Sabtu, 02 Desember 2017

MAKALAH_RIBA_DAN MACAM-MACAM_RIBA

MAKALAH_RIBA_DAN_MACAM-MACAM_RIBA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Adapun kewirausahaan dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah. Sedangkan perdagangan adalah bahagian dari kegiatan kewirausahaan. Bila kita berbicara tentang kewirausahaan menurut pandangan Islam, maka rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah teori-teori yang telah di gambarkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagai norma dan etika dalam berwirausaha khususnya dalam perdagangan.
Islam juga mengajarkan bagaimana manusia itu giat dalam menjalani aktifitas dan semangat bekerja keras untuk mencari nafkah dan menjawab kebutuhan sehari-hari. Allah SWT, menyeru manusia untuk bertebaran di muka bumi untuk menuntut karunia Allah, dalam hal ini maksudnya adalah rezki Allah. Bahkan Rasulullah pun sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk giat dalam bekerja. Tidak sedikit hadits Rasulullah yang menegaskan tentang hal itu.
Untuk selengkapnya, mari kita cermati paparan isi makalah ini. Bagaimana etika dalam berdagang, motif perdagangan, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para pedagang, etios kerja seorang muslim (tentang perintah kerja keras).
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qardh, buyu' dan lain sebagainya.
Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an
Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk mengembalikan kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan banyak dipengaruhi oleh frekuensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda.
Di dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 100, Allah SWT. berfirman :

يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

Artinya :
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT. menghimabu hamba-hambaNya yang mukmin agar berhijrah dan meninggalkan kampung halaman untuk menemukan tempat berlindung dan memperoleh rezeki yang banyak. dengan demikian, mereka akan memperoleh kehidupan yang layak.
Dan di dalam surah Hud ayat 6, Allah SWT. berfirman :

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ 

Artinya :
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allah rezekinya. Dia Mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.** Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Allah SWT. memberitahu bahwa Dia menjamin memberi rezeki bagi semua makhlukNya, baik ia binatang melata, besar maupun kecil, di darat maupun di laut. Dia mengetahui dimana tempat binatang itu berdiam dan dimana ia menyimpan makanannya. semua itu tercatat di dalam sebuah Kitab yang terang dan nyata (yakni Lauh Mahfudz).
Allah SWT. telah menentukan rezeki tiap-tiap umatNya, namun umat itu sendiri harus berusaha dengan segenap daya dan upayanya untuk meraih dan mendapatkan rezeki tersebut. Dengan berwirausaha, menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut sebagai mana dicontohkan oleh baginda Rasulullah dalam hal perdagangan.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).

B. Etos kerja dalam ajaran Islam

Dalam Islam etos kerja kerja lebih dikenal dengan kerja keras, kemandirian (بيده), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti:


1.      Firman Allah SWT :
وقل اعملوا فسيرى الله عملكم...الأيات
Artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)

2.      Sabda Rasulullah SAW :
عمل الرجال بيده
Artinya :“Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri” (HR. Abu Dawud)

3.      Sabda Rasulullah SAW :
اليد العليا خير من يد السفلى
Artinya : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain. “Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)

4.      Sabda Rasulullah SAW :
إن طلب الرزق الحلال فريضة بعد فراغ الفرض

Artinya : “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi).

Nash-Nahs tersebut di atas jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.

C. Anjuran berwirausaha dalam Islam

Pekerjaan berdagang atau berwirausaha mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasullullah SAW. yang artinya :
“Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Dalam QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang. Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “ Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih piutang.”
Pekerjaan berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran. Penyelewengan seperti ini berdampak buruk kepada perdangan, padahal perdangan adalah salah satu usaha dan pekerjaaan Rasulullah SAW.
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang dari tempat grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga nantinya akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja ketoko tertentu saja.

D. Karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur)

Sebagai wirausahawan muslim harus memperhatikan beberapa etika dan perilaku terpuji dalam perdagangan. Menurut Imam Ghazali, ada 8 sifat dan perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu :
1. Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita akan diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan. Dengan adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari suatu masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal, kita akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha yang kita jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal maka kita akan senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur sebagai ungkapan terima kasih atas segala kemudahan yang kita terima. Dengan begitu, maka kita akan merasakan tenang dan melaksanakan segala usaha dengan kepala dingin dan tidak stress.

2.      Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang, maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.

3.      Jujur
Dalam suatu hadist diriwayatkan bahwa :”Kejujuran akan membawa ketenangan dan ketidakjujuran akan menimbulkan keragu-raguan.”(HR. Tirmidzi).
Jujur dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan orang lain maka akan membuat tenang lahir dan batin.
4.      Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan untuk kepentingan dijalan Allah.
5.      Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul saw mengajarkan agar kita berusaha mencari rezeki mulai pagi hari setelah shalat subuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa :
”Hai anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari Rabb-mu dan janganlah kamu tergolong orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagikan rizki manusia antara terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya matahari.”(HR. Baihaqi).
6.      Toleransi
Sikap toleransi diperlukan dalam bisnis sehingga kita dapat menjadi pribadi bisnis yang mudah bergaul, supel, fleksibel, toleransi terhadap langganan dan tidak kaku.
7.      Berzakat dan Berinfak
Hadits Rasulullhah :
Artinya :“Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).
Dalam hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak maka kita tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki kita. Dengan berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga harta yang kita peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.      Silaturahmi
Dalam usaha, adanya seorang partner sangat dibutuhkan demi lancarnya usaha yang kita lakukan. Silaturrahmi ini dapat mempererat ikatan kekeluargaan dan memberikan peluang-peluang bisnis baru. Pentingnya silaturahmi ini juga dapat dilihat dari hadist berikut :
Artinya :”Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari).

B. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1.        Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2.        Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.        Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali yang artinya adalah “akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaik Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[1]
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).[2]

C. Hukum Riba
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba, demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang menerangkan siksa bagi pelaku riba.
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).

Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :
Nabi Muhammad SAW. bersabda yang artinya :
Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang suka makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang yang menyaksikan riba. Rasulullah selanjut bersabda : “mereka semuanya sama”. (dalam berlaku maksiat dan dosa).[3]

D. Macam-macam Riba
Riba itu ada empat macam, yaitu :
1. Riba fuduli
Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah satu dari dua barang yang sejenis yang saling dipertukarkan lebih banyak daripada yang lainnya, misalnya :
Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp. 110.000,-
Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.
Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya pada barang yang ditimbang ; takaran pada barang yang ditakar ; ukuran pada barang yang diukur, dan jumlah banyak pada uang yang dipertukarkan dan sebagainya.

2. Riba qardi
Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang menghutangi (qardi=pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,-dengan perjanjian akan membayar kembali kelak Rp. 110.000,-

3. Riba yad
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang yang membeli sepeda motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si penjual, si penjual tidak boleh menjual sepeda motor itu kepada siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih dalam ikatan jual-beli yang pertama.

4. Riba nasa’
Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli barang kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-. Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang dinamakan riba nasa’.

E. Macam-macam Riba menurut Para Ulama
Menurut Jumhur Ulama[4]
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a.  Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis. Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.

b. Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu tengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan. Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah.

Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya. Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada ribs fadhl.[5]

F.  Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).

b. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

c. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

d. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.[6]

G. Konsep Riba dan Dasar Keharamannya
Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan). Seluruh fuquha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam Al-Quran dan al-Hadis.
Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba dan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 276 yang artinya “ jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada diantara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya.[7]
Jika illat riba adalah dzulm (penindasan dan pemerasan) dan hikmah pengharaman riba adalah untuk menumbuh suburkan shadaqah, maka dengan sendirinya tradisi riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an adalah praktek riba yang bertentangan dengan seruan shadaqah.[8]


H. Illat Pengharaman
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari kehidupan. Emas dan perak adalah dua unsur pokok bagi uang yang dengannya transaksi dan pertukaran menjadi teratur. Keduanya adalah standar harga-harga yang kepadanya penentuan nilai barang-barang dikembalikan. Sementara keempat benda lainnya adalah unsur-unsur makanan pokok yang menjadi tulang punggung kehidupan.
Apabila riba terjadi pada barang-barang ini makan akan membahayakan manusia dan menimbulkan kerusakan dalam muamalah. Oleh karena itu, syariat melarangnya, sebagai bentuk kasih sayang terhadap manusia dan perlindungan terhadap maslahat-maslahat. Dari sini tampak jelas bahwa ilat pengharaman emas dan perak adalah keberadaan keduanya sebagai alat pembayaran. Sementara ilat pengharaman benda-benda lainnya adalah keberadaanya sebagai makanan pokok.
Apabila ilat pertama ditemukan pada alat-alat pembayaran lainnya selain emas dan perak maka hukumnya sama dengan hukum emas dan perak sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara langsung. Demikian juga, apabila ilat kedua ditemukan pada makanan pokok selain gandum, jelai, kurma, dan garam maka tidak boleh dijualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara langsung. Ma’mar bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang untuk menjualbelikan makanan kecuali dengan berat yang sama.[9]

I. Syarat Menghindari Riba
Syarat menjual sesuatu barang supaya tidak menjadi riba, yaitu :
1.        Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan makanan yang sejenis, misalnya beras dengan beras, hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat, yaitu :
a.         Serupa timbangan dan banyaknya
b.        Tunai
c.         Timbang terima dalam akad (Ijab qabul) sebelum meninggalkan majlis akad

2.        Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan jenis, misalnya beras dengan jagung, hanya dibolehkan dengan dua syarat, yaitu :
a.      Tunai
b.      Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis akad (taqaabul qablat-tafaaruq)
Keterangan :
Yang dikenai hukum riba hanya pada tiga macam, yaitu emas, perak dan makanan manusia (termasuk makanan yang bukan obat).[10]

J. Hikmah diharamkannya Riba
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni :
1.      Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang punggung gotong-royong atas kebajikan dan takwa.
2.      Sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin.
3.      Melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang membutuhkan.
4.      Menjadikan pelakunya malas bekerja keras.
5.      Menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

Keterangan :
Yang dikenal hukum riba hanya ada empat macam, yaitu emas, perak, makanan manusia dan uang.[11]

K. Dampak Negatif Riba
1. Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.

2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalika, misalnya, 25% lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.[12]
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomi, moral, maupun sosial. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam Al-Qur,an, ar-Razi (tt:88) menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut :
a.      Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain.
b.      Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
c.      Dengan riba, biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
d.     Riba secara tegas dilarang oleh Al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alasan pelarangannya.[13]


L. Ancaman Bagi Pelaku Riba Hadis Muslim yang artinya :
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama”. (Matan lain : Ahmad : 13744)
Riba diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas.[14]
Hadis Akhmad yang artinya :
Nabi Muhammad bersabda : “riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”. (Matan lain : Ibnu Majah 2270)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.[15]
  
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).
Berwirausaha adalah merupakan kegiatan sosial yang dapat membantu sesama makhluk yang saling ketergantungan antara satu sama lain. Islam sangat menganjurakan manusia untuk berusaha memperoleh rezki yang telah Allah janjikan dengan jalan usaha. Diantara sekian banyak cara dalam berwirausaha, perdagangan adalah salah satunya yang juga merupakan dunia usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan contoh terhadap ummat bagaimana pedagang itu semestinya. Bahkan dalam Al-Quran secara tidak langsung telah dituangkan tuntunan dalam bemuamalah khususnya dalam perdagangan.
Semangat berwirausaha telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau sejak muda telah berwirausaha dari menggembala kambing hingga berdagang ke negeri Syam. Semangat dan kerja keras Beliau menjadi panutan dan motivasi bagi kaum muslimin untuk senantiasa mengais rezeki dengan jalan berwirausaha.
Disamping berdagang adalah untuk menjawab kebutuhan ekonomi, bahkan  berwirausaha sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Namun demikian, sepantasnyalah seorang pedagang melestarikan sifat-sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu : sifat taqwa, zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara berlebihan, sifat jujur, niat untuk ibadah, azzam dan bangun lebih pagi, toleransi, silaturrahim, dan sebagainya.
Hukum riba adalah haram karena bersifat merugikan pihak yang lain. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipatgandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
Macam-macam riba yaitu riba fudui, riba qardi, riba yad dan riba nasa’. Jenis-jenis riba ada riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadhl, dan riba nasi’ah.
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari kehidupan. Semua itu tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan telah diserahterimakan secara langsung.
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni : Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang punggung gotong-royong atas kebajikan dan takwa, sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin, melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang membutuhkan, menjadikan pelakunya malas bekerja keras, menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

B. SARAN
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa tuntutan ekonomi sering membawa kesenjangan dalam berbagai hal menyangkut perdagangan. Tidak jarang pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang, serta melanggar etika-etika perdagangan yang telah di ajarkan oleh Alla dan RasulNya. Disamping itu, ada pula orang yang pesimis dalam berusaha dan bekerja. Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai orang-orang yang giat dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sebab itu, melalui makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca agar mempedomani Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin ilmu fiqih tentang tata cara bermuamalah.
Menyarankan kepada para wirausaha untuk meluruskan niat dalam berusaha agar usaha yang digeluti bernilai ibadah, sehingga tidak hanya mendapat imbalan renzi yang mulia, tetapi juga mendapat imbalan pahala disisi Allah.

  
DAFTAR PUSTAKA

A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Rifai Moh, Mutiara Fiqih, Semarang : CV Wicaksana, 1998.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syariah, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Nur Diana Ilfi, Hadis-hadis Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.
Ismanto Kuat, Manajemen Syari’ah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.


[1] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Rajawali Press, 2011) h.13
[3] Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.772-773
[4] Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.262-263
[5] Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.264
[6] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h.92-93
[7] Ghufron A. Mas’adi, fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.151-152
[8] Ibid, h.155
[9] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (PT. Tinta Abadi Gemilang : 2013) h.108-109
[10] Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.777-778
[11] Ibid, h.778-779
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani, 2001) h.67
[13] Kuat Ismanto, Manajamen Syari’ah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015) h.47
[14] Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
[15] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang : UIN-Maliki Press, 2012) h.131-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar