Jumat, 15 Desember 2017

SUNNAH DAN BID’AH

SUNNAH DAN BID’AH
1. Pengertian Sunnah & Bid’ah.
A.  Pengertian Sunnah.
Dari segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law ghaira mardhiyah”, yaitu jalan atau cara walaupun tidak diridhoi.  Menurut pendapat lain, Sunnah adalah “at-thariqah mahmudah kaanat aw mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui baik terpuji atau tercela.   Seperti sabda Nabi S.A.W yang bermaksud, “Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dhab (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Dari hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata Sunnah sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib yang bermaksud, “Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. [1]
Pada pendapat Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (471-561H/1077-1166M) menjelaskan bahwa,“As-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta perilaku beliau).  Dengan demikian, mereka yang mengamalkan ajaran Nabi SAW dan sahabat R.Anhum itulah yang disebut Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa dikatakan pengikut ASWAJA.

Menurut KH. M.Hasyim Asy’ari, Sunnah adalah, “Nama bagi jalan dan perilaku yang diridhoi dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang-orang yang dapat menjadi teladan beragama seperti para sahabat R.Anhum Ajma’in, berdasarkan sabda Nabi SAW “ Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin  sesudahku”.
Sedangkan menurut para ulama’ Ushul Fiqh, kata Sunnah berarti apa-apa yang dilakukan, dikatakan atau ditetapkan oleh Nabi SAW yang dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum syar’i.
Dari sudut terminologi, para ahli hadits mengungkapkan Sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.  Jika kita perhatikan, pada dasarnya Sunnah sama dengan hadits. Akan tetapi ia dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa Sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW sedangkan hadits adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.
B.  Pengertian Bid’ah
Dari segi bahasa, Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Seorang ahli bah    asa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.”
Definisi yang serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab as-Syafi’i. Beliau berkata seperti berikut: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pasa masa Rasulullah SAW.”
Bahkan, menurut al-Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, mendefinisikan bid’ah hampir sama dengan definisi di atas. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram yang menjadi rujukan kaum Wahabi Indonesia sejak masa lalu. Beliau mengatakan, “Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah.”
Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat .Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:, yang bermaksud : “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9, yang berarti : “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (arti penggunaan dalam makna Maf’ul). Menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (arti penggunaan dalam makna Fa’il).
Selanjutnya, Bid’ah menurut istilah adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits.  Seorang ulama bahasa yang terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan.
2. Perbedaan Pendapat Ulama’ Tentang Pembagian Bid’ah
Secara garis besarnya, para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah dholalah (bid’ah yang tercela). Maka, dalam hal ini, al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, seorang mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam, telah mengatakan seperti berikut:“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Quran atau Sunnah atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah dholalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” Imam Syafi’i rah. juga mengatakan bahwa bid’ah terbagi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela).  Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan Sayyidina Umar bin Khattab r.a mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”.
Al-Hafizh al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurtubiy rah. mengatakan,
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi SAW yg berbunyi : “Seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW atau perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh, telah diperjelaskan mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya.”  Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat.
Al-Imam al-Nawawi rah. juga membagi menjadi dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, beliau mengatakan bahwa, “Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”
Imam Nawawi rah. juga menjelaskan mengenai pengecualian pada sabda Nabi SAW seperti ini, “Semua yang baru adalah bid’ah dan semua yang bid’ah adalah sesat.”   Yang dimaksudkan dengan sabdaan itu adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela.
Menurut Imam Nawawi rah, beliau membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian, bahkan beliau juga membagi bid’ah secara menjadi lima yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandhub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Contoh bagi bid’ah yang wajib adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandhub adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim atau pesantren. Jika ia dilakukan maka ia mendapat pahala. Jika tidak, maka ia tidak mendapat dosa. Contoh bid’ah yang mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan manakala bid’ah yang makruh dan haram sudah jelas kita ketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum sebagaimana ucapan Sayyidina Umar r.a atas jama’ah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah.
Pembagian bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima juga dilakukan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
”Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik dalam syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1)bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil. 2)bid’ah mandhubah seperti membangun madrasah-madrasah. 3)bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah. 4)bid’ah makruhah 5)bid’ah muharramah dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah adalah sesat” adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.”
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, juga seorang ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, juga membagi bid’ah menjadi dua bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Nail al-Authar yang telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh kaum Wahabi. Al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari:
“Asal mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan sunnah sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk, maka disebut bid’ah mustaqbahah. Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah. Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi(Wahabi). Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata:
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan baru dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i rah. berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi Al-Quran,Sunnah dan Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dholalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Hal ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan Sayyidina Umar r.a, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan Imam as-Syafi’i ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn Taimiyah telah membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah bahkan secara lebih terperinci, bid’ah menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum syara’ yang ada.
3. Aktualisasi Bid’ah Hasanah
Bid’ah adalah suatu tema yang selalu hangat dan actual untuk dibicarakan. Hal ini disamping karena memang banyak terjadi problem di masyarakat yang berkaitan dengan bid’ah. Juga dari waktu ke waktu selalu hadir kelompok-kelompok yang menolak berbagai aktivitas dan tradisi keagamaan masyarakat dengan alas an bid’ah. Oleh karena itu, makalah ini bermaksud mengupas bid’ah dalam perspektif al-Quran, hadits dan aqwal para ulama yang otoritatif terutama para ulama menjadi rujukan utama kaum Salafi atau Wahabi. Sebelum kami memaparkan dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu disebutkan di sini hadits yang dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya bid’ah hasanah. Hadits dari sahabat Jabir bin Abdullah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.”
            Menurut kelompok ini, hadits di atas menegaskan bahwa semua bid’ah itu sesat. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama Wahabi kontemporer telah berkata dalam kitabnya Al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’(kreasi tentang kesempurnaan syara’ dan bahayanya bid’ah) yang bermaksud:
            “Hadits (semua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum, menyeluruh dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata ‘kull(seluruh)’. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”
            Pernyataan Al-Utsaimin di atas memberikan definisi bahwa hadits (semua bid’ah adalah sesat) bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa terkecuali sehingga tidak ada satu bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Alasan utama al-Utsaimin menolak pembagian bid’ah, adalah adanya kosa kata ‘kullu’ dalam redaksi hadits di atas yang berarti semua. Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadits di atas masih perlu dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata ‘kullu’ dalam al-Quran maupun hadits bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan. Dalam hal ini, al-Utsaimin sendiri mengatakan lagi:

            “Redaksi seperti (kullu syay’in) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas seperti firman Allah SWT tentang Ratu Saba’ dalam QS:Surah al-Naml:23: “Ia dikarunia segala sesuatu”. Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya seperti kerajaan Nabi Sulaiman A.S”
            Dalam pernyataan di atas, al-Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata (kullu) dalam teks al-Quran dan hadits bermakna general (‘am) tetapi ada yang bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak persoalan baru yang harus diakui. Syaikh al-Utsaimin juga terjebak dalam pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Kini al-Utsaimin telah menyatakan bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bukan bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun hal ini bid’ah yang belum tentu, belum tentu ke neraka bahkan hukum bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum tutjuannya. Oleh karena demikian, para ahli hadits dan ahli fiqh berpandangan bahwa hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah kata-kata general (‘am) yang maknanya terbatas (khash). Dalam hal ini, Imam Nawawi menyatakan yang bermaksud:

            “Sabda Nabi SAW (semua bid’ah adalah sesat) ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud (semua bid’ah itu sesat) adalah sebagian besar bid’ah itu sesat bukan seluruhnya,”
            Oleh karena hadits (semua bid’ah itu sesat) adalah redaksi general yang maknanya terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Lebih terperinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hokum Islam yang lima; wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.

C.  Bid’ah Hasanah pada masa Rasulullah SAW
1.      Hadits Sayyidina Bilal r.a yang berbunyi,
“Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bertanya kepada Bilal ketika shalat fajr: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, Nabi SAW berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi SAW berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.
Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena Bilal r.a memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi SAW pun membenarkannya. Nabi SAW belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat sunat dua rakaat setiap selesai berwudhu’ atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal r.a melakukannya atas ijtihadnya sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi SAW. Ternyata Nabi SAW membenarkannya bahkan memberikan kabar gembira tentang derajatnya di surga sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu’ menjadi sunnat bagi seluruh ummat Islam.

2.      Hadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a yang bermaksud,
“Sayyidina Ali r.a berkata: “Abu Bakar r.a bila membaca al-Quran dengan suara lirih. Sedangkan Umar r.a dengan suara yang keras. Dan Ammar r.a apabila membaca al-Quran, mencampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW. Sehingga Nabu SAW bertanya kepada Abu Bakar. “Mengapa kamu mebaca dengan suara lirih?” ia menjawab: “Allah dapat mendengar suaraku walaupun lirih.” Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa kamu membaca dengan keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan menghilangkan kantuk.” Lalu Nabi SAW bertanya kepada Ammar, “Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarkanku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan al-Quran?” Nabi menjawab: “Tidak.” Lalu Nabi bersabda: “Semuanya baik.”
Hadits ini menunjukkan bahwa bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihad masing-masing sehingga sebagian sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Rasulullah SAW membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah SAW pasti buruk atau keliru.
3.      Hadits ‘Amr bin al-‘Ash r.a yang bermaksud.
“ ‘Amr bin al-‘Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Salasil berkata: “Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau mandi tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayammum dan menjadi imam shalat shubuh bersama sahabat-sahabatku. Setelah kami dating kepada Rasulullah SAW, mereka melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah SAW. Nabi bertanya: “Hai ‘Amr, mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?” Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS: Surah al-Nisa’:29). Maka aku bertayammum dan shalat.” Lalu Rasulullah SAW tersenyum dan tidak berkata apa-apa.”
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin al-‘Ash melakukan tayammum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi SAW mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW itu pasti tertolak bahkan menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’ seperti dalam hadits ini.
D.  Bid’ah Hasanah setelah Rasulullah SAW Wafat
1. Penghimpunan al-Quran dalam mushaf
Umar r.a mengusulkan penghimpunan al-Quran dalam satu mushaf. Abu Bakar r.a mengatakan bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, tindakan beliau itu tergolong dalam bid’ah. Dan para ulama bersepakat bahwa menghimpun al-Quran dalam satu mushaf hukumnya wajib meskipun termasuk bid’ah, agar al-Quran tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Quran ini tergolong dalam bid’ah hasanah yang wajibah.
2. Shalat Tarawih
Di antara perkara bid’ah yang telah ada sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat adalah shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin diperdebatkan tentang perlaksanaan dan jumlah rakaatnya. Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong dalam bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Pada hakekatnya, apa yang beliau melakukan ini termasuk sunnah karena Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang memperoleh petunjuk.”

3. Adzan Jum’at
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di pasar Madinah agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk dalam bid’ah tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah karena Utsman termasuk dalam Khulafa’ ar-Rasyidin yang sunnahmya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
 4. Shalat Sunnah sebelum Shalat ‘Id dan sesudahnya
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk dalam bid’ah hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW belum tentu salah atau tercela.
 5. Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:
 لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar itu diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayyidina Umar r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayyidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
لَبَّيْكَ مَرْغُوبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ
            Dalam riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih, Ahmad dan Ibn Khuzaimah, sebagian sahabat menambah bacaan talbiyahnya dengan kalimat:
ذَا الْمَعَارِجِ Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah meriwayatkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyahnya menambah kalimat: لَبَّيْكَ حَقًّا حَقًّا تَعَبُّدًا وَرِقًّاMenurut Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang beragam dari para sahabat menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lainnya terhadap dzikir yang ma’tsur (dating dari Nabi). Karena Nabi SAW sendiri telah mendengar tambahan para sahabat dalam talbiyah dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan tambahan pula seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain. Kebolehan menambah dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama bahkan bisa dikatakan ijma’ ulama.



[1] Mafhuum Ahlis, Sunnah, Arab, 2001, Hlm. 23

2 komentar: