Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH SISTEMATIKA FILSAFAT

MAKALAH SISTEMATIKA FILSAFAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistematika merupakan Hasil berpikir tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada yang mana sudah terkumpul dari buku-buku tipis dan tebal disusun secara sistematis.
Ketika mendengar istilah filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “moster” yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Filsafat dari sini melahirkan mitos-mitos dalam seputarnya, seperti kita jangan terlalu serius dalam belajar filsafat. Bila orang tidak kuat, jangan-jangan otak kita akan menjadi gila. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehar-hari dan kita melaluinya. Mitos tentang filsafat tersebut tersebar di orang awam. Tetapi, sebagaian agamawan pun, mengatakan agamawan dikarenakan orang agamawan dalam pemikirannya cenderung menerima kebenaran secara multak. Tetapi itu akan berlainan jika kita melihat dari pemikiran kaum filosof ia menerima kebenaran yang bersifat tidak mutlak, dikarenakan pola pemikirannya yang bersifat induktif. Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan, dikarenakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari esensinya.
Filsafat mencoba memberikan gambaran tentang pemikiran manusia secara keseluruhan, dan bahkan tentang realitas jika hal ini diyakini dapat dilakukan. Dalam perkembangan sejarah istilah filsafat, falsafah, atau filosofi ternyata dipakai dengan arti yang beraneka ragam, bagi orang Yunani Kuno filsafat secara harfiah berarti cinta kepada kebijaksanaan, namaun dalam keadaan sekarang digunakan dalam banyak konteks. Memiliki falsafat dapat diartikan memiliki pandangan hidup, seperangkat pedoman hidup, ataupun nilai-nilai tertentu. Istilah filusuf semula bemakna pecinta kebijaksanaan dan berasal dari jawaban yang diberikan oleh Phytagoras ketika ia disebut bijak. Ia berkata bahwa kebijaksanaannya hanya berarti kesadaran bahwa ia bodoh, sehingga ia tidak dapat disebut bijak tetapi orang mencari kebijaksanaan. Disini kebijaksanaan tidak dibatasi dari bagian tertentu dari pemikiran. Permasalah yang berada dalam filsafat menyangkut pertanyaan, pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang logis antara ide-ide yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka, penyusun dapat merumuskan bahwa:
1.      Apa devenisi dari filsafat  ?
2.      Bagaimana sistematika filsafat menurut para filosof  ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui devenisi dari filsafat 
2.      Untuk mengetahui sistematika filsafat menurut para filosof 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistematika Studi Filsafat Umum
Secara bahasa kata sistematika filsafat berasal dari dua kata yaitu sistematika dan filsafat. Sistematika atau struktur, dalam bahasa inggris Systematic adalah susunan, dalam kamus bahasa indonesia sistematika adalah susunan aturan ; pengetahuan mengenai sesuatu sistem.
Sistematika filsafat adalah suatu uraian yang memuat atau mengenai seluruh bagian atau komponen permasalahan filsafat, termasuk kaitan antar bagiannya, sejajar atau bertingkat menurut sistem atau susunan tertentu.
Jadi sistematika studi filsafat umum adalah susunan atau urutan dalam mempelajari permasalahan filsafat secara menyeluruh atau umum.

B.    Sistematika Studi Filsafat Umum
1.         Ontologi
Secara Etimologi ontologi berasal dari kata onto yang berarti organ dan logos yang berarti perbincangan atau pemikiran[1]. Secara terminologi ontologi adalah persoalan tentang sesuatu yang ada.
Ontologi salah satu cabang filsafat yang membicarakan tentang suatu hal yang ada. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan ontologi mempersoalkan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakiki suatu ilmu, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek pembahasan Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari definisi tersebut, yang dipersoalkan adalah tentang ada, mengapa ada itu dipermasalahkan, itu karena memang kata ada itu mengandung suatu permasalahan. Misalnya adalah ketika seorang guru itu ada, maka untuk menentukan bahwa guru itu ada adalah dengan adanya suatu tanda tangan dalam daftar hadir, meskipun fisiknya berada di mall, kantin atau pasar itu tidak penting. Itulah yang menjadikan suatu kerumitan, bagaimana kriteria ada? Apakah yang tidak ada itu ada? Lalu apakah tidak ada itu sama dengan ada? Dari pertanyaan tersebut kata ada mennjukkan suatu permasalahan, bahwa ada itu sama atau tidak.
Dari pembahasan ontologi tersebut, memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
a.   Materialisme
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada hanya mungkin lahir dari yang ada.[2] Dan seluruh yang ada di dunia ini tida ada selain materi atau alam dan dunia fisik adalah satu. Pada abad pertama masehi, adanya faham ini belum mendapatkan suatu respon, dan pada abad pertengahan banyak orang yang masih asing dengan adanya teori ini. Namun pada zaman aufklarung (pencerahan), materialisme mendapat tanggapan dan penganut di Eropa Barat. Pada pertengahan abad ke-19 faham ini menjadi tumbuh subur seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam.[3]
Kemajuan aliran ini mendapat tentangan hebat dari kalangan kaum agama. Hal ini disebabkan karena faham ini pada abad ke-19 tidak mengakui adanya tuhan (ateis). Pada masa ini kritik pun mulai muncul dari kalangan ulama-ulama barat yang menentang matrealisame.
Adapun beberapa kritik yang dilontarkan tersebut adalah sebagai berikut[4]:
1) Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari chaos (kacau balau). Padahal, kata Hegel, kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau namanya.
2) Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. Padahal pada hakikatnya hukum alam ini adalah perbuatan ruhani juga.
3) Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. Padahal dalil itumenunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu tuhan.
4) Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian ruhani yang paling mendasar sekalipun.

Diantara tokoh aliran ini adalah Anaximenes (585-528), Anaximandros (610-545), Thales (625-545), Demokritos (460-545), Thomas Hobbes (1588-1679), Lamettrie (1709-1715), Feuerbach (1804-1877), Spencer (1820-1903), dan Karl Mark (1818-1883).[5]
b.   Idealisme
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, aliran ini memandang roh sebagai kenyataan sejati, dan mengajarkan bahwa hakiat dunia fisik ini hanya dapat dipahami dengan adanya jiwa dan ruh. Istilah Idealisme diambil dari kata idea, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa.[6]
Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas dalam suatu kehidupan ini terdiri atas ruh-ruh atau jiwa, ide-ide dan fikiran atau yang sejenis dengan hal tersebut.
Pada asasnya, ucapan Descartes (1596-650) ‘cogito ergo sum’ berarti bahwa hakikat dirinya sebahai manusia adalah berpikir. Dalam masa pencerahan, pendirian tersebut diperuncing menjadi pemujaan terhadap akal.[7]
Puncak zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat jerman sedang memiliki pengarh besar pada di Eropa. Namun, sekarang ini idealisme tidak memegang peranan yang demikian penting. Kini idealisme hidup dalam aliran Neokantisme dan Neohegelianisme.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677), Liebniz (1685-1753), Barkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1881), J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1755-1854), dan G. Hegel (1770-1831)
c.   Dualisme
Dualisme adalah suatu ajaran ataupun faham yang memandang atau menganggap bahwa alam ini terdiri dari dua macam hakikat, yaitu hakikat materi dan ruhani.
Kedua hal tersebut saling berhubungan, namun keduanya saling berdiri sendiri. Perhubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plato (427-347), Aristoteles (384-322), Descartes (1596-1650), Fechner (1802-1887), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A.Schopenhauer (1788-1860).[8]
d.   Agnotisisme
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak. Mereka berpendapat bahwa manusia itu tidak dapat mengetahui hakikat benda. A artinya adalah not, gnow artinya adalah know. Di dalam bahasa Grik agnostos berarti unknow.[9]
e.   Logika
Logika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Logika membahas tentang norma-norma berfikir yang benar agar diperoleh dan terbentuk suatu pengetahuan yang benar.
Tugas logika adalah untuk membentuk pengertian menjadi definisi. Pengertian adalah gambaran didalam jiwa tentang objek yang telah diabstraksikan. Definisi adalah penyebutan ciri esensi dari suatu objek. Ada empat syarat definisi yang benar menurut Bakry:
1)        Ciri esensi yang disebut tidak boleh berlebihan dan tidak bleh kurang.
2)        Tidak memakai kata yang berulang-ulang.
3)        Tidak memakai perkataan yang terlalu umum.
4)        Tidak memakai kata negatif
Logika dibagi menjadi tiga jenis yaitu logika induktif, logika deduktif dan logika dialektis. Logika deduktif merupakan sistem mengenai prinsip-prinsip penyimpulan yang mengarah pada penggunaan suatu prinsip. Logika induktif merupakan teori mengenai prinsip-prinsip penyimpulan dari berbagai kenyataan. Logika dielektis adalah teori mengenai suatu penyelesaian masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh logika.

2.  Epistemologi
Epistimologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan atau membicarakan tentang suatu pengetahuan dan kebenaran suatu pengetahuan tersebut.
Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia dari berbagai cara dan dengan berbagai alat. Sehingga dalam epistemologi muncul beberapa aliran yang berbicara tentang itu.
a. Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman.[10] Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh dari suatu pengalaman dalam observasi atau pengindraan.
Bapak aliran ini adalah John Locke (1632-1704), yang mana pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksutnya iaah bahwa manusia itu pada  mulanya kosong dari pegetahuan, lantas pegalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Jadi, pengalaman indra itulah sumber pengetahuan yang benar.[11]
Namun aliran ini memiliki banyak kelemahan yang disebabkan:
1)        Indra sifatnya terbatas
2)        Indra sering menipu
3)        Objek juga menipu
4)        Indra sekkaligus objeknya. Karena kelemahan dari empirisme ini disebabkan oleh keterbatasan indramanusia sehingga muncullah aliran rasionalisme
b. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasarkan rasio atau akal yang mana aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui akal.
Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Pada zaman ini khas dari keilmuan adalah penggunaan daya eksklusif daya akal budi untuk menemukan kebenaran.
Pada abad ke-18 Isaac Newton (1643-1727) memberikan suatu pandangan baru, yaitu tentang fisika yang terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu dengan yang lainnya berdasarkan hukum sebab akibat.
Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat dan akan kekuasaan akal budi, lama-kelamaan orang-orang pada abad itu berpandangan dalam kegelapan, dan ketika mereka mampu menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern maka pada abad ke-18 disebut juga dengan zaman aufklarung (pencerahan).
c. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran atau faham yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam, tetapi menolah metafisika. Tokoh dalam faham ini adalah Auguste Comte, menurutnya kita hendaknya memandang phenomenon tau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum alamiah yang menetap atau yang mutlak.[12]
Pada dasarnya positivisme bukanah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan gabungan empirisisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, positivisme menyempurnakan metode ilmiyah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisisme dan rasionalisme.
d. Intuisionisme
Intuisionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap naluri/perasaan adalah suatu sumber dari pengetahuan dan kebenaran. Menurut Henri Bergson (1859-1941) kemampuan indra itu terbatas, akal juga terbatas. Objek yang kita tangkap adalah suatu objek yang selalu berbeda-beda.[13]
Bergson mengembangkan suatu kemampuan intuisi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran dengan utuh, yang tetap dan unique.

3.    Aksiologi
Aksiologi atau filsafat penilaian, secara formal baru muncul pada abad ke-19. Aksiologi membahas tentang nilai dan penilaian yang mana menyangkut banyak pendapat didalamnya.
Menurut Nicolai Hartman, bahwa nilai adalah esensi dan ise platonik.[14] Nilai selalu berhubungan dengan benda yng menjadi penghubungnya. Hal ini berarti bahwa nilai itu tidak nyata.
Langeveld mengemukakan pendapat bahwa aksiologi terdiri dari dua hal utama. Yaitu:
a.   Etika
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang berhubungan atau yang membicarakan tentang perilaku manusia. Semua perilaku itu memiliki nilai dan tidak bebas dari penilaian. Tidak benar bila suatu perilaku itu dikatakan etis atau tidak etis, lebih tepatnya prilaku itu adalah beretika baik dan tidak baik
Etika juga disebut dengan moral, istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
1)        Deontologis
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
2)        Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme).  Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).

b.      Estetika
Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), Issue (Farber) mengenai keindahan, menyangkup ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.

Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Selain itu dalam bahasa inggris istilah estetika dijadikan sebagai theory of beauty, theory of taste, theory of fine arts,dan theory of five arts. Estetika atau filsafat seni ini mencari landasan atau asumsi sehingga teori keindahanlebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiyah dalam membahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar bagi wacana seni.
 Hubungan etika dan estetika adalah diantara kedunya telah melahirkan objek estetika, terutama berandaskan pada moralitas. Hal tersebut adalah mengenai moralitas sebagai serentetan issu impeatif dalam hubungannya dengan perintah dan alasan.
BAB III
PENURUP 
A.  Kesimpulan
Filsafat merupakan induk pengetahuan, filsafatlah yang melahirkan ilmu yang seyogyanya dapat dianalogkan. Ontologi membicarakan sesuatu  yang nyata atau realitas, ataupun ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang sesuatu yang ada. Keberadaan ontologi dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan. Objek formal Ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dengan dua macam sudut pandang yaitu kuantitatif dan Kualitatif,
Mekanismenya adalah aliran yang menyatakan bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik, yaitu menerangkan semua peristiwa berdasar pada sebab kerja, yang dilawankan dengan sebab-tujuan. Manfaatnya membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada dan membantu dalam memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi atau bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.
            Epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari cara memperoleh pengetahuan. terdapat empat jenis sumber kebenaran ilmu pengetahuan yang secara umum dikenal. pertama bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu, akal, pancaindra dan intuisi. Hubungan saling melengkapi dari ke dua sumber, misalnya akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal.
Aksiologi dipahami sebagai teori tentang nilai atau  aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai. Dari sumber nilai pandangan filsafat etika dapat dipahami sebagai pengkajian terhadap perilaku manusia dari aspek sosial agar ia mampu tetap hidup selaras dengan ketiga kefilsafatan yaitu Tuhan, manusia dan alam. Hubungan dan cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggung jawabkan apa yang ia lakukan.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.         Konsep sistematika filsafat menempuh tiga tahap, yaitu :
a. Ontologi
b. Epistemologi, dan
c. Aksiologi.
2.         Filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yakni :
a. Metafisika
b. Logika
c. Etika
d. Estetika
e. Epistemologi,dan
f.  Filsafat-filsafat khusu lainnya.
3.         Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
4.         Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
5.         Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
6.         Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.
7.         Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
8.         Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA


Ali Maksum. 2012. Pengantar Filsafat. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutardjo A. Wiramihardja. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama
 



[1] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm.39
[2] www.kang-djoen.blogspot.com, 28 September 2013, 12.30
[3] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Jokjakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm.355
[4] Ibid, hlm.356
[5] Ibid. hlm.359
[6] Ibid, hlm.361
[7]  Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar..., hlm.155
[8] Ali Maksum, pengantar..., hlm.357
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.30
[10]  Ibid, hlm.24
[11] Ibid. hlm.28
[12] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar..., hlm.159
[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., hlm.27
[14] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar..., hlm.168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar