BAB I
PEMBAHASAN
Adz-Dzari’ah
1.
Secara Etimologi
Secara
etimologi (bahasa), dzari’ah berarti
“jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim
al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang
saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah
yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang
bersifat umum , sehingga dzari’ah itu
mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Secara
terminologi (istilah), Menurut al-Qarafi, sad
dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk
menghindari kerusakan tersebut. Menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada dasarnya
dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.
Dalam
karyanya al-muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sad adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang. Menurut Yahya dan Fatchurrahman, sad
adz-dzari’ah adalah menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
Maksudnya, saddu dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan
menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu
dicegah/disumbat agar tidak terjadi kerusakan. Misalnya, mencegah orang minum
seteguk minuman keras sekalipun seteguk itu tidak memabukkan, untuk menyumbat
jalan sampai kepada minum yang lebih banyak. Contoh lain, melihat aurat
perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan.
Sadd Adz-Dzari'ah
1.
Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua
kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ
يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah
(الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti
jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah
(الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih
al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan
untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh
sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian
digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain
2. Secara
Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah
memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari
kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah),
namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu
kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan
kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz)
agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang
terlarang.Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa
sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah
sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar
Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya
sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga
mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang.
Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut
di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
Sadd Adz-Dzari'ah adalah mencegah sesuatu perbuatan
agar tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan). Penggunaan terhadap
mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlatang.
Objek Dzari’ah
Pada
dasarnya yang menjadi objek Dzari’ah
adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat,
yaitu :
1. Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali
sumur dibrlsksng pintu rumsh dijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan
masuk rumah jatuh kedalamnya.
2. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan
yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuatkan khamar.
Ini halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi).
3. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, tidak diyakini
tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi).
Dalam
keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil
ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat
tidak diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin.
4. Perbuatan yang lebih banyak
menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan
itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan.
Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Berpegang pada dzari’ah
dan memberinya hukum yang sama dengan hukum yang dihasilkannya, didasarkan,
baik pada Al-Qur’an maupun As-Sunah.
1) Didalam
Al-Qur’an terdapat larangan memaki berhala dengan firman Allah :
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu katakana Ra’ina tetapi katakanlah perhatikan dan dengarlah”. (QS.
Al-Baqarah: 104). Larangan tersebut disebabkan oleh Yahudimenggunakan kata-kata
“ra’ina” itu untuk memaki Nabi, maka orang dilarang mengucapkannya untuk
menutup peluang (saddu dzari’ah) dari
makian mereka terhadap Nabi.
2) Dalam sunah Rasul, banyak sekali hadits
Beliau, diantaranya:
a. Nabi berusaha untuk tidak membunuh
orang munafik, pada saat mereka terus mengumbar fitnah dikalangan kaum
muslimin. Hal ini disebabkan dzari’ah, yaitu jika mereka dibunuh akan dikatakan
bahwa Nabi Muhammah membunuh sahabatnya.
b. Nabi melarang orang yang
berpiutang menerima hadiah dari yang berhutang kepadanya untuk mencegah
terjadinya riba.
c. Nabi melarang orang yang member sedekah untuk
membeli apa yang disedekahkannya, karena dzari’ahdari terikatnya kaum faqir
mengembalikannya dengan harga yang buruk/murah dari pasaran.
Tentang kehujjahan Saddu Dzari’ah
ada beberapa pendapat:
1) Imam Malik
dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai saddu
dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa saddu dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang
dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik di
dalam mempergunakan saddu dzari’ah
sama dengan mempergunakan masalih mursalah dan Uruf wal Adah.
Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi, salah seorang ulama ulung dibidang
ushul dari mazhab Maliki.
2) Imam Ibnu Qayyim mengatakan,
bahwa penggunaan saddu dzari’ah
merupakan satu hal yang penting sebab mencakup seperempat dari urusan agama. Di
dalam saddu dzari’ah termasuk Amar
(perintah) Nahi (larangan).
3) Ulama Hanafiyyah,
syafi’iyah, dan syi’ah menerima saddu
dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam
kasus-kasus lain. Imam Asy-Syafi’i, membolehkan seseorang yang karena udzur,
seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya
dengan shalat Zhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan
diam-diam mengerjakan shalat Zhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat Jum’at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang tidak
berpuasa karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang tidak
mengetahui udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain adalah,
Imam Asy-Syafi’I mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak berhakmendapatkan
harta warisan dari yang ia bunuh, karena apabila ia diberi warisan, maka anak
akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan.
4) Imam Al-Qarafi mengatakan:
Artinya: “sesungguhnya dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menyumbatnya.
Karena dzari’ah dimakruhkan, disunahkan, dan dimudahkan. Dzari’ah adalah
wasilah, sebagaimana dzari’ah yang haram diharamkan dan wasilah kepada yang
wajib diwajibkan, seperti berjalan menunaikan shalat Jum’at dan berjalan
menunaikan ibadah haji”(5).
Dari uraian tersebut diatas,
jelaslah bahwa dzari’ah ini merupakan
dasar dalam fiqih Islam yang dipegang oleh seluruh Fuqaha. Tetapi mereka hanya
berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad banyak
berpegang pada dzari’ah, sedang Imam
Syafi’I dan Imam Abu Hanifah tidak seperti merekawalaupun mereka tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak
mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Imam Syafi’I dan Imam
Abu Hanifah, dzari’ah ini termasuk
kedalam dasar yang sudah mereka tetapkan, yaitu qiyas menurut Imam
Syafi’I dan istihsan menurut Imam Hanafi.Berpegang kepada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan,
karena orang yang tenggelam didalamnya bias saja melarang perbuatan yang
sebenarnya mubah, mundub bahkan wajib, karena khawatir terjerumus dalam jurang
kedzaliman. Oleh karena itu, Ibnu Arabi di dalam kitabnya Ahkamul Quran
mengaitkan keharaman karena dzari’ah, maka tsabit keharamannya dengan nash,
bukan dengan qiyas dan bukan pula dengan dzari’ah. Oleh karena
itu, tidak boleh meninggalkan perwalian harta anak yatim karena takut
dikhawatirkan walinya bertindak dzalim.
Suatu analisis ilmiah yang mendalam menyimpulkan dua
dasar :
a. Dzari’ah itu
dijadikan pegangan apabila ia menyebabkan kerusakan yang disebutkan nash.
Namun dijadikan qiyas, apabila membawa kebolehan yang disebutkan nash.
Wajib menutup dzari’ah pada yang membawa kerusakan disebabkan kerusakan
itu diketahui nash. Sebaliknya, wajib membuka dzari’ah pada yang
membawa kebolehan disebabkan kemaslahatan itu diketahui nash. Hal ini
karena masalah atau mafsadah yang diketahui dengan nash adalah diyakini, maka
dzari’ah disini ditujukan untuk tunduk kepada nash.
b. Segala urusan yang
berhubungan dengan amanat menurut hukum syari’atnya tidak boleh dicegah karena
kadang-kadang menimbulkan khianat. Bahaya yang diakibatkan oleh menutup
dzari’ah lebih banyak dari pada bahaya yang bisa dihindarkan dengan
meninggalkan dzari’ah itu. Sekiranya ditinggalkan perwalian terhadap anak yatim
karena menutup dzari’ah, akan berakibat tersia-sianya urusan anak yatim. Jika
kesaksian ditolak karena menutupi dzari’ah mengakibatkan terjadinya kedustaan
saksi, sehingga banyak hak yang akan tersia-sia.
Dengan demikian, maka mukallaf wajib
benar-benar mengetahui akan bahaya menggunakan atau bahaya meninggalkan
dzari’ah. Mereka pun harus menarjihkan di antara keduanya, kenudian harus
mengambil mana yang rajih (unggul).
Metode Penentuan hukum adz-Dzari'ah
Predikat-predikat hukum syara' yang dilekatkan kepada
perbuatan yang bersifat adz-dzariah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1. Dari segi
al-Baits (motif pelaku)
Al-Baits adalah motif yang mendorong pelaku untuk
melakukan suatu perbuatan, baik motifnya menimbulkan sesuatu yang dibenarkan,
maupun yang dilarang.
Pada umumnya, motif pelaku suatu perbuatan sangat
sulit diketahui oleh orang lain, karena berada dalam hati orang yang
bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyanah
(dikaitkan dengan dosa atau pahala yang akan diterima pelaku di akhirat). Pada
dzari'ah, semata-mata pertimbangan niat pelaku saja, tidak dapat dijadikan
dasar untuk memberikan ketentuan hukum batalnya suatu transaksi.
Jika dengan tinjauan dzari'ah yang pertama, hanya
mengakibatkan dosa atau pahala bagi pelakunya.
2. Dari segi
Maslahah dan Mafsadah yang ditimbulkan
Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan suatu
perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai
dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunnah).
Sebaliknya, Jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan perbuatan tersebut
adalah kerusakan, maka perbuatan tersebut dilarang, sesuai dengan kadarnya pula
(haram atau makruh).
Jika dengan tinjauan dzari'ah yang kedua, perbuatan
dzari'ah melahirkan ketentuan hukum yang bersifat qadha'i, dimana hakim
pengadilan dapat menjatuhkan hukum sah atau batalnya perbuatan tersebut, bahkan
menimbulkan hukum boleh atau terlarangnya perbuatan tersebut, tergantung pada
apakah perbuatan dzari'ah tersebut menimbulkan maslahah atau mafsadah, tanpa
mempertimbangkan apakah motif pelaku untuk melakukan kebaikan atau kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab
fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam
fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1998).
Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A.,ushul
fiqh, Cetakan pertama 2010
Syafe’i, Rachmat., Ilmu
Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung: 2007
Uman, Chaerul. Ushul Fiqh 1, 1998. CV. Pustaka Setia
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika
diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa
menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan
oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di
tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain
yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
SARAN
1. Hendak lah perbuatang yang dapat
menimbulkan kerusakan itu dicegah/disumbat meskipun perbuatan itu baik agar
tidak terjadi kerusakan.
2. Jauhilah diri
dari perkara-perkara yang lahirnya mubah agar tidak terjadi kepada diri dari
perbuatan maksiat dan menjerumuskan diri kejalan kerusakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar