HADITS MAUDHU’
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an merupakan sumber hukam Islam paling pokok. Akan tetapi tanpa
Hadist umat Islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum
yang terkandung didalam Al-Qur’an secara mendalam. Ini menujukkan hadits
menduduki posisi yang sangat penting juga didalam sumber hukum Islam. Dan
sesungguhnya pun Hadist mempunyai fungsi dan kedudukan begiti besar, namun
Hadist tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi
dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq. Hadist baru ditulis dan
dibikukan pada masa khalifah Umar ibn ’Abd Al-Aziz (Abad ke-2).
Hadist Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk dikatakan sebuah hadist,
karena sudah jelas bukan hadist yang disandarkan pada Nabi Saw. Berbeda dengan
hadist dha’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan isstishal pada
Nabi. Hadist maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuaannya sadangkan hadist
dha’if belum jelas (samar-samar).
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian Maudhu’ secara bahasa dan istilah?
2.
Apa sejarah kemunculan Hadits Maudhu’?
3.
Apa bagian-bagian Hadits Maudhu’?
4.
Apa latar belakang munculnya Hadits Maudhu’?
5.
Apa status Hadits Maudhu’?
6.
Apa hukum meriwayatkan Hadits Maudhu’?
7.
Apa tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’?
8.
Apa kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits Maudhu’?
9.
Apa upaya penyelamatan Hadits?
10.
Golongan-golongan apa saja yang membuat Hadits palsu?
11. Apa
saja karya-karya dalam Hadits Maudhu’?
12. Siapa
nama-nama pemalsu?
13. Apa
contoh Hadits Maudhu’?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui arti Maudhu’ menurut bahasa dan istilah
2.
Mengetahui sejarah Hadits Maudhu’
3. Mengetahui bagian-bagian
Hadits Maudhu’
4.
Mengetahui latar belakang munculnya Hadits Maudhu’
5.
Mengetahui status Hadits Maudhu’
6.
Mengetahui hukum meriwayatkan Hadits Maudhu’
7.
Mengetahui tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’
8.
Mengetahui kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits Maudhu’
9.
Untuk mengetahui upaya penyelamatan Hadits
10. Untuk
mengetahui golongan-golongan yang membuat Hadits palsu
11. Untuk
mengetahui karya-karya dalam Hadits Maudhu’
12. Untuk
mengetahui nama-nama pemalsu
13. Untuk
mengetahui contoh Hadits Maudhu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu’
Secara bahasa, Al-Maudhu’
adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa
al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku
(ditinggal).
Kata al-maudhu’
secara kebahasaan memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi
mengarah pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi makna itu di
antaranya adalah sebagai berikut:
a.
Bermakna al-Hiththah, yang mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat.
b.
Bermakna al-Isqah, yang mempunyai konotasi arti menggugurkan.
c.
Bermakna al-Ikhtilaq, yang berarti membuat-buat.
d.
Bermakna al-Islaq, yang berarti meletakkan
Beberapa contoh
bentukan kata tersebut di atas menunjukkan bahwa kata al-maudhu’u mempunyai
padanan dengan kata al-munhithu, al-musqithu, al-mukhtaliqu, dan al-mulshiqu.
Sehingga kata al-maudhu’u bisa mempunyai pengertian menurunkan atau merendahkan
derajat, menggugurkan, membuat-buat, dan meletakkan sesuatu yang bersifat
tiruan pada sesuatu yang aslinya.
Menurut istilah,
hadis maudhu’ adalah:
مَانُسِبَ اِلَي رَ سُوْ لِ اللهِ صَليَ ا للهُ عَلَيْهِ
وَ سَلّمَ اِ خْتِلاَ قًا وَ كَذْ بًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أوْ
يُقِرُهُ وَقَالَ بَعْدُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ
المَصْنُوْعُ
“Hadis yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, berbuat maupun menetapkannya.”
Sebagian, mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud hadis maudhu’ ialah:
هُوَ المُخْتَلَعُ المَصْنُوْعُ المَنْسُوْبُ إِلَي
رَسُوْلِ اللهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ زَوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَا
نَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“Hadis yang
dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada
Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
Beberapa unsur
penting dalam bacaan definisi al-maudhu’ adalah sebagai berikut:
a. Unsur
al-wadh’u (pembuatan) atau (dibuat-buat)
b.
Unsur al-kadzibu (dusta) atau (penipu)
c.
Unsur al-amdu (sengaja) dan al-khata’u (tidak sengaja)
Dari ketiga unsur
tersebut, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadis maudhu’
adalah dusta (kidzib). Sehingga nabi sangat berpesan agar menghindari dusta
dalam meriwayatkan hadis.
Pengertian hadis
maudhu’ secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan kesinambungan
cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.
1. Al-hiththah
berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang terbuang dan terlempar dari
kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai
landasan hujjah.
2. Al-isqath
berarti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat
sebagai dasar istidal.
3. Al-islaq
berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang ditempelkan (diklaimkan) kepada Nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal
bukan berasal dari Nabi.
4.
Al-ikhtilaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat sebagai
ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal
dari Nabi.
Jadi hadis maudhu’
itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasul, akan tetapi suatu
perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu
alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Untuk hadis palsu, ulama biasanya
menyebutnya dengan istilah hadis maudhu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang
semacamnya. Tidak boleh meriwayatkan sesuatu hadis yang kenyataannya palsu bagi
mereka yang sudah mengetahui akan kepalsuan hadis itu. Kecuali apabila sesudah
ia meriwayatkan hadis itu kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadis itu
adalah palsu, guna menyelamatkan mereka yang mendengar atau menerima hadis itu
dari padanya.Tujuan pembuatan hadis palsu adalah untuk kepentigan dakwah dan
zuhud.
B.
Sejarah Kemunculan dan Penyebaran Hadis Maudhu’
Masuknya penganut
agama lain ke Islam, sebagai hasil penyebaran dakwah ke pelosok dunia, secara
tidak langsung menjadi faktor awal dibuatnya hadis-hadis maudhu’. Tidak bisa
dipungkiri bahwa sebagian dari mereka memeluk islam karena benar-benar ikhlas
dan tertarik dengan kebenaran ajaran islam. Namun terdapat pula segolongan dari
mereka yang menganut Islam hanya karena terpaksa mengalah kepada kekuatan islam
pada masa itu dan mereka berkeyakinan bahwa mereka tidak akan mendapatkan
tempat dihati penguasa-penguasa mukmin kecuali dengan memeluk islam.
Golongan inilah yang
kemudian senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islam dan kaum
muslimin. Kemudian mereka menunggu peluang yang tepat untuk menghancurkan dan
menimbulkan keraguan di dalam hati orang banyak terhadap Islam.
Peluang tersebut
terjadi pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (W.35H), yang
memang sangat toleran terhadap orang lain. Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H)
menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi Saw mereka
tidak akan menanyakan tentang sanadnya. Namun setelah terjadinya fitnah
(terbunuhnya Ustmanbin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu bertanya,
dari manakah hadis itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahlsunnah,
hadis itu diterima sebagai dalil. Dan apabila diterima dari orang-orang
penyebar bid’ah, hadis itu ditolak.
Diantara orang yang
memainkan peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang
mengaku memeluk Islam. Dengan berdalih membela Sahabat Ali dan Ahl al Bait, ia
berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk menabur fitnah. Ia menyampaikan
bahwa Ali yang lebih layak menjadi khalifah daripada Usman bahkan Abu Bakar dan
Umar. Kemudian ia mengemukakan hadis yang dibuat-buatnya: “Setiap Nabi itu ada
penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Walaupun pada saat itu
khalifah Uthman menolak begitu juga shahabat Ali, bahkan oleh khalifah Uthman
ibnu Saba diusir dari Madinah karena ulahnya itu, tapi tetap saja ada orang
yang mau mempercayainya.
Peristiwa itu adalah
awal dari kemunculan hadis maudhu’, namun penyebarannya pada waktu itu belum
gencar karena masih banyak sahabat utama yang mengetahui dengan persis akan
kepalsuan sebuah hadis. Dan apa yang disampaikan nabi tentang ancaman membuat
hadis palsu masih sangat kuat menancap dalam hati mereka.
Saat
setelah terbunuhnya Khalifah Usman barulah kemudian karena kemunculan beberapa
aliran politik dengan berbagai kepentingannya hadis maudhu’ mengalami
perkembangan yang signifikan.
Diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Tawus bahwa pernah suatu ketika dibawakan kepada Ibnu Abbas
suatu buku yang di dalamnya berisi keputusan-keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian
menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah
menjelaskan bagian yang tidak dihapus itu sekadar sehasta.
Imam al-Dzahabi dalam al Tadhkiroh-nya juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, ia berkata : “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga Allah melaknati mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadis-hadis Rasulullah.”
Imam al-Dzahabi dalam al Tadhkiroh-nya juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, ia berkata : “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga Allah melaknati mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadis-hadis Rasulullah.”
Menyadari hal
ini, para sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadis yang disebarkan
oleh seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya sekiranya ragu akan
kesahihan hadis itu. Imam Muslim dengan sanadnya meriwayatkan dari Mujahid
(W.104H) sebuah kisah yang terjadi pada diri Ibnu Abbas : “Busyair bin Kaab
telah datang menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan sebuah hadis dengan berkata
“Rasulullah telah bersabda”, “Rasullulah telah bersabda ”. Namun Ibnu Abbas
tidak menghiraukan hadis itu dan juga tidak memandangnya. Lalu Busyair berkata
kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas ! Aku heran mengapa engkau tidak mau
mendengar hadis yang aku sebut. Aku menceritakan perkara yang datang dari
Rasulullah tetapi engkau tidak mau mendengarnya. Ibnu Abbas lalu menjawab :
“Kami dulu apabila mendengar seseorang berkata “Rasulullah bersabda”, pandangan
kami segera kepadanya dan telinga-telinga kami kosentrasi mendengarnya. Tetapi
setelah orang banyak mulai melakukan yang baik dan yang buruk, kita tidak
menerima hadis dari seseorang melainkan kami mengetahuinya.”
Pada masa Tabiin,
periwayatan dan peyebaran hadis semakin meluas, begitu juga pemalsuan atas nama
Nabi saw ataupun sahabat bermunculan dan tersebar bersamanya. Hal itu terjadi
karena perhatian para Khalifah Dinasti Umayyah pada saat itu terfokus kepada
adanya perpecahan politik, disamping sebenarnya ada juga perhatian khalifah
terhadap periwayatan-periwayatan hadis akan tetapi kondisi perpecahan umat yang
sangat berat, memecah kosentrasi kerhatian ini. sedangkan pada masa dinasti
Abbasiyyah banyak terjadi juga pemalsuan atas nama nabi akan tetapi lebih
banyak dilatar belakangi oleh rasa ingin dikenal dekat oleh penguasa yaitu
dengan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan khalifah dan mencaci
musuh-musuhnya, atau juga karena perpecahan aliran-aliran baik tentang teologi
maupun fiqh dengan tujuan pembelaan atas pendapat dari masing-masing kelompok
mereka
Sebagai
contoh, pernah terjadi pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-hadis maudhu’
dibuat demi mengambil hati para khalifah. Diantaranya seperti yang terjadi pada
Harun al-Rasyid, di mana seorang lelaki yang bernama Abu al-Bakhtari (seorang
qadhi) masuk menemuinya ketika ia sedang menerbangkan burung merpati. Lalu ia
berkata kepada Abu al-Bakhtari : “Adakah engkau menghafal sebuah hadis
berkenaan dengan burung ini? Lalu dia meriwayatkan satu hadis, katanya: “Bahwa
Nabi saw. selalu menerbangkan burung merpati.” Harun al-Rasyid menyadari
kepalsuan hadis tersebut lalu menghardiknya dan berkata: “Jika engkau bukan
dari keturunan Quraish, pasti aku akan mengusirmu.”
Tahap penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan mana yang lemah dan yang sahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman Nabi SAW dan disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadis.
Tahap penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan mana yang lemah dan yang sahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman Nabi SAW dan disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadis.
Karena munculnya
hadis-hadis palsu inilah yang kemudian menjadikan Kholifah Umar in Abdul Aziz
(w. 101 h.) memerintahkan kepada ulama-ulama di berbagai kota untuk
mengumpulkan dan membukukan hadis. Dari hasil usaha para ulama dalam menghafal
dan menjaga hadis itulah kita bisa membedakan antara hadis saheh dari yang doif
atau hadis yang maqbul dari yang mardud.
C. Bagian-
bagian Maudhu’
Hadis Maudhu’ atau
hadis yang orang ada-adakan ini, terbagi kepada empat bagian:
1)
1. Si
rawi mengada- adakan sendiri yang tidak sama dengan perbuatan orang lain.
2. Si rawi
mengambil perkataan salaf, hukama dan cerita-cerita
Isra-illiyah, lalu disandarkannya kepada Nabi SAW.
3) 3. Susunan yang diadakan
oleh seorang rawi dengan tidak sengaja, tetapi karena waham.
4. Si rawi mengambil
satu hadis yang lemah sanadnya, lalu disusunnya dalam satu sanad yang shahih
Para ulama berbeda
pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini akan
dikemukakan pendapat mereka, yakni:
1. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadis maudhu’ telah
terjadi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Alasan yang dijadikan
argumentasi adalah sabda Rasulullah.
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النارَِ
Bagi siapa yang
sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.
2. Shalah Al-Dlabi
mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan telah
terjadi pada masa Rasulullah SAW. alasan yang dia kemukakan adalah hadis
riwayat Al-Thahawi (w. 321H/933 M) dan Al- Thabrani (w. 360H/ 971 M) dalam
kedua hadis tersebut dinyatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang telah
membuat berita bohong mengatas namakan nabi.
3. Menurut jumhur al-muhadditsin
bahwa pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali Ibn Thalib,[8] mereka beralasan bahwa keadaan hadis
sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali ibn Thalib
dengan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan (w.60 H/680 M) masih terhindar dari
pemalsuan-pemalsuan. Zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis.
D.
Latar Belakang Munculnya Hadis Maudhu’
1. Pertentangan politik dalam soal khalifah ,
2. Usaha Kaum Zindik
untuk merusak dan mengeruhkan agama islam ,
3. Ashabiyah yakni
fanatik terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa, dan pimpinan,
4. Mempengaruhi kaum
awam dengan kisah dan nasihat,
5. Perselisihan madzhab
dan ilmu kalam,
6. Membangkitkan gairah
beribadat, tanpa mengerti apa yang dilakukan,
7. Menjilat penguasa,
8. Karena ada golongan
yang berpendirian boleh mengadakan sanad bagi ucapan yang baik-baik,
9. Karena hendak
mengerahkan supaya orang mengamalkan sesuatu perbuatan yang baik,
10. Karena kelalaian si
rawi daripada kekeliruan,
11. Karena hilang
kitab-kitab si rawi, lalu ia meriwayatkan dari hafalannya, sedang dalam
hafalannya ini terdapat kesalahan-kesalahan dan kekeliruan,
12. Karena berubah akal
rawi-rawi kepercayaan sebab tuanya, sedang dalam perubahan itu mereka masih
meriwayatkan hadis-hadis.
E. Status Hadis Maudhu
Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan status hadis maudhu, apakah merupakan bagian dari
hadis atau bukan. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yaitu:
Kelompok pertama yang diwakili oleh
Ibnu Shalah dan diikuti jumhur
muhadditsin, berpendapat bahwa hadis maudhu merupakan bagian dari hadis
dhaif yang paling jelek dan jahat.
Kelompok kedua diwakili oleh Ibnu
Hajar Al-Asqalani, yang berpendapat bahwa hadis maudhu bukan termasuk hadis
Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan.
F.Hukum meriwayatkan
hadis- hadis maudhu
Secara muthlaq, meriwayatkan hadis-hadis palsu
itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadis itu
adalah palsu.
Bagi mereka yang
meriwayatkannya dengan tujuan untuk memberi tahu pada orang bahwa hadis ini
adalah palsu, (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau
membacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
Mereka tidak tahu sama sekali kemudian
meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadis tersebut karena tidak tahu,
maka tidak ada dosa atasnya.
G.
Tingkatan-Tingkatan Hadis Maudhu
Dikalangan para
ulama, terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan bobot ke-maudhu-an. Perbedaan
ini timbul karena adanya perbedaan pendekatan atau metode penilaian.
Menurut
Imam Adz-Dzahabi, hadis maudhu mempunyai tiga tingkatan yaitu:
1.
Hadis maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para
muhadditsin
2. Hadis
maudhu yang nilai ke-maudhuan-nya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas
ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama.
3.
Hadis maudhu (wahm al-maudhu). Sebagian muhadditsin lain menilai hadis yang
dusta. (moh. Najib,2001:48)
Status Periwayatan
Hadis Maudhu
1) Status
perebutan membuat-buat hadis.
2) Status
berdusta terhadap Rasulullah.
3) Status
pembuat dusta terhadap Rasulullah.
4) Status
riwayat hadis maudhu.
5) Status
pengalaman hadis maudhu.
H. Kaidah- kaidah
Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Ada beberapa patokan
yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadis itu palsu
diantaranya:
a. Dalam sanad
1.
Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta).
2.
Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut
pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tapi ternyata ia belum pernah
bertemu secara langsung.
3.
Meriwayatkan hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong.
Serta pendorong-pendorong yang mendorongnya kepada membuat hadis.
4.
Qarinah - qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.
b. Dalam Matan
1. Buruknya
redaksi hadis, padahal Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sangat fasih dalam
berbahasa, santun dan enak dirasakan.
2. Maknanya
rusak.
3. Matannya
bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al-Quran atau
hadis yang lebih kuat atau ijma.
4. Matannya
menyebutkan janji sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang
sangat besar atas perkara kecil.
5. Sesuai hadis
dengan madzhab yang dianut oleh rawi, seperti rawi itu pula orang yang sangat
fanatik kepada madzhabnya.
6. Mengandung
(menerangkan ) urusan yang menurutnya, kalau ada, dinukilkan oleh orang ramai.
7. Hadis yang
bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa
Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya.
8.
Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.
I. Sumber - sumber yang diriwayatkan
Para pembuat hadis
maudhu' dalam menjalankan tugasnya, kadang- kadang mengambil dari pikiran
sendiri semata- mata, dan kadang-kadang menukil dari perkataan orang-orang yang
dipandang alim pada waktu itu, atau perkataan orang alim mutaqaddimin.
J.Upaya Penyelamatan
Hadis
Untuk menyelamatkan
hadis Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadis palsu, ulama hadis
menyusun berbagai kaidah penelitian hadis. Langkah-langkah yang ditempuh
sebagai berikut:
1)
Meneliti sistem penyandaran hadis.
2) Memilih
perawi-perawi hadis yang terpercaya.
3) Studi
kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau
kebohongannya.
4)
Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadis-hadis tersebut.
5)
Meningkatkan perlawatan mencari hadis.
6)
Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis.
7)
Menjelaskan tingkah laku rawi- rawinya.
8)
Membuat ketentuan- ketentuan untuk mengetahui ciri- ciri hadis maudhu'
K. Golongan -
golongan yang membuat hadis palsu
Dengan memperhatikan
uraian diatas, bahwa golongan - golongan yang membuat hadis palsu itu ada
sembilan golongan yaitu:
1.
Zanadiqah (orang-orang zindiq).
2.
Penganut- penganut bid'ah.
3.
Oarang- orang yang dipengaruhi fanatik kepartaian.
4.
Orang- orang yang ta'ashshub kepada kebangsaan, kenegerian dan keimanan.
5.
Orang- orang yang dipengaruhi ta'ashshub madzhab.
6.
Para qushshash (ahli riwayat dongeng).
7.
Para ahli tasawuf zuhhad yang keliru.
8.
Orang- orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
9.
Orang- orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadis-
hadis yang tidak diperoleh orang lain.
L.
Karya- karya dalam Hadis Maudhu'
1)
Al-Maudhu'at, karangan Ibn Al-Jauzi- beliau paling awal menulis dalam ilmu ini.
2) Al-La'ali
Al-Mashnu'ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu'ah, karya As-Suyuthi ringkasan kitab Ibnu
Al-Jauzi dengan beberapa tambahan.
3)
Tanzihu Asy-Syari'ah Al- Marfu'ah 'An Al Ahadits Asy-Syani'ah Al-Maudhu'ah,
karya Ibnu 'Iraq Al-Kittani, ringkasan dari kedua kitab tersebut.
4)
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah, karya Al-Albani.
M. Nama-nama
Pemalsu
Dibawah ini kami
kutipkan beberapa nama pemalsu hadis dan yang suka memalsu, supaya mudah
pembaca menghukumkan maudhu', kalau sakah satu dari antara mereka terdapat
dalam sesuatu sanad atau lainnya:
1.
Ahmad bin 'Abdillah Al-Juwaibari
2.
'Abbas bin Dahhak
3.
'Ali bin 'Urwah Ad-Dimisyqi
4.
Abu Dawud An-Naqhi, namanya Sulaiman bin Amr
5.
Al-Mughirrah bin Syu'bah Al-kufi
6.
Al-Waqidi, namanya Muhammad bin 'Umar bin Waqid
7.
Ghiats bin Ibrahim An-Nakh'i
8.
Hammad bin 'Amr An-nashibi
9.
Ibnu jah-dlam
10. Is-haq bin
Najih
11. Ibrahim bin
Muhammad bin Abi Yahya
12. Maisarah
bin 'Abdi rabbih Al- farisi
13. Muhammad
bin Sa-ib Al- kalbi
14. Muhammad
bin Sa'id asy- Syami al- Mash-lub
15. Ma'mun bin
Ahmad Al-Harawi
16. Muhammad
bin 'ukasyah Al-karmani
17. Muhammad
bin Qasim Ath-Tha-ikani
18. Muhammad
bin Ziad Al-Lasykuri
20. Muhammad
bin tamim Al-Fari-yabi
21. 'Umar bin
Rasyid Al-Madani
22. 'Umar bin
Shabih Al-khurasani
23. 'Umar bin
Za'id
24. Wahb bin
Wahb Al-Qadli Abul-bukhtari
25. Za-id bin
Rifa' al-Hasyimi
N.
Contoh-Contoh Hadits Maudhu’
Di pembicaraaan sebelum
ini telah kami terangkan “Bagian-bagian Hadits Maudhu’ “, “Sebab-sebab adanya
Hadits Maudhu’ “ dan “Tanda-tanda Hadits Maudhu’ “. Tetapi dalam tiga pasal
ini, sama sekali belum kami berikan contohnya.
Maka berikut ini,
kami tunjukkan beberapa Hadits Maudhu’ bersama keterangannya, serta di mana
perlu, akan kami sebutkan bagian dari sebab-sebabnya atau tanda-tandanya.
1.
اِذَا صَدَقَتِ الْمَحَبَّةُ سَقَطَتْ شُرُوْطُ
الْأَدَبِ.
Artinya: Apabila
rapat percintaan (antara seorang dengan yang lain), maka gugurlah syarat-syarat
adab.
Keterangan:
1)
Perkataan ini, orang katakan hadits Nabi saw, padahal sebenarnya adalah itu
ucapan seorang yang bernama Junaid.
2) Karena
ucapan tersebut bukan sabda Nabi saw, maka yang demikian dinamakan maudhu’,
yakni Hadits yang dibuat-buat orang.
2. اِنَّ اَلْقَمَرَ دَخَلَ فِي جَيْبِ ص وَخَرَجَ مِنْ
كُمِّهِ.
Artinya:
Sesungguhnya bulan pernah masuk dalam saku baju Nabi saw., dan keluar dari
tangan bajunya.
Keterangan:
1) Ucapan
ini bukan sabda Nabi, tetapi orang katakan hadits Nabi saw. Jadi dinamakan dia
maudhu’, palsu.
2)
Tukang-tukang cerita sering membawakan hadits itu waktu menceritakan perjalanan
atau maulid Nabi, dengan maksud supaya orang tertarik mendengarkan ceritanya.
3)
Perasaan atau keyakinan kita mesti mendustakan isinya, karena tidak terbayang
dalam fikiran, bahwa bulan yang begitu besar dapat masuk dalam saku baju Nabi
yang tidak beda dengan saku-saku kita, dan keluar dari lubang tangan baju yang
besarnya sudah kita maklum.
الننَّظَرُ اِلَي الوَجْهِ اْلجمِيْلِ عِبَادَة
Artinya:
Melihat wajah yang cantik itu, ‘ibadat.
Keterangan:
1. Barangsiapa
memperhatikan isi ucapan tersebut, tentu akan mengatakan, bahwa maksudnya itu
untuk membangunkan syahwat manusia, sehingga orang mau mengerjakan perbuatan
yang tidak senonoh, sedang salah satu daripada keutamaan manusia, ialah menjaga
syahwatnya.
2. Sabda Nabi tidak akan
bertentangan dengan sifat keutamaan manusia, tetapi Hadits itu nyatanya
berlawanan; teranglah bahwa itu bukan Hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu dia
disebut hadits maudhu’.
لَوْ اَحْسَنَ اَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ لَنَفَعَهُ
الّلهُ بِهِ
Artinya: Kalau salah
seorang dari pada kamu menyangka baik kepada sebuah batu, niscaya dengan batu
ini, Allah akan memberi manfa’at kepadanya.
Keterangan:
1. Tujuan hadits ini
supaya manusia menghormati atau menyembah batu.
2. Menghormati atau
menyembah batu atau yang seumpamanya itu, bertentangan dengan kepercayaan
islam. Islam mengatakan, bahwa tidak ada seorang atau apapun yang dapat memberi
manfa’at kepada manusia, selain dari Allah swt.
3. Tidak syak lagi,
bahwa omongan itu adalah buatan kaum musyrikin, penyembah berhala.
حُبُّ الدّنْيَا
رْآْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ.
Artinya: Cinta kepada
dunia itu, pokok bagi tiap-tiap kesalahan.
Keterangan:
1. Menurut riwayat Ibnu
Abid-Dun-ya, adalah yang tersebut ini, omongan orang salaf, yaitu Malik bin
Dinar, tetapi menurut riwayat Baihaqi, adalah itu sabda Nabi ‘isa
2. Oleh karena kalam itu
bukan sabda Nabi Muhammad saw., tetapi orang sandarkan kepada beliau, maka
dianggap dan dinamakan dia maudhu’, yakni hadits yang diada-adakan orang atas
nama Nabi saw.
O. Hadits-hadits palsu:
1. Hadits yang
menyuruh orang shalat malam jum’ah 12 raka’at dengan bacaan surah Ihlash 10
kali.
2. Hadits yang
memerintah orang shalat malam jum’ah 2 raka’at dengan bacaan surah Zalzalah 15
kali,(ada juga yang menerangkan 50 kali).
3. Hadits-hadits
shalat pada hari jum’ah 2 raka’at, empat raka’at dan 12 raka’at.
4. Hadits-hadits
sebelum shalat jum’ah, ada shalat yang empat raka’at dengan bacaan surat ikhlas
50 kali.
5. Hadits-hadits
shalat ‘Asyura’,
6. Hadits-hadits
shalat Ragha-ib,
7. Hadits-hadits
shalat malam dari bulan Rajab,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila
ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3
bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu
masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz. Sedangkan
hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits
mardud adalah hadits yang dahif. MAUDHU’
Dalam pengertian bahasa maudhu’berarti yang diletakkan, karena lemahnya.
Dalam pengertian istilah berarti dusta yang diada-adakan dan dinisbahkan kepada
Rasulullah SAW. Dengan kata lain hadist maudhu’ adalah hadist palsu.
Bahwa didalam
mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits baik
dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke
ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan
suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita
termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
Daftar Pustaka
Aid Al-Hallaly as Salafy , Abu Usaamah Saliim
bin, Ilmu Hadits, Jakarta: Daaru Ibn Hazm, 2007
Ash Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, cet 4, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999
Drs.M. Solahudin,M.AgdanAgusSuyadi,
Lc. M. Ag, IlmuHadits, Bandumg: PustakaSetia, 2008
https://makalahnih.blogspot.co.id/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html
https://www.google.com/search?q=kaidah+kaidah+untuk+mengetahui+hadis+palsu&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-beta&channel=fflb
https://www.google.com/search?q=kaidah+kaidah+untuk+mengetahui+hadis+palsu&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-beta&channel=fflb
https://www.google.com/search?client=firefox-beta&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=fflb&ei=apoeWoy9D8fjvgTg2bj4DQ&q=sebab+timbulnya+usaha+pemalsuan&oq=sebab+timbulnya+usaha+pemalsuan&gs_l=psy-ab.3.
assalamu'alaikum izin ya disalin, jazakallahu khairan
BalasHapus