MAKALAH
HUKUM ACARA DAN PA DI INDONESIA
“KEDUDUKAN
HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL”
DISUSUN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM
ACARA DAN PA DI INDONESIA
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Islam 3
B.
Hukum Nasiona 4
C.
Kontribusi
Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional 6
D.
Hukum Islam di
Era Reformasi 8
E.
Kendala dan
Problematika Hukum Islam di Indonesia 17
BAB III
PENNUTUP
KESIMPULAN 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya
bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di negara Republik
Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan
sendiri. Sistem hukum itu adalah sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan
sistem hukum Barat. Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke tujuh Masehi tata
hukum Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan
peradilan Islam. Hamka mengajukan fakta berbagai karya ahli Hukum Islam
Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil al-Muhtadin,
Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya tulis
tersebut masih bercorak pembahasan fiqih, masih bersifat doktrin hukum dan
sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mazhab.
Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun
hukum yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan
rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat
Islam di daerah yang dikuasai VOC.[1]
Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama. Pada tahun 1800 VOC
menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu
lenyap dan tenggelam compendium itu. Lahirlah politik hukum baru, yang
didasarkan atas teori resepsi atau teori konflik Snouck Hurgronje dan van
Vollenhoven. Sejak itu secara sistematik, dengan senjaga hukum Islam
dipencilkan. Sebagai gantinya digunakan dan ditampilkan hukum adat. Pemerintah
Hindia Belanda mencoba melaksanakan hanya dua sistem hukum yang berlaku, yaitu
hukum adat untuk golongan Bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa. Upaya
paksaan untuk melenyapkan peran hukum Islam, terakhir ditetapkan dalam
Staatsblad 1937 Nomor 116.
B.
Rumusan Masala
- Bagaimanakah Perkembangan Hukum
Islam dalam sistem hukum yang pernah ada di Indonesia?
- Bagaimakah kedudukan Hukum
Islam dalam Sistem Hukum Nasional?
C. Tujuan
Penulisan
1. Bagaimanakah Perkembangan Hukum
Islam dalam sistem hukum yang pernah ada di Indonesia?
- Bagaimakah kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah,
fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan
terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur Barat. Dalam
penjelasan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi hukum
Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim
dalam segala aspeknya.
Dari definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian
syariah. Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan “koleksi
daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”.[2]
Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna
fiqh. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu
diketahui lebih dahulu arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang
sempurna tentang hukum. Namun, untuk mendekatkan kepada pengertian yang mudah
dipahami, meski masih mengandung kelemahan, definisi yang diambil oleh Muhammad
Muslehuddin dari Oxford English Dictionary perlu diungkapkan.
Menurutnya, hukum adalah “the body of rules, wether proceeding from formal
enactment or from custom, which a particular state or community recognizes as
binding on its members or subjects”. Sekumpulan aturan, baik yang berasal
dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu
sebagai mengikat bagi anggotanya).
Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti:
“Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah
laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
umat yang beragama Islam”.[3]
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum
Islam mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqh, karena arti syarak dan fiqh
terkandung di dalamnya.
B. Hukum Nasional
Hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia,
setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi
warga negara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang
terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda,
ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial
dahulu, bukan pekerjaan mudah. Pembangunan hukum nasional akan berlaku bagi
semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya harus dilakukan dengan
hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk oleh warga negara Republik
Indonesia ini ada agama yang tidak dapat diceraipisahkan dari hukum. Agama
Islam, misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa Islam adalah
agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya.
Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan memayungi seluruh
bangsa dan negara dalam segala aspek kehidupannya, maka menurut Menteri
Kehakiman Ismail Saleh (1989) dalam merencanakan pembangunan hukum nasional,
kita wajib menggunakan wawasan nasional yang merupakan tritunggal yang tidak
dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu: wawasan kebangsaan, wawasan
nusantara dan wawasan Bhineka Tunggal Ika. Dipandang dari wawasan kebangsaan
sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan
bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan ini, menurut Menteri Kehakiman, bukanlah
wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka memperhatikan kepentingan
generasi yang akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern.[4]
Karena yang dianut dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan
nusantara yang menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di
bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti seluruh golongan
masyarakat akan diatur oleh satu sistem hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan
tetapi, demi keadilan, kata Menteri Kehakiman, hukum nasional yang akan
diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu, harus juga memperhatikan perbedaan
latar belakang sosial budaya dan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, di samping kedua
wawasan tersebut, pembangunan hukum nasional harus mempergunakan wawasan
bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan tersebut, unifikasi hukum
yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya aspirasi,
nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat ke dalam sistem hukum nasional.
Dengan wawasan Bhinneka Tunggal Ika ini, keragaman suku bangsa, budaya dan
agama sebagai aset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu saja,
tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan mempergunakan ketiga wawasan itu, secara serentak dan
terpadu berbagai asas dan kaidah hukum Islam, juga hukum Adat dan hukum eks
Barat akan menjadi integral hukum nasional, baik hukum nasional yang tertulis
maupun hukum nasional yang tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Mengenai
kedudukan hukum Islam, yang telah disinggung di atas, Menteri Kehakiman
menyatakan antara lain: …”tidak dapat dipungkiri, sebagian besar rakyat
Indonesia adalah pemeluk agama Islam”. Agama
Islam, kata
Menteri Kehakiman, “mempunyai hukum Islam yang secara substansi terdiri atas
dua bidang yaitu :
a.
bidang ibadah dan
b.
bidang
mu’amalah.
Pengaturan bidang ibadah bersifat rinci, pengaturan mengenai
mu’amalah atau mengenai segala aspek kehidupan masyarakat tidak bersifat
rinci,yang ditemukan dalam bidang terakhir ini hanya prinsip-prinsipnya saja.
Pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah itu: diserahkan
sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan yakni para ulil
amri. Karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk dan membina
ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka
jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah transformasi
norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang menurut Menteri
Kehakiman, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan relevan
dengan kebutuhan hukum khususnya umat Islam”. Menurut Menteri Kehakiman, cukup
banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat
dipergunakan dalam menyusun hukum nasional.
C. Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional
Hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling
tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen.
1.
UU No. I tahun
1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.
Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam
Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2.
Dalam UU No.2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa dalam rangka
pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan,
sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3.
UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini membuktikan bahwa Peradilan
Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia.
Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.
4.
Kompilasi Hukum
Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang-undang, melainkan Instruksi Presiden
Nomor I Tahun 1991. Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan
perkara, terutama di Peradilan Agama.
5.
PP No.28 tahun
1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping UU No.5 tahun 1960 sebagai
pengaturan pokok masalah pertanahan di Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah
dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No. Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksana
Petunjuk Pengisian nomor pada formulir Perwakafan Tanah Milik.[5]
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas
penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam
masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis
dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan
pengembangannya.
Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam
hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan
keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang,
menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik
tertulis maupun yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan
hukum dan praktik hukum.
Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori
yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia,
yaitu:
1.
Ada, dalam arti
sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia;
2.
Ada, dalam arti
kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status
sebagai hukum nasional;
3.
Ada, dalam arti
hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional di Indonesia;
4.
Ada, dalam arti
sebagai bahan utama dan unsur utama.
Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum
nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga
mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan
pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang
belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan
kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan
pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum,
selalu sama-sama menuntut ketaatan.
D. Hukum Islam di Era Reformasi
Di era reformasi lahir beberapa perundang-undangan yang dapat
memperkokoh hukum Islam, di antaranya:
1.
Undang-undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 53 tambahan lembar negara Republik
Indonesia Nomor 3832).
Indonesia termasuk negara yang paling banyak jamaah hajinya. Sebab
kuota yang ditentukan oleh Arab Saudi adalah 1 persen dari total jumlah
penduduk suatu negara. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta, maka kuota haji
sekitar 250 ribu jiwa.
Agar penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada
kesulitan, baik di dalam negeri maupun ketika di luar negeri, maka diperlukan
manajemen yang baik. Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri Indonesia,
yaitu lebih dari 10.000 mil, melibatkan banyak orang dan departemen,
dilaksanakan serentak dengan jutaan manusia dari seluruh dunia dalam satu
tempat dan waktu yang sama. Untuk itu, pemerintah harus terlibat langsung dalam
penyelenggaraannya, sebab menyangkut nama baik negara Indonesia.
Untuk mendukung upaya penyelenggaraan ibadah haji yang efektif,
efisien dan terlaksana dengan sukses, maka pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kemudian
ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 224 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Sebelum itu, pada masa penjajahan
Belanda pernah berlaku perundang-undangan penyelenggaraan haji, yaitu Ordonansi
Haji (Pelgrims Ordonantie Staatsblad) tahun 1922 Nomor 698 termasuk perubahan
dan tambahannya serta Pelgrims Verodening tahun 1938.[6]
Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri dari 15 Bab dan
30 Pasal. Secara global isinya sebagai berikut:
1)
Bab I Ketentuan
Umum (Pasal 1 – 3),
2)
Bab II Asas dan
Tujuan (Pasal 4 – 5),
3)
Bab III
Pengorganisasian (Pasal 6 – 8),
4)
Bab IV Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Pasal 9 – 11),
5)
Bab V
Pendaftaran (Pasal 12 – 14),
6)
Bab VI
Pembinaan (Pasal 15), Bab VII Kesehatan (Pasal 16),
7)
Bab VIII
Keimigrasian (Pasal 17),
8)
Bab IX
Transportasi (Pasal 18-20),
9)
Bab X Barang
Bawaan (Pasal 21), Bab XI Akomodasi (Pasal 22),
10)
Bab XII
Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (Pasal 23 – 24),
11)
Bab XIII
Penyelenggaraan Ibadah Umrah (Pasal 25 – 26),
12)
Bab XIV
Ketentuan Pidana (Pasal 27 – 28),
13)
Bab XV
Ketentuan Peralihan (Pasal 29), dan
14) Bab XVI Ketentuan Penutup (Pasal 30).
2.
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3885).
Negara menjamin warganya melaksanakan ajaran agamanya, melindungi
fakir miskin dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29 dan Pasal 34 UUD
1945, maka pemerintah perlu membuat perangkat yuridis yang akan mendukung upaya
tersebut. Kemudian lahirlah
UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk
melaksanakan UU tersebut muncul Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang
Badan Amil Zakat Nasional, yang di dalamnya mencantumkan perlunya tiga komponen
untuk melaksanakan pengelolaan zakat, yaitu Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan
dan Komisi Pengawas. Sebelum berlakunya UU di atas, sejak masa penjajahan
Belanda sudah ada perundang-undangan yang berkaitan dengan zakat, yaitu Bijblad
Nomor 2 tahun 1893 tanggal 4 Agustus 1893 dan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905.[7]
Dalam Peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1422 H, Presiden Republik
Indonesia Megawati Soekarnoputri telah mensosialisasikan Peraturan Pemerintah
tentang kekeringan 2,5% pajak bagi wajib pajak yang telah membayar zakat
melalui Rekening Bank yang ditunjuk oleh Badan Amil Zakat Nasional. Bahkan hal
tersebut sudah dilaksanakan di Dirjen Pajak.
UU Pengelolaan Zakat terdiri dari 10 Bab dan 25 pasal. Secara
global isinya adalah sebagai berikut:
1)
Bab I Ketentuan
Umum (Pasal 1 – 3),
2)
Bab II
Asas-asas dan Tujuan (Pasal 4 – 5),
3)
Bab III Organisasi
Pengelolaan Zakat (Pasal 6 – 10),
4)
Bab IV
Pengumpulan Zakat (Pasal 11 – 15),
5)
Bab V -
Pendayagunaan Zakat (Pasal 16 – 17),
6)
Bab VI
Pengawasan (Pasal VII Sanksi (Pasal 21),
7)
Bab VIII
Ketentuan-ketentuan Lain (Pasal 22 – 23),
8)
Bab IX
Ketentuan Peralihan (Pasal 24),
9)
Bab X (Pasal
25).
3.
Undang-Undang
Wakaf
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan
diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159).
Sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa Peraturan
Perundang-undangan tentang wakaf, antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1997 itu hanya mengatur tentang wakaf sosial (wakaf umum) di atas
tanah milik seseorang atau badan hukum. Tanah yang diwakafkan dalam Peraturan
Pemerintah itu dibatasi hanya tanah milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah
lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak diatur.
Di samping itu benda-benda lain seperti uang, saham dan lain-lain juga belum
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, pengembangan wakaf di
Indonesia cukup tersendat-sendat.
Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan
tentang wakaf ini terdapat beberapa hal baru dan penting. Beberapa di antaranya
adalah mengenai masalah nazhir, harta benda yang diwakafkan (mauquf bih),
dan peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk
Badan Wakaf Indonesia. Berkenaan dengan masalah nazhir, karena dalam
undang-undang ini yang dikelola tidak hanya benda tidak bergerak yang selama
ini sudah lazim dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga benda bergerak seperti
uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual,
hak sewa dan lain-lain, maka nazhirnya pun dituntut mampu untuk mengelola
benda-benda tersebut.
Dalam undang-undang ini harta benda wakaf tidak dibatasi pada benda
tidak bergerak saja tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak
lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Bahkan dalam undang-undang ini, wakaf uang diatur dalam bagian
tersendiri. Dalam Pasal 28 UU ini disebutkan bahwa wewenang:
1.
Melakukan
pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
2.
Melakukan
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
3.
Memberikan
persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf;
4.
Memberhentikan
dan mengganti nazhir;
5.
Memberikan
persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
6.
Memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang
perwakafan.
Dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain
yang dianggap perlu.
Dilihat dari tugas dan wewenang BWI dalam UU ini nampak bahwa BWI
mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia sehingga
nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf. Untuk itu
orang-orang yang berada di BWI nantinya hendaknya memang orang-orang yang
berkompeten di bidangnya masing-masing sesuai dengan yang dibutuhkan oleh badan
tersebut. Satu hal yang penting dalam UU ini disebutkan bahwa peruntukan benda
wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial tetapi juga
diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu memungkinkan pengelolaan harta benda
wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang
pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.[8]
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf terdiri dari XI Bab
dan 71 pasal :
1)
Bab I Ketentuan
Umum (1 pasal),
2)
Bab II
Dasar-dasar Wakaf (30 pasal),
3)
Bab III
Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf (8 pasal),
4)
Bab IV
Perubahan Status Harta Benda Wakaf (2 pasal),
5)
Bab V
Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf (5 pasal),
6)
Bab VI Badan
Wakaf Indonesia (15 pasal),
7)
Bab VII
Penyelesaian Sengketa (1 pasal),
8)
Bab VIII
Pembinaan dan Pengawasan (4 pasal),
9)
Bab IX
Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif (2 pasal),
10)
Bab X Ketentuan
Peralihan (2 pasal),
11)
Bab XI Penutup
(1 pasal).
4.
Perbankan
Syari’ah
Walaupun baru dalam Draf RUU Perbankan Syariah, tetapi di dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menguatkan kedudukan hukum
Islam seperti pada pasal 1, 6, 7, 8, 11 dan 13. pasal-pasal tersebut
menjelaskan tentang dual system perbankan (konvensional dan syariah).
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pada tanggal 28 Februari 2006, UU No.
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diamandemen melalui UU No. 3 tahun
2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut dilakukan karena UU No. 7
tahun 1989 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. Sesuai amanat konstitusi Pasal 24
ayat (2), bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang
berada di Mahkamah Agung bersama peradilan lainnya di lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Begitu juga ketentuanNPasal
10 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa badan
peradilan yang berada di Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Oleh karena itu berlaku kebijakan satu atap. Sejak tahun
2004, Peradilan Agama berpindah induk dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Wahyu Widiana, yang tadinya bertugas sebagai direktur peradilan Islam di
departemen Agama ditarik ke Mahkamah Agung dan menduduki Dirjen Peradilan
Agama.
UU No. 4 tahun 2004 secara tegas telah mengatur pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke
Mahkamah Agung. Dengan demikian organisasi, administrasi, finansial badan
peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya berada di bawah
Departemen Agama berdasarkan UU No. 7 tahun 1989 disesuaikan dengan UU No. 3
tahun 2006.
UU No. 4 tahun 2004 menegaskan adanya pengadilan khusus yang
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh
karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
diatur pula dalam UU No. 3 tahun 2006, yaitu Peradilan Syari’ah Islam di
Nangroe Aceh Darussalam.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semula bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a.
Perkawinan,
b.
Kewarisan,
wasiat dan hibah,
c.
Waqaf dan
shadaqah.
Berdasarkan UU No. 3 tahun 2006 kewenangannya diperluas dalam
bidang ekonomi syari’ah meliputi: Bank Syari’ah, Asuaransi, Asuransi Syari’ah,
Reasuransi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah, Sekuritas
Syari’ah, Pengadilan Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syari’ah,
Bisnis Syari’ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah.
Dalam beberapa tahun belakangan ini perkembangan bidang-bidang
ekonomi syari’ah memang pesat. Ini yang akan menjadi problem ke depan.
Transaksi bisnis syari’ah bukan saja dilakukan oleh orang yang beragama Islam,
tetapi juga sangat mungkin antara orang Islam dan bukan Islam. Problemnya,
apakah Peradilan Agama berwenang menangani sengketa Syari’ah antara orang Islam
dengan yang bukan Islam. Problem semacam ini juga ditemukan dalam waris beda
agama.
Oleh karena itu dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006,
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam
adalah termasuk orang atau badan hukum uyang dengan sendirinya menundukan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 49.
Dalam UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku azaz Choise of law
(pilihan hukum), yakni dalam bidang kewarisan, para pihak yang beragama Is-lam
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini dalam
UU No. 3 tahun 2006 tidak berlaku lagi. Sehingga orang Islam yang
berperkara sesama orang Islam dalam bidang kewarisan menjadi wewenang Peradilan
Agama.
Kewenangan lain yang diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, bahwa
Peradilan Agama berwenang memeriksa dan memutus sengketa milik atau keperdataan
lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur Pasal 49, apabila subjek
sengketa orang-orang yang beragama Islam. Hal ini untuk menghindari upaya
memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya
sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang
merasa dirugikan dengan adanya gugatan ke Pengadilan Agama. Sebaliknya apabila
subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan
menjadi subjek bersengketa di Peradilan Agama, sengketa di Pengadilan Agama
ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan yang di
lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang
berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan
gugatan di peradilan negeri terhadap objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam
hal objek sengketa yang diajukan keberatannya, Peradilan Agama tidak perlu
menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Tambahan lain tentang kewenangan Peradilan Agama adalah bahwa
Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah. Hal ini diatur dalam UU No. 3 tahun 2006, karena
selama ini Pengadilan Agama memberikan penetapan (Itsbat) terhadap
kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki
bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama
mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1
(satu) Syawal. Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan atau nasehat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
Perkembangan kewenangan tersebut terkait erat dengan kesiapan
aparat, termasuk hakim dan panitera. Pemahaman hakim tentang ekonomi syari’ah
mutlak diperlukan. Oleh karena hadirnya UU No. 3 tahun 2006 diharapkan dapat
memberikan inspirasi para penegak hukum di lingkungan Peradilan Agama untuk
lebih meningkatkan kinerja dan kualitas sumber dayanya dalam rangka memberikan
pelayanan publik di bidang hukum secara optimal.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah eksistensi Peradilan Agama
yang telah mendapat pengakuan secara konstitusional . Dengan masuknya Peradilan
Agama ke dalam UUD 1945, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran
peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
E. Kendala dan Problematika Hukum Islam di Indonesia
Pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional
yang menjadi kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum secara
menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, perlu
ditegaskan bahwa penyusunan program legislatif nasional, termasuk upaya
pergantian peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD
1945, merupakan upaya cerdas dalam proses perwujudan hukum nasional yang
dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan bangsa Indonesia.
Pemikiran akan terjadi perubahan hukum nasional itu, sebenarnya
suatu manifestasi dari kehendak melepaskan diri dari kehidupan yang tidak
demokratis, fasistis dan represif. Pikiran itu merupakan pergumulan dialektis
dari kekuatan yang tidak puas dengan sistem hukum warisan kolonial yang tidak
sejalan dengan nilai-nilai sosial kultural Indonesia. Konsep ini terukir dalam
sejarah dan nilai-nilai perjuangan bangsa yang dikristalisasikan dalam
konsensus Piagam Jakarta, sebagai titik kulminasi yang menjiwai dan mencetuskan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam
sudah mempunyai akar historis yang sangat jauh ke jiwa bangsa Indonesia.
Hukum Islam juga memiliki beberapa kendala dan problema, utamanya
menyangkut integritasnya ke dalam hukum nasional yaitu:[9]
1.
Kemajemukan
bangsa. Patut diingat bahwa negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas,
masing-masing memiliki kondisi sosial dan kultural sendiri-sendiri sehingga
tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain.
2.
Metode
pendidikan hukum. Selama ini, pelajaran ilmu hukum yang diajarkan kepada
mahasiswa adalah trikotomi antara hukum Barat, hukum Islam, dan hukum adat. Berhubungan
dengan masyarakat Indonesia relatif heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka
semakin berakibat pencarian titik temu di antara elemen hukum-hukum tersebut.
3.
Kurangnya
pengkajian akademik di bidang hukum Islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan sejarah Hukum Islam di Indonesia telah ada lama
semenjak agama Islam datang ke Indonesia. Semenjak itu hukum Islam telah
mengakar dalam masyarakat Indonesia. Datangnya Belanda ke Indonesia walau pada
awalnya mengakui keberadaan hukum Islam di masyarakat tetapi perkembangannya terhambat
akibat adanya kepentingan kolonialisasi. Upaya-upaya untuk mengembalikan
kedudukan hukum Islam-pun terus dilakukan sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Sistem hukum nasional bersandarkan kepada
Pancasila dan UUD 1945,Menurut Pancasila dengan berpangkal kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa mennyiratkan bahwa ada kewajiban masayrakat Indonesia untuk
menjalankan perintah Tuhan yang menurut agama Islam menjalankan syariat Islam.
Dengan demikian hukum Islam mempunyai kedudukan dalam sistem hukum nasional dan
dapat turut andil dalam pembangunan hukum nasional
Masih
banyak peluang hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Saat
ini telah nampak adanya fenomena perkembangan yang positif dalam penerimaan
masyarakat, elit penguasa, dan legislatif terhadap kehendak legislasi hukum
Islam.
B. SARAN
Dalam rangka dilakukannya upaya pembangunan hukum nasional alangkah
baiknya memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum Islam karena hukum
Islam ini telah mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat
dilakukan dengan kajian terhadap hukum Islam secara mendalam dengan
memperhatikan wawasan kebangsaan. Lembaga Legislasi dalam pembentukan
hukum nasional juga harus selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pengkaji
hukum Islam yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan
Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004
Farida Prihantini, dkk, Hukum Islam
Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta: Papan Sinar
Sinanti & FHUI, 2005
M. Daud Ali, dalam Pengembangan
Hukum Material Peradilan Agama, lihat Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum
Islam Nomor 17 Tahun V (Nov – Des 1994), Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Said Agil Husin al-Munawar, Hukum
Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario,
Jakarta: Bina Aksara, 1985 Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan
Pengantar Studi Hukum Islam dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya
Mediapratama, 2001
Supomo dan Djoko Sutowo, Sejarah
Politik Hukum Adat 1609 – 1848, Jakarta: Djambatan 1955
[1]
Supomo dan Djoko Sutowo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609 – 1848,
Jakarta: Djambatan 1955, hlm. 26
[2]
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1993, hlm. 44
[3]
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 14.
[4]
Dikutip oleh M. Daud Ali, dalam Pengembangan Hukum Material Peradilan Agama,
lihat Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov
– Des 1994), Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1994, hlm. 34
[5] M.
Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan Pemecahannya,
Fakultas Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005. hlm. 275
[6]
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dan
Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Mediapratama, 2001, hlm. 187
[7]
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: STIH Iblam, 2004, hlm.
41
[8]
Farida Prihantini, dkk, Hukum Islam Zakat dan Wakaf Teori dan Prakteknya di
Indonesia, Jakarta: Papan Sinar Sinanti & FHUI, 2005, hlm. 135
[9]
Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2004, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar