Minggu, 17 Desember 2017

MAKALAH ISSUE TENTANG SEKSUALITAS GENDER

MAKALAH ISSUE TENTANG SEKSUALITAS GENDER

DAFTAR ISI


KATA PENGANTARii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan ........ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Seksualitas ... 3
2.2  Mitos Yang Berkaitan dengan Seksualitas3
2.3 Pengetahuan remaja mengenai seksualitas ..................... 4
2.4 Seksualitas Dalam Kerangka Pikir Gender..6

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

          Isu tentang seksualitas dan gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan baik dimedia massa maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan terkait dengan ketidak adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidak adilan dan diskriminasi itu terjadi hampir disemua bidang, mulai dari tingkat inetrnasional, negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.

            Perlu dijelaskan bahwa istilah gender tidak sepadan dengan seks.  Dalam transliterasi Bahasa Indonesia, istilah gender sering disamakan dengan seks, sehinggakemudian melahirkan pemahaman yang agak berbeda. Padahal, gender adalah sebuah konstruksi pemahaman yang sudah menjadi tradisi dalam sebuah masyarakat dengan sistem sosial dan budaya tertentu. Misalnya masyarakat Jawa yang menganut sistem sosial dan budaya patrinial, kaum perempuan berada pada posisi marginal.Kaum laki-laki, dalam konstruksi sosial dan budaya patriarkhi, cenderung mendominasi kaum perempuan. Namun berbeda ketika sebuah masyarakat menganut sistem sosial dan budaya matrinial. Misalnya masyarakat Minang, justru kaum laki-laki berada pada posisi marginal. Kaum perempuan, dalam sistem sosial dan budaya matrinial, lebih mendominasi kaum laki-laki. Persoalan-persoalan gender menjadi urgen untuk diperjuangkan karena dampaknya pada ketidak adilan sosial yang menimpa kaum perempuan.





 Misalnya dalam konteks masyarakat yang menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi, kaum perempuan tidak mendapat hak-hak yang selayaknya. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme sebenarnya sedang menggugat sistem sosial dan budaya patriarkhi.Perjuangan para aktivis Feminisme menghendaki terwujudnya keadilan sosial dengan menempatkan peran dan posisi kaum perempuan sesuai dengan hak-haknya. Landasan para aktivis Feminisme menuntut keadilan berdasarkan prinsip humanismeuniversal, yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling fundamental yang melampaui etnik, budaya, dan agama.

1.2 Rumusan Masalah
            1. Apakah yang dimaksud dengan Seksualitas?
            2. Bagaimanakah Pengetahuan Remaja tentang Seksualitas?
            3. Bagaimanakah Seksualitas Dalam Kerangka Pikir Gender?

1.3  Tujuan

Untuk menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan seksual dan gender dalam ilmu kesehatan reproduksi












BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Seksualitas
        
          Seksualitas atau jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya. Ada berbagai pendapat mengenai definisi dari seksualitas, diantaranya yaitu:
1.      Seksualitas atau jenis kelamin adalah karakteristik biologis-anatomis (khususnya sistem reproduksi dan hormonal), diikuti dengan karakteristik fisiologi tubuh, yang menentukan seseorang adalah laki-laki atau perempuan (DepKes RI, 2002:2)
2.      Seksualitas/ jenis kelamin (seks) adalah perbedaan fisik biologis, yang mudah dilihat melalui ciri fisik primer dan secara sekunder yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan (Badan Pemberdayaan Masyarakat, 2003)
3.      Seksualitas/jenis kelamin adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu (Handayani,2002:4)
4.      Seks adalah karakteristik genetik/fisiologis atau biologis seseorang yang menunjukkan apakah dia seorang perempuan atau laki-laki (WHO, 1998)
        
2.2   Mitos Yang Berkaitan dengan Seksualitas
·               Mitos seksual dimata remaja
Sumber mitos seksual yang remaja dapatkan kebanyakan berasal dari teman sebayanya. Tanpa sumber yang jelas dan terpercaya remaja menkonsumsi dan mempercayai mitos-mitos seksual tersebut. Bertanya kepada orang tua atau guru di anggap bukan jalan keluar untuk masalah-masalah seksualitas yang remaja hadapi. Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan remaja beranggapan bahwa bertanya masalah-masalah seksualitas kepada guru atau orangtua dapat menimbulkan anggapan negatif dari guru ataupun orang tua tersebut sehingga remaja lebih memilih untuk mempercayai temannya atau memendam masalah tersebut sendiri. (Sumber: FGD SMP Labschool UPI)
 2.3 Pengetahuan remaja mengenai seksualitas
                                        
Remaja cenderung mengkaitkan seksualitas dengan nafsu birahi atau pada umumnya hubungan seksual. Pengetahuan remaja tentang seksualitas pada umumnya terbatas pada hubungan seksual untuk mendapatkan keturunan. Remaja memahami apapun yang berkaitan dengan seksualitas pasti mengarah pada hubungan seksual. Padahal seksualitas cakupanya lebih luas dari sekedar hubungan seksual. Menurut Definisi Seksualitas versi WHO Seksualitas merupakan aspek pusat dalam menjadi manusia sepanjang kehidupannya dan meliputi seks, peran dan identitas jender, orientasi seksual, eroticism (nafsu birahi), pleasure (kenikmatan/kesenangan), keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, keyakinan, sikap, nilai, perilaku, praktek, peran dan hubungan.       Meski  seksualitas dapat mencakup kesemua dimensi tersebut, tidak semua dimensi selalu dialami dan diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah serta agama dan spiritual. (WHO draft working definition 2002)

Adapun mitos-mitos yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan seksualitas, antara lain:

1.      Dorongan seksual laki-laki lebih besar dari pada perempuan.

Faktanya, dorongan seksual merupakan hal yang alamiah muncul pada setiap individu pada umumnya dimulai saat ia menginjak masa pubertas (karena mulai berfungsinya hormon seksual). Dan ini sangat wajar dan seimbang baik pada laki-laki maupun perempuan. Faktor yang mempengaruhi dorongan seksual antara lain kepribadian, pola sosialisasi, dan pengalaman seksual. Dorongan seksual perempuan sering disebut-sebut lebih kecil dari laki-laki kerena lingkungan menganggap perempuan yang mengekspresikan dorongan seksualnya adalah perempuan yang “nakal atau kurang baik”, sementara laki-laki tidak pernah dipermasalahkan.


2.      Perempuan yang berdada besar dorongan seksualnya besar.

Faktanya tidak seperti itu. Secara medis, tidak ada hubungan langsung antara ukuran payudara dengan dorongan seksual seseorang. Dorongan seksual itu ditentukan oleh kepribadian, pola sosialisasi, dan pengalaman seksual (melihat, mendengar, atau merasakan suatu rangsangan seksual).

3.      Minuman bersoda akan dapat mempercepat selesainya menstruasi.

            Faktanya, menstruasi adalah proses pendarahan yang disebabkan luruhnya dinding rahim sebagai akibat tidak adanya pembuahan. Sakit tidaknya atau lancar tidaknya menstruasi seseorang selain dipengaruhi oleh hormon juga dipengaruhi faktor psikis, bukan karena minum minuman bersoda.

4.      Berhubungan seks dengan pacar merupakan bukti cinta.

Faktanya, berhubungan seks bukan cara untuk menunjukan kasih sayang pada saat masih pacaran, melainkan karena disebabkan adanya dorongan seksual yang tidak terkontrol dan keinginan untuk mencoba-coba. Rasa sayang kita dengan pacar bisa ditunjukkan dengan cara lain.

5.      Hubungan seks pertama kali selalu ditandai dengan keluarnya darah dari  vagina.

Faktanya, tidak selalu hubungan seks yang pertama kali itu keliahatan berdarah. Apabila komunikasi seksual terjalin dengan baik dan hubungan seksual dilakukan dalam keadaan siap dan disertai foreplay yang cukup bisa tidak memunculkan adanya perdarahan.




6.      Keperawanan bisa ditebak dari cara berjalan dan bentuk pinggul.

Faktanya, keperawanan tidak bisa dilihat dari cara berjalan ataupun bentuk pinggul seseorang. Keperawanan seseorang terkadang dipandang dari dua sisi yakni fisik dan psikososial. Dari sisi fisik dengan melakukan pemeriksaan khusus yang hanya bisa dilakukan tenaga kesehatan terhadap kondisi selaput dara. Dari sisi psikososial yang didasarkan apakah seseorang sudah pernah melakukan hubungan sosial atau belum.  

7.      Loncat-loncat setelah berhubungan seks tidak akan menyebabkan kehamilan.

Faktanya, ketika spermatozoa sudah memasuki vagina, maka spermatozoa akan mencari sel telur yang telah matang untuk dibuahi. Loncat-loncat tidak akan mengeluarkan spermatozoa. Jadi, tetap ada kemungkinan untuk terjadinya pembuahan atau kehamilan.

8.      Selaput dara yang robek berarti sudah pernah melakukan hubungan seksual   ,            atau tidak perawan lagi.

Faktanya tidak selalu demikian. Selaput dara merupakan selaput kulit yang tipis yang dapat meregang dan robek karena beberapa hal. Selain karena melakukan hubungan seks, selaput dara juga bisa robek karena melakukan olah raga tertentu seperti naik sepeda dan berkuda. Karena itu, robeknya selaput dara belum tentu karena hubungan seks, malah ada juga perempuan yang sudah menikah dan berhubungan seks berkali-kali tapi selaput daranya masih utuh dan tidak koyak karena selaput daranya elastis.

2.4   Seksualitas Dalam Kerangka Pikir Gender

          Ruth Dixon Mueller berpendapat bahwa seksualitas mempunyai makna yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Berdasarkan refrensi sosiologi dan antropologi dia mengidentifikasi 4 dimensi seksualitas dan perilaku sosial yang secara sosial diorganisasikan sejajar dalam keterhubungannya dengan gender.

Mueller mendefinisikan perilaku seksual sebagai tindakan-tindakan yang bisa diamati secara empiris. Setidaknya, tindakan seks bisa diukur dalam beberapa cakupan sbb: apa yang orang lakukan secara seksual baik dengan pihak lain maupun dengan dirinya sendiri bagaimana seseorang mempresentasikan diri mereka secara seksual dalam hal bagaimana mereka berbicara dan bertindak. Mueller mendefinisikan seksualitas sebagai sebuah konsep yang lebih komprehensif  yakni mencakup kapasitas untuk membangkitkan hasrat dan kenikmatan seksual (libido) serta makna-makna sosial personal dan bersama yang melekat pada perilaku seksual dan konstruksi identitas seksual dan gender. Sebagai sebuah konsep biologis yang masuk dalam budaya, seksualitas menjadi sebuah produk sosial yaitu  representasi dan interpretasi dari fungsi natural dalam relasi-relasi sosial yang hirarkis.

Mueller mengkatekorisasikan 4 dimensi seksualitas dalam kerangka kerja gender, yakni: 1) Pasangan Seksual (Sexual Partnership), 2) Tindakan Seksual (Sexual Acts), 3) Pengertian tentang Seks (Sexual Meanings) dan 4) Hasrat Seksual dan Kenikmatan. Dimensi 1 dan 2 berkaitan dengan perilaku dan objektif, sedangkan dimensi 3 dan 4 lebih bersifat psikologis dan subjektif. Setiap elemen saling kait-mengkait dengan dan dibentuk oleh pengalaman gender; sehingga, perbedaan-perbedaan gender (ataupun persamaan-persamaan) dalam perilaku seksual, pengertian dan hasrat dapat dianalisis secara sistematis terhadap kelompok-kelompok social tertentu.

1)      Pasangan seksual (Seksual Partnership)

Yaitu apa yang orang perlakukan secara seksual  dengan yang lainnya atau dengan diri  mereka sendiri. Elemen ini terdiri dari:
- Jumlah pasangan seksual, sekarang dan sebelumnya
- Waktu dan tenggat waktu relasi seksual seseorang dalam hidupnya
- Identitas sosial pasangan
- Dalam kondisi apa: pilihan atau keterpaksaan
- Kondisi tertentu dan tingkat perubahan

2)      Tindakan seksual (Sexual Acts)

Yaitu bagaimana seseorang mempresentasikan dirinya sendiri secara seksual. Dimensi ini meliputi:
- Sifat dari tindakan seksual
- Frekuensi tindakan seksual
- Dalam kondisi apa: pilihan atau keterpaksaan
Umumnya literatur demografi konvensional lebih terfokus pada reproduksi dan membuat asumsi simplisistik bahwa seks hanyalah mencakup hubungan heteroseksual secara sukarela dengan melakukan penetrasi pada vagina dan ejakulasi. Berbagai gaya intercourse jarang disebutkan, misalnya hubungan oral atau anal pada hubungan heteroksesual dan homoseksual, model-model non-penetrasi dari ekpresi seksual (misalnya masturbasi bersama ataupun sendirian), hubungan dengan binatang, permainan seks dengan anak-anak, perkosaan ataupun hubungan seks yang memaksa dengan cara-cara halus, penggunaan alat-alat atau tekhnik untuk meningkatkan kenikmatan yang bisa saja sangat membahayakan dan praktik-praktik lainnya.

3)      Pemaknaan Seksual (Sexual Meanings)

Konstruksi sosial seksualitas merujuk pada proses yang mana pemikiran-pemikiran tentang seks, perilaku dan kondisi tertentu (misalnya, keperawanan) diinterpretasikan dan dilekatkan pada pemaknaan kultural. Dimensi ini mencakup keyakinan kolektif dan individual tentang hakikat tubuh, tentang apa yang dianggap erotis atau tidak menyenangkan, dan tentang apa dan dengan siapa yang pantas atau tidak pantas bagi perempuan dan laki-laki (menurut umur dan karakteritik lainnya) untuk melakukan atau membicarakan tentang seks. Ideologi-ideologi tentang seksualitas dalam sejumlah budaya memberi tekanan pada pertahanan perempuan, serangan laki-laki dan antagonisme bersama dalam perilaku seks, sementara di lain tempat mereka memberi penekanan pada kenimatan resiprositas dan kenikmatan bersama. Secara ringkas, bagian ini membahas tentang:
- seksualitas maskulin/feminin
- persepsi tentang pasangan
- Pengertian tentang tindakan seks

4) Rangsangan Seksual dan Kenikmatan (Sexual Drives and Enjoyment)

Aspek-aspek fisiologis dan sosiopsikologis dari seksualitas berinteraksi menghasilkan barbagai tingkatan dari kapasitas stimulatif dan orgasmik yang berbeda bagi individu-individu baik secara umum maupun situasional dan yang dapat merubah seluruh jalan hidup seseorang. Dimensi ini mencakup pengetahuan laki-laki dan perempuan tentang kapasitas seksual dan reproduktif dan kemampuan untuk mencapai kenikmatan fisik dan emosional melalui fantasi, hubungan seksual, atau self-stimulation. Bagaimanakah sebenarnya karakter identitas dan response seksual seorang individu? Apakah perempuan dan laki-laki berbeda dalam pendekatan relasi seksual secara umum ataukah praktik-praktik seksual tertentu saja? 
Dalam hal apa hubungan seksual menjadi sumber keresahan? Singkatnya, dimensi ini mencakup:
- Pembentukan identitas seksual
- Rangsangan seks yang dikondisikan secara sosial
- Persepsi tentang kenikmatan

2.5  Kaitan Peran Gender dan Seksualitas

Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.
Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) itu sendiri? Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.

Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini. Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. Dari kecil kita telah diajarkan, laki-laki akan diberikan mainan yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan. Sedangkan anak perempuan diberikan mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan lainnya.

Lalu, ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, contohnya, “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai seorang perempuan atau laki-laki.Sebenarnya kondisi ini tidak ada salahnya, tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik perempuan maupun laki-laki) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka laki-laki yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika perempuan lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini tidak enak dan memberikan tekanan

BAB III
PENUTUP


 Kesimpulan
      
            Seksualitas atau jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan.  Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
      Sumber mitos seksual yang remaja dapatkan kebanyakan berasal dari teman sebayanya. Tanpa sumber yang jelas dan terpercaya remaja menkonsumsi dan mempercayai mitos-mitos seksual tersebut.
                  Remaja cenderung mengkaitkan seksualitas dengan nafsu birahi atau pada umumnya hubungan seksual. Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan seksualitas, antara lain: 
Dorongan seksual laki-laki lebih besar dari pada perempuan, minuman bersoda akan dapat mempercepat selesainya menstruasi, berhubungan seks dengan pacar merupakan bukti cinta, hubungan seks pertama kali selalu ditandai dengan keluarnya darah dari vagina, hubungan seks pertama kali selalu ditandai dengan keluarnya darah dari vagina, selaput dara yang robek berarti sudah pernah melakukan hubungan seksual atau tidak perawan lagi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan refrensi sosiologi dan antropologi dia mengidentifikasi 4 dimensi seksualitas dan perilaku sosial yang secara sosial diorganisasikan sejajar dalam keterhubungannya dengan gender, yaitu antara lain:
1) Pasangan Seksual (Sexual Partnership),
2) Tindakan Seksual (Sexual Acts),
3) Pengertian tentang Seks (Sexual Meanings) dan
4) Hasrat Seksual dan Kenikmatan
                 

 Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.
      Kaitan peran gender dengan seksualitas hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.

Saran
         
                  Semoga pembaca dapat memahami tentang perbedaan antara seksualitas dengan gender yang terkadang diartikan sama, yaitu sebagai jenis kelamin.
      Agar pembaca khususnya remaja dapat mengetahui tentang  mitos-mitos mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas, sehingga diharapkan pembaca mendapatkan informasi yang benar.















DAFTAR PUSTAKA

Kumalasari. Intan, Andhyantoro. Iwan. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan Dan Keperawatan. Jakarta Selatan. Salemba Medika.
Lestari.Tri wiji, Ulfiana. Elisa, Suparmi.2011.Buku Ajar Kesehatan Reproduksi: Berbasis Kompetensi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Marmi. 2013. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Maryanti.Dwi, Septikasari. Majestika. 2009. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Teori Dan Praktikum. Yogyakarta. Nuha Medika.
Yanti. 2011. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi (Bagi Mahasiswa DIII Kebidanan). Yogyakarta. Pustaka Rihama
http://nciez-k.blogspot.com/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender.html

  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar