HIKMAH DALAM PERNIKAHAN
A. Definisi dan Dasar Hukum
Nikah.
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), adapula yang mengatakan
perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.
Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali
dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya
perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.
Perkawinan adalah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun-rukun
dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi
seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan
(diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan
kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan,
yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah
dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.
Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah[1]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(QS.Ar-Rum ayat 21)
B. Rukun Nikah
1. WALI
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:
ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ.
بَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya
batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2. SAKSI
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR
Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata :
“Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3. AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya
terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2. Adanya Ijab Qabul.
3. Adanya
Mahar.
4. Adanya Wali.
5. Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kedua belah
pihak sudah tamyiz.
2. Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu
ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau
menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh
masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan
kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.[2]
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim.
“Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan
putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan putriku
yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah putrimu.”
4. MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita
bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada
batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu
disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar
meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar
yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah ( peminangan )
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah
terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram
baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya
hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan
pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Yang perlu diperhatikan oleh
wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita
atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia
memerhatikan perkara berikut ini:
1. Memilihkan suami yang
shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si
wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai
agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya
niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi
no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868,
Ash-Shahihah no. 1022)
2. Meminta pendapat
putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
D. Hukum Menikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima
yaitu :
1. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan
nafsunya telah mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan
terjerumus dalam praktek perzinahan.
2. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum
mendesak.
3. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan
mempunyai kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat
haram.
4. Makruh bagi
orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5. Mubah bagi
orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau
karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.[3]
E. Anjuran Islam
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak
hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1.) Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi
tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan
sunnah para rasul : Hinna', berparfum,
siwak dan menikah. (HR.
At-Tirmizi 1080)
2.) Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS.
Ar-Ruum : 21)
3.) Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
4.) Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki
oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada
separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR.
Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.) Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk
dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina
dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan
dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya kawin dan melarang
hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa
hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau
dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan hidupnya untuk beribadah
dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan
menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak
menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata Rasulullah s.a.w, dengan
nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka
memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga,
mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan
kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka
Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari
apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS.
Al-Maidah: 87)
6.) Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu adalah merupakan
ciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa makhluq-makhluq
ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama lain.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
F. Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk
menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada
hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan
umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan
pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
G. Hikmah Pernikahan
1. Untuk menjaga kesinambungan generasi manusia.
2. Menjaga kehormatan dengan cara menyalurkan kebutuhan biologis secara
syar'i.
3. Kerja sama suami-istri dalam
mendidik dan merawat anak.
4. Mengatur rumah tangga dalam kerjasama yang produktif dengan
memperhatikan hak dan kewajiban.
H. Pemikiran Tentang Pencatatan
Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2
UU Perkawinan, yang berbunyi:
1.) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
2.) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya
sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan
perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur
berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari
tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan
kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan
ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini
sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak
tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan),
terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan
dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki
akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang
lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan
bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan.
Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita
melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak
atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan
anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya
perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah
(penetapan atau pengesahan nikah) kepada pengadilan agama.
I. Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena menganggap
absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat
belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan sirri adalah:
1. Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua
kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah
satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka. Orang
tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu supaya tidak diambil
oleh orang lain.
2. Nikah sirri dilakukan karena
adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya
pernah menikah secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang resmi,
tetapi ingin menikah lagi dengan orang lain.
3. Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina.
Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan
kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Pernikahan siri
dianggap sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus
menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4. Nikah sirri dilakukan karena
pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial. Hal ini biasa
dilakukan oleh para mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka
masih kuliah, belum punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga.
Status pernikahanpun masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan
aktivitas dengan teman-teman di kampus.
5. Nikah sirri dilakukan karena
pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa
terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan
dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang
menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua
permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya,
pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga nikah sirri
dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang
berbelit-belit.
6. Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan
badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah
menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit di
persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat merendahkan posisi
perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan terhadap lembaga
pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga,
dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9
tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk
mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam,
cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat
di kantor catatan sipil.
Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang
dipahami sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan
kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan
ini dihasilkan dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai
unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks
pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”. Pembahasan mengenai
pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban
1. Peserta ijtima’ ulama sepakat
bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan
hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram
jika terdapat mudharat.
Dua jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi
masalah nikah di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran
modern yang terus berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian
dari rukun nikah sehingga tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan
sebagai alat perlindungan terhadap wanita. Menurut Muhammad Quraish Shihab
setiap perkawinan yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan kepada
pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.
Sebagai contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan
mengalami kegagalan untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat
menunjukkan bukti yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya
dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai
bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami
meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang
akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang
meninggal).
Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri
yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana
caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung
yang sah (nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul
kesulitan apabila telah memiliki bukti otentik berupa akta perkawinan yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa
dengan akta perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai
suatu pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai
janda dari si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari
pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal
perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber
adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung
dengan perceraian walau perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.
J. Putusan MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
1. Masalah-masalah keagamaan yang
bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional; dan
2. Masalah-masalah keagamaan di
suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal 10).
Adapun tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi
masalahnya bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
“Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh
(hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat)
terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka
seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak
tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya
bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Komisi fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain
untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat.
Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan
yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa
pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif
untuk menolak dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah).
Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak
secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum
dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah
memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat,
pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak luas,
antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ(رواه ابن ماجة عن عائشة)
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor
kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan,
pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan
zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk
di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.
Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat,
adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan
perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah
isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila
terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak
bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah
suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.
Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya
undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak
bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan
hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan fatwa dan perbedaannya
terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat
282)
Akad nikah bukanlah muamalah
biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam
al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa
ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan,
mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk
dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau
kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya
apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan
tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan
hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan
anak-anak.Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip
dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan
kemaslahatan rakyatnya.
K. Hak istri atas suami (yaitu
hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)
1) Terkait kebendaan
Salah satunya adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan
keagungan bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah
miliknya sendiri.
“Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar
nafkah yang harus diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara
wajar.
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS
Al Baqarah 233)
2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
Pertama, mendapatkan pergaulan
secara baik dan patut.
“…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai
mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
Kedua,Jangan sampai perbuatan dan
perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan hati wanita itu
seperti apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya karena tak bisa
melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.
Ketiga, mendapatkan perlindungan
dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan
maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya. Maka, jika dia adalah
suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke rumah-rumah bordil
atau tampil seksi di depan umum hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Hal itu
bukanlah pernikahan. Jika terjadi seperti itu, gugat cerailah, karena
pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
Keempat, mendapatkan rasa tenang,
kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
Kelima, mendapatkan pengajaran ilmu
syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah menunaikan kewajibannya dengan
baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya untuk menghadiri majelis ilmu
selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Keenam, berlaku adil ketika
melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria ingin melakukan poligami kok. Jadi
jangan anti dengan kata yang satu ini.
L. Hak suami atas istri (Yaitu
kewajiban yang HARUS dipenuhi istri kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan benda,
karena istri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupkan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri tak
bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina
keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung
keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan
suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau
suaminya meninggal.
Pertama, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
Kedua, memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
Ketiga, taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk
melakukan perbuatan maksiat.
Keempat, menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di
rumah.
Kelima, menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai
suaminya. Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya
ke rumah selama suami tidak ada.
Keenam, menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan
suara yang tidak enak didengar.
Ketujuh, tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang
semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan
media yang lain.
M. Hak bersama suami istri
Telah dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya
saja dilarang untuk mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan punggung istrinya
seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk menggaulinya). Seorang
suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat (denda) dengan membebaskan
1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut jika ingin kembali pada
istrinya.
1. Pertama, hak untuk saling mendapatkan warisan
2. Kedua, Hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah.
(Ar-Rum: 21)
4.Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing
pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
5. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6. Hendaknya saling menasehati dalam
kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7. Sedangkan kewajiban yang harus
dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri adalah memelihara dan
mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan memelihara kehidupan
pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.[4]
[1] Kamal Mukhtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jakarta, Bulan Bintang, 1974, Hlm 23
[2] Muhammad
Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang
Patut Anda Ketahui, Jakarta, Lentera Hati, 2010, Hlm 557-558
[3] Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta,
Rineka Cipta, 1997, Hlm. 62
[4] Abdurrahman
Al-Jaziri, al-fiqh ala madzahib
al-arba’ah, Beirut, Daar al-Fikr, 1986, Hlm. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar