Selasa, 19 Desember 2017

MAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI NIKAH MU’TAH

MAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI
NIKAH MU’TAH

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
            Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala limpah rahmat,inayah,taufik,dan hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam tafsir ayat ekonomi.
            Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah mengetahuan dan pengalaman bagi pembaca,sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapan lebih baik.
            Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.oleh karena itu,kami harapan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.Terima kasih..
Wasssalamu’alaikum Wr.Wb
                                                                                                Bandar Lampung,  Desember 2017

                                                                                                            Tim Penyusun
                                                                                          

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARii
DAFTAR ISIiii

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang1
B.Rumusan Masalah2
C.Tujuan Pembahasan2

BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian nikah mutah3
B.Sejarah nikah mutah6
C.Sebab diharamkannya nikah mutah10
D.Nikah mu’tah menurut hukum Islam14
E.Nikah mu’tah menurut hukum positif21
F.Nikah mu’tah dalam tinjauan fiqh22
G.Dampak pelaksanaan nikah mu’tah22
H.Hikmah dilarangnya nikah mu’tah24
I.Perbedaan dan persamaan dengan kawin kontrak28
J.Kawin kontrak yang dilarang30
K.Kawin kontrak yang diperbolehkan30
L.   Nikah Mut’ah yang terjadi Di Bandung35

BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan41
B.Saran41
 DAFTRA PUSTAKA
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah" [1]
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusan-Nya, Muhammad SAW.
Ada banyak pernikahan yang di haramkan oleh Islam, salah satunya yang dikenal dengan nikah mut’at. Nikah mu’tah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mu’tah ini bahkan dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syi’ah dengan mengatasnamakan agama.
Nikah mu’tah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mu’tah di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu. Dari sini penyusun akan menguraikan bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mu’tah yang terjadi di Indonesia[2]

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian mengenai nikah mu’tah?
2.      Bagaimana sejarah nikah mu’tah?
3.      Apa saja sebab-sebab diharamkannya nikah mu’tah?
4.      Bagaimana hukum nikah mu’tah jika ditinjau dari perspektif hukum Islam?
5.      Bagaimana hukum nikah mu’tah jika ditinjau dari perspektif hukum Positif?
      6.      Bagaimana nikah mu’tah dalam tinjauan fiqh?
      7.      Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mu’tah?
      8.      Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mu’tah?
      9.      Bagaimana perbedaan dan persamaan dengan kawin kontrak?
      10.    Bagaimana kawin kontrak yang dilarang?
      11.    Bagaimana kawin kontrak yang diperbolehkan?

C.  Tujuan Penelitian
1.       Agar kita mengetahui pengertian nikah mu’tah.
2.       Agar kita mengetahui sejarah nikah mu’tah
3.       Agar kita mengetahui sebab-sebab diharamkannya nikah mu’tah
4.       Agar kita mengetahui hukum nikah menurut perspektif hukum Islam.
5.       Agar kita mengetahui hukum nikah mu’tah menurut perspektif hukum positif
6.       Agar kita mengetahui nikah mu’tah dalam  tinjauan fiqh
7.       Agar kita mengetahui dampak pelaksanaan nikah mu’tah
8.       Agar kita mengetahui hikmah dilarangnya nikah mu’tah
9.       Agar kita mengetahui perbedaan dan persamaan kawin kontrak
10.     Agar kita mengetahui kawin kontrak yang dilarang
11.     Agar kita mengetahui kawin kontrak yang diperbolehkan


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nikah Mu’tah

Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Ada arti sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah dhom yang artinya menghimpit, menindih, atau berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan wath’i yang artinya bersetubuh.
Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad antara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum nikah itu ada 5, antara lain:
1.      Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2.      Sunah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah
3.      Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda zina
4.      Makruh, bagi orang yang tidak mampu  memberi nafkah
5.      Haram, bagi orang yang mempunyai niat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mu’tah -sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa asal kata  mu’tah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau bernikmat-nikmat  dengan sesuatu. Haji  tamattu’  disebut demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[4]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mu’tah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[5]
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya,  wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,”atau ”Engkau kumu’tahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa
tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.” Berikut beberapa pendapat para tokoh-tokoh :
1.      Menurut Tokoh-tokoh Sunni
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mu’tah adalah seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah dibatasi waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian dia tinggalkan setelah batas waktunya habis.”
Syaikh Muhammad Amin mengatakan: “Nikah mu’tah ialah seorang laki-laki melakukan akad dengan seorang wanita untuk dinikahi dengan mahar tertentu dan dengan batas waktu tertentu pula, seperti si laki-laki mengatakan kepada si wanitanya; “Aku menikahimu dengan Lima Junaihat (jenis mata uang) dengan waktu seminggu kemudian wanita tersebut menerimanya.”

2.      Menurut Tokoh-tokoh Syi’ah Imamiyah
Sayyid Muhammad Husein Fadlullah mengatakan: “Nikah mu’tah adalah hubungan suami-istri yang bersifat sementara yang dilakukan melalui akad (ijab qabul) tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas waktu pernikahan) dan mahar di samping pokok pernikahan itu sendiri.
Allamah Sayyid Murtadha al-Asykari mengatakan: “Nikah mu’tah ialah seorang wanita menikah atau dinikahkan oleh perantaranya atau walinya jika masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi halal baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai dengan batas waktu tertentu.[6] Menurut para hadist nabi :
1)      H.R Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
“Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran tentang mu’tah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2)      H.R Thabrani                             
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ غَزِيَّةَ قَـالَ : سَمِعْتُ النَّبِيُّ ص.م. يَـوْمَ فَتْحُ مَكَّةَ يَقُوْلُ مُتْعَـةُ النـِّسَاءِ حَرَامٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه الطبرانى)
“Dari Harits bin Ghaziyah, ia berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari menaklukkan Makkah, kawin mu’tah dengan wanita haram (Beliau berkata begitu) tiga kali” (H.R. Thabrani)
3)      H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
“Dari Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian! Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mu’tah. Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari kiamat nanti, lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mu’tah, hendaklah ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu telah berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim)


B.     Sejarah Nikah Mu’tah

1.      Periode Jahiliyah
Institusi Arab lama memberikan gambaran kepada kita ada beberapa kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang hubungan perkawinan dan kekeluargaan yang kurang begitu jelas. Setidaknya ada empat macam bentuk perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut ini empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
a.       Seorang laki-laki melamar seorang wanita dengan seizin walinya dan kemudian mengawininya dengan memberikan mahar kepada si wanita tadi, dan ini adalah bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Islam dan tetap di lestarikan sampai hari ini.
b.      Suatu tradisi masyarakat jahiliyah, yakni seorang suami mengatakan kepada istrinya untuk pergi menuju seseorang yang ditunjuk dan dikehendaki oleh suaminya untuk bergaul dengan laki-laki yang ditunjuk tadi. Suaminya kemudian keluar dari masyarakat untuk beberapa waktu, dan setelah istrinya mengandung dengan laki-laki yang ditunjuk oleh suaminya tadi, maka suaminya pulang kepada istrinya. Ini berasal dari adanya keinginan untuk menyelamatkan bibit bangsawan.
c.       Sejumlah laki-laki mendatangi seorang wanita dan mereka menyetubuhinya, jika wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak, maka wanita tadi akan memanggil semua laki-laki yang pernah menggaulinya tadi seraya menunjuk ke salah seorang dari mereka sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya dan laki-laki tersebut tidak boleh menolaknya.
d.      Beberapa orang laki-laki mengunjungi seorang wanita untuk melakukan hubungan sebadan dengannya, apabila wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak maka laki-laki tadi dengan kehendaknya sendiri berkumpul dan orang-orang ahli firasat yang memutuskan siapa diantara mereka yang berhak menjadi ayah dari anak yang dilahirkan oleh si wanita tadi.
     Islam menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi jahiliyah lainnya yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk memelihara hubungan kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang syah, memelihara kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki buat sorong, menjaga kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum wanita untuk mencapai keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.[7]

2.      Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mu’tah memang pernah terjadi, saat itu kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir dan melakukan perjalanan jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak dapat menyalurkan hasrat biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara mereka, sebelumnya sudah terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang mempunyai banyak istri. Mereka berhubungan seksual dengan istri yang mereka kehendaki dan meninggalkan istri yang tidak lagi menarik.ketika mereka menjadi Muslim dengan aturan yang ketat dalam hal hubungan seksual, maka sulit bagi mereka untuk berperang tanpa diperbolehkan melakukan nikah mu’tah. Karena untuk kepentingan sesaat maka nikah ini disebut mu’tah, bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak ada ikatan permanen dengan lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam konteks peperangan, Nabi memberi kelonggaran dilakukannya nikah mu’tah. Namun, ketika waktunya sudah dinilai tepat oleh Nabi, maka nikah  mu’tah dilarang atau diharamkan.[8]
Menurut riwayat Muslim, larangan nikah mu’tah itu baru terjadi dalam tahun penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi). Artinya pada waktu penaklukkan itu masih boleh, baru sesudah itu terdapat larangan.
Apabila pada waktu perang Khaibar dilakukan pelarangan dan kemudian di dalam tahun penaklukkan itu terjadi pelarangan, berarti, begitu para ahli hadits, terjadi penaskhan hukum dua kali. Dan menurut para ulama tidak mungkin penaskhan itu terjadi dua kali. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i secara formil berpegangan kepada kedua kali penaskhan itu seraya mengatakan : tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan oleh Allah lalu diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi selain daripada nikah mu’tah.
Ketika Umar menjadi kholifah beliau pernah berpidato yang isinya melarang nikah mu’tah itu. Para sahabat menyetujui tindakan ini. Sekiranya sayidina Umar bertentangan dengan sunah tentulah para sahabat tidak akan membenarkannya. Sedang Ja’far bin Muhammad ketika ditanya oleh Baihaqy tentang pernikahan mu’tah menjawab dengan: pernikahan mu’tah itu sama dengan zina. [9]
Yang menarik disoal dalam hai ini adalah menyangkut sejak kapan dan dalam peristiwa diharamkannya pernikahan mu’tah tersebut, sebagai mana nikah jenis ini diharamkan kalangan sunni? Ternyata terjadi khilaf pendapat di kalangan Ulama Sunni sendiri, apalagi menyangkut dengan tempat dan waktu pelarangan tersebut. Menurut mereka, Rasulullah diriwayatkan telah melarang nikah mu’tah pada beberapa peristiwa, yaitu Fathu Makkah, Awthas, Haji wada’, Perang Tabuk, Umrah al-Qadha’, Perang Hunain, Dan perang Khaibar. Dalam mu’tah kemudian beliau melarangnya. Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at Islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan. [10]
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya[11]. Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :

عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
 ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”

Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga  hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)

Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya Rasulullah saw pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu Nikah
Muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah pada tahun Khaybar
وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت أذنت لكم الإستمناع من النساء,
وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة (أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)


Artinya :                                                                                  
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad, dan Ibn Majah).

C.  Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mu’tah
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah SWT mengharamkan Nikah Mu’tah kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keIslaman mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya Islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar dibolehkannya Nikah Mu’tah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mu’tah menyusahkan perempuan dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mu’tah,pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah SWT dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia[12]
Seperti Firman Allah SWT :
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?.”QS. An-Nahl : 76
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.”QS.An-Nissa :

[263]  maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264]  menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah Allah SWT syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah mu’tah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mu’tah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mu’tah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman,  perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mu’tah merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mu’tah yang dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mu’tah, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mu’tah juga memiliki banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw , karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan. Menurut ulama :

1.Jumhur  Ulama
Kebanyakan dari para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah muth'ah berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah tersebut. Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman nikah muth'ah. Dari ebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang khaibar, ada yang sebagian pada penaklukan Makah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk, ada yang sebagian pada haji wada', ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada sebagian pada waktu tahun Authas.

2. Ibn Abbas
Yang telah terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini mengikuti pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn Abbas dalam Firman Allah :
فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَأُتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ (النساء : )
Artinya :
Maka istri-istri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar. (An-nisa' : 24)

Dan pada suatu huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan, diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang impoten. Dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn Dinar. Dari Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin Abdillah berkata : kami melakukan nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar, dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang muth'ah kepada semua manusia (umat muslim)

D.  Nikah Mu’tah Menurut Hukum Islam
Nikah mu’tah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mu’tah haram hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.[13] Nikah mu’tah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan akal.

1.    Dalil al-Quran
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu[1513], Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” QS.al Maarij : 29-31
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
[1512]  Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[1513]  Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya[14]

Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mu’tah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan mu’tah tidak berfungsi sebagai istri karena:
a.       Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b.      Idah nikah mu’tah tidak seperti nikah biasa
c.       Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mu’tah
d.      Dengan melakukan mu’tah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena wanita yang diambil dengan jalan mu’tah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mu’tah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mu’tah itu di dalam firman Allah.[15]

2.    Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mu’tah pada tahun penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang mengatakan, larangan nikah mu’tah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mu’tah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mu’tah telah dinasakh.Hal dinyatakan dalam hadis berikut:
حدثنا محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى, حدثنا عبد العزيز بن عمر, حدثني الربيع بسبرةالجهني, أن أباه, حدثه أنه, كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شىء فليحل سبيله ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا
(رواه مسلم)
Artinya:
Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mu’tah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mu’tah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim)[16]

Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah mu’tah diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat. Akan tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mu’tah ini haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari kebangkitan.

3.    Ijma’ Seluruh Ummat Islam
Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah mu’tah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.
Nikah mu’tah, pada awal Islam saat kondisi darurat diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mu’tah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mu’tah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[17]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mu’tah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”. [18]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mu’tah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”.[19][19
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mu’tah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mu’tah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mu’tah, sesuai dengan urutan waktunya.
1.      Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mu’tah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2.      Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3.      Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4.      Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5.      Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6.      Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7.      Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mu’tah dimulai pada umrah qadha , perang tabuk dan Haji Wada tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mu’tah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas

Riwayat pengharaman nikah mu’tah pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mu’tah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[20]
Riwayat pengharaman nikah mu’tah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mu’tah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermu’tah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mu’tah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[21][21
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mu’tah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian .Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mu’tah”. Dengan demikian, larangan mu’tah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Para ulama berselisih, apakah mu’tah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mu’tah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna.[22][22
Sedangkan riwayat pengharaman mu’tah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mu’tah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mu’tah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali”. [23][23
Al Qurthubi berkata,”Telah berkata Ibnul ‘Arabi,’Adapun mu’tah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mu’tah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mu’tah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mu’tah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.

E.  Nikah Mu’tah Menurut Hukum Positif

Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:
1.      Pancasila, terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2.      Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3.      Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia  dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
4.      Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi  seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori bahwa suatu  negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga yang manta

F.  Hukum Nikah Mu’tah Dalam Tinjauan Fiqh
1.      Pandangan Empat Madzhab
Empat mazhab sepakat bahwa nikah mu’tah adalah batal. Yang mana pernikahan itu adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selama batas waktu tertentu. Umpamanya, seseorang mengatakan,”aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun,” dan sejenisnya.[24][24
2.      Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mu’tah berdasarkan keputusan Nabi saw adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan hukum). Madzhab Sunni mengatakan bahwa nikah mu’tah telah dihapuskan dan diharamkan sesudah dihalalkan.
Artinya:
“Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)

Kelompok syi’ah berpendapat bahwa nikah mu’tah dulu dihalalkan dan akan tetap halal hingga hari Kiamat. Landasan lain yang dijadikan pendapat madzhab Syi’ah adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw, melakukan mu’tah. Demikian juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat Muslim).
Realitas pemahaman pada kelompok Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah, sepakat terhadap nikah mu’tah yang banyak dihalalkan kalangan Syi’ah berdasarkan ayat 24 surat An-Nisa’ di atas. Dalam pandangan Muhammad Malullah, berdalil dengan ayat ini untuk membenarkan nikah mu’tah adalah batil. Kebatilannya dengan melihat hal berikut:
1.      Turunnya ayat yang mulia ini hanya berkenaan dengan pernikahan yang sah (benar). Ayat tersebut merupakan penggalan dari ayat yang terdapat pada surat An-Nisa’ yang berbicara tentang para wanita yang dihalalkan dan diharamkan Allah untuk dinikahi.
2.      Sesungguhnya bersenang-senang yang dimaksudkan di kalangan Syi’ah bukanlah dengan istri dan bukan juga dengan budak wanita yang dimiliki. Mereka mengatakan bahwa wanita-wanita yang dimaksud dalam ayat tersebut tidaklah termasuk keempat istri yang diperkenankan dalam Islam. Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan tidak mewarisi, tetapi disewa.
3.      Wanita yang dijadikan pasangan mu’tah, menurut Syi’ah, tidak ditalak. Sementara pernikahan yang langgeng tidaklah terjadi perpisahan antara pasangan suami istri, melainkan dengan cara talak. Ini karena nikah mu’tah di kalangan Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas waktu tertentu dan dengan imbalan tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis, saat itu pula terjadi perpisahan secara otomatis.
4.                Warisan itu adalah salah satu hak dari hak-hak yang ditetapkan untuk para istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah, perempuan tidak dapat mewarisi.[25][25

G.   Dampak Pelaksanaan Nikah Mu’tah

Golongan Syiah Imamiyah membolehkan nikah mu’tah dengan syarat-syarat : kalimat yang digunakan untuk pernikahan itu adalah zauwajtuka atau unkihuka (aku kawinkan atau aku nikahkan engkau) atau matta’tuka (aku kawinkan mu’tah engkau), dan istri orang Islam atau ahlulkitab, tetapi terutama adalah perempuan mukmin yang menjaga diri dan disepakati bersama.
Pernikahan mu’tah ini apabila maskawinnya tidak disebut sedang batas waktunya tidak, pernikahan menjadi batal, sedang apabila maskawin disebut dan batas waktunya tidak disebut, pernikahannya berubah menjadi pernikahan biasa.
Anak yang lahir dari pernikahan mu’tah menjadi anaknya. Di samping itu tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat puluh hari.[26][26

H.    Hikmah Dilarangnya Nikah Mu’tah
Adapun hikmah dari nikah mu’tah adalah sebagai berikut:
1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya.
2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.[27]
Adapun ayat Al-qur’an yang di pakai oleh golongan Syi’ah bukanlah dalil untuk nikah mu’tah melainkan untuk nikah abadi, dengan dalil bahwa ayat sebelum dan sesudahnya, serta ungkapan dalam ayat dengan kata istamta makssudnya bukan mu’tah sebagaimana yang di yakini Syi’ah Imamiyah, melainkan istimta dengan istri yang sah menurut sayriat (bersenang-senang dengan istri). Kemudian yang di maksud dengan ujur (upah) dalam ayat tersebut adalah mahar. Al-Qur’an menyatakan mahar dengan ‘ujur sebagai majaz (kiasan), seperti di jelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 25:
   فانكحو هن باذن اهلهن وا توهن اجورهن باالمعروف
Artinya:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka mas kawin yang pantas  
  
Q.S An-Nisa 25
اذا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مسا فحين
Artinya:
Apabila kamu membayar maskawin mereka untuk manikahinya, tidak bermaksud berzina.

Ibnu Hazm dan sebagian ulama fiqh dari mazhab maliki berpendapat bahwa hadd (saksi hukum) wajib di tegakkan untuk orang yang bersetubuh dalam nikah mu’tah, padahal dia tau bahwa hukum mu’tah itu haram. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan yang diambil setelah dan keharamanya. Hal ini seperti nikah yang kelima, atau menikahi orang yang dalam masa  iddah. Dengan demikian wajib menegakkan hadd bagi mereka yang mengakui keharamannya.
Banyak ulama fiqh mengingatkan adanya iijmatentang keharaman mu’tah setelah terjadinya berbedaan mengenai hukumnya. Al-Baji mengatakan keharaman nikah mu’tah itu berdasarkan perkataan umar. Ia melihat perkataan Umar tidak bertentangan dengan ijma.  Ibnu Munzdir berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang membolehkan mu’tah pada hari ini, kecuali segelintir orang yang menolak pengharaman itu. Tidak ada artinya perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dn sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, pendapat yang datang dari para ulama salaf sudah menguatkan kebenaran adanya nasakh (menghapuskan) terhadap hukum bolehnya nikah mu’tah. Jadi, jelaslah bahwa nikah mu’tah haram berdasarkan ijma’ ulama. Itu berarti pula batallah nikah mu’tah, dan persetubuhan di dalamnya adalah zina, yang pelakunya wajib di hukum (rajam atau jillid), yakni bagi mereka yang  mengetahui hukumnya dan dengan sengaja melakukan persetubuhan.

Golongan Syi’ah imamiyah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat berikut.
1.      Ucapan Ijab qabulnya dengan lafazh: Zawwaj atau unkihuka (saya kawinkan kamu) atau matta’tuka (saya kawinkan kamu sementara).
2.      Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab, tetapi di utamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.      Membayar mahar/ maskawin: harus di sebutkan maskawinnnya dan boleh dengan membawa saksi dan perhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segenggam gandum.
4.      Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat di dalam pernikahan tersebut.
5.      Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing, misalnya sehari, sebulan, atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.


Menurut golongan Syi’ah, hukum nikah mu’tah adalah sebagai berikut.
1.      Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya di sebutkan akad nikahnya batal. Akan tetapi, kalau maharnya di sebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2.      Anak yang lahir menjadi anaknya
3.      Tidak ada talak dan li’an
4.      Tidak ada hak pusaka-memusakai antara suami istri
5.      Anaknya berhak mewarisi ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi anaknya.
6.      Masa Iddah dua kali masa Haid, bagi yang masih berhaid. Bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, masa iddahnya 45 hari.

Imam Syauqani berkata : “sepenuhnya kami hanya berpegang pada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami, nikah mu’tah itu di haramkan untuk selama-lamanya. Adapun sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini berarti telah mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat di jadikan dasar untuk meringankan hukum nikah mu’tah. Bagaimana mungkin nikah mu’tah ini bisa di berikan keringanan, padahal sebagian besar sahabat telah mengetahui keharamannya dan mereka pun menjauhinya. Bahka mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits mengenai keharaman nikah mu’tah bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya sahih.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذن لنا فى المتعة شلاثا ثم حرمها والله لااعلم احد ا تمتع وهو محصن الا رجمتها با الحجا رة  
Ukuran nikah mu’tah
Fuqaha berbeda pendapat tentang ukuran besar kecilnya nikah mu’tah. Sebagaimana pula mereka berbeda pendapat mengenai kondisi pertimbangan nikah mu’tah, apakah pertimbangan suami saja? Atau istri saja? Dan atau pertimbangan keduanya?
Ukuran hanafiyah dan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah mu’tah mempunyai ukuran yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung dan rangkapan. Ukuran ini diriwayatkan dari al-hassan, said bin al-mussayab, atha dan asy-syabi.
Ulama syafizah berpendapat bahwa nikah mu’tah tidak memiliki ukuran tertentu, tetapi disunnahkan tidak kurang dari 30 dirham atau seharga itu. Kewajibannya tidak melebihi dari mahar mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dari separuh mahar mitsil.
Mereka mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari abi majlas berkata “ aku berkata kepada ibnu umar: beritakan kepadaku tentang nikah mu’tah, ia pun memberikan kepadaku tentang ukuran nikah mu’tah dan aku adalah orang yang dimudahkan. Ia berkata :” berikan pakaian begini, berikan pakaian begini dan berikan pakaian begitu,” abi majlas berkata  “cukuplah aku dapati kira-kira seharga 30 dirham. “ beliau berkata: perkiraan 30 dirham.”
Ulama hanabilah berpendapat , bahwa nikah mu’tah yang paling tinggi diberi pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan kerudung. Masing-masing pendapat mempunyai dalil, kami tidak dapat mentarjih satu pendapat atas pendapat lain dalam hal ini.[28]
Menurut kami yang baik apabila suami istri saling merelakan ukuran nikah mu’tah, apa yang disepakati mereka berdua tentang ukuran nikah mu’tah, suami melaksanakan , baik sedikit atau banyak. Jika mereka bertengkar tentang ukuran nikah mu’tah mereka lapor ke hakim untuk ditentukan ukurannya, demikian pendapat ulama syafiyah dan imam ahmad dalam satu periwayatan.
Ukuran nikah mu’tah tidak diterangkan dalam syara, nikah mu’tah berada diantara sesuatu yang memerlukan ijtihad. Ukuran nikah mu’tah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Nikah mu’tah  layak dan rasional pada suatu zaman terkadang tidak layak pada zaman lain. Demikian juga nikah mu’tah yang layak disuatu tempatbterkadang tidak layak ditempat lain.
Pendapat yang kuat adalah pendapat ulama syafiyah, pendapat abu yusuf dari ulama hanafiyah dan pendapat yang dijelaskan oleh imam ahmad, bahwa hakim ketika berijtihad tentang ukuran nikah mu’tah hendaknya melihat kondisi suami, apakah tergolong mudah atau susah, kaya atau miskin sebagimana dalam firman :
​ۚ عَلَى الۡمُوۡسِعِ قَدَرُهٗوَّمَتِّعُوۡهُنَّ وَ عَلَى الۡمُقۡتِرِ قَدَرُهٗ
Artinya :
Dan hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula. (QS. Al-Baqarah (2): 236)
Ayat diatas jelas dan tegas mempertimbangkan kondisi suami.[29][29

I. Persamaan dan perbedaan dengan kawin kontrak
1.      Perbedaan dengan kawin kontrak
Kawin kontrak pada zaman sekarang masih ada keberadaanya, mereka menyewa hotel dan villa untuk kawin kontrak dengan pribumi untuk mengisi liburannya, biasanya orang tersebut adalah orang dari Timur tengah.
Alasan mereka lebih memilih kawin kontrak karena mas kawin lebih murah dan persyaratannya lebih mudah. Pelaksanaan kawin kontrak  dilaksanakan tanpa penghulu melainkan saksi. bahkan saksinya sendiri pun terkadang orang lain yang mereka temui di jalan. Bahkan calon isterinya pun mereka dapat dari seorang calo.
Dapat kita lihat nikah mutah dizaman dahulu, Rasul memperbolehkan adanya Nikah mu’tah dikarenakan dalam keadaan darurat pada saat berperang, dikarenakan masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya[30].  Seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
 ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga  hari setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya (HR Muslim)
Adanya perbedaan dalam kawin kontrak yang sekarang di Indonesia dan nikah mu’tah karena:
      Adanya nikah mu’tah karena dahulu masih zaman jahiliah sehingga orang masih awam dalam masalah agama, sedangkan sekarang masyarakat sudah pintar dan beragama
      Dahulu adanya nikah mu’tah karena perang fisabilillah. Sekarang hanya untuk bersenang- senang
     Dan sekarang seharusnya kawin kontrak ini dihapuskan karena sudah ada dalil yang menasakh adanya hukum nikah mu’tah tersebut. Sedangkan dahulu belum ada dalil yang menasakhnya.[31]

2.      Persamaan dengan kawin kontrak
Persamaanya nikah mu’tah dengan kawin kontrak yaitu mengawini perempuan untuk beberapa waktu saja.

J.     Kawin kontrak yang dilarang
Kawin kontrak ini oleh seluruh Imam Madzhab disepakati haramnya. Alasan mereka yaitu:[32]
1.      Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksud oleh Al-Quran, juga tidak sesuai dengan talak, iddah dan pusaka.
2.      Banyak hadis-hadis yang dengan tegas menyebutkan haramnya.
3.      Umar ketika menjadi khalifah dengan berpidato diatas mimbar mengharamkannya dan para sahabat pun menyetujuinya.
4.      Al- Khattabi berkata: haramnya kawin mu’tah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan syiah.
5.      Kawin mu’tah sekedar bertujuan untuk melampiaskan syahwat dan bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan.
K.     Kawin kontrak yang Diperbolehkan
Pada zaman jahiliah pernah diperbolehkan adanya nikah mu’tah dalam hadist dijelaskan dari Saburah Al-Jahmiy, bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang penaklukan mekkah, dimana Rasulullah mengizinkan mereka kawin mu’tah. Dia pun berkata: Ia (Saburah) tidak meninggalkan kawin mu’tah ini sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah.[33]
Dalam suatu lafadz yang diriwayatkannya oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan kawin mu’tah dengan sabdanya:
“wahai Manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mu’tah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
“Dari Ali, Rasulullah saw, telah melarang kawin mu’tah pada waktu perang Khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya.”
Dan ada beberapa seorang shabat dan tabiin yang meriwayatkan bahwa kawin mu’tah itu halal, yang dikenal sebagi riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitah “Tahdzibus Sunnan” ditegaskan bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin mu’tah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak.
Tetapi pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang yang melakukan berlebih-lebihan. Jadi kawin mu’tah tetap haram bagi orang yang tidak ada alsan yang sah.
Al-Khattabi berkata: Said bin Jubair berkata: saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: Tahukah Anda apa yang anda perbuat dan anda fatwakan? Kini para kafilah telah mengikuti fatwa tuan dan para ahli syair bersajak.
Jawab beliau: Apa kata mereka?
Jawab saya: mereka berkata: aku berkata kepada Syaikh yang telah alam meninggalkan isterinya, “wahai Saudara! Tahukah anda fatwanya Ibnu Abbas? Tahukan anda yang kawin mu’tah itu boleh. Anda boleh bersenang-senang sampai kafilah pulang balik.
Ibnu Abbas menjawab: Inna Lillah wainna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak pula bermaksud begitu. Kalau toh aku mengahalalkan, maka adalah seperti Allah menghalalkan bangakai, darah, dan daging babi, yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mu’tah itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.[34]
  Syarat Mu’tah
Ketika Islam belum turun, nikah mu’tah ternyata sudah membudaya di masyarakat. Pada saat itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam meresap dahulu, baru setelah pemahaman aqidah meresap larangan mu’tah diberlakukan.
Seluruh kaun muslimin sepakat bahwa Islam telah menghalalkan pernikahan mu’tah selama beberapa hari pada peristiwa penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan mu’tah kepada para sahabatnya untuk bermu’tah), yang terjadi pada tahun ke-5 H.  Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
“Dari Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan mu’tah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mu’tah pada awal Islam, ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin kenalan, lalu ia kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa ia akan tinggal di sana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan mengurus keperluannya”. (H.R. Tirmidzi)
Melihat dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa nikah mu’tah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah tentang nikah mu’tah.[35]
Adapun syarat-syarat nikah mu’tah lainnya yaitu
1. Adanya ijab Qabul dengan menggunakan dua kata yang dapat menunjukan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud dan rela dengan pernikahan mu’tah dengan cara yang dimengerti kedua belah pihak
2. Mengerti dengan yang dimaksudkan dari kata-kata:
• Aku mu’tahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan ( Zawwajtu)
3. Ijab dan Qabul harus dengan bahasa arab bagi yang mampu mengucapkannya walaupun (kedua pihak) melalui sistem perwakilan
4. Pengucapan Ijab dari pihak isteri dan Qabul dari pihak suami bisa dilakukan secara langsung oleh yang bersangkutan atau melalui perwakilan masing-masing.
5. Kalimat Ijab harus mendahului Qabul bila kalimat Qabul mempergunakan lafadz :
• Aku terima ( Qobiltu)
6. Kalimat Ijab diperkenakan hanya dengan mempergunakan salah satu dari tiga macam lafadz:
• Aku mu’tahkan (Matta’tu)
• Aku nikahkan (Ankahtu)
• Aku kawinkan (Zawwajtu)
Nikah mu’tah menjadi tidak sah bila mempergunakan kalimat yang lain seperti:
• Aku milikkan (Malakktu)
• Aku berikan (Wahabtu)
• Aku sewakan (Ajjartu)
Adapun kalimat Qabul, maka cukup dengan mempergunakan kalimat apa saja yang sekiranya dapat menimbulkan pengertian rasa rela dengan Ijab yang diterimakannya, seperti:
• Aku terima Mu’tah…..(Qabiltu Mut’atah…)
• Aku terima kawin…....(Qabiltu Tazwij…..)
• Aku terima nikah……..(Qabiltu Nikahah…..)

Dan pernikahan tetap sah seandainya diringkas saja dengan kalimat seperti:
         Aku terima (Qobiltu)
         Aku rela (Rodhitu) Seandainya terbalik, suami yang mengucapkan Qabul terlebih dahulu dengan berkata: “Aku mengawinimu dengan mas kawin sekian…..dan untuk jangka waktu sekian….”. maka pernikahan tersebut tetap sah
7. Menyebutkan Mahar (mas kawin) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (suami-isteri) dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah fahaman. Selain itu, mahar tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara halal baik sedikit ataupun banyak bahkan meskipun berupa segenggam makanan.
8. Menyebutkan jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik lama maupun sebentar saja dan pula harus disepakati bentuk waktunya, seperti berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak bisa lebih atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, dan pula harus ditentukan macam kalender yang diinginkan, apakah Masehi atau Hijriyah.
9. Antara suami isteri yang kawin mu’tah tidak boleh masih dalam ikatan muhrim, baik karena adanya nasab dan garis keturunan secara langsung ataupun tidak langsung, seperti Bibi baik dari pihak ibu ataupun bapak, atau karena ikatan mertua seperti ibu isteri, isteri bapak, isteri anak, atau anak tiri yang ibunya telah dikawininya dan disetubuhinya, atau wanita yang masih bersuami atau pula wanita yang sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya namun belum habis masa iddahnya.
10. Wanita yang dikawini secara Mu’tah harus ber’iddah terhitung setelah habisnya masa perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, atau bila seandainya suaminya telah menghibahkan masa mu’tahnya kepadanya sehingga tanpa perlu adanya perceraian karena si wanita akan langsung berpisah dari suaminya itu dan tidak boleh rujuk kembali, maka dalam hal ini ‘iddahnya adalah sebagai berikut:
a. Apabila si isteri sudah pernah disetubuhi, dan dia bukan anak kecil dan bukan pula wanita tua yang sudah tidak berhaid lagi, maka ‘iddahnya adalah dua kali haid (menstruasi) dengan catatan, bahwa haidnya berlaku secara teratur.
b. Apabila umurnya sudah mencapai masa haid (+ 9 – 10 th), namun belum juga berhaid, maka haidnya adalah 45 hari.
c. Apabila sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dipilih yang paling lama di antara dua hal: • Melahirkan • 4 bulan 10 hari. Dalam hal ini, Nikah Mu’tah itu sama saja dengan yang berlaku pada nikah biasa. Nikah Mu’tah diperkenankan dengan wanita Ahli kitab. yaitu wanita Nasrani, dan Yahudi, namun tidak diperkenankan dengan wanita musyrik, dan yang telah murtad (keluar) dari Islam.
11.  Pada nikah mu’tah, tidak diperkenankan mengumpulkan (mengawini) dua wanita bersaudara sekaligus, sama seperti yang berlaku pada nikah biasa.
12.  Dengan adanya akad nikah, si isteri sudah mempunyai hak pemilikan secara penuh atas mas kawin sehingga bila dia memintanya maka si suami harus segera memberikannya. Kedua belah pihak tidak saling mewarisi harta-benda masing-masing kecuali apabila keduanya sudah membuat persyaratan atau perjanjian sebelumnya pada saat pelaksanaan akad nikah, maka dalam hal ini keduanya mempunyai hak waris sesuai dengan isi persyaratan atau perjanjian yang telah disepakati tersebut.
13.  Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri kecuali bila si isteri telah mensyaratkan adanya nafkah pada saat pelaksanaan akad nikah dan disetujui, maka suami harus memberikan nafkah kepadanya dalam bentuk dan jumlah sesuai dengan isi persyaratan yang telah disetujuinya.
14.  Pihak yang berhak memberikan akad nikah (isteri) harus sudah baliqh, berakal, mengerti maksudnya dan memang sengaja ingin mengadakan nikah Mu’tah, yakni ketika ia mengatakan kalimat : Matta’tu (Aku mu’tahkan) atau Ankahtu (Aku nikahkan) atau Zawwajtu (Aku kawinkan)
15.  Masing-masing dari suami isteri yang bersangkutan harus tertentu, dalam arti harus jelas dan tidak kabur dengan orang lain yang bukan pasangannya, baik nama, gelar maupun sifatnya.
16.  Pelaksanaan Ijab dan Qabul harus berlangsung secara beruntun, dan tidak boleh terpisahkan pada saat pelaksanaan akad nikah dan harus terlaksana tanpa menunggu keberadaan suatu syarat atau terkait dengan datangnya waktu tertentu[36]

M.   Nikah Mut’ah yang terjadi Di Bandung
Seorang sahabat yang juga satu lingkungan tempat tinggal dengan penulis di Medan, yang bernama Uhlan, telah tiga tahun lebih bergabung dengan salah satu Majelis Taklim Ahlul Bait di Bandung. Majelis Taklim ini dipimpin oleh seorang Habib yang merupakan keturunan Imam Ja’far as-Sadiq. Beliau meyakini dan mengatakan bahwa Majelis Taklim yang dipimpin seorang Habib ini merupakan Majelis Taklim Syi’ah terbesar di Indonesia.
Dalam jangka waktu tiga tahun lebih dan hampir mencapai empat tahun ini, beliau lebih banyak tinggal di Kota Bandung. Pada awalnya beliau berguru (nyantri) kepada Habib di majelis taklim Ahlul Bait ini. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya beliau dipercaya sang Habib menjadi sebagai salah seorang ustad untuk wakil Habib baik di majelis taklimnya, maupun untuk Sumatera Utara. Majelis taklim ini terbuka melayani jamaah selama 24 jam non stop, serta jamaah dan para ikhwan cukup banyak yang datang setiap harinya, bahkan ada juga di antara mereka yang menginap.
Oleh karena itu para Ustadz yang berasal dari luar Bandung harus lebih banyak tinggal di Bandung, di majelis bersama sang Habib. Ketika beliau mendapatkan izin kembali ke Medan pada bulan Juli 2009, maka kami sempatkan untuk berdiskusi dengannya mengenai nikah mut’ah di kalangan para ikhwan dan akhwat[37] di Bandung. Dan ketika kami sampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan kami tadi, al-hamdulillah beliau menyambutnya dengan baik, serta menyatakan bersedia untuk menjadi nara sumber.
Menurut nara sumber, para ikhwan di Bandung sebenarnya banyak yang melakukan nikah mut’ah itu, termasuk nara sumber sendiri. Hal itu mereka lakukan karena memang dibolehkan oleh agama, dimana pembolehannya itu sendiri tercantum di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24. Atas dasar ayat ini, maka para ulama dan para pengikut dan penganut mazhab Syi’ah Imamiyah pada umumnya, termasuk orang-orang syi’ah yang ada di Indonesia, dan khususnya majelis taklim Ahlul Bait yang berada di Bandung memahami bahwa sebenarnya melakukan nikah mut’ah itu merupakan bahagian dari syi’ar agama.
Adapun letak syi’arnya adalah pada upaya penghindaran atau pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat. Dalam hal ini penghindaran atau pemeliharaan diri agar jangan sampai terjerumus pada perbuatan zina. Termasuk ketika seorang ustad, muballigh, da’i, atau seorang pria yang diberi amanah untuk menyampaikan syi’ar ahlul bait kepada anggota perempuan yang tidak bersuami yang bukan mahramnya.
Jika berhadapan secara berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, sangat terbuka peluang dan dikhawatirkan terjadi zina, paling tidak zina mata. Bukankah usaha memelihara diri dari terjerumus kepada zina, juga melakukan pencerahan kepada orang lain (jamaah) agar mereka juga tidak terjerumus kepada perbuatan zina merupakan bahagian dari syi’ar agama.
Oleh karena letak syi’ar dari bermut’ah itu untuk memelihara diri agar tidak sampai terjerumus kepada berbuat zina, maka di dalam melakukan nikah mut’ah itu tidak lepas begitu saja, melainkan dibingkai dengan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Yang menarik di sini adalah bahwa dengan melakukan mut’ah tidak mesti diikuti dengan istimta’.
Di antara persyaratan yang harus terpenuhi pada diri para ikhwan yang akan melakukan nikah mut’ah itu adalah; pertama bahwa calon suami yang sudah beristeri tidak memiliki isteri di tempat. Kedua, bagi yang perjaka atau duda tidak sanggup memenuhi persyaratan-persyaratan untuk nikah daim. Ketiga, calon isteri harus seorang janda atau perawan dewasa yang sudah mapan, tapi tak ada kesempatan untuk mengikuti persyaratan-persyaratan nikah daim.
Adapun yang dimaksud oleh mereka dengan janda disini, tidak terbatas pada perempuan yang pernah bersuami lalu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Akan tetapi semua wanita yang sudah tidak perawan lagi, baik karena melakukan zina, ataupun karena kecelakaan dan sebagainya. Keempat, atas dasar sukarela dan ada kesepakatan bersama. Kelima, ada mahar. Keenam, ditentukan jangka waktunya. Ketujuh, bahwa semua persyaratan di atas bermuara pada pemeliharaan diri agar jangan terjerumus pada perbuatan zina.
Dengan dasar adanya persyaratan-persyaratan seperti di atas, maka menurut nara sumber, para ikhwan yang melakukan nikah mut’ah itu di Bandung umumnya adalah mereka-mereka yang berasal dari luar Bandung, yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tidak berkumpul dengan isteri.
Selain mereka yang berlama-lama tak berkumpul dengan keluarga itu, adalah para ikhwan bahkan juga para akhwat yang sebenarnya bertempat tinggal di Bandung, baik lajang maupun duda atau janda namun super sibuk dengan pekerjaan. Karena kesibukan itu, sehingga sangat sedikit sekali waktu bagi mereka untuk mengurusi berumah tangga, sementara untuk menyalurkan hasrat seksual sangat mereka butuhkan.
Kemudian pihak lainnya adalah para ustad dan orang-orang yang diberi amanah untuk mengembangkan syi’ar ahlul bait, secara khusus di sini ketika berhadapan dengan anggota perempuan yang bukan mahramnya. Tentu dalam penyampaian bimbingan atau syi’ar ahlul bait tadi, saat berhadapan secara berduaan antara laki-laki dan perempuan mapan dengan status sendiri, tidak bersuami dan tidak didampingi oleh mahram, dikhawatirkan timbul fitnah dan zina.
Atas dasar kondisi seperti tersebut di ataslah maka sebahagian dari para ikhwan dan akhwat kemudian melaksanakan nikah mut’ah. Dan adapula di antara mereka melakukan nikah mut’ah itu setelah adanya persyaratan-persyaratan tersebut di atas tadi, dalam rangka penjajakan untuk memilih pasangan yang cocok untuk dilanjutkan kepada nikah daim (permanen).
Oleh karena itu, ada beberapa di antara mereka yang tadinya melakukan nikah mut’ah kemudian melanjutkannya ke nikah daim. Kendatipun di antara mereka yang melanjutkan nikah mut’ahnya ke nikah daim itu ada yang sempat memperpanjang nikah mut’ahnya sampai dua kali dalam rangka pendalaman pengenalan diri masing-masing serta penyesuaian kecocokan antara keduanya. Jika sudah terasa saling cocok, maka baru dilanjutkan ke jenjang pernikahan permanen (nikah daim).
Berkenaan dengan masalah buku nikah dalam pelaksanaan nikah mut’ah ini, informan atau nara sumber mengatakan dan menjelaskan bahwa pernikahan tersebut tidak ada yang dilaksanakan dihapan Pegawai Pencatat Nikah serta tidak menghadirkan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinannya dilaksanakan dan dihadiri oleh para ikhwan dan akhwat yang bermut’ah itu sendiri, hanya disaksikan oleh Ustadz dalam kapasitasnya sebagai pembimbing. Akan tetapi, sebagaimana diinformasikan dan disebutkan di atas bahwa ada sebahagian diantara pasangan yang me-nikah mut’ah tersebut yang kemudian melanjutkannya ke jenjang nikah daim. Hal ini dilaksanakan terutama bagi pasangan yang bermaksud untuk membeli KPR, mobil dan lainnya, yang untuk pemenuhan persyaratan administrasinya diperlukan buku nikah.
Jika pasangan nikah mut’ah tersebut membutuhkan buku nikah, maka mereka harus melangsungkan perkawinan dengan model nikah daim. Dan jika pasangan nikah mut’ah tadi berkeinginan untuk melanjutkan ke nikah daim, apakah hal itu didasari karena hendak mendapatkan buku nikah, maupun karena didasari bahwa keduanya telah memenuhi kecocokan untuk nikah daim, maka merekapun mengurus perkawinannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Dengan demikian, berkenaan dengan masalah pencatatan perkawinan dengan model nikah mut’ah di kalangan para penganut mazhab syi’ah itu di Bandung, maka dalam nikah mut’ah tersebut tidak ada buku nikah. Jika hendak menginginkan buku nikah, maka tidak ada alternatif lain kecuali nikah mut’ah tersebut harus dilanjutkan dengan nikah daim.
Ketika dipertanyakan tentang mengapa untuk mendapatkan pencatatan perkawinan (buku nikah) mereka kemudian harus melanjutkannya ke jenjang pernikahan dalam bentuk nikah daim, tidak mencukupkan dengan bentuk nikah mut’ah itu saja ? Lalu apakah para ikhwan dan akhwat yang tadinya sudah melakukan perkawinan dalam bentuk nikah mut’ah, namun ketika ingin memperoleh buku nikah harus melanjutkan ke jenjang atau melakukan nikah daim lagi ? Informan atau nara sumber kemudian memberikan jawaban dan penjelsan seperti berikut di bawah ini.
Bahwa pada prinsipnya mereka memang keberatan dengan hal itu, yaitu melanjutkan perkawinan mut’ah-nya ke jenjang perkawinan dalam bentuk nikah daim. Akan tetapi semua mereka memahami bahwa para pejabat pencatat nikah tersebut adalah orang-orang yang berpaham sunni, dimana dalam pemahamannya tidak mengakui nikah mut’ah, melainkan harus nikah daim.
Atau paling tidak, mereka dipaksa oleh aturan negara untuk melaksanakan seperti itu. Oleh karena itu, atas dasar pertimbangan untuk kepentingan kebaikan, mereka ikuti saja aturan negara yang diterapkan oleh para aparat negara tersebut. Namun yang paling penting sebagai catatan di sini adalah bahwa menurut informan atau nara sumber, nikah mut’ah yang ada dan terjadi dalam komunitasnya bukan kawin kontrak,4 serta menolak dikatakan sebagai kawin kontrak, melainkan nikah mut’ah.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Nikah mu’tah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Nikah mu’tah haram hukumnya, baik menurut perspektif hukum Islam maupun hukum yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan. Kawin mu’tah dulu sempat diperbolehkan. Tetapi sekarang dalil itu telah dinasakh sampai hari kemudian (maka tidak boleh berlaku lagi). Adapun beberapa pandangan yang berbeda, dalam memandang nikah mu’tah ini, contohnya dalam aliran sunni dan syi’i dan kebanyakan kaum syi’i masih melaksanakan hukum kawin kontrak ini.
Kawin kontrak yang masih berkembang dizaman sekarang ini seharusnya ada tindakan tegas untuk aparatur negara dan adanya tindakan tegas bagi pemilik hotel maupun wisma. Dikarenakan adanya kawin kontrak ini akan sangat merugi bagi anaknya yang lahir yang tidak tentu akan nasabnya.

B.     Saran

Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang diuraikan dalam makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan dalam kehidupan untuk tidak melakukan nikah mu’tah. Penulis juga menyarankan para pembaca yang budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta kritikan terhada makalah yang penuh dengan kekurangan ini

DAFTAR PUSTAKA

A Dzarinna al-Hamidi. Nikah mutah dalam sorotan hukum Islam dan hukum positif. 2008
Abd.shomad. hukum Islam. Jakarta.2010                                                                 
Ahmad Saebani. Fiqh Munakahat1. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2009
Al-quran dan terjemahan, departemen agama RI, Jakarta,Mekar Surabaya
Armen Halim. Nikah mutah.2006
Dedi Supriyadi. Fiqh Munakahat Perbandingan. CV.Pustaka Setia. Bandung. 2011
Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqh Keluarga. Jakarta. 2012
Drs. Mahjuddin .Masailul fiqhiyah. Jakarta. 1998
H. Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Nora Media Enterprise. STAIN Kudus. 2011
Mardani . Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta. Graha ilmu. 2011
Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 2002
Sabiq,Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung. Al-maarif. 1998
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqh Empat Mazhab.2013
     Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar Media. Yogyakarta. 2007




[1]Al-Qur’an dan Terjemahan, Departemen Agama RI, jakarta: Mekar Surabaya
[2]Ahmad. Saebani, Beni FiqihMunakahat1. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009. hlm. 9
[3]Sabiq, Sayyid. FiqhSunnah. Bandung: Al-Ma’arif. 1998. hlm. 107
[4] A. Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif, (Al-Qanun, Vol. 11, No. 1, 2008) hlm. 217
[5] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm. 2
[6]  Teuku Eddy Faisal Rusydi, Pengesahan Kawin Kontrak, Pilar Media, Yogyakarta,  2007, hlm. 23-24

[7] Ibid, hlm. 25-26
[8] H. Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora Media Enterprise, STAIN Kudus, 2011, hlm. 88
[9] Zakiah Daradjat, Op.Cit, hlm.98
[10] Teuku Eddy Faisal Rusydi, Op.Cit, hlm. 28
[11]mardani, hukum perkawinan islam.hlm.77
[12]Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25
[13] Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta: Gema Insani Press hlm. 172
[14] Al-qur’an dan Terjemahan RI, ibid
[15] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 312
[16] Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 313
[17] HR Muslim
[18] HR Muslim
[19] HR Muslim
[20] HR Muslim
[21] HR Muslim
[22] Ibnul Qayyim
[23] Ibnu Katsir
[24] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab 2013, hlm. 330
[25] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, Bandung, 2011, hlm.141-146
[26] Ibid, hlm 100
[28] Prof.Dr.Abdul aziz Muhammad azam, Fiqh munakahat, Jakarta. Hlm. 211
[29] Ibid h. Hlm.212
[32] Sayyid sabiq, Op.Cit., hlm 63
[34] Ibid,65-66
[35] Masailul fiqhiyah hlm 41-42
[36] Fiqh keluarga, hlm 134
[37] Para jama’ah pria penganut aliran Syi’ah Imamiyah yang merupakan pengikut sang Habib di Bandung ini dipanggil dengan ikhwan, sedang bagi para wanitanya dipanggil akhwat. Wawancara dilakukan dengan Uher pada hari Kamis tanggal 9 Juli 2009 di Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar