Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK ANAK KORBAN PERCERAIAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu. Makalah KONSELING KOMUNITAS yang berjudul “Bimbingan dan konseling untuk anak korban Perceraian” diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Bandar Lampung, 8 Oktober  2017
     Tim Penulis


     Kelompok 4



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar belakang....................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................
C. Tujuan.................................................................................................................

BAB II  PEMBAHASAN                               
A.           Definisi Perceraian...........................................................................   
B.        
C.      A
D.      A
E.        

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................
B. Saran ........................................................................................................... ......

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Berkeluarga merupakan salah satu tugas perkembangan yang seharusnya dilalui oleh setiap individu. Keluarga dibentuk melalui sebuah pernikahan, yaitu lembaga yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan untuk hidup bersama. Walaupun setiap pasangan suami istri selalu mempunyai rencana indah untuk hidup bersama sampai dipisahkan oleh kematian, namun kenyataan hidup tidak selalu seindah idealisme  yang ada.
Ikatan sakral dalam pernikahan seringkali harus berakhir  dengan  perceraian. Perceraian merupakan pemutusan  hubungan  pernikahan  yang dilakukan secara sah menurut hukum yang berlaku. Pemutusan tersebut biasanya didahului oleh timbulnya permasalahan dan konflik  yang  tidak  terselesaikan  antara suami istri, adanya ketidakpuasan, rasa tersakiti yang tidak dapat diatasi bersama lagi. Sehingga pasangan tersebut mengambil keputusan untuk bercerai sebagai jalan mengakhiri segala ketidaknyamanan dan tekanan yang terjadi dalam hubungan mereka.
Perceraian tidak saja terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-orang berkelas atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat biasa tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang figur salah satunya artis, musisi, bahkan terjadi pada ustad-ustad.
Perceraian bukan saja akan merugikan beberapa pihak namun perceraian juga sudah jelas dilarang oleh agama (agama islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi tetap saja perceraian di kalangan masyarakat terus semakin banyak bahkan dari tahun ketahun terus meningkat terutama contoh yang lebih konkrit yaitu terjadi kalangan para artis, dimana mereka dengan mudah kawin-cerai dengan tidak memperhitungkan akibat sikis yang di timbulkan dari perceraian tersebut, masalah kecilnya biaya perceraian mereka tidak jadi permasalahan.


B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perceraian?
2.      Apa saja masalah yang dialami anak-anak korban perceraian?
3.      Bagaimana rencana penanganan anak korban perceraian?
4.      Bagaimana peran konselor dalam menghadapi kasus anak korban perceraian?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui definisi perceraian
2.      Mengetahui permasalahan yang dialami anak-anak korban perceraian
3.      Mengetahui cara menangani anak-anak korban perceraian
4.      Mengetahui peran konselor dalam menghadapi kasus anka korban perceraian



















BAB II
PEMBAHASAN

F.       Definisi Perceraian
Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri .
Bagi anak-anak yang belum mengerti maksud dari “perceraian” mereka mungkin sering bertanya-tanya kenapa kedua orangtua mereka tidak pernah bersama-sama lagi. Mereka hanya menuruti apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Bagi seorang remaja yang dalam keadaan emosinya masih sangat labil, mereka menganggap hal tersebut adalah kehancuran dalam hidupnya, hidup akan jauh berbeda paska perceraian, merasa segalanya menjadi kacau, dan merasa kehilangan. Bagi anak yang telah dewasa, mereka akan lebih mudah diajak berkomunikasi, lebih bisa memahami situasi dan kondisi, lebih bisa menjaga dirinya sendiri, bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bisa menasehati kedua orangtuanya sesuai apa yang ia rasakan.
Intinya pada berapapun usia dari anak-anak yang mengalami perpecahan dalam keluarganya, disatu sisi “kehilangan” adalah masalah pertama yang mereka jumpa. Di sisi lain mereka menunjukkan kesulitan dalam menyesuaikan diri seperti kesedihan, kesepian, kesendirian, keterpurukan, kerinduan, ketakutan, kekhawatiran,dan depress. Itu semua adalah hanya bagian dari rasa kekecewaan terhadap orangtuanya. Yang akan menjadi trauma apabila mereka menyaksikan perkelahian orangtuanya yang begitu dasyat, mereka hanya bisa menangis, mengurung diri di kamar, atau pergi melarikan diri dari rumah untuk menenangkan diri mereka. Mereka yang bercerai bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat diminta maju ke pengadilan (Imam Setyawan, 2010).

G.      Masalah-masalah yang dialami oleh anak korban perceraian
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 2 kategori anak adalah:
1.         Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:
a.       Mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan mau melampiaskannya.
b.      Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena :
·           Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.
·           Dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
·           Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
2.         Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka. Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak sabaran, impulsif,. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. Orangtua harus harus hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis. Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk commit pada suatu hubungan.
Pacaran-putus, pacaran-putus. Self esteem anak juga bisa turun. Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri. Apalagi jika anak sudah besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya, tapi tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting dari kehidupan orangtuanya. Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar,  Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di hati anak. Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian mengekspresikannya ke tempat yang salah.
3.      Marah
Dengan adanya perceraian seorang anak seringkali emosinya tidak terkontrol dengan baik sehingga mereka sering kali marah yang tidak karuan, banyak teman dekat yang menjadi sasaran amarahnya padahal sebenarnya bukan pada temannya yang bermasalah.
4.      Kehilangan
Dominan pada remaja setelah terjadi perceraian itu akan merasa kehilangan baik besar atau kecil perasaan yang ditimbulkan oleh si remja tersebut
5.      Merasa bersalah dan menyalahkan diri
Remaja sering murung dan mereka sering berfikir yang mendalam sehingga mereka banyak diam, jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak nyaman berada dengan orang lain, ini terjadi terutama pada anak yang berperilaku baik, si remaja akan berfikir dan merenungkan orang tuanya bercerai itu apakah gara-gara dirinya atau faktor lain, dan ini sering menjadi pertanyaan besar yang terjadi pada diri mereka.
6.      Timbul rasa malu terhadap teman-temannya,
Pasti ia akan berpikir bahwa teman-temannya akan membicarakan hal itu di sekolah maupun diluar sekolah atau jadi sering untuk menyendiri. Sehingga mengganggu konsentrasi belajar anak. Prestasi anak di sekolah akan menurun baik dalam bidang akademik maupun non-akademik  (Imam Setyawan, 2010).
Menurut Hurlock (dalam Yusuf, 2004), dampak remaja korban perceraian orang tua, antara lain :
a.     Mudah emosi (sensitif)
b.    Kurang konsentrasi belajar
c.     Tidak perduli terhadap lingkungan dan sesamanya
d.    Tidak tahu sopan santun
e.     Tidak tahu etika bermasyarakat
f.     Senang mencari perhatian orang
g.    Ingin menang sendiri
h.    Susah diatur
i.      Suka melawan orang tua
j.      Tidak memiliki tujuan hidup
k.    Kurang memiliki daya juang
l.      Berperilaku nakal
m.  Mengalami depresi
n.    Melakukan hubungan seksual secara aktif,dan 
o.    Kecenderungan terhadap obat-obat terlarang.


H.      Pelayaan Bimbingan Konseling Pada Anak Korban Perceraiaan

Sebagai langkah terapi atau penyembuhan terhadap anak yang sudah menjadi korban, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses konseling: Fokuskan sesi pertama untuk membangun hubungan baik dengan anak-anak. Bersabarlah. Anda tak bisa memburu-buru seorang anak dan mengharapkan hasil yang baik pada waktu yang sama. Siapkan diri Anda untuk melakukan permainan guna mencairkan suasana yang kaku, menonton video tentang anak-anak yang berhasil mengatasi perceraian kedua orang tua mereka, atau “sekedar berbincang” tentang sekolah, teman-teman, keluarga dan hal-hal lain yang ingin didiskusikan si anak. Jangan terkejut atau kecewa jika anak menolak proses konseling. Ini biasa terjadi (David Miller, 1999)  Sepanjang hidupnya anak-anak diberi petunjuk agar berhati-hati berbicara dengan orang asing. Sampai terbangun relasi konseling yang baik, maka konselor akan tetap menjadi orang asing baginya. Majulah perlahan-lahan, dan banyaklah bermain di sesi awal
Pada sesi berikutnya usahakan maju lebih dalam untuk menyimak ke dalam proses cara berpikir dan perasaan klien anak Anda. Gunakan buku gambar (jika sesuai umurnya) dan latihan “Selesaikanlah Kisah Ini” untuk membuat anak siap memasuki sesi-sesi berikutnya. Berilah penghargaan pada kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dan selalu katakan yang baik mengenai kedua orang tuanya. Jika klien anak menyatakan kemarahannya kepada orang tuanya, dengarkan namun jangan menyetujui kemarahan tersebut. Namun, jangan juga membantah atau mementahkan apa yang disampaikannya. Jika seorang anak bertanya, (Fattayat, 1988) “Apakah saya boleh marah kepada ayahku?” katakanlah, “Yang benar-benar penting adalah apa yang kau pikirkan dan rasakan. Tidak ada aturan tentang bagaimana anak sebayamu harus bereaksi terhadap masalah ini. Jadi kamu bisa mengatakan apa saja yang ingin kau sampaikan di sini. Saya tidak akan menjadi prihatin atau melaporkan hal itu kepada ibumu.”Saat proses konseling berlanjut, terus lakukan pembicaraan dengan orang tua untuk melihat apakah klien anak menyadari dan memenuhi tujuan yang sudah kalian tetapkan bersama di awal. Jika tujuan yang ditetapkan telah dicapai, dan tidak ada lagi masalah baru yang harus ditangani--akhirilah konseling. Anda juga bisa mengakhiri konseling pada saat orang tua merasa bahwa anak sudah mencapai perkembangan yang diharapkannya. Ingatlah selalu bahwa datang ke sesi konseling itu hal yang tidak enak bagi siapa pun, terutama bagi mereka yang menjadi orang tua tunggal yang harus melakukan semuanya sendirian. Mengakhiri suatu seri konseling pada saat yang tepat akan sangat diterima oleh mereka sebagai sesuatu yang menyenangkan.

I.         Peran Koselor Terhadap Anak Korban Perceraiaan

Untuk menolong anak korban perceraian maka sebagai konselor ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu :
1.    Mencegah lahirnya anak yang berkeribadian buruk dengan mengajak orang tua untuk  tetap bertanggung jawab dalam pertubuhan kepribadian anak.
2.    Melakukan konseling atau menangani  anak-anak yang sudah memiliki kepribadian buruk.
Sebagai langkah pencegahan kepada orang tua harus diberi penjelasan bahwa jika anaknya ingin bertumbuh dengan baik harus memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, anak harus mendapatkan kebebasan untuk menemui orang tuanya. Mereka harus diperbolehkan menelpon atau menjumpai salah satu orang tua tanpa merasa takut menjumpai orang tua lainnya. Anak tidak boleh diharuskan untuk berpihak pada salah satu orang tuanya karena hal ini akan menciptakan suasana yang sama-sama merugikan. Pilih ibu maka ayah harus dilupakan, pilih ayah berarti ibu harus dilepaskan (Paul Gunadhi, 2004) anak-anak harus mendapat izin untuk menyanyangi kedua orang tuanya di depan masing-masing orang tuanya.
Kedua, anak membutuhkan konsistensi untuk merasa aman dan terlindungi. Masing-masing orang tua perlu menemukan aturan dan konsekuensinya yang sama di kedua rumah. Orang tua perlu membahas dan menyepakati kegiatan rutin anak-anak, kegiatan yang diperbolehkan atau tidak. Semangat kerjasama ini akan menunjukkan kepada anak bahwa kedua orang tuanya adalah menyenangkan. Konsistensi akan memberi anak keseimbangan dan membantu mereka menyesuaikan diri menghadapai perceraian dan penyesuaian prestasinya di sekolah.
Ketiga, anak harus mengetahui bahwa kedua orang tuanya masih terlibat dalam kehidupan mereka. Orang tua tidak menceraikan anaknya karena anak membutuhkan asuhan keduanya. Kedua orang tua harus menghadiri acara-acara sekolah. Keterlibatan keduanya menujukkan kedua orang tua berpendapat bahwa sekolah merupakan sebuah prioritas, ini dapat menjadikan mereka berusaha bersungguh-sungguh disekolah.
Sebagian besar anak berharap orang tuanya akan bersatu lagi. Hal ini dapat dipahami karena mereka ingin keluarganya kembali seperti dahulu. Sayangnya khalayan yang dipegangnya seringkali bertentangan dengan kenyataan yang ada.  Anak harus merasa nyaman dengan diri mereka sendiri agar mampu bertingkah laku dengan baik dan berprestasi disekolah. Anak akan dapat menyesuaikan diri dengan perceraian orang tuanya dan dapat berhasil disekolah kalau orang tuanya bisa menjadi bagian kehidupan mereka. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan luka perceraian. Tapi ada tindakan yang dapat mengurangi rasa sakitnya yaitu kedua orang tua harus menjaga perdamaian dan harus tetap terlibat dalam setiap aspek kehidupan anak-anak tersebut.



BAB III
KESIMPULAN

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.
Dampak perceraian dalam pandangan agama (Islam), perceraian adalah sesuatu yang dihalalkan (boleh) tetapi dibenci oleh Allah, atau dengan kata lain sebagai pintu darurat. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri, tetapi juga anak-anak. Anak-anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. Perkembangan psikologi anak-anak brokenhome yang tidak sehat, seringkali berujung dengan narkoba.
Pada awal masa remaja, banyak anak dari keluarga-keluarga yang retak telah tersandung ke dalam sarang lebah malapetaka kaum remaja termasuk nilai-nilai yang merosot, tingkah laku seksual terlampau dini, penggunaan obat-obat terlarang dan tindakan kejahatan. Ada pula sejumlah bukti, meskipun tidak begitu kuat, bahwa anak-anak dari keluarga-keluarga dengan tingkat konflik dan perceraian yang tinggi mengalami lebih banyak depresi, kecemasan dan menarik diri. Tidak dapat disangkal bahwa anak-anak menjadi sedih dan bila mereka menyaksikan perkelahian orang tuanya. Faktor yang paling berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana memberikan pengaruh dan bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik dan stabil, menciptakan keakraban bagi kedua orang tua. Pengaruh orang tua dapat menciptakan kekuatan pada diri anak. Penggaruh ini akan tetap bertahan sampai 5 tahun berikutnya. Kebiasaan mengunjungi masih penting bagi sebagian besar anak. Meskipun demikian, kasus perceraian itu tetap membawa dampak dalam perkembangan sosial dan emosi anak.




DAFTAR PUSTAKA

David Miller,  Konseling Anak Korban Perceraian. New York: Prentice Hall International. (1999).
Fattayat,  Perceraian  dalam penghayatan Anak. Alih Bahasa : Koeswara , E. Bandung : Eresco. (1988).
Imam Setyawan (2010). Membangun Pemanfaatan Anak Korban Perceraian. Semarang: tidak diterbitkan.
Paul Gunadhi, Perceraian dan dampaknya terhadap anak. Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya. (2004).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar