DISTRIBUSI DALAM PANDANGAN ISLAM
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyaluran barang dan jasa kepada konsumen dan pemakainya mempunyai peran
penting dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Tanpa distribusi barang dan jasa
tidak akan sampai dari produsen ke konsumen, distribusi mempunyai peran
signifikan dalam perekonomian masyarakat maupun negara.
Terdapat perbedaan antara sistem ekonomi konfensional dan sistem ekonomi
islam dalam memaknai distribusi. Dalam sistem kapitalis permasalahan distribusi
terkait dengan adanya perbedaan yang mencolok pada kepemilikan, pendapatan dan
harta peninggalan. Sistem sosialis lebih melihat kepada kerja sebagai basic
dari distribusi pendapatan, hasil yang akan diperoleh tergantung pada usaha
mereka.
Dalam ekonomi konfensional distribusi diartikan dengan klasifikasi
pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan
tugas yang dilaksanaka oleh tanah, tenaga kerja, modal, dan pengusaha.
Distribusi adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut penerima
pendapatandan bukan dari sudut pembayaran biaya.
Sedangkan distribusi dalam pandangan ekonomi islam akan di bahas didalam
makalah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu yang di maksud dengan distribusi?
2. Apa inti kandungan dari QS. Al-Hasyr ayat 7?
3. Apa kandungan dari QS. Al-Fajr ayat 14-16?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Sebagai pemenuhan tugas Tafsir Ayat Ekonomi
2. Mengetahui apa yang di maksud dengan distribusi dalam pandangan islam
3. Mengetahui kandungan surat Al-Hasyr ayat 7
4. Mengetahui kandungan ayat Al-Fajr ayat 14-16.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Distribusi
Secara bahasa, distribusi berasal dari bahasa inggris distribution yang
artinya penyaluran dan pembagian, yaitu penyaluran, pembagian atau pengiriman
barang atau jasa kepada beberapa orang atau tempat. Disrtibusi adalah suatu
proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen
dan para pemakai.
Distribusi dalam ekonomi islam dimaknai lebih luas yang mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Islam
memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan pribadi, dan meletakan pada
masing-masing keduanya aturan-aturan untuk mendapatkan, menggunakan, dan
memilikinya, serta aturan-aturan tentang warisan, hibah, dan wasiat. Dalam
ekonomi islam, distribusi lebih ditekankan pada penyaluran harta kekayaan yang
diberikan kepada beberapa pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara.
Salah satu tujuan dari distribusi yaitu mengurangi ketidaksamaan pendapatan
dan kekayaan dalam masyarakat. Apabila terjadi perbedaan ekonomi yang mencolok
antara yang kaya dan miskin akan mengakibatkan adanya sifat saling benciyang
pada akhirnya melahirkan sikap permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat.
Islam mengakui adanya perbedaan jumlah harta antar individu dalam masyarakat.
Islam tidak membolehkan distibusi barang atau jasa yang dilarang seperti
bunga modal dan bunga pinjaman yang termasuk di dalamnya riba, hasil pencurian,
khamer, dan sebagainya. Ekonomi islam menghendaki agar suatu barang
didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Karna kalau tidak
di bagikan kepada yang berhak menerimanya, suatu barang tidak akan bisa
dinikmati oleh orang yang berhak tersebut, misalnya zakat.
Islam juga menggariskan bahwa dalam harta pribadi terdapat hak-hak orang
lain yang harus ditunaikan, dan ini tidak dikenal dalam ekonomi konvensional.
Dalam QS. Al-Isra ayat 26-27:
وَآتِ ذَا
الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا
إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dalam ayat di atas, umat islam diperintahkan untuk mendistribusikan
sebagian dari hartanya untuk memenuhi kebutuhan karib kerabat, orang-orang
miskin, para musafir, serta dilarang berlaku boros. Sarana pendistribusian ini
di dalam agama islam dikenal dengan istilah zakat, infak, dan wakaf.
Pada dasarnya harta yang dimiliki itu milik Allah yang dititipkan kepada
manusia. Manusia bukanlah pemilik mutlak harta tersebut sehingga manusia tidak
bisa menggunakan seenaknya sendiri. Karena sifatnya titipan, maka ada
aturan-aturan yang hurus diikuti yang dibuat oleh Allah. Adanya perbedaan
antara kaya dan miskin itu dimaksudkan agar terjadi sinergitas diantara mereka
karena saling membantu dan membutuhkan.[1]
B.
Larangan
Monopoli
Monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu penjual yang
menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau
sering disebut sebagai monopolis.
Dalam QS. Al-Hasyr ayat 7,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Ayat ini menjelaskan tentang hukum fai’, dan memberikan penjelasan tentang
sebab pembagiannya, dan meletakan kaidah besar dalam sistem ekonomi dan sosial
dalam masyarakat muslim. Yaitu ada 2 kaidah:
1. “...supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja diantara kamu...”.
2. “....apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...”.
Kaidah pertama adalah kaidah penataan sistem ekonomi, yang mewakili salah
satu bagian besar dari asas-asas sistem ekonomi islam. Kepemilikan pribadi
diakui dalam sistem ini, namun ia dibatasi dengan kaidah tersebut.
Berkenaan dengan ayat ini islam menetapkan bahwa 4/5 dari harta ghanimah
bagi para mujahidin baik kaya maupun miskin, sedangkan harta fai’ hanya
diperuntukan bagi orang-orang yang fakir saja. Seorang pemimpin berhak
mengambil kelebihan harta orang-orang yang kaya untuk diberikan kepada fakir
miskin.
Islam juga membolehkan seorang pemimpin menetapkan pajak dan beberapa
bagian dalam harta orang-orang kaya ketika baitul mal sedang kosong. Islam
mengharamkan penimbunan dan mengharamkan riba yang keduanya merupakan sarana
yang menjadikan harta benda hanya beredar dan berputar diantara orang-orang
yang kaya saja.
Islam telah membangun sistem ekonomi yang
membatasi kepemilikan pribadi disamping batasan-batasan lain. Sistem ekonomi
islam memperbolehkan kepemilikan pribadi, namun bukanlah seperti sistem ekonomi
kapitalis, sistem kapitalis tidak akan langgeng tanpa sistem riba dan
penimbunan.[2]
Ayat ini mengindikasikan adanya harta rampasan perang yang diperoleh
melalui pertempuran yang disebut dengan ghanimah, dan ada harta rampasan perang
yang diperoleh dengan perang tapi tanpa kontak senjata yang disebut dengan
fai’.
Ayat ini mengindikasikan bhwa harta rampasan perang yang diperoleh dalam
peperangan hendaklah dibagi menjadi 6 bagian yaitu:
1.
Untuk Allah
2.
Untuk Rasul
3.
Kaum kerabat
4.
Anak-anak yatim
5.
Orang-orang miskin
6.
Orang-orang dalam perjalanan.
Distribusi aset kekayaan ini untuk menghindari adanya sekelompok kecil
masyarakat yang menguasai aset permodalan yang besar disuatu negara atau
kawasan, ini adalah suatu kebijakan yang anti monopoli dan menerapkan kebijakan
pemerataan dalam kegiatan ekonomi yang berbasis kerakyatan.[3]
Ketentuan hukum yang membagi-bagi harta fai’ ke dalam beberapa kelompok
sosial itu, bertujuan utama yaitu, untuk memeratakan peredaran harta kekayaan
(ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir pada tangan
orang-orangkaya saja diantara mereka. Disini terletak kelebihan teori ekonomi
kenabian yang sangat mementingkan asas pemerataan di samping prinsip keadilan.
Kebijakan Allah dan Rasul yang memberikan harta fai’ hanya kepada kaum
Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang
kebanyakan sudah kaya, kecuali pada satu atau dua orang dari kaum Anshar yang
benar-benar fakir. Jadi, asas pemerataan ekonomi dan keuangan Rasulullah itu
jelas dan tegas. Lebih didasarkan pada pertimbangan kefakiran dan kemiskinan
masyarakat, bukan karna pertimbangan etnik dalam hal ini keberpihakan Nabi
kepada kaum Muhajirin.[4]
Sedangkan kaidah kedua yaitu kaidah pengambilan syariat dari sumber yang
satu. Yang mewakili sistem hukum dan syariat dalam islam. Jadi, sumber syariat
dalam islam adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Umat islam
berdiri diatas syariat ini dan memelihara serta melaksanakannya. Pemimpin atau
imam menjadi wakil umat dalam pelaksanaannya, dalam hal ini adalah ruang
lingkup hak-hak umat. Jadi, mereka tidak berhak melanggar dan menyimpang dari
syariat yang dibawa oleh Rasul.
Sistem islam merupakan sistem yang tidak serupa dengan sistem konvensional.
Sistem ini mengaitkan syariat bagi manusia dengan sistem alam, dan serasi
antara sistem dan hukum dalam alam yang telah diciptakan oleh Allah, sehingga
hukum manusia tidak berbenturan dengan hukum alam.[5]
Ayat ini juaga menegaskan perlunya berprilaku dan menjadikan Rasulullah SAW
sebagai suri tauladan kita dalam segala aspek kehidupan baik itu ibadah, rumah
tangga, masyarakat, polotik, ekonomi, maupun pergaulan baik itu dalam
masyarakat nasional maupun internasional.
Dalam ayat ini tampak bahwa Al-Qur’an memberikan tuntutan kepada
orang-orang beriman untuk bersikap tulus tanpa embel-embel apa pun dalam
menerima dan mengamalkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Semua dan setiap hukum yang dilaksanakan Rasul, wajib diikuti oleh umatnya.
Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasul, wajib dijauhi oleh umatnya.
Ayat ini juga menyerukan agar kita bertakwa kepada Allah dalam hal menerima
ketetapan hukum-hukumnya, karna sesungguhnya hukuman Allah sangat dahsyat
apabila hukumnya dilanggar oleh manusia. Mengikuti hukum Rasul merupakan bagian
dari perintah ketakwaan kepada Allah, menggarnya tergolong kedalam perbuatan
dosa yang akan mendapat siksa Allah.[6]
Dalam hal ini salah satu hukum Rasul yang merupakan bentuk takwa kepada
Allah, yaitu apa yang diberikan Rasul berupa harta fai’ dan lain-lain, maka terimalah
karna hal itu adalah halal. Dan apa yang dilarang Rasul untuk melakukannya,
maka jauhilah dan jangan didekati. Karena Rasul tidak berbicara menurut hawa
nafsunya.
Jadi, Pembagian harta fai’ dari bani Nadhir itu dibagikan kepada para kaum
Muhajirin dan Anshar sebagai kebijakan khusus dalam masalah fai’ untuk merealisasikan
kaidah pertama.
Sedangkan hukum umumnya adalah bahwa harta itu
menjadi jatah bagi seluruh orang-orang yang fakir secara umum baik dari
kelompok Muhajirin maupun Anshar dan generasi-generasi yang datang sesudah
mereka.
C.
Pengawasan
Allah Terhadap Pemilik Harta
Telah di jelaskan dalam QS. Al-Fajr ayat
14-16;
إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥفَأَكْرَمَهُۥوَنَعَّمَهُۥفَيَقُولُرَبِّىٓأَكْرَمَنِ».وَأَمَّآإِذَامَاٱبْتَلَىٰهُفَقَدَرَعَلَيْهِرِزْقَهُۥفَيَقُولُرَبِّىٓأَهَٰنَنِ» ضيق «عليه رزقه فيقول ربي أهانن».
Artinya : (Sesungguhnya
Rabbmu benar-benar mengawasi) semua amal perbuatan hamba-hamba-Nya, maka tiada
sesuatu pun yang terlewat dari-Nya di antara amal-amal perbuatan itu, supaya
Dia membalasnya kepada mereka. (Adapun
manusia) yakni orang kafir (apabila dia diuji) dikenakan ujian (oleh Rabbnya
lalu dimuliakan-Nya) dengan harta benda dan lain-lainnya (dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata, "Rabbku telah memuliakanku.") (Adapun
bila Rabbnya mengujinya lalu Dia membatasi) atau menyempitkan (rezekinya, maka
dia berkata, "Rabbku menghinaku."
Ketiga ayat diatas memberikan informasi bahwa Allah akan mengawasi segala
aspek kehidupan manusia dimuka bumi tidak terkecuali dalam kegiatan ekonomi. Kemudian
Allah juga memberikan gambaran tentang karakter umat manusia ketika menerima
amanah kekayaan dan amanah keterbatasan di bidang ekonomi. Ketika menerima
amanah kelapangan ekonomi, ia bersyukur dan memuji. Dan ketika Allah memberikan
amanah kesempitan dalam bidang ekonomi mereka putus asa dan mencela Tuhannya.
Pada ayat ke 14 di sebutkan bahwa Allah selalu mengawasi segala gerak-gerik
semua manusia, tidak seorang pun yang luput dari pengawasan Nya dari suatu yang
disembunyikan dan tidak nampak (orang-orang fasik dan munafik) dan orang-orang
kafir. Pada ayat 15 dan 16, Allah menjelaskan sifat manusia ketika diuji dengan
kenikmatan dunia oleh Allah, ia akan bersyukur dan lupa bahwa nikmat dunia
adalah ujian dari Allah. Dan manusia akan putus asa ketika Allah mengujinya
dengan kekurangan kenikmatan dunia.[7]
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun dari urusan manusia baik yang
kecil maupun yang besar terlewat dari pengawasan Allah. Allah tidak akan
membiarkan satu umat pun yang sudah terlampau melanggar batasan-batasan syariat
Nya tanpa menghukum mereka dengan kekuasaan Nya. Allah menegaskan bahwa Ia akan
menghukum dan menyiksa setiap orang yang berdosa oleh sebab dosanya.
Pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan salah satu perbuatan dosa manusia,
yaitu kecenderungan yang hanya mementingkan masalah duniawi dan pemenuhan nafsu
syahwatnya. Jika Allah memberikan karunia nikmat dan kelapangan rizki, ia
menduga bahwa Allah telah memilih dirinya dan mengangkat derajatnya lebih
tinggi dari yang lain dan bahwa ia dijauhkan dari siksaan Nya. Karena itikad
buruknya yang keliru ini, ia menutup mata dan berbuat sekehendak hati, tidak
memperdulikan lagi baik atau buruknya perbuatan yang ia lakukan.
Jika Allah memberikan kenikmatan dan kelapangan rizki manusia menyangka bahwa
karunia ini merupakan penghormatan Allah baginya. Kemudian timbula anggapan
bahwa Allah tidak akan menghukumnya sekalipun berbuat semau hati.
Jika Allah mempersempit rizki nya yang pada hakekatnya ditujukan untuk
menguji keikhlasan dan kesabaran hatinya, karena kefakiran hanya akan menambah
rasa kesyukuran bagi yang mempunyai tekad kuat, tetapi ia justru berkata “Tuhanku
telah membuat aku hina”. Jika demikian itikad nya maka ia berfikir bahwa ia
tidak merasakan lagi bahwa dirinya akan disiksa manakala melakukan kejahatan
dan tidak akan memperoleh pahala bila melakukan kebaikan, syukur dan ingkar
baginya sama hal ini terjadi karena ia merasa hina, putus asa dan merasa tidak
mempunyai harga diri di sisi Allah, maka yang demikian Allah tidak akan
menolongnya di dalam pekerjaannya.
Dengan demikian harta tersebut akan dapat memutuskan hubungannya dengan
Allah (melupakan-Nya). Orang-orang yang diuji dengan karunia kenikmatan dari
Allah menganggap bahwa, Allah telah memilih dirinya sebagai orang mulia dan
paling terhormat. Mereka yang berbuat demikian sudah tidak mengingat Tuhan lagi
dan bahwa apa yang ada disisi-Nya lebih baik dan abadi. Tapi mereka yang
dibatasi atau dikurangi rizkinya hal itu merupakan pembersih bagi dirinya dan
ujian bagi kesabarannya. Dan Allah akan memasukannya ke dalam golongan
orang-orang yang sabar dan menjanjikan dalam memperoleh surga.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Secara bahasa, distribusi berasal dari bahasa inggris distribution yang
artinya penyaluran dan pembagian, yaitu penyaluran, pembagian atau pengiriman
barang atau jasa kepada beberapa orang atau tempat. Disrtibusi adalah suatu
proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen
dan para pemakai.
Distribusi dalam ekonomi islam dimaknai lebih luas yang mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Islam
memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan pribadi, dan meletakan pada
masing-masing keduanya aturan-aturan untuk mendapatkan, menggunakan, dan
memilikinya, serta aturan-aturan tentang warisan, hibah, dan wasiat. Dalam
ekonomi islam, distribusi lebih ditekankan pada penyaluran harta kekayaan yang
diberikan kepada beberapa pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara.
Meskipun
ayat ini berbicara tentang harta fai’, manun diantara isinya yang ditekankan
adalah justru perihal pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya
tidak selalu dan semuanya beredar hanya pada segelintir orang-orang kaya. Asas
pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang
dalam al-qur’an dianjurka supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang
mengimani al-qur’an. Pada saat yang bersamaan ayat ini sekaligus mengingatkan
umat dan masyarakat supaya menjauhi aktifitas ekonomi dan keuangan yang
dilarang oleh Rasul.
Pada ayat ke 14 di sebutkan bahwa Allah selalu mengawasi segala gerak-gerik
semua manusia, tidak seorangpun yang luput dari pengawasan Nya dari suatu yang
disembunyikan dan tidak nampak (orang-orang fasik dan munafik) dan orang-orang
kafir. Pada ayat 15 dan 16, Allah menjelaskan sifat manusia ketika diuji dengan
kenikmatan dunia oleh Allah, ia akan bersyukur dan lupa bahwa nikmat dunia
adalah ujian dari Allah. Dan manusia akan putus asa ketika Allah mengujinya
dengan kekurangan kenikmatan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 30, Semarang: Toha Putra, 1993.
Muhammad Amin
Suma, Tafsir Ayat Ekonomi, Jakarta:
AMZAH, 2015.
Prof.Dr. H.Idri, Hadis Ekonomi, Jakarta: prenamedia group, 2015.
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an jilid 11, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Syamsul Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi.
[1]Prof.Dr.
H.Idri, Hadis Ekonomi, (Jakarta:
prenamedia group, 2015), hal. 128-132.
[2]Sayyid
Quthb, Fi Zhilalil Qur’an jilid 11, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
hal. 211-212.
[3]Syamsul
Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal.59-60.
[4]Muhammad
Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi,
(Jakarta: AMZAH,2015.), hal. 107.
[5]Sayyid
Quthb, Fi Zhilalil Qur’an jilid 11, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
hal. 213.
[6]Syamsul
Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal.
60-61.
[7]Syamsul
Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal.
63-64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar