Kamis, 14 Desember 2017

THAHARAH, PENGERTIAN DAN JENIS MACAMNYA, MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANYA

THAHARAH, PENGERTIAN DAN JENIS MACAMNYA, MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENSUCIKANYA

A.     PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas  dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.[1]                                    
Atau thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air.
Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Cara menghilangkannya harus  dicuci dengan airsuci dan mensucikan.[2]

B.     DALIL-DALIL THAHARAN
Dalil-dalil tentang thaharah, yaitu:

Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
 Artinya: dari mus”ab bin sa,id berkata: Abdullah bin umar pernah menjenguk ibnu amir yang sedang sakit. Ibnu amir berkata: “Apakah kamu tidak mau mendo’akan aku, hai ibnu umar?”. Ibnu umar berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “Shalat yang tanpa bersuci tidak diterima begitu pula sedekah dari hasil korupsi”. Sedang kamu adalah penguasa bashrah”.

C.     TUJUAN THAHARAH
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:
1.      Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2.      Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.
Nabi Saw bersabda:
 “Allah tidak  menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai ia wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT memuji orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang  artinya:“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al-Baqarah:122)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah di akhirat nanti. Thaharah juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan ibadah-ibadah kepada Allah. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.

D.     PEMBAGIAN THAHARAH
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah Hukmi.
1.      Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan,  pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh  dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya. Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian secara hakiki.[3]
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya bermacam-macam tergantuk level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan memercikan air saja, maka najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya dengan air biasa hingga hilang warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan hilang  rasa najisnya.

2.      Thaharah Hukmi.
Seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya  dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi janabah.

KLASIFIKASI AIR DAN PENGGUNAANYA DALAM BERSUCI     
1.      Air mulak (air yang suci lagi mensucikan)
Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan dengan air mutlak.
Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:

1.      Air hujan
2.      Air laut
3.      Air sungai
4.      Air sumur
5.      Air yang bersumber (dari mata air)
6.      Air es
7.      Air embun.
Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat, menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah dalam bertayamum ..
Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1)      Tha’mun (Rasa)
2)      Launun (Warna)
3)      Rihun (Bau)
Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir,

Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “ Al-mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang tidak dapat dibedakan  air menurut pandangan mata”.
Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang, cendana, minyak bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk ber bercuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, ban  dingannya air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubaah baunya karena berdekatan dengan  bangkai. Maka air yang seperti ini masih dianggap air yang suci dan dapt dipergunakan untuk bersuci, baik berubah sifatnya.

2.      Air suci tidak mensucikan
air yang berubah sebab bercampur dengan benda-benda suci lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup). Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakan nya masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.

3.   Air Mutlak yang Makruh memakainya (air yang suci lagi mensucikan tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hokum syara’ atau juga dinamakan kahariyatut tanzih ada delapan macam , yaitu:
1.      Air yang sangat panas
2.      Air yang sangat dingin
3.      Air yang berjemur
4.      Air di negeri Tsamud selain dari air sumur naqah
5.      Air di negeri kaum Luth
6.      Air telaga Barhut
7.      Air didaerah Babel dan
8.      Air ditelaga Zarwan

4.      Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau  mencuci najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.

5.      Air  yang terkena najis
Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dua kolah, atau air itu ada dua kolah tetapi berubah. Maksudnya air yang kemasukan benda najis didalamnya, andai kata air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang dipinggirnya maka air yang demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya. Dan yang dimaksud dengan berubah andai kata air yang banyak tersebut tidak berubah dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air yang demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut mazhab yang shahih.



[1] Moch. Anwar, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib, Bandung, Alma’arif, 1987, Hlm. 9
[2] Muqarrabin, Fiqh Awam, Demak, Media Ilmu, 1997, Hlm. 34
[3] Abid Bishri Mustafa, Tarjamah Shahih Muslim, Semarang, Asy-Syifa, 1993, Hlm. 325

Tidak ada komentar:

Posting Komentar