Minggu, 17 Desember 2017

SADD ADZ-DZARI’AH DAN FATH ADZ-DZARIAH

SADD ADZ-DZARI’AH DAN FATH ADZ-DZARIAH


BAB I
PEMBAHASAN
Adz-Dzari’ah
1.        Secara Etimologi
Secara etimologi (bahasa), dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Secara terminologi (istilah), Menurut al-Qarafi, sad dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada dasarnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.
Dalam karyanya al-muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sad adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang. Menurut Yahya dan Fatchurrahman, sad adz-dzari’ah adalah menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Maksudnya, saddu dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan. Misalnya, mencegah orang minum seteguk minuman keras sekalipun seteguk itu tidak memabukkan, untuk menyumbat jalan sampai kepada minum yang lebih banyak. Contoh lain, melihat aurat perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan.

Sadd Adz-Dzari'ah
1.      Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain
2.      Secara Terminologi 
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya. 
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Sadd Adz-Dzari'ah adalah mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan). Penggunaan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlatang.

Objek Dzari’ah
Pada dasarnya yang menjadi objek Dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1.  Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur dibrlsksng pintu rumsh dijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh kedalamnya.
2.  Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuatkan khamar. Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi).
3.  Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, tidak diyakini tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi).
Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin.
4. Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan.

Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Berpegang pada dzari’ah dan memberinya hukum yang sama dengan hukum yang dihasilkannya, didasarkan, baik pada Al-Qur’an maupun As-Sunah.
1)   Didalam Al-Qur’an terdapat larangan memaki berhala dengan firman Allah :
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakana Ra’ina tetapi katakanlah perhatikan dan dengarlah”. (QS. Al-Baqarah: 104). Larangan tersebut disebabkan oleh Yahudimenggunakan kata-kata “ra’ina” itu untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkannya untuk menutup peluang (saddu dzari’ah) dari makian mereka terhadap Nabi.
2)   Dalam sunah Rasul, banyak sekali hadits Beliau, diantaranya:
a.   Nabi berusaha untuk tidak membunuh orang munafik, pada saat mereka terus mengumbar fitnah dikalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan dzari’ah, yaitu jika mereka dibunuh akan dikatakan bahwa Nabi Muhammah membunuh sahabatnya.
b.   Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari yang berhutang kepadanya untuk mencegah terjadinya riba.
c.  Nabi melarang orang yang member sedekah untuk membeli apa yang disedekahkannya, karena dzari’ahdari terikatnya kaum faqir mengembalikannya dengan harga yang buruk/murah dari pasaran.

Tentang kehujjahan Saddu Dzari’ah ada beberapa pendapat:
1)    Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai saddu dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa saddu dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik di dalam mempergunakan saddu dzari’ah sama dengan mempergunakan masalih mursalah dan Uruf wal Adah. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung dibidang ushul dari mazhab Maliki.
2)    Imam Ibnu Qayyim mengatakan, bahwa penggunaan saddu dzari’ah merupakan satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di dalam saddu dzari’ah termasuk Amar (perintah) Nahi (larangan).
3)    Ulama Hanafiyyah, syafi’iyah, dan syi’ah menerima saddu dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Asy-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur, seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Zhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan diam-diam mengerjakan shalat Zhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang tidak berpuasa karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang tidak mengetahui udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain adalah, Imam Asy-Syafi’I mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak berhakmendapatkan harta warisan dari yang ia bunuh, karena apabila ia diberi warisan, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan.
4)    Imam Al-Qarafi mengatakan: Artinya: “sesungguhnya dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya. Karena dzari’ah dimakruhkan, disunahkan, dan dimudahkan. Dzari’ah adalah wasilah, sebagaimana dzari’ah yang haram diharamkan dan wasilah kepada yang wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat Jum’at dan berjalan menunaikan ibadah haji”(5).

Dari uraian tersebut diatas, jelaslah bahwa dzari’ah ini merupakan dasar dalam fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha. Tetapi mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.

Imam Malik dan Imam Ahmad banyak berpegang pada dzari’ah, sedang Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah tidak seperti merekawalaupun mereka tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah, dzari’ah ini termasuk kedalam dasar yang sudah mereka tetapkan, yaitu qiyas menurut Imam Syafi’I dan istihsan menurut Imam Hanafi.Berpegang kepada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang tenggelam didalamnya bias saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah, mundub bahkan wajib, karena khawatir terjerumus dalam jurang kedzaliman. Oleh karena itu, Ibnu Arabi di dalam kitabnya Ahkamul Quran mengaitkan keharaman karena dzari’ah, maka tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas dan bukan pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan perwalian harta anak yatim karena takut dikhawatirkan walinya bertindak dzalim.

Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua dasar :
a.    Dzari’ah itu dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash. Namun dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang disebutkan nash. Wajib menutup dzari’ah pada yang membawa kerusakan disebabkan kerusakan itu diketahui nash. Sebaliknya, wajib membuka dzari’ah pada yang membawa kebolehan disebabkan kemaslahatan itu diketahui nash. Hal ini karena masalah atau mafsadah yang diketahui dengan nash adalah diyakini, maka dzari’ah disini ditujukan untuk tunduk kepada nash.
b.    Segala urusan yang berhubungan dengan amanat menurut hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang diakibatkan oleh menutup dzari’ah lebih banyak dari pada  bahaya yang bisa dihindarkan dengan meninggalkan dzari’ah itu. Sekiranya ditinggalkan perwalian terhadap anak yatim karena menutup dzari’ah, akan berakibat tersia-sianya urusan anak yatim. Jika kesaksian ditolak karena menutupi dzari’ah mengakibatkan terjadinya kedustaan saksi, sehingga banyak hak yang akan tersia-sia.

Dengan demikian, maka mukallaf wajib benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan dzari’ah. Mereka pun harus menarjihkan di antara keduanya, kenudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).

Metode Penentuan hukum adz-Dzari'ah
Predikat-predikat hukum syara' yang dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzariah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.    Dari segi al-Baits (motif pelaku)
Al-Baits adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu perbuatan, baik motifnya menimbulkan sesuatu yang dibenarkan, maupun yang dilarang.
Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit diketahui oleh orang lain, karena berada dalam hati orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyanah (dikaitkan dengan dosa atau pahala yang akan diterima pelaku di akhirat). Pada dzari'ah, semata-mata pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan ketentuan hukum batalnya suatu transaksi.
Jika dengan tinjauan dzari'ah yang pertama, hanya mengakibatkan dosa atau pahala bagi pelakunya.

2.    Dari segi Maslahah dan Mafsadah yang ditimbulkan
Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan perbuatan tersebut adalah kerusakan, maka perbuatan tersebut dilarang, sesuai dengan kadarnya pula (haram atau makruh).
Jika dengan tinjauan dzari'ah yang kedua, perbuatan dzari'ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha'i, dimana hakim pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut, bahkan menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung pada apakah perbuatan dzari'ah tersebut menimbulkan maslahah atau mafsadah, tanpa mempertimbangkan apakah motif pelaku untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.


DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1998).
*       Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A.,ushul fiqh, Cetakan pertama 2010
*       Syafe’i, Rachmat., Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung: 2007
*        
*       Uman, Chaerul. Ushul Fiqh 1, 1998. CV. Pustaka Setia














BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.

 SARAN
1.   Hendak lah perbuatang yang dapat menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat meskipun perbuatan itu baik agar tidak terjadi kerusakan.
2.   Jauhilah diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada diri dari perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar