu karena Allah telah mengkaruniai ilmu pengetahuan. Jadi atas
dasar apa manusia harus sombong. Bukakan kah saat lahir tidak punya apa-apa dan
saat meninggalkan dunia tidak membawa apa-apa kecuali hanya amal perbuatan.
Jika
ingin meraihi kesuksesan dan mempertahankan, hindari sikap sombong dan arogan.
Sebab salah satu hal yang dapat menjadikan fitrah manusia rusak adalah rasa
bangga atau ta’jub pada diri sendiri, kalau sudah merasa bangga terhadap diri
sendiri maka akan merasa cukup dengan itu, akhirnya akan menghantarkan pada
sikap sombong atau arogan. Menjadi sunnatullah semua orang senang dengan harta
kekayaan, tak terkecuali siapa pun dia manusianya. Allah SWT. menghadirkan
rasa senang pada diri manusia terhadap harta benda, dalam semua bentuknya.
Harta yang ada di tangan manusia, statusnya hanya titipan dari Allah sebagai
perhiasan hidup dunia, dan sekaligus juga sebagai ujian keimanan, serta bekal
untuk beribadah, dan kenikmatan yang harus disyukuri.
Harta
merupakan perhiasan hidup di dunia, setiap perhiasan akan membuat seseorang
yang memakainya akan kelihatan lebih; indah, menawan, rapi, elok, cantik atau
ganteng. Namun demikian harus dipahami yang namanya perhiasan akan terlihat
indah tatkala dikenakan atau dipakai secara seimbang dan proporsional, sesuai
kewajaran, kepatutan dan kebutuhan. Jika sudah berlebihan eksistensi keindahan
itu akan menjadi hilang. Boleh saja bersenang- senang dan berhias dengan harta
bendanya di dunia, tapi tidak boleh berlebihan, dan membuatnya lalai dari
mengingat pemilik harta yang sesungguhnya.
Salah
satu faktor utama membawa dan menghantarkan manusia tergelincir dari
kefitrahannya hingga ke lembah kehancuran adalah harta kekayaan, sebab untuk
urusan harta benda mayoritas manusia akan menunjukkan watak asli yaitu serakah
dan tidak pernah merasa puas, berapapun harta yang telah dimiliki dan didapati,
keserakahan manusia baru bisa dihentikan hanya melalui pintu kematian.
Tidak
sedikit manusia yang begitu dekat dengan Allah SWT. ketika diuji dengan
kemiskinan, ibadahnya tekun, kepada sesama ia santun, kepada orang menderita ia
sangat peduli sosial. Namun ketika rezekinya melimpah-ruah, ia pun langsung
berubah. Ujian kekayaan membuatnya lupa diri dan jauh dari Allah. Pada saat
yang sama, sifat kikir dan tidak peduli dengan nasib orang yang menderita pun
melekat pada dirinya, disusul dengan munculnya sifat tamak dalam jiwanya. Ia
tidak hanya kikir, tetapi juga serakah.
Quran
mengabadikan kisah sosok milyarder serakah dengan segala kekikirannya untuk
dijadikan pelajaran dan peringatan yaitu Qarun. Qarun adalah seorang yang berilmu
dan mempunyai harta benda yang tak terhingga banyaknya. Allah mengaruniai Qarun
harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah, yang banyak
memenuhi lemari simpanan. Harta kekayaan dan lemari-lemarinya sangat berat
untuk diangkat, karena banyaknya isi kekayaannya. Kekayaan itu bukannya
disyukuri, tetapi malah membuatnya sombong jauh dari kefitrahan yang hanif.
Pada akhirnya dia hancur lebur beserta apa yang dimilikinya, karena mengingkari
agama Allah SWT. Semua kekayaan beserta keserakahan dan ketamakannya, akhirnya
lenyap ditelan bumi. Kisahnya diabadikan dalam QS. al Qashash ayat 76 -84.
Ironisnya
dari waktu ke waktu selalu saja muncul para penerus generasi seperti Qarun.
Mereka tampil sebagai kaum hartawan yang gemar bermewah-mewah berpesta-pora di
tengah mayoritas rakyat miskin dan melarat.Banyak manusia oleh karena harta,
dimana si miskin mengadaikan aqidahnya, demi harta orang nekat merampas,
merampok, korupsi, membegal, dan membunuh. Demi harta kekayaan banyak pejabat
dan mantan pejabat di negeri harus menghabiskan umurnya di dalam teruji besi.
Kekuasaan
dan jabatan hakikatnya bukanlah kehormatan melainkan hanya tanggung jawab (mas’uliyah)
dan mandat yang berarti butuh pengorbanan bukan karena aji mumpung. Jabatan
meruapakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah SWT kelak
di akhirat, dan di dunia dipertanggungjawabkan secara konstitusi dan hadapan
rakyat.
Tidak
bisa dipungkiri kekuasaan dan jabatan selalu menjadi daya tarik dan incaran
setiap orang sepanjang masa sejarah umat manusia tidak ubahnya seperti semut
dan gula. Entah sudah berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi
disebabkan ambisi jabatan dan kekuasaan. Semua terekam dalam sejarah, mulai
dari masayarakat purbakala sampai masyarakat di era sistem politik modern dan
demokratis, orang-orang selalu menginginkannya. Hal ini disebabkan dalam
pandangan mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius dan bisa
merubah keadaan diri dan golongannya. Quran telah mengabadikan ambisi jabatan
telah mentenggelamkan Fir’aun bersama dengan sifat kesombongannya yang pada
puncak kekuasaannya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan sebagaimana
dikisahkan QS. an Naziyat ayat 24 dan QS. Yunus ayat 90-91.
Jika
kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi meraihi kekuasaan dan jabatan,
mereka pasti menjawab untuk kebahagiaan dan ingin membawa rakyat ke arah yang
lebih sejahtera. Dengan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa
menunjukkan aktualisasi dirinya. Namun apapun alasannya terkadang kekuasaan
apabila jatuh ke tangan orang yang tidak amanah, bagi mereka kekuasaan
semata-mata sebagai alat untuk menguasai orang lain dan menumpuk pundi-pundi
harta kekayaan.
Pada
dasarnya, dalam pandangan Islam kekuasaan adalah fitrah. Kekuasaan adalah hak
dan merupakan salah satu di antara janji Allah SWT. kepada orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam QS. al Fath
ayat 29:
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
Artinya: “Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di
antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Banyak
di antara kita yang tetap setia mempertahankan tradisi nenek moyang karena
berdalih bahwa itu adalah adat semata, kalau masalah adat apa pun boleh
dilakukan sepanjang tidak ada dalil syariat yang melarangnya, dan memang tidak
semua tradisi nenek moyang dilarang oleh Allah SWT.
Tradisi
yang mengadung kesyirikan merupakan virus yang akan merusak kefitrahan yang
hanif sebagai contoh bentuk penghormatan kepada seseorang atau sesuatu benda
yang diyakini akan bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Banyak orang
mengikuti tradisi nenek moyang karena berpendapat tradisi itu dibenarkan dalam
Islam atau bahkan menganggapnya sebagai bagian dari ajaran Islam padahal akan
merusak fitrah manusia yang hanif.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada dua jenis
kesombongan, yaitu yang terbuka atau terang-terangan dan tersembunyi.
Kesombongan tersembunyi adalah sebuatan bagi perasaan dalam diri seseorang yang
merasa serba lebih dari pada orang lain. Bilamana ia diwujudkan dala tindakan
(takabur), maka ia disebut kesombongan yang terbuka. Sifat sombong ini dpat
menyebabkan seseorang tidak dapat mencintai orang lain seperti mencintai diri
sendiri karena terdapat kesombongan dalam diri tersebut
Wajib
bagi kita untuk menjaga kefitrahan yang hanif yang telah kita rajut selama
bulan Ramadan melalui upaya keras meningkatkan kualitas pola hubungan kita
dengan Allah SWT. dan sesama manusia, dengan cara berjanji kepada diri sendiri
untuk terus melestarikan apa yang kita lakukan dan capai dalam Ramadhan sebelas
bulan berikutnya.
B. Saran
Semoga para
pembaca makalah ini dapat membedakan sifat yang harus kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu sifat tawadhu. Selalu bersikap tawadhulah kita,
karena Allah dan Rasulallah SAW menganjurkan kita selalu rendah hati/tawadhu
karena tawadhu merupakan salah satu wujud ketaatan kita kepada Allah dan akan
menuntun kita kesurga sifat sombong di dunia ini tidak akan membawa kita ke
jalan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali Qutthb Syaikh, 30
Amal Sholeh Pengantar Ke Surga dan Penyelamat dari Neraka, Mesir: dar Al
Muslim, 2004.
Ya’qub Hamzah, Tingkat Ketenangan
dan Kebahagiaan Mukmin, Jakarta: Pustaka Atisa, 1992.
Kosasih
Ahmad, 33 Butir Pesan Religius Buat Kehidupan, Jakarta: Salemba Diniyah,
2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar