MANAJEMEN
MUTU PENDIDIKAN
1. BENCHMARKING,
TUJUAN, MANFAAT DAN URAIKAN PROSES BENCHMARKING YANG SESUAI DENGAN
STANDAR. CONTOH INPLEMENTASI BENCMARKING
DISEKOLAH.
A. Definisi
Benchmarking
Benchmarking
adalah pendekatan yang secara terus menerus mengukur dan membandingkan produk
barang dan jasa, dan proses-proses dan praktik-praktiknya terhadap standar
ketat yang ditetapkan oleh para pesaing atau mereka yang dianggap unggul dalam
bidang tersebut. Dengan melakukan atau melalui benchmarking, suatu
organisasi dapat mengetahui telah seberapa jauh mereka dibandingkan dengan yang
terbaik dari sejenisnya.
Benchmarking
adalah suatu kegiatan untuk menetapkan standard dan target yang akan dicapai
dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapt diaplikasikan untuk
individu, kelompok, organisasi ataupun lembaga. Ada sebagian orang menjelaskan benchmarking
sebagai uji standar mutu. Maksudnya adalah menguji atau membandingkan
standar mutu yang telah ditetapkan terhadap standar mutu pihak lain, sehingga
juga muncul istilah rujuk mutu.
Secara umum benchmarking
digunakan untuk mengatur dan meningkatkan kualitas pendidikan dan standar
akademik. Benchmarking dapat merupakan perbandingan antara proses dan
sistem yang dirancang tersebut dengan fungsi pendidikan tinggi yang harus
dilaksanakan oleh semua perguruan tinggi. Dalam banyak cara dan bentuk, bahkan
mungkin tanpa disadarinya, banyak lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi
telah senantiasa bergelut dengan benchmarking. Mereka senantiasa telah
membandingkan diri mereka dengan kolega dan perguruantinggi lain, disertai
pengharapan peningkatan pada jumlah mahasiswa yang diterima, dana yang
diterima, nilai akreditasi, dan prestise.
Perguruan
tinggi sebenarnya telah lama memiliki tradisi knowledge-sharing (berbai
pengetahuan) yang direalisasikan melalui pertemuan-pertemuan ilmiah, seminar,
publikasi, mailing-list, dan kegiatan bersama lainnya. Benchmarking sebenarnya
bukanlah barang baru, mungkin istilahnya saja yang baru muncul belakangan ini.
Benchmarking bukanlah
meng-copy atau menjiplak. Ini adalah proses mempelajari, mengamati orang
lain atau organisasi lain dan mengadaptasi praktik-praktik baik mereka untuk
dapat diterapkan dalam organisasi sendiri. Lebih dari pada sekedar penetapan
tujuan, benchmarking dipergunakan untuk memahami proses yang terbaik
tersebut.
Pertama-tama benchmarking
harus melibatkan penelitian dan pemahaman tentang prosedur kerja internal
sendiri, dan kemudian mencari “praktik terbaik” pada organisasi atu lembaga
lain, kemudian mencocokan dengan yang telah diidentifikasi dan akhirnya
mengadaptasi praktik-praktif itu dalam organisasinya sendiri untuk meningkatkan
kinerjanya. Pada dasarnya benchmarking adalah suatu cara belajar dari
orang lain secara sistematis, dan mengubah apa yang kita kerjakan. [1]
Terdapat
berbagai definisi mengenai benchmarking oleh beberapa para ahli,
diantaranya sebagai berikut:
a. Gregory
H. Watson mendefinisikan patok duga sebagai pencarian secara berkesinambungan
dan penerapan secara nyata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada
kinerja kompetitif yang unggul.
b. Goetsch
dan Davis mendefinisikan patok duga sebagai proses pembandingan dan pengukuran
operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya,
baik dari dalam maupun dari luar industri.
c. Menurut
Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan bahwa benchmarking dapat
dirumuskan sebagai aktivitas imitation with modification, dimana di
dalam istilah modification sudah terkandung makna improvement.[2]
B. Tujuan
Benchmarking
Tujuan dari benchmarking
adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dari sebuah lembaga
pendidikan lain, lalu diadaptasi, diseleksi, dan diperbaiki untuk diterapkan
pada lembaga pendidikan yang melaksanakan benchmarking tersebut.[3]
C. Manfaat
Benchmarking
Melakukan
perbandingan pencapaian kinerja dua organisasi yang berbeda merupakan salah
satu aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan benchmarking. Manfaat dari
melakukan benchmarking sebagai berikut.
1) Memberi
gambaran kepada manajemen mengenai kondisi pasar dan kinerja kometitor
organisasi.
2) Sebagai
dasar manajemen untuk menetapkan target pencapaian kinerja organisasi.
3) Apabila
perbandingan pencapaian kinerja dilakukan terhadap sesama anak perusahaan
sebuah korporasi, hal ini akan memberikan gambaran anak perusahaan mana yang
akan lebih berkembang dibandingkan anak perusahaan lainnya.
Dalam
melakukan benchmarking pencapaian kinerja, sebelumnya perlu dilakukan
diskusi antara manajemen kedua organisasi untuk memastikan bahwa kedua
organisai menggunakan pendekatan pengukuran kineja yang sama. Atau, dilakukan
dalam indikator kinerja yang sama dan absah untuk saling dibandingkan. Tanpa
melakukan diskusi terlebih dahulu, dapat timbul keraguan apakah perbandingan
tersebut sahih. Tanpa memahami maksud dan proses benchmarking, sangat
mungkin terjadi kesalahan dalam menarik kesimpulan hasil benchmarking yang
kemungkinan digunakan sebagai dasar perbaikan strategi bisnis organisasi.[4]
D. Proses
Benchmarking
Proses benchmarking
biasanya terdiri dari enam langkah yaitu:
1) Menentukan
apa yang akan di-benchmark. Hampir segala hal dapat di-benchmark:
suatu proses lama yang memerlukan perbaikan, suatu permasalahan yang memerlukan
solusi, suatu perancangan proses baru, suatu yang upaya-upaya perbaikannya selama
ini belum berhasil. Pada periode tertentu unit penjaminan mutu perlu membentuk
Tim yang terdiri dari tim mutu fakultas/jurusan dan gugus kendali mutu untuk
menyelidiki proses dan permasalahannya serta mendefinisikan proses yang menjadi
target, batas-batasnya, operasi-operasi yang dicakup dan urutannya, dan masukan
(input) serta keluarannya (output),
2) Menentukan
apa yang akan diukur. Ukuran standar yang telah dipilih untuk dilakukan benchmark-nya
harus yang paling kritis namun paling besar kontribusinya terhadap perbaiakan
dan peningkatan mutu. Unit penjaminan mutu dengan tim yang bertugas me-review
elemen-elemen dalam proses dalam suatu bagan alir dan melakukan diskusi tentang
ukuran dan standar yang menjadi fokus. Contoh-contoh ukuran misalnya durasi waktu
penyelesaian, waktu penyelesaian untuk setiap elemen kerja, waktu untuk setiap
titik pengambilan keputusan, variasi-variasi waktu, jumlah aliran balik atau
pengulangan, dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan pada setiap
elemennya. Jika memang ada pihak lain (internal dan eksternal) yang
berkepentingan terhadap proses ini maka tuntutan atau kebutuhan mereka harus
dimasukkan atau diakomodasikan dalam tahap ini. Tim yang bertugas dapat pula
melakukan wawancara dengan pihak yang berkepentingan terhadap proses tersebut
(dapat pula dipandang sebagai pelanggan) tentang tuntutan dan juga kebutuhan
mereka dan menghubungkan atau mengaitkan tuntutan tersebut kepada ukuran dan
standar yang paling kritis yang akan secara signifikan meningkatkan mutu proses
dan hasilnya. Juga dipilih informasi seperti apa yang diperlukan dalam proses benchmarking
ini dari organisasi lain yang menjadi tujuan benchmarking,
3) Menentukan
kepada siapa akan dilakukan benchmarking. Unit penjaminan mutu dan tim
mutu jurusan kemudian menenetukan organisasi yang akan menjadi tujuan benchmarking
ini. Pertimbangan yang perlu adalah tentunya memilih organisasi lain
tersebut yang memang dipandang mempunyai reputasi baik bahkan terbaik dalam
kategori ini,
4) Pengumpulan
Data/Kunjungan Tim yang dibentuk. Unit penjaminan mutu mengumpulkan data
tentang ukuran dan standar yang telah dipilih terhadap organisasi yang akan di-benchmark.
Pencarian informasi ini dapat dimulai dengan yang telah dipublikasikan:
misalkan hasil-hasil studi, survei pasar. Survei pelanggan, jurnal, majalah dan
lain-lain. Barangkali juga ada lembaga yang menyediakan bank data tentang benchmarking
untuk beberapa aspek dan kategori tertentu. Tim dapat juga merancang dan
mengirimkan kuesioner kepada pembaga yang akan di-benchmark, baik itu
merupakan satu-satunya cara mendapatkan data dan informasi atau sebagai
pendahuluan sebelum nantinya dilakukan kunjungan langsung. Pada saat kunjungan
lapangan, tim benchmarking mengamati proses yang menggunakan ukuran dan
standar yang berkaitan dengan data internal dan yang telah diidentifikasi dan
dikumpulkan sebelumnya. Tentu akan lebih baik jika ada beberapa objek atau
proses yang dikunjungi sehingga informasi yang didapat akan lebih lengkap. Asumsi
yang perlu diketahui adalah bahwa organisasi atau lembaga yang dikunjungi
mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan informasi yang sejenis dari
lembaga yang mengunjungi yaitu adanya keingingan timbal balik untuk saling mem-benchmark.
Para pelaku benchmarking telah dapat menyimpulkan bahwa kunjungan
lapangan kepada organisasi dengan praktik terbaik dapat menghasilkan pandangan
dan pemahaman yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan cara-cara pengumpulan
data yang manapun. Kunjungan ini memungkinkan kita untuk secara langsung
berhubungan dengan “pemilik proses” yaitu orang-orang yang benar-benar
menjalankan atau mengelola proses tersebut,
5) Analisis
Data. Unit penjaminan mutu kemudian membandingkan data yang diperoleh dari
proses yang di-benchmark dengan data proses yang dimiliki (internal)
untuk menentukan adanya kesenjangan (gap) di antara mereka. Tentu juga
perlu membandingkan situasi kualitatif misalnya tentang sistem, prosedur,
organisasi, dan sikap. Tim mengidentifikasi mengapa terjadi kesenjangan
(perbedaan) dan apa saja yang dapat dipelajari dari situasi ini. Satu hal yang
sangat penting adalah menghindari sikap penolakan jika memang ada perbedaan
yang nyata maka kenyataan itu harus dapat diterima dan kemudian disadari bahwa
harus ada hal yang diperbaiki,
6) Merumuskan
tujuan dan rencana tindakan. Unit penjaminan mutu menentukan target perbaikan
terhadap proses. Target-target ini harus dicapai dan realistis dalam pengertian
waktu, sumber daya, dan kemampuan yang ada saat ini, juga sebaiknya terukur,
spesifik, dan didukung oleh manajemen orang-orang yang bekerja dalam proses
tersebut kemudian tim dapat diperluas dengan melibatkan multi disiplin yang
akan memecahkan persoalan dan mengembangkan suatu rencana untuk memantapkan
tindakan spesifik yang akan diambil, tahapan-tahapan spesifik yang akan
diambil, tahapan-tahapan waktunya, dan siapa-siapa yang harus bertanggung
jawab.[5]
E.
Contoh
Implementasi Benchmarking di Sekolah
Implementasi benchmarking
disekolah yaitu kerja sama antara lembaga pendidikan dengan melakukan
observasi secara langsung, yaitu dengan mengukur kinerja suatu lembaga
pendidikan dengan lembaga pendidikan yang lebih maju. Kegiatan benchmarking ini
dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan dengan berkunjung ke lembaga lain
untuk proses belajar dan bertukar informasi, yang nantinya hasilnya akan
dijadikan sebagai bekal untuk mengembangkan lembaganya sendiri. Strategi ini
sangat efektif untuk merumuskan tujuan jangka panjang melalui perbaikan kinerja
yang berkelanjutan.
Pelaksanaan
studi benchmarking di lembaga pendidikan dapat menggunakan beberapa
metode diantaranya: wawancara, kuesioner, dan dokumentasi. Sebagaimana beberapa
dari metode tersebut juga digunakan oleh kedua lokasi penelitian dalam proses
pengumpulan data benchmarking, yaitu: tanya jawab (wawancara),
observasi, dan dokumentasi. Tanya jawab meliputi kegiatan bertukar informasi, problem
solving terhadap masalah yang terjadi pada lembaga yang melakukan benchmark,
dan pembahasan tentang isu-isu pendidikan. Observasi dilakukan melalui
pengamatan dalam kegiatan pembelajaran, laboratorium, sarana prasarana,
perpustakaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dokumentasi meliputi: pengambilan
foto, pemberian modul atau file, dan jurnal.[6]
2. LANGKAH-LANGKAH
YANG AKAN DI LAKUKAN KONSULTAN MERANCANG
SEBUAH SEKOLAH YANG BERMUTU, SEHINGGA TERWUJUD SEKOLAH YANG BERKUALITAS
Untuk
mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan
yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen mutu terpadu
di pendidikan (Total Quality Manajemen in Education) merupakan paradigma
baru dalam menjalankan bisnis bidang pendidikan yang berupaya untuk
memaksimalkan daya saing sekolah melalui perbaikan secara berkesinambungan atas
kualitas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan sekolah. Total Quality
Manajement atau lebih dikenal di Indonesia manajemen mutu terpadu adalah
manajemen yang diterapkan dalam dunia manajemen perusahaan (bisnis) yang banyak
dikembangkan para pakar insinyur, tetapi dalam perkembangannya banyak lembaga
pendidikan mengembangkan sendiri konsep manajemen mutu terpadu.
Strategi yang
dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan
adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau
dengan kata lain menjadi industri jasa. Istitusi yang memberikan pelayanan (service)
sesuai dengan keinginan para pelanggan (customer). Oleh karenanya, dalam
memposisikan institusi pendidiakn sebagai industri jasa harus memenuhi standar
mutu. Pengertian ini tidak menekankan suatu komponen dalam sistem pendidikan, tetapi
menyangkut seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan yaitu input, proses, dan
output. Total Quality Management merupakan proses penigkatan mutu secara
utuh, dan bila prosesnya dilakukan secara mandiri maka manajemen mutu terpadu
terdiri dari tiga tahap peningkatan mutu terpadu terdiri dari tiga tahap
pengingkatan mutu secara kontinu (three steps to continous improvement),
yaitu: 1) perhatian penuh kepada pelanggan, baik pelanggan internal maupun
eksternal, 2) pembinaan proses, dan 3) keterlibatan secara total. Manajemen
mutu terpadu merupakan salah satu ikhtiar agar dapat meningkatkan mutu sekolah
dengan melalui perbaikan terus-menerus
berkesinambungan atas kualitas produk, jasa manusia, proses dan lingkungan
organisasi. Dengan demikian, pengelolaan sekolah yang efektif harus melibatkan
semua komponen disekolah untuk bersama-sama mencapai visi sekolah dalam menuju
sekolah yang berprestasi dan dapat memberikan kepuasan pelanggan, dan juga
untuk menjadi sekolah yang berkualitas.[7]
3.
Uraian:
a. Kepala
sekolah yang berkualitas
Kepala sekolah merupakan salah
satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
1990 pasal 12 ayat 1 bahwa: “Kepala Sekolah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga
kependidikan lainnya dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan
prasarana”.
Dengan demikian dalam
mengelola sekolah, kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar. Kepala
sekolah merupakan motor penggerak penentu arah kebijakan menuju keberhasilan
sekolah dan pendidikan secara luas.[8]
Kepala sekolah adalah guru
yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu proses pendidikan/sekolah,
yang disenggarakan dengan adanya proses belajar-mengajar antara murid dan guru.
Tugas utama kepala sekolah sebagai pemimpin adalah mengatur situasi,
mengendalikan kegiatan kelompok, organisasi atau lembaga, dan menjadi juru
bicara kelompok. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terutama untuk
memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah dituntut untuk
berperan ganda.
Maka dari itu, selain menjadi
pemimpin sekolah, kepala sekolah juga dituntut untuk berperan menyakinkan orang
lain tentang perlunya perubahan menuju kondisi yang lebih baik, mengingatkan
terhadap tujuan akhir dari perubahan, membantu kelancaran proses perubahan,
khususnya menyelesaikan masalah dan membina hubungan antara pihak yang terkait,
kepala sekolah juga berperan menghubungakan orang dengan sumber dana yang
diperlukan.
gaya kepemimpinan yang harus
diterapkan kepala sekolah sangat begantung kepada situasi dan kondisi guru yang
dipimpinnya. Jika menghadapi guru yang memiliki kemampuan baik dan motivasi
kerja juga baik, maka gaya kepemimpinan delegatif paling efektif, artinya,
kepala sekolah lebih banyak memberikan dan mendelegasikan tugas dan wewenang
kepada guru. Jika menghadapi guru yang memiliki kemampuan kerja yang baik.
Tetapi motivasi kerjanya kurang, maka gaya kepemimpinan partisipatif paling
efektif. Artinya, kepala sekolah berpartisipasi aktif dalam mendorong guru
untuk menggunakan kemampuannya secara optimal.
Apabila menghadapi guru yang
kurang memiliki kemampuan yang kurang baik, tetapi memiliki motivasi kerja yang
baik, maka gaya kepemimpinan konstruktif paling efektif. Artinya, kepala
sekolah banyak memberikan bimbingan, senigga kemampuan guru secara bertahap
meningkat. Jika menghadapi guru yang memiliki kemampuan yang kurang baik dan
motivasi kerja kurang baik, maka gaya kepemimpinan instruktif paling efektif.
Artinya, kepala sekolah lebih banyak memberi petunjuk yang spesifik dan secara
ketat mengawasi guru dalam mengerjakan tugasnya.[9]
Ciri-ciri kepala sekolah yang
berkualitas dan memiliki kemampuan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen
dengan sangat bagus sebagai berikut.
1. Dalam
perencanaan meliputi: kepala sekolah dapat menetapkan program-program sekolah,
kepala sekolah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan sekolah, kepala sekolah
dapat menyusun program kerja sekolah, dan kepala sekolah dapat merumuskan
langkah-langkah pelaksanaan program.
2. Dalam
pengorganisasian meliputi: kepala sekolah dapat menempatkan guru sesuai dengan
potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam KBM. Kepala sekolah dapat mengukur
penggunaan sarana dan prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan siswa guru dan
personel lain sehingga terjalin kerjasama yang baik, kepala sekolah dapat
memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dan
personel sekolah lainnya, kepala sekolah dapat mengatur kerjasama dengan pihak
atau instansi lain untuk menyukseskan program-program sekolah.
3. Dalam
penggerakan meliputi: kepala sekolah dapat memotivasi guru seihingga guru
merasa mampu dan yakin untuk melaksanakan program-program sekolah, kepala
sekolah dapat memimpin dan mengarahkan guru-guru dengan baik, kepala sekolah
dapat mendorong guru-guru untuk mengembangkan profesionalismee sesuai dengan
bidangnya, kepala sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan bidangnya, kepala
sekolah dapat mendorong guru bekerja dengan tujuan untuk pencapaian prestasi.
4. Dalam
pengendalian meliputi: kepala sekolah dapat mengevaluasi pelaksanaan
program-program sekolah seperti yang telah ditetapkan dalam tahap perencanaan,
kepala sekolah dapat mengevaluasi kinerja guru dan personel sekolah lainnya,
kepala sekolah dapat memberikan penguatan terhadap keberhasilan yang telahd
dicapai oleh guru, kepala sekolah dapat memperbaiki kesalahan/kelemahan yang
telah dibuat oleh guru dan personel lainnya.
Kepala sekolah memiliki peranan yang sangat kuat
dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya
pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah dituntut mempunyai
kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil
inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.[10]
b. Pengawas
yang berkualitas.
Tugas utama
pengawas sekolah adalah melakukan pengawasan terhadap sekolah yang menjadi
tanggung jawabnya. Pengawasan dalam konteks ini meliputi pemantauan, supervisi,
evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Hal
itu ditegaskan dalam peraturan pemerintah Nomoor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 19 ayat (3) yang menetapkan setiap satuan pendidikan
melakukan perencanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran utnuk terlaksananya proses pembelajaran yang
efektif dan efisien. Dilanjutkan dengan pasal 23 yang menegaskan bahwa:
pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3)
meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah
tindak lanjut yang diperlukan.
Bagi
terlaksananya tugas kepengawasan yang profesional, efektif, dan efisien, maka
pengawas pendidikan diharuskan menguasai sejumlah kompetensi. Menurut Mockler
bahwa pengawasan sebagai usaha sistematik menetapkan standar pelaksanaan dengan
tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan
kegiatan nyata dengan standar, menentukan deviasi-deviasi dan mengambil
tindakan koreksi yang menjamin bahwa semua sumber daya yang dimiliki telah
dipergunakan dengan efektif dan efisien.
Merujuk
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, pengawasan merupakan fungsi
manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit
dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang
dikehendaki.[11]
c. Guru
yang berkualitas
Guru adalah
tempat dimana orang-orang menitipkan nasib anaknya dan nasib bangsa ini untuk
lebih cemerlang dan bermarwah dimasa akan datang. Maka menghormati dan
menghargai guru berarti menghargai masa depan bangsanya sendiri, sebab nasib
bangsa terletak ditangan mereka (guru) oleh karena itu guru harus menunaikan
tugasnya dengan sebaik mungkin.
Dalam Islam
sebagaimana disebutkan oleh Al-Ghazali bahwa guru memiliki istilah dengan
berbagai kata seperti al-Muallimin (guru), al-Mudarris (pengajar),
al-Muaddib (pendidik) dan al-Walid (orang tua). Mereka adalahh
orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan
upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[12]
Semua orang
mungkin bisa menjadi guru. Tetapi, menjadi guru yang memiliki keahlian dalam
mendidik perlu pendidikan, pelatihan, dan jam terbang yang memadai. Dalam
konteks tersebut, menjadi guru profesional setidaknya memiliki standar minimal,
yaitu:
a. Memiliki
kemampuan intelektual yang baik,
b. Memiliki
kemampuan memahami visi dan misi pendidikan nasional,
c. Memiliki
keahlian mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa secara efektif,
d. Memahami
konfep perkembangan psikologi anak,
e. Memiliki
kemampuan mengorganisasi proses belajar,
f.
Memiliki
kreativitas dan seni mendidik.
Profesi
guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina,
mengasuh, ataupun mengajar. Ibaratnya seperti sebuah contoh lukisan yang akan
dipelajari oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut bergantung
pada contoh yang diberikan san guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru.
Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki
integritas dan kepribadian yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar karena
tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga menanamkan nilai-nilai dasar
pengembanggan karakter siswa.
Sebagai
salah satu elemen tenaga kependidikan, seorang guru harus mampu melaksanakan
tugasnya secara profesional, dengan selalu berpegang teguh pada etika kerja,
merdeka (bebas dari tekanan pihak luar), produktif, efektif, efisien, dan
inovatif, serta siap melakukan pelayanan prima berdasarkan pada kaidah ilmu
atau teori yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat dan
kode etik yan regulatif.
Selain itu, guru profesional dituntut untuk
memiliki tiga kemampuan. Pertama, kemampuan kognitif, berarti guru harus
menguasai materi, metode, media, dan mampu merencanakan dan mengembangkan
kegiatan pembelajarannya. Kedua kemampuan afektif, berarti guru memiliki akhlak
yang luhur, terjaga perilakunya sehingga ia akan mampu menjadi model yang bisa
diteladani oleh siswanya. Ketiga, kemampuan psikomotorik, berarti guru dituntut
memiliki pengentahuan dan kemampuan dalam mengimplementasikan ilmu yang
dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.[13]
d. Proses
pembelajaran yang berkualitas
Dalam
kegiatan pembelajaran terdapat beberapa komponen yang dapat menunjang satu
dengan yang lainnya, yaitu: komponen tujuan, komponen materi, komponen strategi
belajar mengajar, dan komponen evaluasi. Masing-masing komponen tersebut saling
terjkait dan saling memengaruhi satu sama lain.
Pembelajaran merupakan
akumulasi dari konsep mengajar dan konsep belajar. Penekanannya terletak pada
perpaduan antara keduanya, yakni kepada penumbuhan aktivitas siswa. Konsep
tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem, sehingga dalam sistem belajar
ini terdapat komponen siswa atau peserta didik, tujuan, materi untuk mencapai
tujuan, fasilitas dan prosedur, serta media yang harus dikembangkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Davis bahwa learning system menyangkut
pengorganisasian dari perpaduan antara manusia, pengalaman belajar, fasilitas,
pemeliharaan atau pengontrolan dan prosedur yang mangatur interaksi perilaku
pembelajaran untuk mencapai tujuan. Demikian halnya juga dengan teaching
system, dimana komponen perencanaan mengajar, bahan ajar, tujuan materi dan
metode, serta penilaian dan langkah mengajar akan berhubungan dengan aktivitas
belajar untuk mencapai tujuan. Kenyataan bahwa dalam proses pembelajaran
terjadi pengorganisasian, pengelolaan, dan transformasi informasi yang
dilakukan oleh dan dari guru kepada siswa.
Kegiatan
pembelajaran merupakan upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhaap
kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar
terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa, serta antara siswa dengan
siswa.
Pembelajaran
merupakan usaha untuk memengaruhi siswa agar terjadi perbuatan belajar.
Pembelajaran adalah sebuah upaya membelajarkan siswa melalui penciptaan kondisi
dan lingkungan belajar yang kondusif. Agnew mengungkapkan bahwa belajar adalah
kemampuan untuk mampu mengorganisasi informasi merupakan hal yang mendasar bagi
seorang siswa. Meier mengemukakan bahwa semua pembelajaran manusia pada
hakikatnya mempunyai empat unsur, yakni
persiapan (preparation), penyampaian (presentation), pelatihan (practice),
dan penampilan hasil (performance).
Jadi
pembelajaran merupakan suatu sitem yang terdiri dari berbagai komponen yang
saling berhubungan satu dengan yang lain, komponen tersebut meliputi: tujuan,
materi, metode, dan evaluasi pembelajaran. Keempat komponen pembelaran tersebut
harus diperhatikan oleh guru dalam melakukan kegiatan pembelajran, baik dalam
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), maupun dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas ataupun diluar kelas.[14]
e. Iklim
sekolah yang berkualitas.
Iklim sekolah
yang berkualitas yaitu iklim sekolah yang merujuk pada kualitas dan karakter
kehidupan sekolah yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman, norma, tujuan,
nilai, hubungan antar personal, proses belajar mengajar dan praktik
kepemimpinan serta struktur organisasi yang ada di sekolah. Definisi lain
mengatakan bahwa iklim sekolah mengacu pada “rasa” terhadap sekolah, dan hal
ini bisa bervariasi antar satu sekolah dengan sekolah lainnya. Iklim sekolah
merefleksikan aspek fisik dan psikologis sekolah yang mudah berubah dan
merupakan pra kondisi yang diperlukan untuk terciptanya proses belajar mengajar
yang baik.
Loukas
memaparkan bahwa iklim sekolah dapat dimaknai dalam tiga dimensi; fisik,
sosial, dan akademik. Dimensi fisik antara lain berbicara tentang tampilan gedung
sekolah dan ruang kelas, jumlah rombongan belajar dan rasio guru dengan siswa,
pengaturan ruang kelas, serta ketersediaan sumber daya dan keamanan maupun
kenyamanan. Dimensi sosial terdiri atas kualitas hubungan antar pribadi antara
siswa, guru dan staff, perlakuan adil dan setara dari guru terhadap siswa dan
staff, tingkat kompetisi dan perbandingan sosial antara siswa, dan keterlibatan
warga sekolah dalam pengambilan keputusan. Dimensi ketiga menggambarkan
kualitas pembelajaran, harapan guru pada pencapaian hasil belajar siswa, serta
sejauh mana kontrol/monitoring sekolah terhadap kemajuan belajar siswa yang
juga dikomunikasikan kepada orangtua.
Iklim sekolah
yang positif ditandai secara kuat dengan kesadaran warga sekolah internal untuk
menjadikan sekolah sebagai learning community atau komunitas
pembelajaran. Suasana sekolah yang demikian akan mendorong warga sekolah untuk
mengembangkan proses yang demokratis, terutama dalam hal belajar mengajar dan
berbagi pengetahuan antar satu sama lain. Learning community yang
merupakan adaptasi dari konsep learning organization, diartikan sebagai
keterhubungan antara warga sekolah, dimana mereka terlibat bersama secara
dialogis untuk berbagi pengetahuan, norma, nilai, keterampilan yang bermuara
pada kemajuan bersama. Peran pemimpin sangat esensial dalam terciptanya
komunitas yang pembelajar, terutama jika pemimpin mampu mamakai belajar sebagai
proses dan berfungsi pada perbaikan sekolah beserta warganya.
Berdasarkan
berbagai teori yang telah dikaji, maka dapat disimpulkan bahwa terbentuknya
sekolah sebagai learning community memerlukan dukungan berupa iklim
positif. Dengan iklim sekolah yang positif masing-masing anggota sekolah akan
terdorong berbagi dan bekerjasama. Keadaan seperti itu akan membuat
masing-masing pihak mau belajar, berbagi pengetahuan, menimba pengalaman dengan
satu sama lain. Untuk membuat iklim sekolah yang positif tidak terjadi begitu
saja, diperlukan adanya intervensi sekolah melalui pemberian
pengalaman-pengalaman tertentu kepada warga sekolah, utamanya siswa dan guru.[15]
4.
YANG
BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP MUTU PENDIDIKAN DAN
AYAT-AYAT AL-QUR’AN SEBAGAI LANDASANNYA.
Yang
bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan yaitu, sebagai berikut:
A. Kepala
sekolah
Kepala
sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu proses
pendididikan/sekolah, yang diselenggarakan dengan adanya proses
belajar-mengajar antara murid dan guru. Tugah utama kepala sekolah sebagai
pemimpin adalah mengatur situasi, mengendalikan kegiatan kelompok, organisasi
atau lembaga, dan menjadi juru bicara kelompok. Dalam melaksanakan masyarakat
dan lingkungan sekitar, kepala sekolah dituntut untuk berperan ganda.
Kepala
sekolah merupakan karir tertinggi dari seorang guru. Penunjukkan dan
pengangkatan kepala sekolah harus bahkan wajib memenuhi persyaratan yang sangat
banyak. Persyaratan yang baku tersebut diantaranya pernah menjadi salah satu
pembina, wakil kepala sekolah, menguasai berbagai manajemen sekolah, mampu
memimpin, berwibawa, adil, mampu melaksanakan tugas-tugas dalam kepemimpinan,
mampu mewujudkan visi dan misi sekolah.
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan pada sebuah sekolah, semua peran serta stakeholder
baik pemerintah, masyarakat maupun guru harus bahu membahu. Disamping itu,
peran tenaga kependidikan haruslah menjadi tulang punggung utama. Suatu
institusi pendidikan yang dikatakan bermutu dapat dilihat dari prosentase
kelulusan yang tinggi, banyaknya lulusan yang diterima diperguruan tinggi,
sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif, tenaga pendidik yang berkualitas dan
banyak indikator-indikator lainnya.[16]
Kepala
sekolah adalah seorang pemimpin, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang, sehingga
dia mampu memengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu tujuan. Allah Swt berfirman:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ayat di atas
mempunyai maksud bahwa hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat dan ceritakanlah ini kepada kaummu, Allah Swt akan menjadikan
manusia sebagai khalifah yaitu penghuni dan pembangunannya di muka bumi
ini. Dan manusia sebagiannya menggatikan sebagian yang lain, silih berganti,
abad demi abad, dan generasi demi generasi untuk mengatur bumi.
Para malaikat
menanyakan kepada Allah Swt dengan ilmu yang diperolehnya juga dari Allah
tentang asal ciptaan manusia, bahwa di antara jenis makhluk ini ada orang-orang
yang melakukan persengketaan, suka mengalirkan darah dan juga mereka nantinya
akan memutuskan gukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut
perkara-perkara penganiayaan dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan
yang diharamkan serta dosa-dosa. Para malaikat menanyakan kepada Allah Swt
tetang hal kedepan tersebut dikarenakan malaikat diberikan ilmu sedikit oleh
Allah Swt tentang asal muasal ciptaan manusia tersebut.[17]
B.
Guru
Dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar. Dalam dunia pendidikan, sebutan guru
dikenal sebagai pendidik dalam jabatan. Pendidik jabatan yang dikenal banyak
orang adalah guru, sehingga banyak pihak menidentikkan pendidik dengan ruru.
Sebenarnya banyak spesialisasi pendidik baik dalam arti teoritisi maupun
praktisi yang pendidik tapi buakan guru.[18]
Guru adalah
pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya
menerima dan memikul sebagaian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di
pundak para orang tua. Agama Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu
pengetahuan (guru/ulama), sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai
taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Firman Allah Swt:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya: “Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Arini
T. Soemohadiwidjojo. Panduan Praktis Menyusun KPI. Jakartaa: Penebar
Swadaya. 2015.
Jerry
H. Makawimbang. Kepemimpinan Pendidikan yang Bermutu. Bandung: Alfabeta.
2012.
Laela
Fitriana, “Strategi Benchmarking dalam Meningkatkan Kinerja di Lembaga
Pendidikan Islam”, 2016, hal: 02-03. Diakses pada tanggal 12 Desember 2017, 18-12 WIB.
Lia
Yuliana, “Manajemen Sekolah untuk Mencapai Sekolah Unggul yang Menyenangkan”,
vol.1, No.2, Agustus 2016, hal: 205-207.
Diakses pada tanggal 12 Desember 2017,
19-18 WIB.
Maisyarah,
Nasir Usman, Niswanto, “Evektifitas Pelaksanaan Tugas Pengawasan dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar lingkungan UPTD Suku I
Disdikpora kota Banda Aceh”, April 2017, hal: 155. Diakses pada tanggal 13
Desember 2017, 09-15 WIB.
Mohammad
Kosim, “Guru dalam Perspektif Islam”, vol.03,
No.1, 2008, hal: 46. Diakses pada tanggal 15 Desember 2017, 12-02 WIB.
Novianty
Djafri. Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah. Yogyakarta: Deepublish.
2016.
Prim
Masrokan Mutohar. Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan Daya
Saing Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013.
R.
Wasisto Ruswidiono,“Peningkatan Mutu dan Benchmarking Perguruan Tinggi”,
vol. 1, September 2014, hal: 08-09. Diakses pada tanggal 11 Desember 2017, 19-11 WIB.
Rahmania
Utari, Priadi Surya, Tina Rahmawati, “Pembentukan Iklim Sekolah dalam Perpektif
Learning Commutity”, vol.24,
No.1, Maret 2013, hal: 21-22. Diakses pada tanggal 12 Desember 2017, 20-37 WIB.
Rusman.
Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana. 2017.
Siti
Patimah. Manajemen Kepemimpinan Islam. Bandung: Alfabeta. 2015.
Sudirman
Anwar. Manajemen Of Student Development (Perspektif Al-Qur’an dan
As-Sunnah). Riau: Yayasan Indragiri. 2015.
Suyanto,
Asep Jihad. Menjadi Guru Profesiona.
Jakarta: Esensi Erlangga Group. 2015.
Tjutju
Yuniarsih, Suwanto. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta.
2011.
Zakiah
Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2014.
[1] R. Wasisto
Ruswidiono,“Peningkatan Mutu dan Benchmarking Perguruan Tinggi”, vol. 2,
September 2014, hal: 08-09. Diakses pada tanggal 11 Desember 2017, 19-11 WIB.
[2] Tjutju Yuniarsih dan
Suwanto, “Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian”,
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 48.
[3] Prim Masrokan
Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Penigkatan Mutu dan Daya Saing
Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 237.
[4] Arini T.
Soemohadiwidjojo, “Panduan Praktis Menyusun KPI”, (Jakarta: Penebar
Swadaya, 2015) h. 124-125.
[5] R. Wasisto
Ruswidiono, “Peningkatan Mutu dan Benchmarking Perguruan Tinggi”, vol.1,
September 2014, hal: 08-09. Diakses pada tanggal 11 Desember 2017, 19-11 WIB.
[6] Laela Fitriana, “Strategi
Benchmarking dalam Meningkatkan Kinerja di Lembaga Pendidikan Islam”, 2016,
hal: 02-03. Diakses pada tanggal 12 Desember
2017, 18-12 WIB.
[7]Lia Yuliana,
“Manajemen Sekolah untuk Mencapai Sekolah Unggul yang Menyenangkan”,
vol.1, No.2, Agustus 2016, hal: 205-207.
Diakses pada tanggal 12 Desember 2017,
19-18 WIB.
[8] Novianty Djafri,
“Manajemen Kepemimpinan Kepala Sekolah”, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), h.
03.
[9] Siti Patimah,
“Manajemen Kepemimpinan Islam”, (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 135-138.
[10]Jerry H. Makawimbang,
“ Kepemimpinan Pendidikan yang Bermutu”, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.
93-94.
[11] Maisyarah, Nasir
Usman, Niswanto, “Evektifitas Pelaksanaan Tugas Pengawasan dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar lingkungan UPTD Suku I Disdikpora kota Banda
Aceh”, April 2017, hal: 155. Diakses pada tanggal 13 Desember 2017, 09-15 WIB.
[12] Sudirman Anwar, “Manajemen
Of Student Development (Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah)”, (Riau:
Yayasan Indragiri, 2015) h. 15-18.
[13]Suyanto dan Asep
Jihad, “Menjadi Guru Profesional”, (Jakarta: Esensi Erlangga Group,
2015) h. 05-06.
[14] Rusman, “Belajar
dan Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”, (Jakarta:
Kencana, 2017) h. 01-03.
[15] Rahmania Utari,
Priadi Surya, Tina Rahmawati, “Pembentukan Iklim Sekolah dalam Perpektif Learning
Commutity”, vol.24, No.1, Maret
2013, hal: 21-22. Diakses pada tanggal 12 Desember 2017, 20-37 WIB.
[16] Siti Patimah, “Manajemen
Kepemimpinan Islam”, (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 135.
[17] Ibid,h. 13-14.
[18] Mohammad Kosim, “Guru
dalam Perspektif Islam”, vol.03, No.1,
2008, hal: 46. Diakses pada tanggal 15 Desember
2017, 12-02 WIB.
[19] Zakiah Daradjat, “Ilmu
Pendidikan Islam”, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 39-40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar