KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini dengan tepat waktu. Makalah KONSELING KOMUNITAS yang berjudul “Bimbingan dan konseling untuk anak korban Perceraian” diharapkan
Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Bandar Lampung, 8 Oktober 2017
Tim Penulis
Kelompok 4
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................. i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI........................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang....................................................................................................
B.
Rumusan Masalah...............................................................................................
C.
Tujuan.................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Perceraian...........................................................................
B.
C.
A
D.
A
E.
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.........................................................................................................
B.
Saran ........................................................................................................... ......
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berkeluarga merupakan salah satu
tugas perkembangan yang seharusnya dilalui oleh setiap individu. Keluarga
dibentuk melalui sebuah pernikahan, yaitu lembaga yang menyatukan laki-laki dan
perempuan dalam satu ikatan untuk hidup bersama. Walaupun setiap pasangan suami
istri selalu mempunyai rencana indah untuk hidup bersama sampai dipisahkan oleh
kematian, namun kenyataan hidup tidak selalu seindah idealisme yang ada.
Ikatan sakral dalam pernikahan
seringkali harus berakhir dengan perceraian. Perceraian merupakan
pemutusan hubungan pernikahan
yang dilakukan secara sah menurut hukum yang berlaku. Pemutusan tersebut
biasanya didahului oleh timbulnya permasalahan dan konflik yang
tidak terselesaikan antara suami istri, adanya ketidakpuasan,
rasa tersakiti yang tidak dapat diatasi bersama lagi. Sehingga pasangan
tersebut mengambil keputusan untuk bercerai sebagai jalan mengakhiri segala
ketidaknyamanan dan tekanan yang terjadi dalam hubungan mereka.
Perceraian
tidak saja terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-orang
berkelas atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat
biasa tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang figur salah satunya
artis, musisi, bahkan terjadi pada ustad-ustad.
Perceraian bukan saja akan
merugikan beberapa pihak namun perceraian juga sudah jelas dilarang oleh agama
(agama islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi tetap saja
perceraian di kalangan masyarakat terus semakin banyak bahkan dari tahun
ketahun terus meningkat terutama contoh yang lebih konkrit yaitu terjadi
kalangan para artis, dimana mereka dengan mudah kawin-cerai dengan tidak
memperhitungkan akibat sikis yang di timbulkan dari perceraian tersebut,
masalah kecilnya biaya perceraian mereka tidak jadi permasalahan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud perceraian?
2. Apa saja masalah yang dialami anak-anak korban perceraian?
3. Bagaimana rencana penanganan anak korban perceraian?
4. Bagaimana peran konselor dalam menghadapi kasus anak korban perceraian?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui definisi perceraian
2.
Mengetahui permasalahan yang dialami
anak-anak korban perceraian
3.
Mengetahui cara menangani anak-anak
korban perceraian
4.
Mengetahui peran konselor dalam
menghadapi kasus anka korban perceraian
BAB II
PEMBAHASAN
F.
Definisi Perceraian
Perceraian merupakan terputusnya
keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling
meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami
istri .
Bagi anak-anak yang belum mengerti maksud dari “perceraian” mereka
mungkin sering bertanya-tanya kenapa kedua orangtua mereka tidak pernah
bersama-sama lagi. Mereka hanya menuruti apa yang diucapkan oleh orangtuanya.
Bagi seorang remaja yang dalam keadaan emosinya masih sangat labil, mereka
menganggap hal tersebut adalah kehancuran dalam hidupnya, hidup akan jauh
berbeda paska perceraian, merasa segalanya menjadi kacau, dan merasa
kehilangan. Bagi anak yang telah dewasa, mereka akan lebih mudah diajak
berkomunikasi, lebih bisa memahami situasi dan kondisi, lebih bisa menjaga
dirinya sendiri, bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bisa
menasehati kedua orangtuanya sesuai apa yang ia rasakan.
Intinya pada berapapun usia dari anak-anak yang mengalami perpecahan
dalam keluarganya, disatu sisi “kehilangan” adalah masalah pertama yang mereka
jumpa. Di sisi lain mereka menunjukkan kesulitan dalam menyesuaikan diri
seperti kesedihan, kesepian, kesendirian, keterpurukan, kerinduan, ketakutan,
kekhawatiran,dan depress. Itu semua adalah hanya bagian dari rasa kekecewaan
terhadap orangtuanya. Yang akan menjadi trauma apabila mereka menyaksikan
perkelahian orangtuanya yang begitu dasyat, mereka hanya bisa menangis,
mengurung diri di kamar, atau pergi melarikan diri dari rumah untuk menenangkan
diri mereka. Mereka yang bercerai bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan
tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan
pasangan itu dapat diminta maju ke pengadilan (Imam Setyawan, 2010).
G. Masalah-masalah yang dialami oleh anak korban perceraian
Dalam rumah
tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan
pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 2 kategori anak adalah:
1.
Anak-anak yang
memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang
bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:
a.
Mempunyai
kemarahan, kefrustrasian dan mau melampiaskannya.
b.
Selain itu,
anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat
orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena :
·
Dia harus hidup
dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.
·
Dia harus
kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya
kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
·
Waktu orang tua
bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang
dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
2.
Anak-anak yang
bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa
kehilangan identitas sosialnya. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong
dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari
pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka. Banyak sekali dampak
negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah
pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak sabaran, impulsif,. Bisa jadi, anak
akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi
atau penyebab perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi apatis,
menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh
perceraian orangtuanya. Orangtua harus harus hati-hati melihat, apakah ini
memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu,
atau hanya pura-pura. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin
kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis. Ke depannya, setelah dewasa, anak
cenderung enggak berani untuk commit pada suatu hubungan.
Pacaran-putus, pacaran-putus. Self esteem anak juga
bisa turun. Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat
besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs dan alkohol,
dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri. Apalagi jika anak sudah
besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya, tapi
tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak
digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting dari kehidupan
orangtuanya. Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang
wajar, Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di hati anak.
Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian mengekspresikannya
ke tempat yang salah.
3.
Marah
Dengan adanya
perceraian seorang anak seringkali emosinya tidak terkontrol dengan baik
sehingga mereka sering kali marah yang tidak karuan, banyak teman dekat yang
menjadi sasaran amarahnya padahal sebenarnya bukan pada temannya yang
bermasalah.
4.
Kehilangan
Dominan pada
remaja setelah terjadi perceraian itu akan merasa kehilangan baik besar atau
kecil perasaan yang ditimbulkan oleh si remja tersebut
5.
Merasa bersalah
dan menyalahkan diri
Remaja sering
murung dan mereka sering berfikir yang mendalam sehingga mereka banyak diam,
jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak nyaman berada dengan orang lain,
ini terjadi terutama pada anak yang berperilaku baik, si remaja akan berfikir
dan merenungkan orang tuanya bercerai itu apakah gara-gara dirinya atau faktor
lain, dan ini sering menjadi pertanyaan besar yang terjadi pada diri mereka.
6.
Timbul rasa
malu terhadap teman-temannya,
Pasti ia akan berpikir bahwa
teman-temannya akan membicarakan hal itu di sekolah maupun diluar sekolah atau
jadi sering untuk menyendiri. Sehingga mengganggu konsentrasi belajar anak.
Prestasi anak di sekolah akan menurun baik dalam bidang akademik maupun non-akademik (Imam Setyawan, 2010).
Menurut Hurlock
(dalam Yusuf, 2004), dampak remaja korban perceraian orang tua, antara
lain :
a. Mudah emosi (sensitif)
b. Kurang konsentrasi belajar
c. Tidak perduli terhadap lingkungan dan
sesamanya
d. Tidak tahu sopan santun
e. Tidak tahu etika bermasyarakat
f.
Senang mencari perhatian orang
g. Ingin menang sendiri
h. Susah diatur
i.
Suka melawan orang tua
j.
Tidak memiliki tujuan hidup
k. Kurang memiliki daya juang
l.
Berperilaku nakal
m. Mengalami depresi
n. Melakukan hubungan seksual secara
aktif,dan
o. Kecenderungan terhadap obat-obat
terlarang.
H.
Pelayaan Bimbingan Konseling Pada
Anak Korban Perceraiaan
Sebagai langkah terapi atau penyembuhan
terhadap anak yang sudah menjadi korban, maka beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses konseling: Fokuskan
sesi pertama untuk membangun hubungan baik dengan anak-anak. Bersabarlah. Anda
tak bisa memburu-buru seorang anak dan mengharapkan hasil yang baik pada waktu
yang sama. Siapkan diri Anda untuk melakukan permainan guna mencairkan suasana
yang kaku, menonton video tentang anak-anak yang berhasil mengatasi perceraian
kedua orang tua mereka, atau “sekedar berbincang” tentang sekolah, teman-teman,
keluarga dan hal-hal lain yang ingin didiskusikan si anak. Jangan terkejut atau
kecewa jika anak menolak proses konseling. Ini biasa terjadi (David Miller, 1999) Sepanjang hidupnya anak-anak diberi petunjuk
agar berhati-hati berbicara dengan orang asing. Sampai terbangun relasi
konseling yang baik, maka konselor akan tetap menjadi orang asing baginya.
Majulah perlahan-lahan, dan banyaklah bermain di sesi awal
Pada
sesi berikutnya usahakan maju lebih dalam untuk menyimak ke dalam proses cara
berpikir dan perasaan klien anak Anda. Gunakan buku gambar (jika sesuai
umurnya) dan latihan “Selesaikanlah Kisah Ini” untuk membuat anak siap memasuki
sesi-sesi berikutnya. Berilah penghargaan pada kemampuan anak untuk
menyesuaikan diri dan selalu katakan yang baik mengenai kedua orang tuanya.
Jika klien anak menyatakan kemarahannya kepada orang tuanya, dengarkan namun jangan
menyetujui kemarahan tersebut. Namun, jangan juga membantah atau mementahkan
apa yang disampaikannya. Jika seorang anak bertanya, (Fattayat, 1988) “Apakah saya boleh marah kepada ayahku?”
katakanlah, “Yang benar-benar penting adalah apa yang kau pikirkan dan rasakan.
Tidak ada aturan tentang bagaimana anak sebayamu harus bereaksi terhadap
masalah ini. Jadi kamu bisa mengatakan apa saja yang ingin kau sampaikan di
sini. Saya tidak akan menjadi prihatin atau melaporkan hal itu kepada
ibumu.”Saat proses konseling berlanjut, terus lakukan pembicaraan dengan orang
tua untuk melihat apakah klien anak menyadari dan memenuhi tujuan yang sudah
kalian tetapkan bersama di awal. Jika tujuan yang ditetapkan telah dicapai, dan
tidak ada lagi masalah baru yang harus ditangani--akhirilah konseling. Anda
juga bisa mengakhiri konseling pada saat orang tua merasa bahwa anak sudah
mencapai perkembangan yang diharapkannya. Ingatlah selalu bahwa datang ke sesi
konseling itu hal yang tidak enak bagi siapa pun, terutama bagi mereka yang
menjadi orang tua tunggal yang harus melakukan semuanya sendirian. Mengakhiri
suatu seri konseling pada saat yang tepat akan sangat diterima oleh mereka
sebagai sesuatu yang menyenangkan.
I.
Peran Koselor Terhadap Anak
Korban Perceraiaan
Untuk menolong anak korban perceraian maka
sebagai konselor ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu :
1.
Mencegah lahirnya anak yang
berkeribadian buruk dengan mengajak orang tua untuk tetap bertanggung jawab dalam pertubuhan
kepribadian anak.
2.
Melakukan konseling atau
menangani anak-anak yang sudah memiliki
kepribadian buruk.
Sebagai langkah pencegahan kepada orang tua
harus diberi penjelasan bahwa jika anaknya ingin bertumbuh dengan baik harus
memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, anak
harus mendapatkan kebebasan untuk menemui orang tuanya. Mereka harus
diperbolehkan menelpon atau menjumpai salah satu orang tua tanpa merasa takut
menjumpai orang tua lainnya. Anak tidak boleh diharuskan untuk berpihak pada
salah satu orang tuanya karena hal ini akan menciptakan suasana yang sama-sama
merugikan. Pilih ibu maka ayah harus dilupakan, pilih ayah berarti ibu harus
dilepaskan (Paul Gunadhi, 2004) anak-anak
harus mendapat izin untuk menyanyangi kedua orang tuanya di depan masing-masing
orang tuanya.
Kedua, anak
membutuhkan konsistensi untuk merasa aman dan terlindungi. Masing-masing orang
tua perlu menemukan aturan dan konsekuensinya yang sama di kedua rumah. Orang
tua perlu membahas dan menyepakati kegiatan rutin anak-anak, kegiatan yang
diperbolehkan atau tidak. Semangat kerjasama ini akan menunjukkan kepada anak
bahwa kedua orang tuanya adalah menyenangkan. Konsistensi akan memberi anak
keseimbangan dan membantu mereka menyesuaikan diri menghadapai perceraian dan
penyesuaian prestasinya di sekolah.
Ketiga, anak
harus mengetahui bahwa kedua orang tuanya masih terlibat dalam kehidupan
mereka. Orang tua tidak menceraikan anaknya karena anak membutuhkan asuhan
keduanya. Kedua orang tua harus menghadiri acara-acara sekolah. Keterlibatan
keduanya menujukkan kedua orang tua berpendapat bahwa sekolah merupakan sebuah
prioritas, ini dapat menjadikan mereka berusaha bersungguh-sungguh disekolah.
Sebagian
besar anak berharap orang tuanya akan bersatu lagi. Hal ini dapat dipahami
karena mereka ingin keluarganya kembali seperti dahulu. Sayangnya khalayan yang
dipegangnya seringkali bertentangan dengan kenyataan yang ada. Anak harus merasa nyaman dengan diri mereka
sendiri agar mampu bertingkah laku dengan baik dan berprestasi disekolah. Anak
akan dapat menyesuaikan diri dengan perceraian orang tuanya dan dapat berhasil
disekolah kalau orang tuanya bisa menjadi bagian kehidupan mereka. Tidak ada
obat yang dapat menyembuhkan luka perceraian. Tapi ada tindakan yang dapat
mengurangi rasa sakitnya yaitu kedua orang tua harus menjaga perdamaian dan
harus tetap terlibat dalam setiap aspek kehidupan anak-anak tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat
kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa
meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus
memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh selama
pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka
menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.
Dampak perceraian dalam pandangan agama (Islam),
perceraian adalah sesuatu yang dihalalkan (boleh) tetapi dibenci oleh Allah,
atau dengan kata lain sebagai pintu darurat. Hal ini dapat dipahami karena
besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa suami-istri, tetapi juga
anak-anak. Anak-anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua
orang tuanya. Perkembangan psikologi anak-anak brokenhome yang tidak sehat,
seringkali berujung dengan narkoba.
Pada awal masa remaja, banyak anak dari
keluarga-keluarga yang retak telah tersandung ke dalam sarang lebah malapetaka
kaum remaja termasuk nilai-nilai yang merosot, tingkah laku seksual terlampau
dini, penggunaan obat-obat terlarang dan tindakan kejahatan. Ada pula sejumlah
bukti, meskipun tidak begitu kuat, bahwa anak-anak dari keluarga-keluarga
dengan tingkat konflik dan perceraian yang tinggi mengalami lebih banyak
depresi, kecemasan dan menarik diri. Tidak dapat disangkal bahwa anak-anak
menjadi sedih dan bila mereka menyaksikan perkelahian orang tuanya. Faktor yang
paling berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana memberikan pengaruh dan
bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik dan stabil, menciptakan
keakraban bagi kedua orang tua. Pengaruh orang tua dapat menciptakan kekuatan
pada diri anak. Penggaruh ini akan tetap bertahan sampai 5 tahun berikutnya.
Kebiasaan mengunjungi masih penting bagi sebagian besar anak. Meskipun
demikian, kasus perceraian itu tetap membawa dampak dalam perkembangan sosial
dan emosi anak.
DAFTAR PUSTAKA
David Miller, Konseling Anak Korban Perceraian. New York: Prentice Hall International. (1999).
Fattayat, Perceraian
dalam penghayatan Anak. Alih
Bahasa : Koeswara , E. Bandung : Eresco. (1988).
Imam Setyawan (2010). Membangun Pemanfaatan Anak Korban Perceraian. Semarang: tidak
diterbitkan.
Paul Gunadhi, Perceraian
dan dampaknya terhadap anak. Jakarta: PT. Prestasi
Pustaka Raya. (2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar