SUNNAH DAN BID’AH
1. Pengertian Sunnah & Bid’ah.
A. Pengertian Sunnah.
Dari segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law
ghaira mardhiyah”, yaitu jalan atau cara walaupun tidak diridhoi. Menurut pendapat lain, Sunnah adalah
“at-thariqah mahmudah kaanat aw mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui baik
terpuji atau tercela. Seperti sabda
Nabi S.A.W yang bermaksud, “Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah
(perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab (berupa biawak)
sungguh kamu memasuki juga.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Dari hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata
Sunnah sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang
diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib yang bermaksud, “Segala sesuatu yang
dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran,
sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul
atau sesudahnya. [1]
Pada pendapat Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani
(471-561H/1077-1166M) menjelaskan bahwa,“As-Sunnah adalah apa yang telah
diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta perilaku
beliau). Dengan demikian, mereka yang
mengamalkan ajaran Nabi SAW dan sahabat R.Anhum itulah yang disebut Ahlussunnah
wa al-Jama’ah. Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa
dikatakan pengikut ASWAJA.
Menurut KH. M.Hasyim Asy’ari, Sunnah adalah, “Nama
bagi jalan dan perilaku yang diridhoi dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah
SAW atau orang-orang yang dapat menjadi teladan beragama seperti para sahabat
R.Anhum Ajma’in, berdasarkan sabda Nabi SAW “ Ikutilah sunnahku dan sunnah
Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku”.
Sedangkan menurut para ulama’ Ushul Fiqh, kata Sunnah
berarti apa-apa yang dilakukan, dikatakan atau ditetapkan oleh Nabi SAW yang
dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum syar’i.
Dari sudut terminologi, para ahli hadits mengungkapkan
Sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau dan sifat ini baik berupa
sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun
sesudahnya. Jika kita perhatikan, pada
dasarnya Sunnah sama dengan hadits. Akan tetapi ia dapat dibedakan dalam
pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa Sunnah berarti
model kehidupan Nabi SAW sedangkan hadits adalah periwayatan dari model kehidupan
Nabi SAW tersebut.
B. Pengertian Bid’ah
Dari segi bahasa, Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan
tanpa ada contoh sebelumnya. Seorang ahli bah asa
terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an,
menuliskan sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru
tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.”
Definisi yang serupa juga dikemukakan oleh al-Imam
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam
madzhab as-Syafi’i. Beliau berkata seperti berikut: “Bid’ah adalah mengerjakan
sesuatu yang baru yang belum ada pasa masa Rasulullah SAW.”
Bahkan, menurut al-Imam Muhammad bin Ismail
al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi,
mendefinisikan bid’ah hampir sama dengan definisi di atas. Dalam kitabnya Subul
al-Salam Syarh Bulugh al-Maram yang menjadi rujukan kaum Wahabi Indonesia sejak
masa lalu. Beliau mengatakan, “Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang
dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui
Al-Quran dan Sunnah.”
Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa
mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak
Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa
bahan, tanpa masa dan tanpa tempat .Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku
bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang
merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:,
yang bermaksud : “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga
digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah
Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian
al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku
untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9, yang berarti :
“Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului
oleh rasul sebelumku” (arti penggunaan dalam makna Maf’ul). Menurut pendapat
lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang
yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (arti penggunaan dalam
makna Fa’il).
Selanjutnya, Bid’ah menurut istilah adalah sesuatu
yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an
maupun dalam hadits. Seorang ulama
bahasa yang terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti
tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam
pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang
menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang
mengajak kepada kesesatan.
2. Perbedaan Pendapat Ulama’ Tentang Pembagian Bid’ah
Secara garis besarnya, para ulama telah membagi bid’ah
menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah dholalah (bid’ah
yang tercela). Maka, dalam hal ini, al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Idris as-Syafi’I, seorang mujtahid besar dan pendiri madzhab
Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam,
telah mengatakan seperti berikut:“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam. Pertama,
sesuatu yang baru yang menyalahi al-Quran atau Sunnah atau Ijma’ dan itu
disebut bid’ah dholalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan
yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang
tidak tercela.” Imam Syafi’i rah. juga mengatakan bahwa bid’ah terbagi dua
yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia
terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil
dengan ucapan Sayyidina Umar bin Khattab r.a mengenai shalat tarawih : “inilah
sebaik baik bid’ah”.
Al-Hafizh al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy rah.
mengatakan,
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka
kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi SAW yg berbunyi :
“Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah
dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang
dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al-qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW atau perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh, telah diperjelaskan mengenai hal ini oleh
hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka
baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam,
maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya.” Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai
bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat.
Al-Imam al-Nawawi rah. juga membagi menjadi dua
bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa
al-Lughat, beliau mengatakan bahwa, “Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah
(baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”
Imam Nawawi rah. juga menjelaskan mengenai
pengecualian pada sabda Nabi SAW seperti ini, “Semua yang baru adalah bid’ah
dan semua yang bid’ah adalah sesat.” Yang dimaksudkan dengan sabdaan itu adalah hal
baru yang buruk dan bid’ah yang tercela.
Menurut Imam Nawawi rah, beliau membagi bid’ah tidak
hanya menjadi dua bagian, bahkan beliau juga membagi bid’ah secara menjadi lima
yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandhub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang
makruh dan bid’ah yang haram. Contoh bagi bid’ah yang wajib adalah mencantumkan
dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang
mandhub adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim atau
pesantren. Jika ia dilakukan maka ia mendapat pahala. Jika tidak, maka ia tidak
mendapat dosa. Contoh bid’ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis
makanan manakala bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas kita ketahui.
Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum sebagaimana
ucapan Sayyidina Umar r.a atas jama’ah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah.
Pembagian bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima juga
dilakukan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
”Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan
sunnah sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk
dalam naungan sesuatu yang dianggap baik dalam syara’, maka disebut bid’ah
hasanah. Bila masuk dalam naungan yang dianggap buruk menurut syara’, maka
disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya,
maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima
hukum.”
Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh
al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang
dikagumi oleh kaum Wahabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram,
beliau mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah
sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan
Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1)bid’ah wajib seperti
memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap
kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil. 2)bid’ah mandhubah
seperti membangun madrasah-madrasah. 3)bid’ah mubahah seperti menjamah makanan
yang bermacam-macam dan baju yang indah. 4)bid’ah makruhah 5)bid’ah muharramah
dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah adalah
sesat” adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.”
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, juga seorang
ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, juga membagi bid’ah
menjadi dua bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Nail al-Authar yang
telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh kaum Wahabi. Al-Syaukani
mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang pembagian
bid’ah tanpa memberinya komentar. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath
al-Bari:
“Asal mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa
ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan
sunnah sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam
naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah.
Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk, maka disebut bid’ah
mustaqbahah. Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah.
Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua juga
dilegitimasi dan dibenarkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif
kalangan Salafi(Wahabi). Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata:
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang
membuat-buat cara atau keyakinan baru dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak
akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut padahal ia mengetahui bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah
bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak
diketahui menyalahinya terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i
rah. berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi
Al-Quran,Sunnah dan Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini
disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Hal
ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan Sayyidina Umar r.a,
“Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan Imam as-Syafi’i ini diriwayatkan oleh
Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Imam Syafi’i, Imam
Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah telah membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dholalah bahkan secara lebih terperinci, bid’ah menjadi lima
bagian sesuai dengan komposisi hukum syara’ yang ada.
3. Aktualisasi Bid’ah Hasanah
Bid’ah adalah suatu tema yang selalu hangat
dan actual untuk dibicarakan. Hal ini disamping karena memang banyak terjadi
problem di masyarakat yang berkaitan dengan bid’ah. Juga dari waktu ke waktu
selalu hadir kelompok-kelompok yang menolak berbagai aktivitas dan tradisi
keagamaan masyarakat dengan alas an bid’ah. Oleh karena itu, makalah ini
bermaksud mengupas bid’ah dalam perspektif al-Quran, hadits dan aqwal para
ulama yang otoritatif terutama para ulama menjadi rujukan utama kaum Salafi
atau Wahabi. Sebelum kami memaparkan dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu
disebutkan di sini hadits yang dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya
bid’ah hasanah. Hadits dari sahabat Jabir bin Abdullah r.a berkata, Rasulullah
SAW bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang
baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.”
Menurut
kelompok ini, hadits di atas menegaskan bahwa semua bid’ah itu sesat. Dalam hal
ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama Wahabi kontemporer telah
berkata dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’(kreasi
tentang kesempurnaan syara’ dan bahayanya bid’ah) yang bermaksud:
“Hadits
(semua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum, menyeluruh dan dipagari
dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu
kata-kata ‘kull(seluruh)’. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita
dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian atau menjadi lima bagian? Selamanya
ini tidak akan pernah benar.”
Pernyataan
Al-Utsaimin di atas memberikan definisi bahwa hadits (semua bid’ah adalah
sesat) bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah,
tanpa terkecuali sehingga tidak ada satu bid’ah yang boleh disebut bid’ah
hasanah apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi
pelakunya. Alasan utama al-Utsaimin menolak pembagian bid’ah, adalah adanya
kosa kata ‘kullu’ dalam redaksi hadits di atas yang berarti semua. Penolakan
pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadits di atas masih
perlu dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata ‘kullu’ dalam al-Quran
maupun hadits bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan.
Dalam hal ini, al-Utsaimin sendiri mengatakan lagi:
“Redaksi
seperti (kullu syay’in) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada
makna yang terbatas seperti firman Allah SWT tentang Ratu Saba’ dalam QS:Surah
al-Naml:23: “Ia dikarunia segala sesuatu”. Padahal banyak sekali sesuatu yang
tidak masuk dalam kekuasaannya seperti kerajaan Nabi Sulaiman A.S”
Dalam
pernyataan di atas, al-Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata (kullu) dalam
teks al-Quran dan hadits bermakna general (‘am) tetapi ada yang bermakna
terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak
persoalan baru yang harus diakui. Syaikh al-Utsaimin juga terjebak dalam
pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Kini al-Utsaimin telah menyatakan
bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bukan bid’ah
yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal ini bid’ah yang belum
tentu, belum tentu ke neraka bahkan hukum bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi
beberapa bagian sesuai dengan hukum tutjuannya. Oleh karena demikian, para ahli
hadits dan ahli fiqh berpandangan bahwa hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah
kata-kata general (‘am) yang maknanya terbatas (khash). Dalam hal ini, Imam
Nawawi menyatakan yang bermaksud:
“Sabda
Nabi SAW (semua bid’ah adalah sesat) ini adalah kata-kata umum yang dibatasi
jangkauannya. Maksud (semua bid’ah itu sesat) adalah sebagian besar bid’ah itu
sesat bukan seluruhnya,”
Oleh
karena hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah redaksi general yang maknanya
terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah. Lebih terperinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai
dengan komposisi hokum Islam yang lima; wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah dan
bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
C. Bid’ah Hasanah pada masa Rasulullah SAW
1. Hadits Sayyidina Bilal r.a yang berbunyi,
“Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi
SAW bertanya kepada Bilal ketika shalat fajr: “Hai Bilal, kebaikan apa yang
paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara
kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan
pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam kecuali
aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.”
Dalam riwayat lain, Nabi SAW berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu
mendahuluiku ke surga?” ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat
sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats kecuali aku berwudhu’
setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”.
Nabi SAW berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.
Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini
memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena
Bilal r.a memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi SAW pun
membenarkannya. Nabi SAW belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat sunat
dua rakaat setiap selesai berwudhu’ atau setiap selesai adzan, akan tetapi
Bilal r.a melakukannya atas ijtihadnya sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa
bertanya kepada Nabi SAW. Ternyata Nabi SAW membenarkannya bahkan memberikan
kabar gembira tentang derajatnya di surga sehingga shalat dua rakaat setiap selesai
wudhu’ menjadi sunnat bagi seluruh ummat Islam.
2. Hadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a yang
bermaksud,
“Sayyidina Ali r.a berkata: “Abu Bakar r.a bila
membaca al-Quran dengan suara lirih. Sedangkan Umar r.a dengan suara yang
keras. Dan Ammar r.a apabila membaca al-Quran, mencampur surah ini dengan surah
itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW. Sehingga Nabu SAW bertanya
kepada Abu Bakar. “Mengapa kamu mebaca dengan suara lirih?” ia menjawab: “Allah
dapat mendengar suaraku walaupun lirih.” Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa
kamu membaca dengan keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan
menghilangkan kantuk.” Lalu Nabi SAW bertanya kepada Ammar, “Mengapa kamu
mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarkanku
mencampurnya dengan sesuatu yang bukan al-Quran?” Nabi menjawab: “Tidak.” Lalu
Nabi bersabda: “Semuanya baik.”
Hadits ini menunjukkan bahwa bolehnya membuat bid’ah
hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri
berdasarkan ijtihad masing-masing sehingga sebagian sahabat melaporkan cara
ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Rasulullah SAW
membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini
kita dapat simpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh
Rasulullah SAW pasti buruk atau keliru.
3. Hadits ‘Amr bin al-‘Ash r.a yang bermaksud.
“ ‘Amr bin al-‘Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan
Dzat al-Salasil berkata: “Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku
mau mandi tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayammum dan menjadi imam shalat
shubuh bersama sahabat-sahabatku. Setelah kami dating kepada Rasulullah SAW,
mereka melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah SAW. Nabi bertanya: “Hai ‘Amr,
mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?”
Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS: Surah al-Nisa’:29).
Maka aku bertayammum dan shalat.” Lalu Rasulullah SAW tersenyum dan tidak
berkata apa-apa.”
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin
al-‘Ash melakukan tayammum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian
setelah Nabi SAW mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya.
Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW itu
pasti tertolak bahkan menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan
syara’ seperti dalam hadits ini.
D. Bid’ah
Hasanah setelah Rasulullah SAW Wafat
1. Penghimpunan al-Quran dalam mushaf
Umar r.a mengusulkan penghimpunan al-Quran dalam satu
mushaf. Abu Bakar r.a mengatakan bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar bahwa hal itu tetap baik walaupun
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, tindakan beliau
itu tergolong dalam bid’ah. Dan para ulama bersepakat bahwa menghimpun al-Quran
dalam satu mushaf hukumnya wajib meskipun termasuk bid’ah, agar al-Quran tetap
terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Quran ini tergolong dalam bid’ah
hasanah yang wajibah.
2. Shalat Tarawih
Di antara perkara bid’ah yang telah ada sejak zaman
Nabi SAW dan para sahabat adalah shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin
diperdebatkan tentang perlaksanaan dan jumlah rakaatnya. Rasulullah tidak
pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya
beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya
secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya.
Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar mengumpulkan
mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka
untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong dalam bid’ah. Tetapi
bid’ah hasanah karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Pada hakekatnya, apa yang beliau melakukan ini termasuk sunnah karena
Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: “Berpeganglah dengan sunnahku dan
sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang memperoleh petunjuk.”
3. Adzan Jum’at
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat sehingga
mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar.
Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di pasar
Madinah agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at sebelum
imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya.
Apa yang beliau lakukan ini termasuk dalam bid’ah tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan
sunnah karena Utsman termasuk dalam Khulafa’ ar-Rasyidin yang sunnahmya harus diikuti
berdasarkan hadits sebelumnya.
4. Shalat
Sunnah sebelum Shalat ‘Id dan sesudahnya
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat sunnah
sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada
masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan
tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk dalam bid’ah
hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin memahami bahwa sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW belum tentu salah atau tercela.
5. Hadits
Talbiyah
Abdullah bin Umar r.anhuma meriwayatkan
bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah
haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ
الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ
لَكَ
Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah
tersebut dengan kalimat:
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar
itu diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Menurut Ibn
Umar, Sayyidina Umar r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah
dalam al-Mushannaf, Sayyidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW
dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ
Dalam
riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih, Ahmad dan Ibn Khuzaimah, sebagian
sahabat menambah bacaan talbiyahnya dengan kalimat:
ذَا الْمَعَارِجِ Ibn Hajar dalam al-Mathalib
al-‘Aliyah meriwayatkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyahnya
menambah kalimat: لَبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّاMenurut Ibn Hajar dalam kitab
Fath al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang beragam dari para sahabat menunjukkan
bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lainnya terhadap
dzikir yang ma’tsur (dating dari Nabi). Karena Nabi SAW sendiri telah mendengar
tambahan para sahabat dalam talbiyah dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh
sahabat melakukan tambahan pula seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud,
Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain. Kebolehan menambah dzikir baru terhadap
dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama bahkan bisa dikatakan
ijma’ ulama.
Pusing aku tuh😭😭
BalasHapusPusing aku tuh 😭😭😭🐷
BalasHapus