MAKALAH SISTEMATIKA FILSAFAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistematika merupakan
Hasil berpikir tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada yang mana sudah
terkumpul dari buku-buku tipis dan tebal disusun secara sistematis.
Ketika mendengar istilah
filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “moster” yang
seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu
sendiri. Filsafat dari sini melahirkan mitos-mitos dalam seputarnya, seperti
kita jangan terlalu serius dalam belajar filsafat. Bila orang tidak kuat,
jangan-jangan otak kita akan menjadi gila. Jika kita mau melihat sebenarnya
filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehar-hari dan kita melaluinya. Mitos
tentang filsafat tersebut tersebar di orang awam. Tetapi, sebagaian agamawan
pun, mengatakan agamawan dikarenakan orang agamawan dalam pemikirannya
cenderung menerima kebenaran secara multak. Tetapi itu akan berlainan jika kita
melihat dari pemikiran kaum filosof ia menerima kebenaran yang bersifat tidak
mutlak, dikarenakan pola pemikirannya yang bersifat induktif. Filsafat
merupakan induk dari ilmu pengetahuan, dikarenakan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari esensinya.
Filsafat mencoba
memberikan gambaran tentang pemikiran manusia secara keseluruhan, dan bahkan
tentang realitas jika hal ini diyakini dapat dilakukan. Dalam perkembangan
sejarah istilah filsafat, falsafah, atau filosofi ternyata dipakai dengan arti
yang beraneka ragam, bagi orang Yunani Kuno filsafat secara harfiah berarti
cinta kepada kebijaksanaan, namaun dalam keadaan sekarang digunakan dalam
banyak konteks. Memiliki falsafat dapat diartikan memiliki pandangan hidup,
seperangkat pedoman hidup, ataupun nilai-nilai tertentu. Istilah filusuf semula
bemakna pecinta kebijaksanaan dan berasal dari jawaban yang diberikan oleh
Phytagoras ketika ia disebut bijak. Ia berkata bahwa kebijaksanaannya hanya
berarti kesadaran bahwa ia bodoh, sehingga ia tidak dapat disebut bijak tetapi
orang mencari kebijaksanaan. Disini kebijaksanaan tidak dibatasi dari bagian
tertentu dari pemikiran. Permasalah yang berada dalam filsafat menyangkut
pertanyaan, pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang logis
antara ide-ide yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka, penyusun
dapat merumuskan bahwa:
1. Apa devenisi dari
filsafat ?
2. Bagaimana sistematika
filsafat menurut para filosof ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui devenisi
dari filsafat
2. Untuk mengetahui
sistematika filsafat menurut para filosof
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistematika
Studi Filsafat Umum
Secara
bahasa kata sistematika filsafat berasal dari dua kata yaitu sistematika dan filsafat. Sistematika
atau struktur, dalam bahasa inggris Systematic
adalah susunan, dalam kamus bahasa indonesia sistematika adalah susunan aturan
; pengetahuan mengenai sesuatu sistem.
Sistematika filsafat adalah suatu uraian yang memuat atau
mengenai seluruh bagian atau komponen permasalahan filsafat, termasuk kaitan
antar bagiannya, sejajar atau bertingkat menurut sistem atau susunan tertentu.
Jadi sistematika studi filsafat umum adalah susunan atau
urutan dalam mempelajari permasalahan filsafat secara menyeluruh atau umum.
B.
Sistematika Studi Filsafat Umum
1. Ontologi
Secara Etimologi ontologi berasal dari kata onto yang berarti organ dan logos
yang berarti perbincangan atau pemikiran[1]. Secara terminologi ontologi adalah
persoalan tentang sesuatu yang ada.
Ontologi salah satu cabang filsafat yang membicarakan tentang suatu hal
yang ada. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan ontologi mempersoalkan tentang
objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakiki suatu ilmu, serta
bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa,
dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek pembahasan Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu
perwujudan tertentu, tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari
inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua
bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang
mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara
jenis-jenis dan individu-individu.
Dari definisi tersebut, yang dipersoalkan adalah tentang ada, mengapa ada
itu dipermasalahkan, itu karena memang kata ada itu mengandung suatu
permasalahan. Misalnya adalah ketika seorang guru itu ada, maka untuk
menentukan bahwa guru itu ada adalah dengan adanya suatu tanda tangan dalam
daftar hadir, meskipun fisiknya berada di mall, kantin atau pasar itu tidak
penting. Itulah yang menjadikan suatu kerumitan, bagaimana kriteria ada? Apakah
yang tidak ada itu ada? Lalu apakah tidak ada itu sama dengan ada? Dari
pertanyaan tersebut kata ada mennjukkan suatu permasalahan, bahwa ada itu sama
atau tidak.
Dari pembahasan ontologi tersebut, memunculkan beberapa pandangan yang
dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
a. Materialisme
Aliran yang mengatakan bahwa
hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada hanya
mungkin lahir dari yang ada.[2] Dan seluruh
yang ada di dunia ini tida ada selain materi atau alam dan dunia fisik adalah
satu. Pada abad pertama masehi, adanya faham ini belum mendapatkan suatu
respon, dan pada abad pertengahan banyak orang yang masih asing dengan adanya
teori ini. Namun pada zaman aufklarung (pencerahan), materialisme mendapat
tanggapan dan penganut di Eropa Barat. Pada pertengahan abad ke-19 faham ini
menjadi tumbuh subur seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam.[3]
Kemajuan aliran ini mendapat
tentangan hebat dari kalangan kaum agama. Hal ini disebabkan karena faham ini
pada abad ke-19 tidak mengakui adanya tuhan (ateis). Pada masa ini kritik pun
mulai muncul dari kalangan ulama-ulama barat yang menentang matrealisame.
1) Materialisme menyatakan
bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari chaos (kacau balau). Padahal, kata Hegel, kacau balau yang mengatur
bukan lagi kacau balau namanya.
2) Materialisme menerangkan
bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. Padahal pada hakikatnya hukum
alam ini adalah perbuatan ruhani juga.
3) Materialisme mendasarkan
segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu sendiri. Padahal dalil
itumenunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu tuhan.
4) Materialisme tidak
sanggup menerangkan suatu kejadian ruhani yang paling mendasar sekalipun.
Diantara tokoh aliran ini adalah
Anaximenes (585-528), Anaximandros (610-545), Thales (625-545), Demokritos
(460-545), Thomas Hobbes (1588-1679), Lamettrie (1709-1715), Feuerbach
(1804-1877), Spencer (1820-1903), dan Karl Mark (1818-1883).[5]
b. Idealisme
Aliran ini menjawab kelemahan
dari materialisme, aliran ini memandang roh sebagai kenyataan sejati, dan
mengajarkan bahwa hakiat dunia fisik ini hanya dapat dipahami dengan adanya
jiwa dan ruh. Istilah Idealisme diambil dari kata idea, yakni sesuatu yang hadir dalam jiwa.[6]
Idealisme juga didefinisikan
sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas dalam
suatu kehidupan ini terdiri atas ruh-ruh atau jiwa, ide-ide dan fikiran atau
yang sejenis dengan hal tersebut.
Pada asasnya, ucapan Descartes
(1596-650) ‘cogito ergo sum’ berarti
bahwa hakikat dirinya sebahai manusia adalah berpikir. Dalam masa pencerahan,
pendirian tersebut diperuncing menjadi pemujaan terhadap akal.[7]
Puncak zaman idealisme pada masa
abad ke-18 dan 19, yaitu saat jerman sedang memiliki pengarh besar pada di
Eropa. Namun, sekarang ini idealisme tidak memegang peranan yang demikian
penting. Kini idealisme hidup dalam aliran Neokantisme dan Neohegelianisme.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677), Liebniz (1685-1753), Barkeley
(1685-1753), Immanuel Kant (1724-1881), J. Fichte (1762-1814), F. Schelling
(1755-1854), dan G. Hegel (1770-1831)
c. Dualisme
Dualisme adalah suatu ajaran
ataupun faham yang memandang atau menganggap bahwa alam ini terdiri dari dua
macam hakikat, yaitu hakikat materi dan ruhani.
Kedua hal tersebut saling
berhubungan, namun keduanya saling berdiri sendiri. Perhubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Plato (427-347), Aristoteles (384-322), Descartes (1596-1650), Fechner
(1802-1887), Arnold Gealinex, Leukippos, Anaxagoras, Hc. Daugall dan
A.Schopenhauer (1788-1860).[8]
d. Agnotisisme
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis,
yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
Mereka berpendapat bahwa manusia itu tidak dapat mengetahui hakikat benda. A
artinya adalah not, gnow artinya
adalah know. Di dalam bahasa Grik
agnostos berarti unknow.[9]
e. Logika
Logika adalah salah satu cabang ilmu
filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles. Logika membahas tentang
norma-norma berfikir yang benar agar diperoleh dan terbentuk suatu pengetahuan
yang benar.
Tugas logika adalah untuk
membentuk pengertian menjadi definisi. Pengertian adalah gambaran didalam jiwa
tentang objek yang telah diabstraksikan. Definisi adalah penyebutan ciri esensi
dari suatu objek. Ada empat syarat definisi yang benar menurut Bakry:
1)
Ciri esensi yang disebut tidak
boleh berlebihan dan tidak bleh kurang.
2)
Tidak memakai kata yang
berulang-ulang.
3)
Tidak memakai perkataan yang
terlalu umum.
4)
Tidak memakai kata negatif
Logika dibagi menjadi tiga jenis
yaitu logika induktif, logika deduktif dan logika dialektis. Logika deduktif
merupakan sistem mengenai prinsip-prinsip penyimpulan yang mengarah pada
penggunaan suatu prinsip. Logika induktif merupakan teori mengenai
prinsip-prinsip penyimpulan dari berbagai kenyataan. Logika dielektis adalah
teori mengenai suatu penyelesaian masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
logika.
2. Epistemologi
Epistimologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan
atau membicarakan tentang suatu pengetahuan dan kebenaran suatu pengetahuan
tersebut.
Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan
sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan tersebut
diperoleh manusia dari berbagai cara dan dengan berbagai alat. Sehingga dalam
epistemologi muncul beberapa aliran yang berbicara tentang itu.
a. Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman.[10] Empirisme adalah aliran yang menjadikan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan
diperoleh dari suatu pengalaman dalam observasi atau pengindraan.
Bapak aliran ini adalah John Locke (1632-1704), yang mana
pada zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti
meja lilin. Maksutnya iaah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pegetahuan, lantas
pegalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.
Jadi, pengalaman indra itulah sumber pengetahuan yang benar.[11]
Namun aliran ini memiliki banyak kelemahan yang
disebabkan:
1)
Indra sifatnya terbatas
2)
Indra sering menipu
3)
Objek juga menipu
4)
Indra sekkaligus objeknya. Karena kelemahan dari
empirisme ini disebabkan oleh keterbatasan indramanusia sehingga muncullah
aliran rasionalisme
b. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham
atau aliran yang berdasarkan rasio atau akal yang mana aliran ini menyatakan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh
dan diukur melalui akal.
Zaman rasionalisme
berlangsung dari pertengahan abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Pada zaman ini
khas dari keilmuan adalah penggunaan daya eksklusif daya akal budi untuk
menemukan kebenaran.
Pada abad ke-18 Isaac
Newton (1643-1727) memberikan suatu pandangan baru, yaitu tentang fisika yang
terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu dengan yang
lainnya berdasarkan hukum sebab akibat.
Berdasarkan kepercayaan
yang makin kuat dan akan kekuasaan akal budi, lama-kelamaan orang-orang pada
abad itu berpandangan dalam kegelapan, dan ketika mereka mampu menaikkan obor
terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern maka pada abad ke-18
disebut juga dengan zaman aufklarung (pencerahan).
c. Positivisme
Positivisme adalah suatu
aliran atau faham yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam, tetapi
menolah metafisika. Tokoh dalam faham ini adalah Auguste Comte, menurutnya kita
hendaknya memandang phenomenon tau gejala itu sebagai sesuatu yang tunduk pada
hukum alamiah yang menetap atau yang mutlak.[12]
Pada dasarnya positivisme bukanah suatu aliran yang khas
berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan gabungan empirisisme dan rasionalisme.
Dengan kata lain, positivisme menyempurnakan metode ilmiyah (scientific method) dengan memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama
dengan empirisisme dan rasionalisme.
d. Intuisionisme
Intuisionalisme adalah
suatu aliran atau faham yang menganggap naluri/perasaan adalah suatu sumber
dari pengetahuan dan kebenaran. Menurut Henri Bergson (1859-1941) kemampuan
indra itu terbatas, akal juga terbatas. Objek yang kita tangkap adalah suatu
objek yang selalu berbeda-beda.[13]
Bergson mengembangkan
suatu kemampuan intuisi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tapi berbeda
dalam kesadaran dan kebebasannya. Kemampuan inilah yang dapat memahami
kebenaran dengan utuh, yang tetap dan unique.
3. Aksiologi
Aksiologi atau filsafat penilaian,
secara formal baru muncul pada abad ke-19. Aksiologi membahas tentang nilai dan
penilaian yang mana menyangkut banyak pendapat didalamnya.
Menurut Nicolai Hartman,
bahwa nilai adalah esensi dan ise platonik.[14] Nilai selalu berhubungan dengan benda yng menjadi penghubungnya. Hal
ini berarti bahwa nilai itu tidak nyata.
Langeveld mengemukakan
pendapat bahwa aksiologi terdiri dari dua hal utama. Yaitu:
a. Etika
Etika adalah bagian
filsafat nilai dan penilaian yang berhubungan atau yang membicarakan tentang
perilaku manusia. Semua perilaku itu memiliki nilai dan tidak bebas dari
penilaian. Tidak benar bila suatu perilaku itu dikatakan etis atau tidak etis,
lebih tepatnya prilaku itu adalah beretika baik dan tidak baik
Etika juga disebut dengan moral, istilah moral atau etika diartikan
kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia,
sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak
bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama.
Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan
moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua
teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis.
Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
1)
Deontologis
Teori Deontologis diilhami oleh
pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan
status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari
sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila
perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
2)
Teologis
Teori Teologis lebih menekankan
pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak
untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator
kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan
utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang
mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh
john Stuart Mill (1806 – 1873).
b. Estetika
Estetika merupakan bagian aksiologi yang
membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), Issue (Farber)
mengenai keindahan, menyangkup ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan
pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan
manusia.
Estetika
disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal
dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat
dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan
dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak
atau tidak indah.
Selain itu
dalam bahasa inggris istilah estetika dijadikan sebagai theory of beauty, theory of taste, theory of fine arts,dan theory of five arts. Estetika atau
filsafat seni ini mencari landasan atau asumsi sehingga teori keindahanlebih
tepat dianggap sebagai kajian ilmiyah dalam membahas fenomena atau wujud
kesenian daripada dasar-dasar bagi wacana seni.
Hubungan etika
dan estetika adalah diantara kedunya telah melahirkan objek estetika, terutama
berandaskan pada moralitas. Hal tersebut adalah mengenai moralitas sebagai
serentetan issu impeatif dalam hubungannya dengan perintah dan alasan.
BAB III
PENURUP
A. Kesimpulan
Filsafat merupakan induk pengetahuan, filsafatlah yang
melahirkan ilmu yang seyogyanya dapat dianalogkan. Ontologi membicarakan
sesuatu yang nyata atau realitas, ataupun ontologi membahas
tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu
pengkajian mengenai teori tentang sesuatu yang ada. Keberadaan ontologi
dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan. Objek formal Ontologi
adalah hakikat seluruh realitas. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa
didekati dengan dua macam sudut pandang yaitu kuantitatif dan Kualitatif,
Mekanismenya adalah aliran yang menyatakan bahwa semua
gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas mekanik, yaitu menerangkan semua
peristiwa berdasar pada sebab kerja, yang dilawankan dengan sebab-tujuan.
Manfaatnya membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan
sistem pemikiran yang ada dan membantu dalam memecahkan masalah pola relasi
antar berbagai eksisten dan eksistensi atau bisa mengeksplorasi secara mendalam
dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga
etika.
Epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari cara memperoleh
pengetahuan. terdapat empat jenis sumber kebenaran ilmu pengetahuan yang
secara umum dikenal. pertama bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah
wahyu, akal, pancaindra dan intuisi. Hubungan saling melengkapi dari ke dua
sumber, misalnya akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan
mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta petunjuk
yang harus dilalui akal.
Aksiologi dipahami sebagai teori tentang nilai
atau aksiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat nilai. Dari sumber nilai pandangan filsafat etika dapat dipahami
sebagai pengkajian terhadap perilaku manusia dari aspek sosial agar ia mampu
tetap hidup selaras dengan ketiga kefilsafatan yaitu Tuhan, manusia dan alam.
Hubungan dan cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai
yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah
kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. Tujuan dari
etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggung jawabkan apa yang
ia lakukan.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Konsep sistematika filsafat menempuh tiga tahap, yaitu :
a. Ontologi
b. Epistemologi, dan
c. Aksiologi.
2.
Filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa
cabang, yakni :
a. Metafisika
b. Logika
c. Etika
d. Estetika
e. Epistemologi,dan
f. Filsafat-filsafat
khusu lainnya.
3.
Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik
fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
4.
Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang
salah.
5.
Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang
buruk.
6.
Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang
jelek.
7.
Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
8.
Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama,
filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat
pendidikan, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksum. 2012. Pengantar Filsafat. Jokjakarta: Ar-Ruzz
Media
Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutardjo A. Wiramihardja.
2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT
Refika Aditama
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar