MAKALAH KOMUNIKASI EMPATIK
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kita nikmat,baik itu nikmat islam maupun nikmat iman.Tidak lupa kita sampaikan
shalawat dan salam kepada Nabi besar Muhammad SAW,Yang telah menunjukkan kita
ke jalan yang menuju kebenaran seperti yang kita rasakan pada saat ini. Dan
berkat rahmat nya juga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Komunikasi Empatik.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami megharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalh ini memberikan imformasi bagi mahasiswa
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua. Amin.
Bandar Lampung,
01 Desember 2017
Hormat kami,
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Juduli
Kata Pengatarii
Daftar Isiiii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang1
B. Rumusan Masalah2
C. Tujuan Penulisan3
BAB II PEMBAHASAN3
A. Pengertian
Komunikasi Empatik3
B.
Pentingnya Empati Dalam Komunikasi6
C.
Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Komunikasi Empatik7
D.
Sikap Suportif Dan Defensif Dalam Komunikasi Empatik9
E.
Prinsip-Prinsip Komunikasi Empatik13
BAB III PENUTUP17
A.
Kesimpulan17
Daftar Pustaka18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman hidup di dalam berinteraksi membuktikan
betapa sulitnya hubungan antarmanusia. Tidak jarang orang mengerahkan sekian
banyak tenaga hanya untuk menguraikan persoalan sepele. Dia menyisihkan sekian
banyak waktu untuk menjelaskan maksud baik yang disalahpahami. Tidak menyapa
pada saat bertemu, tidak tersenyum saat teman bergembira, tidak berkomentar
saat teman berpakaian baru, dan sebagainya, yang boleh jadi dinilai sepele oleh
satu pihak akan dapat mengakibatkan rentannya hubungan. Memang, hubungan
antarmanusia sering diliputi oleh kabut, yang sering kali memicu lahirnya
perselisihan dan aneka problem.
Dengan berinteraksi dan berkomunikasi, maka dapat
membentuk rasa saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih
sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Namun, komunikasi
juga dapat menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan
kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. Tidak jarang,
konflik1 sesama manusia terjadi akibat komunikasi yang kurang empatik. Kualitas
hidup dan hubungan sesama manusia dapat ditingkatkan dengan memahami dan
memperbaiki komunikasi yang dilakukan.
Tidak sedikit orang menganggap bahwa komunikasi itu
mudah dilakukan, laksana semudah bernapas. Barulah pada saat seseorang memasuki
pengalaman bahwa proses komunikasi yang biasa ia lakukan rusak atau macet, maka
ia akan menyadari bahwakomunikasi itu ternyata tidak mudah. Kemampuan manusia dalam
berkomunikasi secara empatik, kelihatannya mulai sirna dari individu-individu
dalam masyarakat kontemporer. Akhir-akhir ini, kemampuan komunikasi empatik
makin dibutuhkan untuk memperbaiki berbagai kegagalan komunikasi antarpribadi,
komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi sosial ataupun
komunikasi antarbudaya, yang tak jarang dalam kehidupan sehari-hari telah
menyulut kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling menyalahkan, bahkan
memicu terjadinya konflik.
Manusia sering mengabaikan hal-hal yang kelihatannya
kecil seperti cara berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kini, ancaman
terhadap kemampuan dalam berkomunikasi secara empatik datang dari berbagai
penjuru. Tulisan ini menganalisis komunikasi empatik. Apakah komunikasi empatik
itu? Apa yang mendorong manusia berkomunikasi empatik? Kendala-kendala apa saja
yang menghalangi untuk melakukan komunikasi empatik? Manfaat-manfaat apa yang
diperoleh dari komunikasi empatik, kaitannya dalam membangun relasi sosial?
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
dan pentingnya komunikasi empatik?
2.
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi
dalam komunikasi empatik?
3.
Bagaimana prinsip-prinsip
komunikasi empatik?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat memahami pengertian dan pentingnya komunikasi
empatik.
2.
Dapat memahami Kendala-kendala yang
dihadapi dalam komunikasi empatik.
3.
Dapat memahami prinsip-prinsip
komunikasi empatik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Komunikasi
Empatik[1]
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris adalah communication,
yang berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis,yang
berarti sama.[2]
Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Dalam hal ini, apabila dua orang
terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi
akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai hal yang
dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum
tentu menimbulkan kesamaan makna. Hal itu dikarenakan setiap orang mempunyai
maksud dari sesuatu yang dikatakan, dan maksud itu kadang dapat dipahami dan
kadang tidak. Hal itu tergantung situasi dan kondisi kedua pihak yang terlibat
dalam komunikasi tersebut.
Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi kenamaan,
dalam karyanya, Communication Research in the United States menyatakan
bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator
cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan
pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang
pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang pengalaman (field of
experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Komunikasi akan
berlangsung lancar bila komunikator dan komunikan memiliki banyak kesamaan
dalam hal pengalaman. Sementara itu, Lasswell merumuskan komunikasi sebagai
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
menimbulkan efek teertentu.
Harnack dan Fest (1964) menganggap komunikasi
sebagai proses interaksi di antara orang untuk tujuan integrasi intrapersonal
dan interpersonal.[3]
Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi
dengan manusia lain. Secara umum, komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pernyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain sebagai konsekuensi
dari hubungan sosial. Dalam
pengertian paradigmatis, komunikasi mengandung tujuan tertentu, yang bersifat
informatif dan persuasif. Komunikasi persuasif (persuasive communication)
lebih sulit daripada komunikasi informatif (informative communication)
karena tidak mudah untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang atau
sejumlah orang.[4]
Kata empati (empathy) sendiri berasal dari
kata einfuhlung yang semula digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Kata ini
secara harfiah berarti merasa terlibat (feeling into).[5]
Empati (empathy) menurut Onong Uchjana Effendy adalah kemampuan
memproyeksikan diri kepada orang lain. Dengan lain perkataan, empati adalah
kemampuan menghayati perasaan orang lain atau merasakan sesuatu yang dirasakan
orang lain.
Empati, menurut De Vito, memungkinkan Anda untuk
memahami secara emosional dan intelektual mengenai sesuatu yang sedang dialami
orang lain. Empati tidak akan terlalu bermakna jika Anda tidak mampu mengomunikasikan
pemahaman empatik ini kembali kepada orang lain tersebut. Seseorang lebih mudah
untuk berempati terhadap orang-orang yang ide-idenya cocok dengannya dan
bersikap kooperatif. Hal itu jauh lebih sulit untuk berempati pada saat
seseorang bingung, marah, jengkel, atau kecewa pada orang lain. Pentingnya empati atau
merasa terlibat dalam komunikasi ini dihubungkan dengan pembahasan mengenai
persepsi dan kemampuan dalam mendengarkan.[6]
Apapun tujuan yang hendak dicapai; keberhasilan
pendidikan, sosial, atau profesi, bahkan untuk memelihara penghargaan diri
seseorang, kemampuan mendengarkan sangat diperlukan. Penyair sufistik
Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Karena untuk berbicara, orang harus lebih dulu
mendengarkan, belajarlah bicara dengan mendengarkan”. Ali KW. berkata: “Siapa
yang paling baik mendengarkannya, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat”.
Dalam berkomunikasi, manusia sering mengalami atau
menyaksikan orang-orang yang sepertinya mendengarkan, tetapi hakikatnya tidak
mendengarkan. Menurut hasil penelitian, banyak terjadi kesalahpahaman,
pertengkaran, atau kegagalan karena salah mendengarkan. Karena itu, perlu
membiasakan untuk melatih pendengaran. Ada beberapa teknik mendengar yang baik:
a. Belajar mendengarkan
pembicaraan yang tidak menyenangkan hati. Mendengarkan pembicaraan yang
mengenakan hati itu mudah, tidak perlu dilatih. Misalnya, kalau datang
seseorang, kemudian memuji-muji, telinga langsung mendengarkan dengan baik,
tetapi ketika seseorang datang dan memberi nasihat atau mengingatkan perbuatan
yang salah, maka telinga segera menjadi disfungsional (kurang berfungsi).
Dengan demikian, latihan pertama untuk melatih pendengaran ialah belajar
mendengarkan pembicaraan yang tidak dikehendaki.
b.
Belajar mendengarkan orang yang
membicarakan tentang dirinya sendiri. Kalau ada orang yang membicarakan
dirinya, itu kadang tidak menarik, tetapi menarik bagi orang yang berbicara.
Oleh karena itu, perlu dihargai. Ketika mendengarkan secara aktif, berusahalah
memahami dan menyokong hal yang sedang dikomunikasikan orang lain. Sokongan
tidak berarti kesepakatan, melainkan memahami tanpa meremehkan. Empati berarti
mempunyai kesanggupan dapat meneliti dengan baik kesulitan-kesulitan yang
dialami orang lain. Dengan
demikian, komunikasi empatik berarti mendengarkan dengan mata, telinga, dan
hati Anda untuk memahami, berintuisi, dan merasa. Mendengarkan di sini adalah
mendengarkan untuk mengerti, bukan untuk menjawab dan mendengarkan isi
pembicaraan dan bukan siapa yang berbicara. Respon yang tepat juga menjadi
kunci komunikasi empatik, maka berikanlah respon seperti baru pertama kali
mendengarkan topik pembicaraan.
B. Pentingnya Empati Dalam
Komunikasi
Masalah empati mendapatkan tempat yang penting dalam
dunia komunikasi. Empati adalah “modus
dasar bagi komunikasi” yang penting bagi orang-orang dewasa.
Komunikasi empatik merupakan salah satu keterampilan
berkomunikasi untuk mendukung pencapaian tujuan komunikasi dari sisi persuasif
maupun informatif. Banyak orang merasa yakin bahwa mereka berkomunikasi secara
efektif. Namun, ketika orang lain tidak merespons dengan cara yang mereka
kehendaki, mereka cenderung menyalahkannya. Anda mungkin pernah mendengar
seseorang berkomentar: “Suami saya tidak pernah mendengarkan saya”; atau “Mereka
benar-benar tidak memahami saya”; atau “Mereka sama sekali tidak mengindahkan
saya ketika saya berusaha memberi tahu sesuatu pada mereka.” Ketika orang lain
tampaknya tidak mendengarkan pesan-pesan, maka sebagai seorang yang kritis
harus bertanya: “Bagaimana saya mengubah cara saya dalam menyampaikan sesuatu
agar orang lain lebih mau menerima apa yang saya katakan?”
Menurut Carl Rogers, “kendala utama bagi komunikasi
antarpribadi satu sama lain adalah kecenderungan alamiah kita untuk menghakimi,
menilai, menyetujui atau membantah pernyataan orang lain ataupun pernyataan
kelompok.” Setiap kali melakukan komunikasi, sesungguhnya bukan hanya sekadar
menyampaikan isi pesan, tetapi menentukan kadar hubungan interpersonal. Ketika seseorang
bertanya tentang nama Anda, ada banyak cara dalam pengungkapannya, dan itu
menunjukkan kadar hubungan interpersonal di dalamnya berbeda. Misalnya, “sebutkan
nama kamu? Siapa nama Anda? Bolehkah saya tahu siapa nama Bapak? Sudi kiranya
Bapak berkenan menyebutkan nama Bapak?”
Kalimat-kalimat yang digunakan, sekali lagi bukan
hanya menyampaikan isi, tetapi juga mendefinisikan hubungan interpersonal.
Pandangan bahwa komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan
Ruesch dan Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di
kalangan ahli komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967) dalam buku
Pragmatics of Human Communication. Perlahan-lahan, studi komunikasi
interpersonal bergeser dari isi pesan pada aspek relasional.
Komunikasi empatik atau komunikasi dengan empati
berarti komunikasi yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan,
kepedulian dan perhatian terhadap komunikan. Karena itu, dalam komunikasi
empatik yang perlu diperhatikan adalah cara memahami orang lain. Jangan lakukan
sebaliknya, yakni mengharapkan orang lain yang harus lebih dahulu memahami.
Sikap ini tentu saja harus timbal balik, barulah kemudian akan muncul saling
pemahaman. Dengan dasar berpikir ini, pihak-pihak yang saling berhubungan akan
menerapkan komunikasi empatik sehingga tidak terlalu sulit untuk menumbuhkan
sikap saling memahami dan saling menghormati dalam tindakan komunikasi.
C. Kendala-Kendala Yang
Dihadapi Dalam Komunikasi Empatik
Semakin
jelas seseorang memahami kendala-kendala untuk memiliki empati, maka semakin
baik orang tersebut menghadapi kendala-kendala itu. Berikut ini empat rintangan
dalam berempati.
1. Lingkungan Keluarga
Empati
memang sulit bagi orang yang tumbuh dalam keluarga yang orangtuanya tidak punya
empati. Dalam keluarga semacam itu, anak sering kali diberi tahu cara mereka
harus berperasaan dan berpikir. Tentu saja, anak dari orangtua yang punya
empati tidak serta-merta tumbuh menjadi orang yang bisa berempati. Ada banyak
faktor yang turut memengaruhi kepribadian dan perilakunya. Namun, lebih mudah
untuk memiliki rasa empati apabila seseorang dalam sehari-hari menyaksikan
praktik empati dari orangtua dan orang-orang yang merawatnya.
2. Menyembunyikan Kekecewaan atau Kemarahan
Kebanyakan
orang menilai diri sendiri punya empati. Empati lebih kentara ketika orang lain
berperilaku dan bersikap sesuai dengan preferensi. Misalnya, orang lebih mudah
untuk berempati kepada temannya yang bersikap dan berperilaku baik kepadanya.
Namun, apabila sikap temannya tidak sesuai dengan keinginannya, maka sering
kurang berempati kepadanya. Dalam
hal ini, jauh lebih sulit untuk berempati ketika tindakan teman, kerabat, dan
kolega tidak sesuai dengan harapan orang tersebut. Rasa marah dan kecewa yang tersembunyi
dapat meredupkan empati dan membutakan dari dampak negatif perkataan serta
perbuatan seseorang. Ketika marah atau kecewa, seseorang jarang berhenti
sejenak untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana orang ini
menggambarkan diri saya sekarang, ketika saya membentaknya? Apakah cara saya
mengatakan atau melakukan sesuatu bisa membuat orang lain benar-benar mau
mendengarkan dan merespons saya?. Secara
teoretis, tim peneliti di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania,Amerika
Serikat, menemukan bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan
bermusuhan, suka bersikap sinis, dan agresif, berkaitan erat dengan peningkatan
kematian akibat penyakit infark jantung.[7]
3. Membuat Asumsi tentang Motivasi Orang
Lain
Disadari
atau tidak, seseorang sering menilai motif perilaku orang lain berupa prasangka
negatif.[8]
Menurut Baron dan Byrne (1994), yang dikutip Sarlito, prasangka adalah sikap
yang negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang. Hal ini semata-mata
karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka juga tidak selalu
salah dan irasional. Ia dapat juga positif. Hanya saja, prasangka yang positif
biasanya tidak menimbulkan masalah dalam hubungan sosial. Perasaan empati berkurang
bila prasangka (negatif) muncul dalam komunikasi. Hal ini akan mendistorsi
hubungan dan mengakibatkan rusaknya komunikasi.
4.
Terlalu
Berempati
Salah
satu keberatan yang kadang terdengar jika terlalu berempati adalah menjadi
mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Orangtua menyuarakan keberatan ini terkait
dengan anak-anak mereka. Para majikan menyuarakannya terkait dengan karyawan.
Para suami menyuarakannya terkait dengan istri. Sementara itu, para istri
menyuarakannya terkait dengan suami. Sikap empati sering dirancukan dengan
sikap mengalah, tidak jujur mengutarakan perasaan, tidak tegas atau tidak terus
terang. Orang yang empati tidak menahan diri dari memberikan umpan balik kepada
orang lain atau menahan diri dari menetapkan batasan-batasan yang tepat. Menurut Goleman,
Boyatzis dan McKee, empati bukanlah sikap sentimentil “saya oke, kamu oke.” Hal
itu tidak berarti bahwa setiap komunikator memakai perasaan orang lain dan
berusaha menyenangkan setiap orang. Hal itu akan menjadi pengalaman yang
mengerikan dan akan menutup berbagai kemungkinan tindakan yang seharusnya
dilakukan. Sebaliknya, empati berarti mempertimbangkan secara mendalam perasaan
orang lain dan kemudian membuat keputusan-keputusan cerdas yang berhasil merespons
perasaan-perasaan itu.
D. Sikap Suportif Dan
Defensif Dalam Komunikasi Empatik
Salah satu faktor yang menumbuhkan hubungan sosial
yang baik dalam komunikasi empatik adalah sikap suportif, yakni sikap yang
mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defenssif bila ia tidak
menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Orang defensif akan lebih banyak
melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi
daripada memahami pesan orang lain. Komunikasi defensif dapat terjadi karena
faktor-faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman
defensif, dan sebagainya) atau faktor-faktor situasional.
Pada kaitan ini, Jack R. Gibb menyebut enam perilaku
yang menimbulkan perilaku suportif yaitu sebagai berikut.
1. Evaluasi
Evaluasi
artinya penilaian terhadap orang lain, baik memuji maupun mengecam. Dalam
mengevaluasi, seseorang cenderung mempersoalkan nilai dan motif orang lain.
Bila seseorang menyebutkan kelemahan orang lain, mengungkapkan betapa jelek
perilakunya, dan meruntuhkan harga dirinya, maka akan melahirkan sikap
defensif. Kebalikan
dari evaluasi adalah deskripsi. Deskripsi artinya penyampaian perasaan dan
persepsi tanpa menilai. Pada evaluasi, umumnya menggunakan kata-kata sifat
(salah, ngawur, bodoh dan ungkapan lainnya yang negatif). Pada deskripsi,
biasanya, seseorang menggunakan kata-kata kerja misalnya: “Anda seringkali
berpindah dari satu persoalan ke persoalan lain”; atau “Anda tidak mengikuti
perkembangan terakhir dalam bidang ini”. Sebenarnya, hal ini dapat dievaluasi
pada gagasan, bukan pada pribadi (walaupun banyak orang merasa dirinya diserang
ketika gagasannya dipersoalkan). Deskripsi dapat terjadi juga ketika seseorang
mengevaluasi gagasan orang lain,”merasa” bahwa dia menghargai diri mereka
(menerima mereka sebagai individu yang patut dihargai).
2. Kontrol
Perilaku
kontrol artinya berusaha untuk mengubah orang lain, mengendalikan orang
perilakunya, mengubah sikap, pendapat, dan tindakannya. Melakukan kontrol
berarti mengevaluasi orang lain sebagai orang yang jelek sehingga perlu diubah. Dalam hal ini, setiap
orang tidak ingin didominasi orang lain. Orang ingin menentukan perilaku yang
dia senangi. Oleh karena itu, kontrol orang lain akan dia tolak. Untuk
mengatasi masalah ini, perlu adanya orientasi masalah dengan mengkomunikasikan
keinginan untuk bekerja sama dan mencari pemecahan masalah. Solusi konkretnya,
mengajak orang lain bersama-sama untuk menetapkan tujuan dan memutuskan cara
mencapainya.
3. Strategi
Strategi
adalah penggunaan tipuan-tipuan atau manipulasi untuk memengaruhi orang lain.
Seseorang menggunakan strategi bila orang lain menduga ada motif-motif
tersembunyi. Lawan dari strategi adalah spontanitas, yaitu sikap jujur dan
dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
4. Netralitas
Netralitas
adalah sikap impersonal–memperlakukan orang lain tidak sebagai personal,
melainkan sebagai objek. Bersikap netral bukan berarti objektif, melainkan
menunjukkan sikap tak acuh serta tidak menghiraukan perasaan dan pengalaman
orang lain. Kebalikan sifat ini adalah sikap empati. Tanpa empati, orang
seakan-akan “mesin” yang hampa perasaan dan tanpa perhatian.
5. Superioritas
Superioritas
artinya sikap menunjukkan diri lebih tinggi atau lebih baik daripada orang lain
karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual, kekayaan, atau kecantikan.
Superioritas akan melahirkan sikap defensif. Sifat sebaliknya adalah bersikap
merasa sama atau setara dan tidak menggurui. Dengan persamaan, manusia
mengomunikasikan penghargaan dan rasa hormat kepada perbedaan pandangan dan
keyakinan.
6. Kepastian
Orang
yang memiliki kepastian besifat dogmatis, ingin menang sendiri, dan melihat
pendapatnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Dalam hal
ini, harus dikembangkan sikap provisionalisme, yakni kesediaan untuk meninjau
kembali pendapat, untuk mengakui bahwa pendapat manusia adalah tempat
kesalahan. Dengan demikian, wajar juga kalau satu saat pendapat dan
keyakinannya bisa berubah.
Selain sikap suportif, sikap yang
perlu dikembangkan dalam dalam komunikasi empatik adalah sikap terbuka. Sikap
terbuka (open-mindedness) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi
yang empatis. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatik. Orang dogmatis bersikap
tertutup. Ciri-ciri orang dogmatis adalah:
a. Menilai pesan berdasarkan motif pribadi.
Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam diri individu.
Rokeach menyebut desakan ini, antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk
perseptual, motif ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan untuk
membesarkan diri. Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.
b. Berpikir simplistis. Bagi orang
dogmatis, kalau tidak salah, maka benar. Dunia dibagi dua; yang pro (sudah
pasti benar), dan yang kontra (di mana segala kejelekan berada).
c. Berorientasi pada sumber. Bagi orang
dogmatis, yang paling penting adalah orang yang berbicara, bukan hal yang
dibicarakan. Hal ini terikat sekali pada otoritas yang mutlak.
d. Mencari informasi dari sumber sendiri.
Orang dogmatis hanya mempercayai sumber informasi mereka sendiri, dan kurang
memerhatikan sumber-sumber lainnya yang tidak sejalan dengan pemahaman dan
keyakinannya.
e. Secara kaku mempertahankan dan membela
sistem kepercayaannya. Orang dogmatis tidak tahan hidup dalam suasana
inkonsisten. Ia menghindari kontradiksi atau benturan gagasan. Informasi yang
tidak konsisten akan ditolak, didistorsi, atau tidak dihiraukan sama sekali.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, ada
empat tanda orang yang memiliki konsep diri negative, yaitu :[9]
a. Ia
peka terhadap kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan
mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi sering kali dipersepsi
sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang
memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan
bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika
yang keliru.
b. Responsif sekali terhadap pujian. Buat
orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya
menjadi pusat perhatiannya.
c. Mereka bersikap hiperkritis terhadap
orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan siapapun.
Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan
pada kelebihan orang lain.
d. Cenderung merasa tidak disenangi orang
lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah, ia bereaksi pada orang lain
sebagai musuh sehingga tidak melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.
Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya
sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
e. Orang yang konsep dirinya negatif,
besikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk
bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan
berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
E. Prinsip-Prinsip
Komunikasi Empatik
Agar
komunikasi berjalan efektif, para pelaku komunikasi harus memperhatikan dan
menerapkan prinsip komunikasi empatik, yaitu:
1.
Prinsip adalah keseluruhan, bukan
sebagian. Tiga orang buta sedang berdiri mengelilingi seekor gajah dan mencoba
memberikan gambaran mengenai Sang Gajah. Orang buta pertama yang memegang ekor
gajah mengatakan gajah itu kurus dan panjang. Orang buta kedua yang memegang
telinga gajah mengatakan gajah itu berkulit tipis dan lentur. Orang buta ketiga
yang memegang perut kaki gajah mengatakan gajah itu berkulit keras, dan
berbentuk bulat. Kejadian itu harus dimaknai sebagi keseluruhan, bukan
dipisah-pisah.
2.
Moral. Cobalah terlebih dahulu mencari
informasi yang selengkap-lengkapnya sebelum memberikan komentar. Jika hanya
memiliki sepenggal informasi, maka jangan langsung membentuk opini dan
menyatakan pendapat berdasarkan informasi yang belum lengkap tersebut. Untuk
masalah ini, yang perlu dilakukan adalah melengkapi informasi yang ada dengan
banyak bertanya kepada pihak-pihak yang terlibat, sebelum mengambil keputusan
dan mengkomunikasikan kepu-tusan yang kita ambil. Cara lain adalah aktif
mencari informasi tambahan yang diperlukan sehingga mendapat gambaran yang
lebih lengkap terhadap sesuatu yang akan kita komunikasikan.
3.
Berusaha mengerti, baru dimengerti.
Seorang manager pemasaran produk elektronik berteknologi tinggi sedang
menawarkan produknya kepada calon pelanggan. Supaya terkesan canggih, dalam
menjelaskan spesifikasi produk yang ditawarkan, manajer menggunakan
istilah-istilah teknis yang berhubungan dengan produk elektronik tersebut. Dia
juga langsung menjelaskan pilihan unggulan dari produk ini serta mendemokan
penggunaan produk tersebut. Namun demikian, karena bahasa yang digunakan
terlalu canggih bagi calon pembeli, serta produk yang didemokan ternyata bukan
produk yang dibutuhkan calon pembeli, maka bisa dibayangkan hal yang terjadi
kemudian: calon pelanggan tidak mau membeli produk yang ditawarkan.
4.
Diagnosa sebelum respon. Bapak Salim
pergi ke dokter mata. Kepada dokter, Pak Salim mengeluh ia tidak bisa
menggunakan matanya untuk membaca. Dokter memeriksa mata Pak Salim, lalu
memintanya membeli kaca mata yang sesuai dengan resep yang diberikan. Seminggu
kemudian, Pak Salim kembali ke dokter mata yang sama. Ia mengeluh walaupun
sudah membeli dan menggunakan kaca mata yang disarankan dokter, ia tetap tidak
bisa membaca. Dokter menjadi bingung. Setelah diselidiki lebih jauh, ternyata
permasalahannya bukan pada ukuran kaca mata, tetapi pada Bapak Salim sendiri
karena Bapak Salim buta huruf. Dalam
hal ini, walaupun dokter menyarankan menggunakan kaca mata yang paling canggih
sekalipun, Pak Salim tetap tidak akan bisa membaca. Di sini, moral yang dapat
dipelajari dari anekdot ini adalah, sebelum memberikan pendapat, masukan atau
jawaban, diagnosis terlebih dahulu secara teliti permasalahan yang dihadapi lawan
bicara. Setelah menemukan akar permasalahannya, akan lebih mudah untuk membantu
memberikan jawaban, solusi ataupun masukan yang diperlukan lawan bicara.
5.
Keyakinan. Jika seseorang tersesat dan
bertanya kepada orang yang ditemui di jalan tentang alamat, orang tersebut
memberikan informasi tetapi ia tidak terlihat yakin akan informasi yang
diberikannya.
6. Kontak mata. Kontak mata merupakan bagian
yang penting dalam berkomunikasi. Dengan melibatkan kontak mata dengan orang
yang diajak bicara, hal ini memberi kesan dan pesan kepada orang tersebut bahwa
sungguh-sungguh terhadap sesuatu yang dikomunikasikan. Kesungguhan ini akan
mendorong lawan bicara memperhatikan dengan seksama apapun yang komunikasikan.
Mereka juga lebih percaya karena kesungguhan yangdiperlihatkan sehingga akan
lebih mudah bagi mereka memberikan dukungan ataupun memberikan jawaban “Ya”,
atau melakukan apapun yang dianjurkan kepada mereka.
7.
Senyuman. Jika berpapasan dengan orang
lain (yang tidak kenal sama sekalipun) di lift, di tangga, ataupun di koridor
kantor, cobalah sapa orang tersebut (dengan mengucapkan: Selamat Pagi, Selamat
Siang, atau sekadar sapaan sederhana “Hai”) dan berilah senyuman hangat. Hampir
bisa dipastikan orang tersebut akan tersenyum kembali. Senyuman, menurut
Maxwell, memang merupakan senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk
membuka komunikasi. Senyuman yang tulus dan hangat dapat mengatasi berbagai
hambatan dalam komunikasi (misalnya: ketegangan, kecurigaan, kemarahan,
kecemburuan). Senyuman
merupakan indikasi adanya emosi positif terhadap orang yang diajak
berkomunikasi. Jika lawan bicara merasa memang “suka” berkomunikasi dengannya,
maka akan lebih mudah bagi orang tersebut menerima masukan, pendapat, ataupun
solusi yang kepadanya.
8. Saling menyukai. Nasihat yang cenderung
diterima; musuh atau kawan? Pendapat siapa yang cenderung lebih didukung: orang
yang tidak kenal sama sekali atau orang yang sudah sangat kenal dengan baik,
pembicaraan siapa yang lebih cenderung dipercaya: orang yang dihormati dan
menghormati kita atau orang yang membenci? Intinya, komunikasi akan efektif,
jika orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut saling menyukai. John
C. Maxwell juga memiliki pendapat yang sama. Maxwell berpendapat menyukai orang
lain yang diajak berkomunikasi merupakan awal kemampuan berkomunikasi yang
efektif. Jika
berjumpa dengan seseorang dan reaksinya bermusuhan, afek (emosi) yang akan
ditimbulkan pada diri kita adalah marah, sedangkan jika reaksi awalnya
menghargai danmenyenangkan, dan emosi yang ditimbulkan adalah positif.[10]
Sebuah penelitian menunjukan bahwa
ketika menjumpai seseorang yang disukai, dia terlihat sebagai orang yang
menarik. Hal ini karena aspek terpenting dari perasaan menyenangi adalah
harapan yang memperkuat perasaan terhadapnya. Komunikasi baru dinyatakan
efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi
komunikan. Dapat dinyatakan pula bahwa komunikasi akan lebih efektif bila para
komunikan saling menyukai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara
empatik, sudah mulai terkikis dari individu-individu dalam masyarakat
kontemporer. Kemampuan komunikasi empatik perlu dibangkitkan kembali untuk
memperbaiki berbagai kegagalan komunikasi, baik antarpribadi, kelompok,
organisasi, sosial maupun komunikasi antarbudaya yang tak jarang telah menyulut
kesalahpahaman, sikap saling menghakimi, saling menyalahkan, Jika hal ini
dibiarkan, maka akan memunculkan konflik, bahkan kekerasan yang dapat mengancam
hubungan sesama warga bangsa yang heterogen.
Kegagalan dalam berkomunikasi salah satunya
diakibatkan oleh kurangnya kemampuan dalam mendengarkan dengan empati. Oleh
karenanya, Floyd (1985), yakin bahwa empati adalah “the key to effective
listening and therefore to communication.” Empati merupakan kunci untuk
mendengarkan secara efektif sehingga menghasilkan komunikasi yang efektif.
Adapun dalam membangun komunikasi empatik,
komunikator harus mampu memahami, memiliki kepedulian dan penghargaan
sertaperhatian terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana. 1995. Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. . 2002. Dinamika
Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ibrahim, Idi Subandy Sirnanya. 2004. Komunikasi
Empatik, Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Mujib, Abdul dan Mudzakir Jusuf. 2002. Nuansa-nuansa
Psikologi Islam. Jakarta:. Raja Grafindo Persada.
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi
Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sylvia Moss, Stewart L. Tubbs-, 1996. Human
Communication, Prinsip-prinsip Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1999. Psikologi
Sosial, Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial.Jakarta: Balai Pustaka.
[1] Para ahli teori cenderung menanggap konflik sebagai aspek alamiah
manusia, yang tidak dengan sendirinya bersifat destruktif. Bagi Hocker dan
Wilmot (1991), ”konflik adalah suatu proses alamiah yang melekat pada sifat
semua hubungan yang penting dan dapat diatasi dengan pengelolaan konstruktif
lewat komunikasi”. Lihat Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication, Prinsip-Prinsip
Dasar (Bandung: PT remaja Rosdakarya, 1996), hal. 221.
[2] Onong
Uchjana effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet-ix, 1995), hal. 9.
[5] Lihat
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication, edisi ke-7 (New
York: McGraw-Hill,1994), hal. 173.
[6] Idi
Subandy Ibrahim, Sirnanya Komunikasi Empatik, Krisis Budaya Komunikasi dalam
Masyarakat Kontemporer (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. xxiv.
[7] Deddy
Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet ke-9, 2007), hal. 23.
[8] Dalam
al-Qur’an, manusia diingatkan agar jangan terlalu banyak berprasangka karena
sebagian prasangka itu adalah dosa. Lihat QS. al-Hujurat
[9] Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islami(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 133.
[10] Sarlito Wirawan sarwono, Psikologi Sosial, Individu dan
Teori-teori Psikologi Sosial,(Jakarta: Balai Pustaka, Cet kedua, 1999), hal.
199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar