MAKALAH_RIBA_DAN_MACAM-MACAM_RIBA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ajaran Islam mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh
karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi
kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang
selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri
adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara
mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan
manusia.
Adapun kewirausahaan dalam disiplin ilmu
fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah. Sedangkan perdagangan adalah
bahagian dari kegiatan kewirausahaan. Bila kita berbicara tentang kewirausahaan
menurut pandangan Islam, maka rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam
kegiatan ini adalah teori-teori yang telah di gambarkan dalam Al-Quran dan
As-Sunnah sebagai norma dan etika dalam berwirausaha khususnya dalam
perdagangan.
Islam juga mengajarkan bagaimana manusia
itu giat dalam menjalani aktifitas dan semangat bekerja keras untuk mencari
nafkah dan menjawab kebutuhan sehari-hari. Allah SWT, menyeru manusia untuk
bertebaran di muka bumi untuk menuntut karunia Allah, dalam hal ini maksudnya
adalah rezki Allah. Bahkan Rasulullah pun sangat menganjurkan kepada ummatnya
untuk giat dalam bekerja. Tidak sedikit hadits Rasulullah yang menegaskan
tentang hal itu.
Untuk selengkapnya, mari kita cermati
paparan isi makalah ini. Bagaimana etika dalam berdagang, motif perdagangan,
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para pedagang, etios kerja seorang muslim
(tentang perintah kerja keras).
Dalam
bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syariat
Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala
perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus
mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan
pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan
yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan
riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian
(dalam Islam disebut kegiatan muamalah)
yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada
dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun
bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qardh,
buyu' dan lain sebagainya.
Para ulama
menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba
mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini
mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat
dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam.
Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang
miskin akan semakin miskin dan tertindas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an
Berwirausaha
memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik dengan cara memberikan
pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, memberi
potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu menenangkan pikiran yang kemudian
akan turut membantu kesehatan jasmani. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam
buku The Healing Brain yang menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk
berfikir, tetapi untuk mengembalikan kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam
menjaga kesehatan banyak dipengaruhi oleh frekuensi perbuatan baik. Dan aspek
kerja otak yang paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong
menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
Islam
memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang
kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat,
memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan
berbeda.
Di
dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 100, Allah SWT. berfirman :
يُهَاجِرْ
فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ
مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ
وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Artinya
:
Dan
barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi
ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya
telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Berdasarkan
ayat tersebut, Allah SWT. menghimabu hamba-hambaNya yang mukmin agar berhijrah
dan meninggalkan kampung halaman untuk menemukan tempat berlindung dan
memperoleh rezeki yang banyak. dengan demikian, mereka akan memperoleh
kehidupan yang layak.
Dan
di dalam surah Hud ayat 6, Allah SWT. berfirman :
وَمَا
مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya
:
Dan
tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin
Allah rezekinya. Dia Mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.**
Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Allah SWT. memberitahu bahwa Dia
menjamin memberi rezeki bagi semua makhlukNya, baik ia binatang melata, besar
maupun kecil, di darat maupun di laut. Dia mengetahui dimana tempat binatang
itu berdiam dan dimana ia menyimpan makanannya. semua itu tercatat di dalam
sebuah Kitab yang terang dan nyata (yakni Lauh Mahfudz).
Allah SWT. telah menentukan rezeki
tiap-tiap umatNya, namun umat itu sendiri harus berusaha dengan segenap daya
dan upayanya untuk meraih dan mendapatkan rezeki tersebut. Dengan berwirausaha,
menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan rezeki tersebut sebagai mana
dicontohkan oleh baginda Rasulullah dalam hal perdagangan.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya
dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam
sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi
dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah
kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).
B.
Etos kerja dalam ajaran Islam
Dalam
Islam etos kerja kerja lebih dikenal dengan kerja keras, kemandirian (بيده),
dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits
yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian
ini, seperti:
1.
Firman Allah SWT :
وقل
اعملوا فسيرى الله عملكم...الأيات
Artinya
: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat
pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)
2.
Sabda Rasulullah SAW :
عمل
الرجال بيده
Artinya
:“Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran
keringatnya sendiri” (HR. Abu Dawud)
3.
Sabda Rasulullah SAW :
اليد
العليا خير من يد السفلى
Artinya
: “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dengan
bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras supaya
memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain. “Manusia
harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya
dan dapat menjalankan kewajiban membayar zakat)”. Oleh karena itu, apabila
shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)
4.
Sabda Rasulullah SAW :
إن
طلب الرزق الحلال فريضة بعد فراغ الفرض
Artinya
: “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban
setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi).
Nash-Nahs tersebut di atas jelas
memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras
merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin,
adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi
harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain,
orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar.
Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan
motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau
bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya.
Menurut Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka
harus dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan
dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan,
pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan kita
untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya
adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk
perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon
perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang
menentukan akhir dari setiap usaha.
C. Anjuran berwirausaha dalam Islam
Pekerjaan berdagang atau berwirausaha
mendapat tempat terhormat dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasullullah
SAW. yang artinya :
“Mata pencarian apakah yang paling baik,
Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya
sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Dalam QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa
Allah swt telah menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan
riba ini sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang.
Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja
yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan hidup.
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari
pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga
seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini
sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “ Allah
mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu
menagih piutang.”
Pekerjaan berdagang masih dianggap
sebagai suatu pekerjaan yang rendahan karena biasanya berdagang dilakukan
dengan penuh trik, penipuan, ketidakjujuran. Penyelewengan seperti ini
berdampak buruk kepada perdangan, padahal perdangan adalah salah satu usaha dan
pekerjaaan Rasulullah SAW.
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada
bentuk Ibadah kepada Allah swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki
niat untuk beribadah agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan
mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang
dari tempat grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada
disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga nantinya
akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja ketoko
tertentu saja.
D.
Karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur)
Sebagai
wirausahawan muslim harus memperhatikan beberapa etika dan perilaku terpuji
dalam perdagangan. Menurut Imam Ghazali, ada 8 sifat dan perilaku yang terpuji
dalam perdagangan, yaitu :
1.
Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat
ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita akan
diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan. Dengan
adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari suatu
masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal, kita
akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha yang kita
jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal maka kita akan
senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur sebagai ungkapan terima
kasih atas segala kemudahan yang kita terima. Dengan begitu, maka kita akan
merasakan tenang dan melaksanakan segala usaha dengan kepala dingin dan tidak
stress.
2.
Tidak mengambil laba lebih banyak.
Membayar harga yang sedikit lebih mahal
kepada pedagang yang miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada
pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang,
maka bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual
beli bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang
miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu
membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.
3.
Jujur
Dalam suatu hadist diriwayatkan bahwa
:”Kejujuran akan membawa ketenangan dan ketidakjujuran akan menimbulkan
keragu-raguan.”(HR. Tirmidzi).
Jujur
dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan orang lain maka akan membuat tenang
lahir dan batin.
4.
Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis
senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat
nanti juga akan digunakan untuk kepentingan dijalan Allah.
5.
Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul saw mengajarkan agar kita berusaha
mencari rezeki mulai pagi hari setelah shalat subuh. Dalam sebuah hadist
disebutkan bahwa :
”Hai
anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari Rabb-mu dan janganlah kamu tergolong
orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagikan rizki manusia antara
terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya matahari.”(HR.
Baihaqi).
6.
Toleransi
Sikap toleransi diperlukan dalam bisnis
sehingga kita dapat menjadi pribadi bisnis yang mudah bergaul, supel,
fleksibel, toleransi terhadap langganan dan tidak kaku.
7.
Berzakat dan Berinfak
Hadits
Rasulullhah :
Artinya
:“Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan
akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah
seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan
meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).
Dalam
hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak maka kita
tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki kita. Dengan
berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga harta yang kita
peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.
Silaturahmi
Dalam usaha, adanya seorang partner
sangat dibutuhkan demi lancarnya usaha yang kita lakukan. Silaturrahmi ini dapat
mempererat ikatan kekeluargaan dan memberikan peluang-peluang bisnis baru.
Pentingnya silaturahmi ini juga dapat dilihat dari hadist berikut :
Artinya
:”Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia
mempererat hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari).
B. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1.
Bertambah,
karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan.
2.
Berkembang,
berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau
yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.
Berlebihan
atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba
menurut Al-Mali yang artinya adalah “akad yang terjadi atas penukaran barang
tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika
berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud
dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama
atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaik Muhammad
Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan
yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[1]
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan
dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua
jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak
seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya
dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).[2]
C. Hukum Riba
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba,
demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang menerangkan
siksa bagi pelaku riba.
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT
yang artinya : “bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).
Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :
Nabi Muhammad SAW. bersabda yang artinya :
Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW
telah melaknati orang-orang yang suka makan riba, orang yang jadi wakilnya,
juru tulisnya, orang yang menyaksikan riba. Rasulullah selanjut bersabda :
“mereka semuanya sama”. (dalam berlaku maksiat dan dosa).[3]
D. Macam-macam Riba
1. Riba fuduli
Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah
satu dari dua barang yang sejenis yang saling dipertukarkan lebih banyak
daripada yang lainnya, misalnya :
Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp.
110.000,-
Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.
Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya
pada barang yang ditimbang ; takaran pada barang yang ditakar ; ukuran pada
barang yang diukur, dan jumlah banyak pada uang yang dipertukarkan dan
sebagainya.
2. Riba qardi
Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang menghutangi
(qardi=pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,-dengan perjanjian akan
membayar kembali kelak Rp. 110.000,-
3. Riba yad
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima.
Misalnya orang yang membeli sepeda motor, sebelum ia menerima barang yang
dibeli dari si penjual, si penjual tidak boleh menjual sepeda motor itu kepada
siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih dalam ikatan
jual-beli yang pertama.
4. Riba nasa’
Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu
dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan pembayarannya. Umpama,
membeli barang kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-. Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang dinamakan
riba nasa’.
E. Macam-macam
Riba menurut Para Ulama
Menurut Jumhur Ulama[4]
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian,
yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba Fadhl
Menurut
ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta pada akad jual-beli yang
diukur dan sejenis. Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang
mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah
satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli
antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar
dari unsur riba.
b. Riba Nasi’ah
Menjual
barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan pembayaran
diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu tengah kilogram
gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak
ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang
akan dibayar setelah sebulan. Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn
Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan
hanyalah riba nasi’ah.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas
jenis :
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya
tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain,
tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang
sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram
kentang.
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan
(al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum timbang
terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir tanpa
harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut ulama Hanafiyah,
riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.
c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya
diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya. Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan
riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis.
Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah
mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan
meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba
dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi
menempatkannya pada ribs fadhl.[5]
F.
Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah
riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi
qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam
jenis barang ribawi.
d. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.[6]
G. Konsep Riba dan Dasar Keharamannya
Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan). Seluruh
fuquha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang
sangat jelas dalam Al-Quran dan al-Hadis.
Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba dan perintah meninggalkan
seluruh sisa-sisa riba yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 276 yang
artinya “ jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah
pokok hartamu. Tidak ada diantara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang
teraniaya.[7]
Jika illat riba adalah dzulm (penindasan dan pemerasan) dan hikmah
pengharaman riba adalah untuk menumbuh suburkan shadaqah, maka dengan
sendirinya tradisi riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an adalah praktek riba yang
bertentangan dengan seruan shadaqah.[8]
H. Illat Pengharaman
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok
yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari
kehidupan. Emas dan perak adalah dua unsur pokok bagi uang
yang dengannya transaksi dan pertukaran menjadi teratur. Keduanya adalah
standar harga-harga yang kepadanya penentuan nilai barang-barang dikembalikan.
Sementara keempat benda lainnya adalah unsur-unsur makanan pokok yang menjadi
tulang punggung kehidupan.
Apabila riba terjadi pada barang-barang ini makan akan membahayakan
manusia dan menimbulkan kerusakan dalam muamalah. Oleh karena itu, syariat
melarangnya, sebagai bentuk kasih sayang terhadap manusia dan perlindungan
terhadap maslahat-maslahat. Dari sini tampak jelas bahwa ilat pengharaman emas
dan perak adalah keberadaan keduanya sebagai alat pembayaran. Sementara ilat
pengharaman benda-benda lainnya adalah keberadaanya sebagai makanan pokok.
Apabila ilat pertama ditemukan pada alat-alat pembayaran lainnya selain
emas dan perak maka hukumnya sama dengan hukum emas dan perak sehingga tidak
boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan
secara langsung. Demikian juga, apabila ilat kedua ditemukan pada makanan pokok
selain gandum, jelai, kurma, dan garam maka tidak boleh dijualbelikan kecuali
dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara langsung. Ma’mar bin
Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang untuk menjualbelikan makanan
kecuali dengan berat yang sama.[9]
I. Syarat
Menghindari Riba
1.
Menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan makanan yang sejenis,
misalnya beras dengan beras, hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat, yaitu :
a.
Serupa timbangan
dan banyaknya
b.
Tunai
c.
Timbang
terima dalam akad (Ijab qabul) sebelum meninggalkan majlis akad
2.
Menjual
emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan jenis, misalnya
beras dengan jagung, hanya dibolehkan dengan dua syarat, yaitu :
a.
Tunai
b. Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan
majlis akad (taqaabul qablat-tafaaruq)
Keterangan :
Yang dikenai hukum riba hanya pada tiga macam, yaitu emas, perak dan
makanan manusia (termasuk makanan yang bukan obat).[10]
J. Hikmah
diharamkannya Riba
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat
negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni :
1. Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi
tulang punggung gotong-royong atas kebajikan dan takwa.
2. Sangat menghalangi kepentingan orang yang
menderita dan miskin.
4.
Menjadikan
pelakunya malas bekerja keras.
5. Menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan
terhadap orang miskin.
Keterangan :
Yang dikenal hukum riba hanya ada empat macam,
yaitu emas, perak, makanan manusia dan uang.[11]
K. Dampak Negatif Riba
1. Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan
oleh bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu
elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan
rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas utang tersebut dibungakan.
2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil
riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalika, misalnya, 25% lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Siapa
pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal. Dengan
menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.[12]
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan
penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomi, moral, maupun sosial.
Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun
menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam Al-Qur,an, ar-Razi
(tt:88) menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan
beberapa indikasi sebagai berikut :
a.
Riba tak
lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun.
Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang
lain.
b.
Riba
dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki.
Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada
cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
c.
Dengan
riba, biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya
dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
d. Riba secara tegas dilarang oleh Al-Qur’an, dan
kita tidak perlu tahu alasan pelarangannya.[13]
L. Ancaman
Bagi Pelaku Riba Hadis
Muslim yang artinya :
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba,
pemberinya, penulisnya, kedua saksinya, mereka semua sama”. (Matan lain : Ahmad : 13744)
Riba
diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Berikut hadis yang melarang dan
mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas.[14]
Hadis Akhmad yang artinya :
Nabi Muhammad bersabda : “riba itu sekalipun
dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”. (Matan
lain : Ibnu Majah 2270)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang
melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar
bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah,
sehingga pada akhirnya akan berkurang.[15]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Riba dapat timbul dalam
pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba
bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis,
tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang
sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).
Berwirausaha adalah merupakan kegiatan
sosial yang dapat membantu sesama makhluk yang saling ketergantungan antara
satu sama lain. Islam sangat menganjurakan manusia untuk berusaha memperoleh
rezki yang telah Allah janjikan dengan jalan usaha. Diantara sekian banyak cara
dalam berwirausaha, perdagangan adalah salah satunya yang juga merupakan dunia
usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan contoh
terhadap ummat bagaimana pedagang itu semestinya. Bahkan dalam Al-Quran secara
tidak langsung telah dituangkan tuntunan dalam bemuamalah khususnya dalam
perdagangan.
Semangat berwirausaha telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Beliau sejak muda telah berwirausaha dari menggembala
kambing hingga berdagang ke negeri Syam. Semangat dan kerja keras Beliau
menjadi panutan dan motivasi bagi kaum muslimin untuk senantiasa mengais rezeki
dengan jalan berwirausaha.
Disamping berdagang adalah untuk
menjawab kebutuhan ekonomi, bahkan berwirausaha sangat dianjurkan dalam
Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Mata pencarian apakah yang paling
baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan
tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Namun demikian, sepantasnyalah seorang
pedagang melestarikan sifat-sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam
Al-Ghazali, yaitu : sifat taqwa, zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara
berlebihan, sifat jujur, niat untuk ibadah, azzam dan bangun lebih pagi,
toleransi, silaturrahim, dan sebagainya.
Hukum riba adalah haram karena bersifat merugikan pihak yang lain. Islam
mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba,
juga mengandung unsur eksploitasi.
Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh
melipatgandakan (ad'afan mudhaafan)
uang yang telah dihutangkan, karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang
lain.
Macam-macam riba yaitu riba fudui, riba qardi, riba yad dan riba nasa’.
Jenis-jenis riba ada riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadhl, dan riba nasi’ah.
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok
yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari
kehidupan. Semua itu tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang
sama dan telah diserahterimakan secara langsung.
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat
negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni : Melenyapkan faedah
hutang-piutang yang menjadi tulang punggung gotong-royong atas kebajikan dan
takwa, sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin,
melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang
membutuhkan, menjadikan pelakunya malas bekerja keras, menimbulkan sifat
menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.
B.
SARAN
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa
tuntutan ekonomi sering membawa kesenjangan dalam berbagai hal menyangkut
perdagangan. Tidak jarang pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang,
serta melanggar etika-etika perdagangan yang telah di ajarkan oleh Alla dan
RasulNya. Disamping itu, ada pula orang yang pesimis dalam berusaha dan
bekerja. Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai orang-orang yang giat
dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sebab itu,
melalui makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca agar mempedomani
Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin ilmu fiqih tentang tata
cara bermuamalah.
Menyarankan kepada para wirausaha untuk
meluruskan niat dalam berusaha agar usaha yang digeluti bernilai ibadah, sehingga
tidak hanya mendapat imbalan renzi yang mulia, tetapi juga mendapat imbalan
pahala disisi Allah.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah
Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah,
Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah,
Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Rifai Moh, Mutiara Fiqih,
Semarang : CV Wicaksana, 1998.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi
Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank
Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank
Syariah, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Nur Diana Ilfi, Hadis-hadis
Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.
Ismanto Kuat, Manajemen Syari’ah,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
[1] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT
RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Rajawali Press, 2011) h.13
[3] Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.772-773
[4] Ibn Rusyd sebagamaina dikutip
oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.262-263
[5] Muhammad Asy-Syarbini
sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH
Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.264
[6] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2008) h.92-93
[7] Ghufron A. Mas’adi, fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2002) h.151-152
[8] Ibid, h.155
[9] Diriwayatkan oleh Muslim di
dalam Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (PT. Tinta Abadi Gemilang : 2013) h.108-109
[10] Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV.
Wicaksana, 1998) h.777-778
[11] Ibid, h.778-779
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani,
2001) h.67
[13] Kuat Ismanto, Manajamen Syari’ah, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2015) h.47
[14] Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi
Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Jakarta : Darul Haq, 2004.
[15] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang :
UIN-Maliki Press, 2012) h.131-132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar