Sabtu, 16 Desember 2017

DISTRIBUSI DALAM PANDANGAN ISLAM

DISTRIBUSI DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyaluran barang dan jasa kepada konsumen dan pemakainya mempunyai peran penting dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Tanpa distribusi barang dan jasa tidak akan sampai dari produsen ke konsumen, distribusi mempunyai peran signifikan dalam perekonomian masyarakat maupun negara.
Terdapat perbedaan antara sistem ekonomi konfensional dan sistem ekonomi islam dalam memaknai distribusi. Dalam sistem kapitalis permasalahan distribusi terkait dengan adanya perbedaan yang mencolok pada kepemilikan, pendapatan dan harta peninggalan. Sistem sosialis lebih melihat kepada kerja sebagai basic dari distribusi pendapatan, hasil yang akan diperoleh tergantung pada usaha mereka.
Dalam ekonomi konfensional distribusi diartikan dengan klasifikasi pembayaran berupa sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas yang dilaksanaka oleh tanah, tenaga kerja, modal, dan pengusaha. Distribusi adalah proses penentuan harga yang dipandang dari sudut penerima pendapatandan bukan dari sudut pembayaran biaya.
Sedangkan distribusi dalam pandangan ekonomi islam akan di bahas didalam makalah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu yang di maksud dengan distribusi?
2.      Apa inti kandungan dari QS. Al-Hasyr ayat 7?
3.      Apa kandungan dari QS. Al-Fajr ayat 14-16?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Sebagai pemenuhan tugas Tafsir Ayat Ekonomi
2.      Mengetahui apa yang di maksud dengan distribusi dalam pandangan islam
3.      Mengetahui kandungan surat Al-Hasyr ayat 7
4.      Mengetahui kandungan ayat Al-Fajr ayat 14-16.




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Distribusi
Secara bahasa, distribusi berasal dari bahasa inggris distribution yang artinya penyaluran dan pembagian, yaitu penyaluran, pembagian atau pengiriman barang atau jasa kepada beberapa orang atau tempat. Disrtibusi adalah suatu proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan para pemakai.
Distribusi dalam ekonomi islam dimaknai lebih luas yang mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Islam memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan pribadi, dan meletakan pada masing-masing keduanya aturan-aturan untuk mendapatkan, menggunakan, dan memilikinya, serta aturan-aturan tentang warisan, hibah, dan wasiat. Dalam ekonomi islam, distribusi lebih ditekankan pada penyaluran harta kekayaan yang diberikan kepada beberapa pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara.
Salah satu tujuan dari distribusi yaitu mengurangi ketidaksamaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat. Apabila terjadi perbedaan ekonomi yang mencolok antara yang kaya dan miskin akan mengakibatkan adanya sifat saling benciyang pada akhirnya melahirkan sikap permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Islam mengakui adanya perbedaan jumlah harta antar individu dalam masyarakat.
Islam tidak membolehkan distibusi barang atau jasa yang dilarang seperti bunga modal dan bunga pinjaman yang termasuk di dalamnya riba, hasil pencurian, khamer, dan sebagainya. Ekonomi islam menghendaki agar suatu barang didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Karna kalau tidak di bagikan kepada yang berhak menerimanya, suatu barang tidak akan bisa dinikmati oleh orang yang berhak tersebut, misalnya zakat.
Islam juga menggariskan bahwa dalam harta pribadi terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan, dan ini tidak dikenal dalam ekonomi konvensional. Dalam QS. Al-Isra ayat 26-27:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Dalam ayat di atas, umat islam diperintahkan untuk mendistribusikan sebagian dari hartanya untuk memenuhi kebutuhan karib kerabat, orang-orang miskin, para musafir, serta dilarang berlaku boros. Sarana pendistribusian ini di dalam agama islam dikenal dengan istilah zakat, infak, dan wakaf.
Pada dasarnya harta yang dimiliki itu milik Allah yang dititipkan kepada manusia. Manusia bukanlah pemilik mutlak harta tersebut sehingga manusia tidak bisa menggunakan seenaknya sendiri. Karena sifatnya titipan, maka ada aturan-aturan yang hurus diikuti yang dibuat oleh Allah. Adanya perbedaan antara kaya dan miskin itu dimaksudkan agar terjadi sinergitas diantara mereka karena saling membantu dan membutuhkan.[1]

B.     Larangan Monopoli
Monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai monopolis.
Dalam QS. Al-Hasyr ayat 7,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

Ayat ini menjelaskan tentang hukum fai’, dan memberikan penjelasan tentang sebab pembagiannya, dan meletakan kaidah besar dalam sistem ekonomi dan sosial dalam masyarakat muslim. Yaitu ada 2 kaidah:
1.      “...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu...”.
2.      “....apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...”.
Kaidah pertama adalah kaidah penataan sistem ekonomi, yang mewakili salah satu bagian besar dari asas-asas sistem ekonomi islam. Kepemilikan pribadi diakui dalam sistem ini, namun ia dibatasi dengan kaidah tersebut.
Berkenaan dengan ayat ini islam menetapkan bahwa 4/5 dari harta ghanimah bagi para mujahidin baik kaya maupun miskin, sedangkan harta fai’ hanya diperuntukan bagi orang-orang yang fakir saja. Seorang pemimpin berhak mengambil kelebihan harta orang-orang yang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin.
Islam juga membolehkan seorang pemimpin menetapkan pajak dan beberapa bagian dalam harta orang-orang kaya ketika baitul mal sedang kosong. Islam mengharamkan penimbunan dan mengharamkan riba yang keduanya merupakan sarana yang menjadikan harta benda hanya beredar dan berputar diantara orang-orang yang kaya saja.
Islam telah membangun sistem ekonomi yang membatasi kepemilikan pribadi disamping batasan-batasan lain. Sistem ekonomi islam memperbolehkan kepemilikan pribadi, namun bukanlah seperti sistem ekonomi kapitalis, sistem kapitalis tidak akan langgeng tanpa sistem riba dan penimbunan.[2]
Ayat ini mengindikasikan adanya harta rampasan perang yang diperoleh melalui pertempuran yang disebut dengan ghanimah, dan ada harta rampasan perang yang diperoleh dengan perang tapi tanpa kontak senjata yang disebut dengan fai’.
Ayat ini mengindikasikan bhwa harta rampasan perang yang diperoleh dalam peperangan hendaklah dibagi menjadi 6 bagian yaitu:
1.      Untuk Allah
2.      Untuk Rasul
3.      Kaum kerabat
4.      Anak-anak yatim
5.      Orang-orang miskin
6.      Orang-orang dalam perjalanan.
Distribusi aset kekayaan ini untuk menghindari adanya sekelompok kecil masyarakat yang menguasai aset permodalan yang besar disuatu negara atau kawasan, ini adalah suatu kebijakan yang anti monopoli dan menerapkan kebijakan pemerataan dalam kegiatan ekonomi yang berbasis kerakyatan.[3]
Ketentuan hukum yang membagi-bagi harta fai’ ke dalam beberapa kelompok sosial itu, bertujuan utama yaitu, untuk memeratakan peredaran harta kekayaan (ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir pada tangan orang-orangkaya saja diantara mereka. Disini terletak kelebihan teori ekonomi kenabian yang sangat mementingkan asas pemerataan di samping prinsip keadilan.
Kebijakan Allah dan Rasul yang memberikan harta fai’ hanya kepada kaum Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya, kecuali pada satu atau dua orang dari kaum Anshar yang benar-benar fakir. Jadi, asas pemerataan ekonomi dan keuangan Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan pada pertimbangan kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan karna pertimbangan etnik dalam hal ini keberpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin.[4]

Sedangkan kaidah kedua yaitu kaidah pengambilan syariat dari sumber yang satu. Yang mewakili sistem hukum dan syariat dalam islam. Jadi, sumber syariat dalam islam adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Umat islam berdiri diatas syariat ini dan memelihara serta melaksanakannya. Pemimpin atau imam menjadi wakil umat dalam pelaksanaannya, dalam hal ini adalah ruang lingkup hak-hak umat. Jadi, mereka tidak berhak melanggar dan menyimpang dari syariat yang dibawa oleh Rasul.
Sistem islam merupakan sistem yang tidak serupa dengan sistem konvensional. Sistem ini mengaitkan syariat bagi manusia dengan sistem alam, dan serasi antara sistem dan hukum dalam alam yang telah diciptakan oleh Allah, sehingga hukum manusia tidak berbenturan dengan hukum alam.[5]
Ayat ini juaga menegaskan perlunya berprilaku dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri tauladan kita dalam segala aspek kehidupan baik itu ibadah, rumah tangga, masyarakat, polotik, ekonomi, maupun pergaulan baik itu dalam masyarakat nasional maupun internasional.
Dalam ayat ini tampak bahwa Al-Qur’an memberikan tuntutan kepada orang-orang beriman untuk bersikap tulus tanpa embel-embel apa pun dalam menerima dan mengamalkan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Semua dan setiap hukum yang dilaksanakan Rasul, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasul, wajib dijauhi oleh umatnya. Ayat ini juga menyerukan agar kita bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetapan hukum-hukumnya, karna sesungguhnya hukuman Allah sangat dahsyat apabila hukumnya dilanggar oleh manusia. Mengikuti hukum Rasul merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah, menggarnya tergolong kedalam perbuatan dosa yang akan mendapat siksa Allah.[6]
Dalam hal ini salah satu hukum Rasul yang merupakan bentuk takwa kepada Allah, yaitu apa yang diberikan Rasul berupa harta fai’ dan lain-lain, maka terimalah karna hal itu adalah halal. Dan apa yang dilarang Rasul untuk melakukannya, maka jauhilah dan jangan didekati. Karena Rasul tidak berbicara menurut hawa nafsunya.

Jadi, Pembagian harta fai’ dari bani Nadhir itu dibagikan kepada para kaum Muhajirin dan Anshar sebagai kebijakan khusus dalam masalah fai’ untuk merealisasikan kaidah pertama.
Sedangkan hukum umumnya adalah bahwa harta itu menjadi jatah bagi seluruh orang-orang yang fakir secara umum baik dari kelompok Muhajirin maupun Anshar dan generasi-generasi yang datang sesudah mereka.

C.    Pengawasan Allah Terhadap Pemilik Harta
Telah di jelaskan dalam QS. Al-Fajr ayat 14-16;

إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلْمِرْصَادِ
فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُ
ۥفَأَكْرَمَهُۥوَنَعَّمَهُۥفَيَقُولُرَبِّىٓأَكْرَمَنِ».وَأَمَّآإِذَامَاٱبْتَلَىٰهُفَقَدَرَعَلَيْهِرِزْقَهُۥفَيَقُولُرَبِّىٓأَهَٰنَنِ» ضيق «عليه رزقه فيقول ربي أهانن».
Artinya :  (Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi) semua amal perbuatan hamba-hamba-Nya, maka tiada sesuatu pun yang terlewat dari-Nya di antara amal-amal perbuatan itu, supaya Dia membalasnya kepada mereka. (Adapun manusia) yakni orang kafir (apabila dia diuji) dikenakan ujian (oleh Rabbnya lalu dimuliakan-Nya) dengan harta benda dan lain-lainnya (dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, "Rabbku telah memuliakanku.") (Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu Dia membatasi) atau menyempitkan (rezekinya, maka dia berkata, "Rabbku menghinaku."
Ketiga ayat diatas memberikan informasi bahwa Allah akan mengawasi segala aspek kehidupan manusia dimuka bumi tidak terkecuali dalam kegiatan ekonomi. Kemudian Allah juga memberikan gambaran tentang karakter umat manusia ketika menerima amanah kekayaan dan amanah keterbatasan di bidang ekonomi. Ketika menerima amanah kelapangan ekonomi, ia bersyukur dan memuji. Dan ketika Allah memberikan amanah kesempitan dalam bidang ekonomi mereka putus asa dan mencela Tuhannya.
Pada ayat ke 14 di sebutkan bahwa Allah selalu mengawasi segala gerak-gerik semua manusia, tidak seorang pun yang luput dari pengawasan Nya dari suatu yang disembunyikan dan tidak nampak (orang-orang fasik dan munafik) dan orang-orang kafir. Pada ayat 15 dan 16, Allah menjelaskan sifat manusia ketika diuji dengan kenikmatan dunia oleh Allah, ia akan bersyukur dan lupa bahwa nikmat dunia adalah ujian dari Allah. Dan manusia akan putus asa ketika Allah mengujinya dengan kekurangan kenikmatan dunia.[7]
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun dari urusan manusia baik yang kecil maupun yang besar terlewat dari pengawasan Allah. Allah tidak akan membiarkan satu umat pun yang sudah terlampau melanggar batasan-batasan syariat Nya tanpa menghukum mereka dengan kekuasaan Nya. Allah menegaskan bahwa Ia akan menghukum dan menyiksa setiap orang yang berdosa oleh sebab dosanya.
Pada ayat selanjutnya Allah menjelaskan salah satu perbuatan dosa manusia, yaitu kecenderungan yang hanya mementingkan masalah duniawi dan pemenuhan nafsu syahwatnya. Jika Allah memberikan karunia nikmat dan kelapangan rizki, ia menduga bahwa Allah telah memilih dirinya dan mengangkat derajatnya lebih tinggi dari yang lain dan bahwa ia dijauhkan dari siksaan Nya. Karena itikad buruknya yang keliru ini, ia menutup mata dan berbuat sekehendak hati, tidak memperdulikan lagi baik atau buruknya perbuatan yang ia lakukan.
Jika Allah memberikan kenikmatan dan kelapangan rizki manusia menyangka bahwa karunia ini merupakan penghormatan Allah baginya. Kemudian timbula anggapan bahwa Allah tidak akan menghukumnya sekalipun berbuat semau hati.
Jika Allah mempersempit rizki nya yang pada hakekatnya ditujukan untuk menguji keikhlasan dan kesabaran hatinya, karena kefakiran hanya akan menambah rasa kesyukuran bagi yang mempunyai tekad kuat, tetapi ia justru berkata “Tuhanku telah membuat aku hina”. Jika demikian itikad nya maka ia berfikir bahwa ia tidak merasakan lagi bahwa dirinya akan disiksa manakala melakukan kejahatan dan tidak akan memperoleh pahala bila melakukan kebaikan, syukur dan ingkar baginya sama hal ini terjadi karena ia merasa hina, putus asa dan merasa tidak mempunyai harga diri di sisi Allah, maka yang demikian Allah tidak akan menolongnya di dalam pekerjaannya.
Dengan demikian harta tersebut akan dapat memutuskan hubungannya dengan Allah (melupakan-Nya). Orang-orang yang diuji dengan karunia kenikmatan dari Allah menganggap bahwa, Allah telah memilih dirinya sebagai orang mulia dan paling terhormat. Mereka yang berbuat demikian sudah tidak mengingat Tuhan lagi dan bahwa apa yang ada disisi-Nya lebih baik dan abadi. Tapi mereka yang dibatasi atau dikurangi rizkinya hal itu merupakan pembersih bagi dirinya dan ujian bagi kesabarannya. Dan Allah akan memasukannya ke dalam golongan orang-orang yang sabar dan menjanjikan dalam memperoleh surga.[8]














BAB III
KESIMPULAN

Secara bahasa, distribusi berasal dari bahasa inggris distribution yang artinya penyaluran dan pembagian, yaitu penyaluran, pembagian atau pengiriman barang atau jasa kepada beberapa orang atau tempat. Disrtibusi adalah suatu proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen dan para pemakai.
Distribusi dalam ekonomi islam dimaknai lebih luas yang mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Islam memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan pribadi, dan meletakan pada masing-masing keduanya aturan-aturan untuk mendapatkan, menggunakan, dan memilikinya, serta aturan-aturan tentang warisan, hibah, dan wasiat. Dalam ekonomi islam, distribusi lebih ditekankan pada penyaluran harta kekayaan yang diberikan kepada beberapa pihak, baik individu, masyarakat, maupun negara.
            Meskipun ayat ini berbicara tentang harta fai’, manun diantara isinya yang ditekankan adalah justru perihal pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar hanya pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam al-qur’an dianjurka supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani al-qur’an. Pada saat yang bersamaan ayat ini sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya menjauhi aktifitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasul.
Pada ayat ke 14 di sebutkan bahwa Allah selalu mengawasi segala gerak-gerik semua manusia, tidak seorangpun yang luput dari pengawasan Nya dari suatu yang disembunyikan dan tidak nampak (orang-orang fasik dan munafik) dan orang-orang kafir. Pada ayat 15 dan 16, Allah menjelaskan sifat manusia ketika diuji dengan kenikmatan dunia oleh Allah, ia akan bersyukur dan lupa bahwa nikmat dunia adalah ujian dari Allah. Dan manusia akan putus asa ketika Allah mengujinya dengan kekurangan kenikmatan dunia.







DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 30, Semarang: Toha Putra, 1993.
Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi, Jakarta: AMZAH, 2015.

Prof.Dr. H.Idri, Hadis Ekonomi, Jakarta: prenamedia group, 2015.
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an  jilid 11, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Syamsul Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi.





[1]Prof.Dr. H.Idri, Hadis Ekonomi, (Jakarta: prenamedia group, 2015), hal. 128-132.

[2]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an  jilid 11, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 211-212.
[3]Syamsul Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal.59-60.
[4]Muhammad Amin Suma, Tafsir Ayat Ekonomi, (Jakarta: AMZAH,2015.), hal. 107.
[5]Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an  jilid 11, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 213.

[6]Syamsul Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal. 60-61.
[7]Syamsul Hilal, Tafsir Ayat-ayat Ekonomi, hal. 63-64.
[8]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 30, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 258-263

Tidak ada komentar:

Posting Komentar