MAKALAH TAFSIR
AYAT EKONOMI
NIKAH MU’TAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala limpah
rahmat,inayah,taufik,dan hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.semoga makalah ini dapat
di pergunakan sebagai salah satu acuan,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam tafsir ayat ekonomi.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah
mengetahuan dan pengalaman bagi pembaca,sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapan lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki sangat kurang.oleh karena itu,kami harapan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.Terima kasih..
Wasssalamu’alaikum
Wr.Wb
Bandar
Lampung, Desember 2017
Tim
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B.Rumusan Masalah 2
C.Tujuan Pembahasan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.Pengertian nikah mutah 3
B.Sejarah nikah mutah 6
C.Sebab
diharamkannya nikah mutah 10
D.Nikah mu’tah menurut hukum Islam 14
E.Nikah mu’tah menurut hukum positif 21
F.Nikah mu’tah dalam
tinjauan fiqh 22
G.Dampak
pelaksanaan nikah mu’tah 22
H.Hikmah
dilarangnya nikah mu’tah 24
I.Perbedaan dan persamaan dengan
kawin kontrak 28
J.Kawin kontrak yang dilarang 30
K.Kawin kontrak yang diperbolehkan 30
L. Nikah
Mut’ah yang
terjadi Di Bandung 35
BAB
III PENUTUP
A.Kesimpulan 41
B.Saran 41
DAFTRA PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada
yang keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah berfirman
dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah" [1]
Allah
menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya
berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan
kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan
sebagaimana telah diterangkan oleh utusan-Nya, Muhammad SAW.
Ada
banyak pernikahan yang di haramkan oleh Islam, salah satunya yang dikenal
dengan nikah mut’at. Nikah mu’tah ini merupakan salah satu pernikahan
yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mu’tah ini bahkan dilanggengkan
dan dilestarikan oleh agama Syi’ah dengan mengatasnamakan agama.
Nikah
mu’tah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak, secara
kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu dilaksanakan
selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak diatur dalam
peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan kontrak/ nikah mu’tah
di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu. Dari sini penyusun akan
menguraikan bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mu’tah
yang terjadi di Indonesia[2]
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian mengenai nikah mu’tah?
2. Bagaimana sejarah nikah mu’tah?
3.
Apa saja sebab-sebab diharamkannya nikah mu’tah?
4. Bagaimana hukum nikah mu’tah jika
ditinjau dari perspektif hukum Islam?
5.
Bagaimana hukum nikah mu’tah jika ditinjau dari perspektif hukum
Positif?
6. Bagaimana nikah mu’tah dalam
tinjauan fiqh?
7. Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mu’tah?
8. Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mu’tah?
9. Bagaimana perbedaan dan persamaan dengan
kawin kontrak?
10. Bagaimana kawin kontrak yang dilarang?
11. Bagaimana kawin kontrak yang diperbolehkan?
C. Tujuan Penelitian
1.
Agar kita mengetahui pengertian nikah mu’tah.
2.
Agar kita mengetahui sejarah nikah mu’tah
3. Agar kita mengetahui sebab-sebab
diharamkannya nikah mu’tah
4. Agar kita mengetahui hukum nikah menurut
perspektif hukum Islam.
5.
Agar kita mengetahui hukum nikah mu’tah menurut perspektif hukum positif
6. Agar kita mengetahui nikah mu’tah
dalam tinjauan fiqh
7. Agar kita mengetahui dampak pelaksanaan
nikah mu’tah
8. Agar kita mengetahui hikmah dilarangnya
nikah mu’tah
9. Agar kita mengetahui perbedaan dan
persamaan kawin kontrak
10. Agar kita mengetahui kawin kontrak yang
dilarang
11. Agar kita mengetahui kawin kontrak yang
diperbolehkan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah Mu’tah
Pernikahan dalam bahasa arab adalah nikah. Ada arti
sebenarnya ada arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah dhom yang artinya
menghimpit, menindih, atau berkumpul. Arti kiasannya adalah sama dengan wath’i
yang artinya bersetubuh.
Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya ialah aqad
antara calon suami dan pihak calon istri (wali nikah) untuk memperbolehkan
keduanya bergaul sebagai suami-istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi
aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang wanita (diwakili oleh wali nikahnya).
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum
nikah itu ada 5, antara lain:
1. Jaiz (diperbolehkan), ini
asal hukumnya.
2. Sunah, bagi orang yang
berkehendak serta mampu memberi nafkah
3. Wajib, bagi orang yang
mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda zina
4. Makruh, bagi orang yang
tidak mampu memberi nafkah
5. Haram, bagi orang yang
mempunyai niat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mu’tah
-sebagaimana yang telah dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy-, bahwa
asal kata mu’tah (Arab) ialah sesuatu yang dinikmati atau
diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan sebagai ”ganti rugi”
kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja tamatta’a dan
istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau
bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu’ disebut
demikian karena memberikan kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.[4]
Secara istilah, yang dimaksud nikah mu’tah adalah,
seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan
sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya.
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata
thalaq dan tanpa warisan.[5]
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara
keduanya, wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau
kunikahkan,”atau ”Engkau kumu’tahkan atas diriku, dengan mas kawin
sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa
tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian
orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun,
”Aku terima.” Berikut beberapa pendapat para tokoh-tokoh :
1.
Menurut Tokoh-tokoh Sunni
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mu’tah
adalah seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar
sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah
dibatasi waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian
dia tinggalkan setelah batas waktunya habis.”
Syaikh Muhammad Amin mengatakan: “Nikah mu’tah ialah
seorang laki-laki melakukan akad dengan seorang wanita untuk dinikahi dengan
mahar tertentu dan dengan batas waktu tertentu pula, seperti si laki-laki mengatakan
kepada si wanitanya; “Aku menikahimu dengan Lima Junaihat (jenis mata uang)
dengan waktu seminggu kemudian wanita tersebut menerimanya.”
2.
Menurut Tokoh-tokoh Syi’ah Imamiyah
Sayyid Muhammad Husein Fadlullah mengatakan: “Nikah mu’tah
adalah hubungan suami-istri yang bersifat sementara yang dilakukan melalui akad
(ijab qabul) tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas waktu pernikahan)
dan mahar di samping pokok pernikahan itu sendiri.
Allamah Sayyid Murtadha al-Asykari mengatakan: “Nikah mu’tah
ialah seorang wanita menikah atau dinikahkan oleh perantaranya atau walinya
jika masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi
halal baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab
tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat
dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai dengan
batas waktu tertentu.[6]
Menurut para
hadist nabi :
1) H.R Hasan, Thabrani
عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْرٍ السَّـاعِدِى قَالَ : إِنَّمَـا رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ
ص.م. فيِ الْمُتْعَةِ لِحَاجَةٍ كَانَتْ
بِالـنَّاسِ شَرِيْرَةٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَابَعْرُ (رواه حسن الطبرا نى)
“Dari
Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran
tentang mu’tah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai
orang-orang, lalu sesudah itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2) H.R Thabrani
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ
غَزِيَّةَ قَـالَ : سَمِعْتُ النَّبِيُّ ص.م. يَـوْمَ فَتْحُ مَكَّةَ
يَقُوْلُ مُتْعَـةُ النـِّسَاءِ حَرَامٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (رواه الطبرانى)
“Dari
Harits bin Ghaziyah, ia berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari
menaklukkan Makkah, kawin mu’tah dengan wanita haram (Beliau berkata
begitu) tiga kali” (H.R. Thabrani)
3) H.R Ahmad dan Muslim
عَنْ سُبْرَةَ الْجُهَنِيِّ أَنَّـهُ كَانَ
مَعَ النَّبِيِّ ص.م. فقال: يَـاآيُّـهَاالنَّـاسُ اِنِّى كُنْتُ
اَذِنْتُ لَكُمْ فِىاْلإِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَمَ ذَلِكَ
اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَـاءْ
خُرُوْ مِمَّااَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْئًا (رواه احمد ومسلم)
“Dari
Saburah al-Juhani bahwa ia pernah berpegang bersama Rasulullah S.a.w dalam
menaklukkan Mekkah, Rasulullah kemudian bersabda : Saudara-saudara sekalian!
Sesungguhnya Aku dahulu mengizinkan kalian melakukan nikah mu’tah.
Ingatlah! Sesungguhnya (mulai hari ini) Allah telah melarangnya hingga hari
kiamat nanti, lantaran itu barang siapa yang ada padanya wanita nikah mu’tah,
hendaklah ceraikan dia dan janganlah kamu ambil satu pun dari apa-apa yang kamu
telah berikan kepada mereka.” (H.R. Ahmad dan Muslim)
B.
Sejarah Nikah Mu’tah
1.
Periode Jahiliyah
Institusi Arab lama memberikan gambaran kepada kita ada
beberapa kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang hubungan perkawinan dan
kekeluargaan yang kurang begitu jelas. Setidaknya ada empat macam bentuk
perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi
tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut ini
empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
a.
Seorang
laki-laki melamar seorang wanita dengan seizin walinya dan kemudian
mengawininya dengan memberikan mahar kepada si wanita tadi, dan ini adalah
bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Islam dan tetap di lestarikan sampai
hari ini.
b.
Suatu
tradisi masyarakat jahiliyah, yakni seorang suami mengatakan kepada istrinya
untuk pergi menuju seseorang yang ditunjuk dan dikehendaki oleh suaminya untuk
bergaul dengan laki-laki yang ditunjuk tadi. Suaminya kemudian keluar dari
masyarakat untuk beberapa waktu, dan setelah istrinya mengandung dengan
laki-laki yang ditunjuk oleh suaminya tadi, maka suaminya pulang kepada
istrinya. Ini berasal dari adanya keinginan untuk menyelamatkan bibit
bangsawan.
c.
Sejumlah
laki-laki mendatangi seorang wanita dan mereka menyetubuhinya, jika wanita
tersebut hamil dan melahirkan seorang anak, maka wanita tadi akan memanggil
semua laki-laki yang pernah menggaulinya tadi seraya menunjuk ke salah seorang
dari mereka sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya dan laki-laki tersebut
tidak boleh menolaknya.
d.
Beberapa
orang laki-laki mengunjungi seorang wanita untuk melakukan hubungan sebadan
dengannya, apabila wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak maka
laki-laki tadi dengan kehendaknya sendiri berkumpul dan orang-orang ahli
firasat yang memutuskan siapa diantara mereka yang berhak menjadi ayah dari
anak yang dilahirkan oleh si wanita tadi.
Islam
menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi jahiliyah lainnya
yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk memelihara hubungan
kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang syah, memelihara
kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki buat sorong, menjaga
kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum wanita untuk mencapai
keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah
warahmah.[7]
2.
Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mu’tah memang
pernah terjadi, saat itu kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir
dan melakukan perjalanan jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak
dapat menyalurkan hasrat biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara
mereka, sebelumnya sudah terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang
mempunyai banyak istri. Mereka berhubungan seksual dengan istri yang mereka
kehendaki dan meninggalkan istri yang tidak lagi menarik.ketika mereka menjadi
Muslim dengan aturan yang ketat dalam hal hubungan seksual, maka sulit bagi
mereka untuk berperang tanpa diperbolehkan melakukan nikah mu’tah.
Karena untuk kepentingan sesaat maka nikah ini disebut mu’tah,
bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak ada ikatan permanen dengan
lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam
konteks peperangan, Nabi memberi kelonggaran dilakukannya nikah mu’tah.
Namun, ketika waktunya sudah dinilai tepat oleh Nabi, maka nikah mu’tah
dilarang atau diharamkan.[8]
Menurut
riwayat Muslim, larangan nikah mu’tah itu baru terjadi dalam tahun
penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi). Artinya pada waktu penaklukkan itu
masih boleh, baru sesudah itu terdapat larangan.
Apabila
pada waktu perang Khaibar dilakukan pelarangan dan kemudian di dalam tahun
penaklukkan itu terjadi pelarangan, berarti, begitu para ahli hadits, terjadi
penaskhan hukum dua kali. Dan menurut para ulama tidak mungkin penaskhan itu
terjadi dua kali. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i secara formil berpegangan kepada
kedua kali penaskhan itu seraya mengatakan : tidak pernah saya mengetahui
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah lalu diharamkan, kemudian dihalalkan dan
kemudian diharamkan lagi selain daripada nikah mu’tah.
Ketika
Umar menjadi kholifah beliau pernah berpidato yang isinya melarang nikah mu’tah
itu. Para sahabat menyetujui tindakan ini. Sekiranya sayidina Umar bertentangan
dengan sunah tentulah para sahabat tidak akan membenarkannya. Sedang Ja’far bin
Muhammad ketika ditanya oleh Baihaqy tentang pernikahan mu’tah menjawab
dengan: pernikahan mu’tah itu sama dengan zina. [9]
Yang
menarik disoal dalam hai ini adalah menyangkut sejak kapan dan dalam peristiwa
diharamkannya pernikahan mu’tah tersebut, sebagai mana nikah jenis ini
diharamkan kalangan sunni? Ternyata terjadi khilaf pendapat di kalangan Ulama
Sunni sendiri, apalagi menyangkut dengan tempat dan waktu pelarangan tersebut.
Menurut mereka, Rasulullah diriwayatkan telah melarang nikah mu’tah pada
beberapa peristiwa, yaitu Fathu Makkah, Awthas, Haji wada’, Perang Tabuk, Umrah
al-Qadha’, Perang Hunain, Dan perang Khaibar. Dalam mu’tah kemudian
beliau melarangnya. Nikah Muth'ah pernah
diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum stabilitasnya syari'at Islam, yaitu
diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian
diharamkan. [10]
Rahasia
diperbolehkan Nikah Muth'ah
waktu itu adalah karena masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi
(masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa
jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada
pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah
untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang.
Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan
kemaluannya[11].
Seperti apa yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول
الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن
ذالك.
ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
“Dari mas'ud berkata : waktu itu kami
sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami
berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang
kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk
menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat
hanya selama tiga hari setelah itu
Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن سلمة
بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة, ثلاثة
أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
“Dari Salamah bin Akwa' berkata :
Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas
(penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR Muslim)
Dari hadis Salamah ini memberikan keterangan bahwasanya
Rasulullah saw pernah memperbolehkan nikah muth'ah kemudian melarangnya dan
menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam perkataannya bahwasanya
pelarangannya dan kebolehannya terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum
perang khaibar kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian dibolehkan
lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun Authas), setelah itu Nikah
Muth'ah diharamkan selama-lamanya, sehingga
terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW :
وعن علي رضي الله تعالى عنه قال : نهى
رسول الله صام عن المتعة عام خيبر (متفق عليه)
Artinya :
Dari Ali ra. berkata : Rasulullah melarang nikah muth'ah
pada tahun Khaybar
وعن ربيع بن سبورة, عن أبيه رضي الله
عنه, أن رسول الله صام قال : إنى كنت
أذنت لكم الإستمناع من النساء,
وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة
(أخرجه مسلم وأبو داود والنساء وأحمد وابن حبان)
Artinya :
Dari Rabi' bin Saburah, dari ayahnya
ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya aku telah memberikan
izin kepadamu untuk memintak muth'ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah SAW
telah mengharamkan itu sampai hari kiamat (HR Muslim, Abu Daud, Nasai', Ahmad,
dan Ibn Majah).
C.
Sebab-Sebab
Diharamkannya Nikah Mu’tah
Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw
adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah SWT mengharamkan Nikah Mu’tah kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban
Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini
hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita
ketahui, bahwa jarak antara keIslaman mereka masih dekat dengan
kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya Islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk
akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan
berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid
dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar
dibolehkannya Nikah Mu’tah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui
firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah
Mu’tah menyusahkan perempuan
dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat
dan tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mu’tah,pernikahan
seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan
sebuah pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang
ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi
supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah SWT dalam al-qur'an
yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat
duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia[12]
Seperti
Firman Allah SWT :
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ
وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ
يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ
ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan:
dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia
menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya
itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang
lurus?.”QS. An-Nahl : 76
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا ﴿النساء:١﴾
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
Mengawasi kamu.”QS.An-Nissa :
[263] maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin
ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat
Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah
dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka
menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama
Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu
dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah
pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai dengan nikah yang
telah Allah SWT syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah mu’tah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah
Mu’tah berakhir dengan habisnya
waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan
dalam syari'at, pernikahan
berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi
oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu,
Nikah Mu’tah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Maka
boleh bagi seorang peria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat
dilakukan tampa wali atau tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini
tidak diperlukan saksi, pengumuman,
perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang
telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si
perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mu’tah merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum
wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan
dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin,
meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa
jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara anak dan ibunya
atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari
hasil Pernikahan Mu’tah yang dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia
mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya orang
yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi
kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mu’tah,
selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin)
dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mu’tah juga memiliki banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna
itu, Rasulullah saw , karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan.
Menurut ulama :
1.Jumhur Ulama
Kebanyakan
dari para shahabat dan semua Ulama'-Ulama' fiqih mengharamkan nikah muth'ah
berdasarkan hadist Rasulullah yang mutawatir tentang pengharaman nikah
tersebut. Yang menjadi ikhtilaf dikalangan mereka adalah waktu pengharaman
nikah muth'ah. Dari ebagian riwayat yang mengharamkannya pada perang khaibar,
ada yang sebagian pada penaklukan Makah, ada yang sebagian pada waktu perang Tabuk,
ada yang sebagian pada haji wada', ada yang sebagian pada umrah qadha' dan ada
sebagian pada waktu tahun Authas.
2. Ibn Abbas
Yang telah
terkenal bahwasanya Beliau menghalalkan nikah muth'ah. Ibn Abbas ini mengikuti
pendapat dari ahli Makah dan Ahli Yaman, mereka meriwayatkan bahwasanya Ibn
Abbas dalam Firman Allah :
فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ
بِهِ مِنْهُنَّ فَأُتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
(النساء : )
Artinya :
Maka
istri-istri yang telah kamu ni'mati (campuri) diantara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaian sebagai kewajiban dan tiada
dosa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar. (An-nisa' : 24)
Dan pada
suatu huruf darinya (ibn Abbas) sampai batas waktu yang ditentukan,
diriwayatkan darinya sesungguhnya dia berkata : "muth'ah (bersenang-senang
terhadap istri) tidak lain adalah rahmat dari Allah Azza Wa Jalla, Dia telah
memberikan rahmat kepada umat Muhammad SAW berupa muth'ah, dan Umar tidak
melarangnya karena dalam keadaan terpaksa takut untuk zina kecuali bagi yang
impoten. Dan ini diriwayatkan dari Ibn Abbas rawi darinya Jarih, Umar, dan Ibn
Dinar. Dari Atha' ia berkata : saya mendengar jabir bin Abdillah berkata : kami
melakukan nikah muth'ah sejak masa Rasulullah kemudian kepemimpinan Abu Bakar,
dan setengah dari kepemimpinan Umar kemudian setelah itu Umar melarang muth'ah
kepada semua manusia (umat muslim)
D.
Nikah Mu’tah Menurut Hukum Islam
Nikah
mu’tah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu menikah untuk
satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau berapa saja sesuai
perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah mu’tah haram
hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu, akad itu menjadi batal
dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi hubungan pezinahan.[13] Nikah
mu’tah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’,
dan akal.
1. Dalil al-Quran
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di
balik itu[1513], Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” QS.al Maarij : 29-31
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ
طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ
بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا
مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ
بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan
barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi
wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
[1512] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat
dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar
peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang
ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan
itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang
kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut
tertawan bersama-samanya.
[1513] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya[14]
Dari
ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua
cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mu’tah,
bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan
itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau
budak, sedangkan istri dari perkawinan mu’tah tidak berfungsi sebagai
istri karena:
a.
Tidak
saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan
b.
Idah
nikah mu’tah tidak seperti nikah biasa
c.
Dengan
akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri
empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mu’tah
d.
Dengan
melakukan mu’tah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin karena
wanita yang diambil dengan jalan mu’tah tidak berfungsi sebagai istri,
sebab mu’tah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula
berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mu’tah itu di
dalam firman Allah.[15]
2. Dalil as-Sunnah
Pada
awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mu’tah pada tahun penaklukan Makkah.
Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya. Ada yang mengatakan,
larangan nikah mu’tah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah
pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan
daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu
Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mu’tah dan keledai piaraan sewaktu
perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan Khaibar ini
berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan
pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.
Menurut
Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya mu’tah telah dinasakh.Hal
dinyatakan dalam hadis berikut:
حدثنا محمد ابن عبدالله بن نمير, حدثنا أبى, حدثنا عبد
العزيز بن عمر, حدثني الربيع بسبرةالجهني, أن أباه, حدثه أنه, كان مع رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقال "يا أيها الناس إني قد كنت أذنت لكم فى الاستمتاع من
النساء وإن الله قد حرم ذلك إلى يوم القيامة فمن كان عنده منهن شىء فليحل سبيله
ولاتأخذوا مما آتيتموهن شيئا
(رواه مسلم)
Artinya:
Wahai sahabat sekalian bahwa aku
pernah memperbolehkan kamu melakukan mu’tah dan ketahuilah bahwa Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita
yang diambilnya dengan jalan mu’tah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah
kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim)[16]
Dari dalil yang dikutip dari hadis
Nabi tersebut, bahwa nikah mu’tah diperbolehkan pada era Rasulullah saw
dalam keadaan darurat. Akan tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh
hadis di atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mu’tah
ini haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku sampai hari
kebangkitan.
3.
Ijma’ Seluruh Ummat Islam
Seluruh
umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat
menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah mu’tah itu telah
dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli
sunnah yang menghalalkannya.
Nikah
mu’tah, pada awal Islam saat kondisi darurat diperbolehkan, kemudian
datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan
dibolehkannya nikah mu’tah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ
أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم
فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ
اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ
شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ
شَيْئاً
Dari
Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai,
sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mu’tah
dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya
hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka
biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[17]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ
دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari
beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kami untuk mu’tah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki
Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengharamkannya atas kami”. [18]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى
الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي
اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari
Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mu’tah selama tiga
hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian
beliau melarang kami”.[19][19
Muncul
pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mu’tah? Untuk menjawabnya,
kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan
simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mu’tah
berbeda-beda.
Berikut
kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mu’tah, sesuai dengan
urutan waktunya.
1.
Ada
riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mu’tah dimulai ketika perang
Khaibar (Muharram 7H).
2.
Ada
riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3.
Ada
riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4.
Ada
riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain
(Syawal 8H).
5.
Ada
riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6.
Ada
riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7.
Ada
riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin
Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Berikut
ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
•
Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mu’tah dimulai pada umrah qadha
, perang tabuk dan Haji Wada tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat
dijadikan pegangan.
Tinggallah
tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mu’tah. Yaitu
saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas
Riwayat pengharaman nikah mu’tah
pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ
عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى
الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ
خَيْبَرَ
Dari
Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa
ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mu’tah dan
daging keledai pada masa Khaibar”.[20]
Riwayat
pengharaman nikah mu’tah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari
Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima
belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami
diperbolehkan untuk mu’tah. Akupun keluar bersama seseorang dari
kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku
tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan
sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah
atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya
semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermu’tah dengan salah seorang
dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami
membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat
ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru,
mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku
melakukan mu’tah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[21][21
Sedangkan
riwayat yang mengharamkan nikah mu’tah pada saat perang Awthas, yaitu
hadits Salamah bin al Akwa.
•
Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua
metode.
Pertama
: Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian
para ulama mengatakan bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari
Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada
Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian .Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar
dan melarang mu’tah”. Dengan demikian, larangan mu’tah dalam
riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata,”Para ulama berselisih, apakah mu’tah
dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya
pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya
sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mu’tah pada hari
Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan
(pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi
menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka
meriwayatkan dengan makna.[22][22
Sedangkan
riwayat pengharaman mu’tah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits
Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada
tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada
penaklukan Mekkah.
Kedua
: Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat
pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mu’tah, bahwa
telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan
sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan
Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mu’tah
diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia
dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian
dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman
berlaku terjadi beberapa kali”. [23][23
Al
Qurthubi berkata,”Telah berkata Ibnul ‘Arabi,’Adapun mu’tah, maka ia
termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mu’tah diperbolehkan pada
awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi
pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung
pengharaman. Dan mu’tah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya,
kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali,
kemudian baru hukumnya stabil’.”
Bahkan
sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mu’tah, mereka
mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.
E. Nikah Mu’tah Menurut Hukum Positif
Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan
perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai
berikut:
1.
Pancasila,
terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil
dan beradab”;
2.
Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2);
3.
Pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan,
”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
4.
Pasal
2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3
yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan
kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang harmonis dan
sejahtera dengan membuat seperangkat aturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia; dengan suatu teori bahwa
suatu negara dikatakan memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh
keberadaan keluarga-keluarga atau rumah tangga yang manta
F. Hukum
Nikah Mu’tah Dalam Tinjauan Fiqh
1.
Pandangan Empat Madzhab
Empat mazhab sepakat bahwa nikah mu’tah
adalah batal. Yang mana pernikahan itu adalah seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan selama batas waktu tertentu. Umpamanya, seseorang
mengatakan,”aku nikahi kamu selama satu bulan atau satu tahun,” dan sejenisnya.[24][24
2. Pandangan Ulama Sunni dan
Syi’ah
Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mu’tah
berdasarkan keputusan Nabi saw adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah
melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan hukum). Madzhab Sunni
mengatakan bahwa nikah mu’tah telah dihapuskan dan diharamkan sesudah
dihalalkan.
Artinya:
“Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 24)
Kelompok
syi’ah berpendapat bahwa nikah mu’tah dulu dihalalkan dan akan tetap
halal hingga hari Kiamat. Landasan lain yang dijadikan pendapat madzhab Syi’ah
adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw, melakukan mu’tah. Demikian
juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat Muslim).
Realitas
pemahaman pada kelompok Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah, sepakat terhadap
nikah mu’tah yang banyak dihalalkan kalangan Syi’ah berdasarkan ayat 24
surat An-Nisa’ di atas. Dalam pandangan Muhammad Malullah, berdalil dengan ayat
ini untuk membenarkan nikah mu’tah adalah batil. Kebatilannya dengan
melihat hal berikut:
1.
Turunnya
ayat yang mulia ini hanya berkenaan dengan pernikahan yang sah (benar). Ayat
tersebut merupakan penggalan dari ayat yang terdapat pada surat An-Nisa’ yang
berbicara tentang para wanita yang dihalalkan dan diharamkan Allah untuk
dinikahi.
2.
Sesungguhnya
bersenang-senang yang dimaksudkan di kalangan Syi’ah bukanlah dengan istri dan
bukan juga dengan budak wanita yang dimiliki. Mereka mengatakan bahwa
wanita-wanita yang dimaksud dalam ayat tersebut tidaklah termasuk keempat istri
yang diperkenankan dalam Islam. Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan
tidak mewarisi, tetapi disewa.
3.
Wanita
yang dijadikan pasangan mu’tah, menurut Syi’ah, tidak ditalak. Sementara
pernikahan yang langgeng tidaklah terjadi perpisahan antara pasangan suami
istri, melainkan dengan cara talak. Ini karena nikah mu’tah di kalangan
Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas waktu tertentu dan dengan imbalan
tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis, saat itu pula terjadi perpisahan
secara otomatis.
4.
Warisan itu adalah salah satu hak dari hak-hak yang
ditetapkan untuk para istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah, perempuan
tidak dapat mewarisi.[25][25
G. Dampak Pelaksanaan Nikah Mu’tah
Golongan Syiah Imamiyah membolehkan nikah mu’tah
dengan syarat-syarat : kalimat yang digunakan untuk pernikahan itu adalah
zauwajtuka atau unkihuka (aku kawinkan atau aku nikahkan engkau) atau
matta’tuka (aku kawinkan mu’tah engkau), dan istri orang Islam
atau ahlulkitab, tetapi terutama adalah perempuan mukmin yang menjaga diri dan
disepakati bersama.
Pernikahan mu’tah ini apabila maskawinnya tidak
disebut sedang batas waktunya tidak, pernikahan menjadi batal, sedang apabila
maskawin disebut dan batas waktunya tidak disebut, pernikahannya berubah menjadi
pernikahan biasa.
Anak yang lahir dari pernikahan mu’tah menjadi
anaknya. Di samping itu tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada
waris-mewarisi antara suami dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan
ibunya, demikian pula bapak dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa
‘iddahnya dua kali masa haid apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak
berhaid (menopause), masa ‘iddahnya empat puluh hari.[26][26
H. Hikmah Dilarangnya Nikah Mu’tah
Adapun
hikmah dari nikah mu’tah adalah sebagai berikut:
1. Nikah
Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan
keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya.
2. Muth’ah
juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu
tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah
juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah untuk tinggal
dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.[27]
Adapun ayat Al-qur’an yang di pakai oleh golongan Syi’ah
bukanlah dalil untuk nikah mu’tah melainkan untuk nikah abadi, dengan
dalil bahwa ayat sebelum dan sesudahnya, serta ungkapan dalam ayat dengan kata istamta’
makssudnya bukan mu’tah sebagaimana yang di yakini Syi’ah Imamiyah,
melainkan istimta’ dengan istri yang sah menurut sayriat
(bersenang-senang dengan istri). Kemudian yang di maksud dengan ‘ujur
(upah) dalam ayat tersebut adalah mahar. Al-Qur’an menyatakan mahar dengan
‘ujur sebagai majaz (kiasan), seperti di jelaskan dalam surat An-Nisa’
ayat 25:
فانكحو هن
باذن اهلهن وا توهن اجورهن باالمعروف
Artinya:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah
mereka mas kawin yang pantas
Q.S An-Nisa 25
اذا اتيتمو
هن اجورهن محصنين غير مسا فحين
Artinya:
Apabila kamu membayar maskawin mereka untuk manikahinya,
tidak bermaksud berzina.
Ibnu Hazm dan sebagian ulama fiqh dari mazhab maliki
berpendapat bahwa hadd (saksi hukum) wajib di tegakkan untuk orang yang
bersetubuh dalam nikah mu’tah, padahal dia tau bahwa hukum mu’tah itu
haram. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan yang diambil setelah dan
keharamanya. Hal ini seperti nikah yang kelima, atau menikahi orang yang dalam
masa iddah. Dengan demikian wajib menegakkan hadd bagi mereka yang
mengakui keharamannya.
Banyak ulama fiqh mengingatkan adanya iijma’ tentang
keharaman mu’tah setelah terjadinya berbedaan mengenai hukumnya. Al-Baji
mengatakan keharaman nikah mu’tah itu berdasarkan perkataan umar. Ia
melihat perkataan Umar tidak bertentangan dengan ijma’. Ibnu
Munzdir berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang membolehkan mu’tah pada
hari ini, kecuali segelintir orang yang menolak pengharaman itu. Tidak ada
artinya perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dn sunnah Rasulullah
Saw. Dengan demikian, pendapat yang datang dari para ulama salaf sudah
menguatkan kebenaran adanya nasakh (menghapuskan) terhadap hukum bolehnya nikah
mu’tah. Jadi, jelaslah bahwa nikah mu’tah haram berdasarkan ijma’
ulama. Itu berarti pula batallah nikah mu’tah, dan persetubuhan di
dalamnya adalah zina, yang pelakunya wajib di hukum (rajam atau jillid), yakni
bagi mereka yang mengetahui hukumnya dan dengan sengaja melakukan
persetubuhan.
Golongan Syi’ah imamiyah Imamiyah membolehkannya dengan
syarat-syarat berikut.
1.
Ucapan
Ijab qabulnya dengan lafazh: Zawwaj atau unkihuka (saya kawinkan kamu)
atau matta’tuka (saya kawinkan kamu sementara).
2.
Istrinya
haruslah seorang muslim atau ahli kitab, tetapi di utamakan memilih perempuan
mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.
Membayar
mahar/ maskawin: harus di sebutkan maskawinnnya dan boleh dengan membawa saksi
dan perhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya
segenggam gandum.
4.
Batas
waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat di dalam pernikahan tersebut.
5.
Diputuskan
berdasarkan persetujuan masing-masing, misalnya sehari, sebulan, atau setahun,
pokoknya harus ada pembatasan waktu.
Menurut golongan Syi’ah, hukum nikah mu’tah adalah
sebagai berikut.
1.
Kalau
maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya di sebutkan akad nikahnya
batal. Akan tetapi, kalau maharnya di sebutkan, sedangkan batas waktunya tidak
disebutkan, perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2.
Anak
yang lahir menjadi anaknya
3.
Tidak
ada talak dan li’an
4.
Tidak
ada hak pusaka-memusakai antara suami istri
5.
Anaknya
berhak mewarisi ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi anaknya.
6.
Masa
Iddah dua kali masa Haid, bagi yang masih berhaid. Bagi yang berhaid, tetapi
ternyata berhenti haidnya, masa iddahnya 45 hari.
Imam Syauqani berkata : “sepenuhnya kami hanya berpegang
pada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami, nikah mu’tah
itu di haramkan untuk selama-lamanya”. Adapun sekelompok sahabat yang
menyalahi hukum ini berarti telah mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak
mendapatkan suatu alasan yang dapat di jadikan dasar untuk meringankan hukum
nikah mu’tah. Bagaimana mungkin nikah mu’tah ini bisa di berikan
keringanan, padahal sebagian besar sahabat telah mengetahui keharamannya dan
mereka pun menjauhinya. Bahka mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits
mengenai keharaman nikah mu’tah bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam
hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya sahih.
ان رسول الله
صلى الله عليه وسلم اذن لنا فى المتعة شلاثا ثم حرمها والله لااعلم احد ا تمتع وهو
محصن الا رجمتها با الحجا رة
Ukuran nikah mu’tah
Fuqaha
berbeda pendapat tentang ukuran besar kecilnya nikah mu’tah. Sebagaimana
pula mereka berbeda pendapat mengenai kondisi pertimbangan nikah mu’tah,
apakah pertimbangan suami saja? Atau istri saja? Dan atau pertimbangan
keduanya?
Ukuran
hanafiyah dan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah mu’tah mempunyai ukuran
yang ditentukan, yaitu tiga helai pakaian, baju kurung, kerudung dan rangkapan.
Ukuran ini diriwayatkan dari al-hassan, said bin al-mussayab, atha dan
asy-syabi.
Ulama
syafizah berpendapat bahwa nikah mu’tah tidak memiliki ukuran tertentu,
tetapi disunnahkan tidak kurang dari 30 dirham atau seharga itu. Kewajibannya
tidak melebihi dari mahar mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dari separuh
mahar mitsil.
Mereka
mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari abi majlas berkata “ aku
berkata kepada ibnu umar: beritakan kepadaku tentang nikah mu’tah, ia
pun memberikan kepadaku tentang ukuran nikah mu’tah dan aku adalah orang
yang dimudahkan. Ia berkata :” berikan pakaian begini, berikan pakaian begini dan
berikan pakaian begitu,” abi majlas berkata
“cukuplah aku dapati kira-kira seharga 30 dirham. “ beliau berkata:
perkiraan 30 dirham.”
Ulama
hanabilah berpendapat , bahwa nikah mu’tah yang paling tinggi diberi
pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi
pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan kerudung. Masing-masing
pendapat mempunyai dalil, kami tidak dapat mentarjih satu pendapat atas
pendapat lain dalam hal ini.[28]
Menurut
kami yang baik apabila suami istri saling merelakan ukuran nikah mu’tah,
apa yang disepakati mereka berdua tentang ukuran nikah mu’tah, suami
melaksanakan , baik sedikit atau banyak. Jika mereka bertengkar tentang ukuran
nikah mu’tah mereka lapor ke hakim untuk ditentukan ukurannya, demikian
pendapat ulama syafiyah dan imam ahmad dalam satu periwayatan.
Ukuran
nikah mu’tah tidak diterangkan dalam syara, nikah mu’tah berada
diantara sesuatu yang memerlukan ijtihad. Ukuran nikah mu’tah
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Nikah mu’tah layak dan rasional pada suatu zaman terkadang
tidak layak pada zaman lain. Demikian juga nikah mu’tah yang layak
disuatu tempatbterkadang tidak layak ditempat lain.
Pendapat
yang kuat adalah pendapat ulama syafiyah, pendapat abu yusuf dari ulama hanafiyah
dan pendapat yang dijelaskan oleh imam ahmad, bahwa hakim ketika berijtihad
tentang ukuran nikah mu’tah hendaknya melihat kondisi suami, apakah
tergolong mudah atau susah, kaya atau miskin sebagimana dalam firman :
ۚ عَلَى الۡمُوۡسِعِ
قَدَرُهٗ وَّمَتِّعُوۡهُنَّ
وَ عَلَى الۡمُقۡتِرِ
قَدَرُهٗ
Artinya
:
Dan
hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula. (QS.
Al-Baqarah (2): 236)
Ayat
diatas jelas dan tegas mempertimbangkan kondisi suami.[29][29
I. Persamaan dan perbedaan dengan
kawin kontrak
1.
Perbedaan
dengan kawin kontrak
Kawin kontrak pada zaman sekarang
masih ada keberadaanya, mereka menyewa hotel dan villa untuk kawin kontrak
dengan pribumi untuk mengisi liburannya, biasanya orang tersebut adalah orang
dari Timur tengah.
Alasan mereka lebih memilih kawin
kontrak karena mas kawin lebih murah dan persyaratannya lebih mudah.
Pelaksanaan kawin kontrak dilaksanakan tanpa penghulu melainkan saksi.
bahkan saksinya sendiri pun terkadang orang lain yang mereka temui di jalan.
Bahkan calon isterinya pun mereka dapat dari seorang calo.
Dapat kita
lihat nikah mutah dizaman dahulu, Rasul memperbolehkan adanya Nikah mu’tah
dikarenakan dalam keadaan darurat pada saat berperang, dikarenakan masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam transisi
(masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang perzinaan pada masa
jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah Islam datang dan menyeru pada
pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk
berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi
yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya[30]. Seperti apa yang
dikatakan oleh Ibn Mas'ud :
عن بن
مسعود قال : كنا نغزوا مع رسول الله صام وليس معنا نساء فقلنا : ألا
نستخصى؟ فنهانا رسول الله صام عن ذالك.
ورخص لنا ان ننكح المرأة الثوب إلى أجل.
Artinya :
“Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang
bersama Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata :
bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami
melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi
perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”
Tetapi
rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari
setelah itu Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
وعن
سلمة بن الأكوع قال : رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة,
ثلاثة أيام, ثم نهى عنها (رواه مسلم )
Artinya :
“Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW
memberikan keringanan nikah muth'ah pada tahun authas (penaklukan kota Makah)
selama 3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR Muslim)
Adanya perbedaan dalam kawin kontrak
yang sekarang di Indonesia dan nikah mu’tah karena:
Adanya nikah mu’tah karena dahulu
masih zaman jahiliah sehingga orang masih awam dalam masalah agama, sedangkan
sekarang masyarakat sudah pintar dan beragama
Dahulu adanya nikah mu’tah karena
perang fisabilillah. Sekarang hanya untuk bersenang- senang
Dan sekarang seharusnya kawin kontrak ini
dihapuskan karena sudah ada dalil yang menasakh adanya hukum nikah mu’tah
tersebut. Sedangkan dahulu belum ada dalil yang menasakhnya.[31]
2.
Persamaan
dengan kawin kontrak
Persamaanya nikah mu’tah
dengan kawin kontrak yaitu mengawini perempuan untuk beberapa waktu saja.
J.
Kawin
kontrak yang dilarang
Kawin
kontrak ini oleh seluruh Imam Madzhab disepakati haramnya. Alasan mereka yaitu:[32]
1.
Kawin seperti ini tidak sesuai
dengan perkawinan yang dimaksud oleh Al-Quran, juga tidak sesuai dengan talak,
iddah dan pusaka.
2.
Banyak hadis-hadis yang dengan
tegas menyebutkan haramnya.
3.
Umar ketika menjadi khalifah
dengan berpidato diatas mimbar mengharamkannya dan para sahabat pun
menyetujuinya.
4.
Al- Khattabi berkata: haramnya
kawin mu’tah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa golongan syiah.
5.
Kawin mu’tah sekedar
bertujuan untuk melampiaskan syahwat dan bukan untuk mendapatkan anak dan
memelihara anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari perkawinan.
K. Kawin kontrak
yang Diperbolehkan
Pada zaman jahiliah pernah
diperbolehkan adanya nikah mu’tah dalam hadist dijelaskan dari Saburah
Al-Jahmiy, bahwa ia pernah menyertai Rasulullah dalam perang penaklukan mekkah,
dimana Rasulullah mengizinkan mereka kawin mu’tah. Dia pun berkata: Ia
(Saburah) tidak meninggalkan kawin mu’tah ini sampai kemudian diharamkan
oleh Rasulullah.[33]
Dalam suatu lafadz yang
diriwayatkannya oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan kawin mu’tah
dengan sabdanya:
“wahai Manusia! Saya telah pernah
mengizinkan kamu kawin mu’tah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah
telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
“Dari Ali, Rasulullah saw, telah
melarang kawin mu’tah pada waktu perang Khaibar dan melarang makan
daging keledai penduduknya.”
Dan ada beberapa seorang shabat dan
tabiin yang meriwayatkan bahwa kawin mu’tah itu halal, yang dikenal
sebagi riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitah “Tahdzibus Sunnan” ditegaskan bahwa
Ibnu Abbas membolehkan kawin mu’tah ini bila diperlukan dalam keadaan
darurat dan bukan membolehkan secara mutlak.
Tetapi pendapat ini kemudian beliau
cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang yang melakukan
berlebih-lebihan. Jadi kawin mu’tah tetap haram bagi orang yang tidak
ada alsan yang sah.
Al-Khattabi
berkata: Said bin Jubair berkata: saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas:
Tahukah Anda apa yang anda perbuat dan anda fatwakan? Kini para kafilah telah
mengikuti fatwa tuan dan para ahli syair bersajak.
Jawab
beliau: Apa kata mereka?
Jawab
saya: mereka berkata: aku berkata kepada Syaikh yang telah alam meninggalkan
isterinya, “wahai Saudara! Tahukah anda fatwanya Ibnu Abbas? Tahukan anda yang
kawin mu’tah itu boleh. Anda boleh bersenang-senang sampai kafilah
pulang balik.
Ibnu
Abbas menjawab: Inna Lillah wainna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak
berfatwa begitu, dan tidak pula bermaksud begitu. Kalau toh aku mengahalalkan,
maka adalah seperti Allah menghalalkan bangakai, darah, dan daging babi, yang
barang-barang itu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mu’tah
itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.[34]
Syarat Mu’tah
Ketika
Islam belum turun, nikah mu’tah ternyata sudah membudaya di masyarakat.
Pada saat itu syariat Islam belum melarangnya. Hikmahnya ialah supaya aqidah Islam
meresap dahulu, baru setelah pemahaman aqidah meresap larangan mu’tah
diberlakukan.
Seluruh
kaun muslimin sepakat bahwa Islam telah menghalalkan pernikahan mu’tah
selama beberapa hari pada peristiwa penaklukan kota Makkah yaitu selama tiga
hari saja (Nabi yang Agung dan selalu menjaga kemaluan menghalalkan pernikahan mu’tah
kepada para sahabatnya untuk bermu’tah), yang terjadi pada tahun ke-5
H. Sesuai sabda Rasul :
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
اْلاَكْوَعٍ رَضِيَ اللهُ قَـالَ : رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ
ص.م. مَـامَ اَوْطَاسٍ فِىالْمُتْعَةِ ثَلاَثَةَ أَيَّـامٍ ثُمَّ
نَهَى عَنْهَا (رواه مسلم)
“Dari
Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan
perkawinan mu’tah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari,
kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R. Muslim)
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَـالَ : إِنَّـمَاكَانَتِ الْمُتْعَةُ فِىاَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ الْبَلْدَةَ لَيْسَ
لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ فَيَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى
أَنَّهُ يُقِيْمُ فَنَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ وَتُصْلِحُ لَهُ سَاءْ
نَهُ (رواه الترمذى)
“Dari
Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adakah kawin mu’tah pada awal Islam,
ialah seorang laki-laki masuk ke satu negeri yang tidak ada baginya di jalin
kenalan, lalu ia kawin kepada seorang wanita sekedar masa yang ia rasa, bahwa
ia akan tinggal di sana, maka wanita itu pelihara barang-barangnya dan mengurus
keperluannya”.
(H.R. Tirmidzi)
Melihat
dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan bahwa
nikah mu’tah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah
diperbolehkan tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan
dibahas sedikit di kalangan Syi’ah tentang nikah mu’tah.[35]
Adapun syarat-syarat nikah mu’tah
lainnya yaitu
1. Adanya ijab Qabul dengan
menggunakan dua kata yang dapat menunjukan atau menimbulkan pengertian yang
dimaksud dan rela dengan pernikahan mu’tah dengan cara yang dimengerti
kedua belah pihak
2. Mengerti
dengan yang dimaksudkan dari kata-kata:
•
Aku mu’tahkan (Matta’tu)
•
Aku nikahkan (Ankahtu)
•
Aku kawinkan ( Zawwajtu)
3. Ijab
dan Qabul harus dengan bahasa arab bagi yang mampu mengucapkannya walaupun
(kedua pihak) melalui sistem perwakilan
4. Pengucapan
Ijab dari pihak isteri dan Qabul dari pihak suami bisa dilakukan secara
langsung oleh yang bersangkutan atau melalui perwakilan masing-masing.
5. Kalimat
Ijab harus mendahului Qabul bila kalimat Qabul mempergunakan lafadz :
•
Aku terima ( Qobiltu)
6.
Kalimat Ijab diperkenakan hanya dengan mempergunakan salah satu dari tiga macam
lafadz:
•
Aku mu’tahkan (Matta’tu)
•
Aku nikahkan (Ankahtu)
•
Aku kawinkan (Zawwajtu)
Nikah
mu’tah menjadi tidak sah bila mempergunakan kalimat yang lain seperti:
•
Aku milikkan (Malakktu)
•
Aku berikan (Wahabtu)
•
Aku sewakan (Ajjartu)
Adapun
kalimat Qabul, maka cukup dengan mempergunakan kalimat apa saja yang sekiranya
dapat menimbulkan pengertian rasa rela dengan Ijab yang diterimakannya,
seperti:
•
Aku terima Mu’tah…..(Qabiltu Mut’atah…)
•
Aku terima kawin…....(Qabiltu
Tazwij…..)
•
Aku terima nikah……..(Qabiltu
Nikahah…..)
Dan
pernikahan tetap sah seandainya diringkas saja dengan kalimat seperti:
•
Aku terima (Qobiltu)
•
Aku rela (Rodhitu) Seandainya
terbalik, suami yang mengucapkan Qabul terlebih dahulu dengan berkata: “Aku
mengawinimu dengan mas kawin sekian…..dan untuk jangka waktu sekian….”. maka
pernikahan tersebut tetap sah
7.
Menyebutkan Mahar (mas kawin) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
(suami-isteri) dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun
jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah fahaman. Selain
itu, mahar tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara
halal baik sedikit ataupun banyak bahkan meskipun berupa segenggam makanan.
8.
Menyebutkan jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik
lama maupun sebentar saja dan pula harus disepakati bentuk waktunya, seperti
berapa hari, bulan atau tahun secara tegas dan jelas sehingga tidak bisa lebih
atau kurang dari jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, dan pula harus
ditentukan macam kalender yang diinginkan, apakah Masehi atau Hijriyah.
9.
Antara suami isteri yang kawin mu’tah tidak boleh masih dalam ikatan
muhrim, baik karena adanya nasab dan garis keturunan secara langsung ataupun
tidak langsung, seperti Bibi baik dari pihak ibu ataupun bapak, atau karena
ikatan mertua seperti ibu isteri, isteri bapak, isteri anak, atau anak tiri
yang ibunya telah dikawininya dan disetubuhinya, atau wanita yang masih
bersuami atau pula wanita yang sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya namun
belum habis masa iddahnya.
10.
Wanita yang dikawini secara Mu’tah harus ber’iddah terhitung setelah
habisnya masa perkawinan yang telah disepakati sebelumnya, atau bila seandainya
suaminya telah menghibahkan masa mu’tahnya kepadanya sehingga tanpa
perlu adanya perceraian karena si wanita akan langsung berpisah dari suaminya
itu dan tidak boleh rujuk kembali, maka dalam hal ini ‘iddahnya adalah sebagai
berikut:
a.
Apabila si isteri sudah pernah disetubuhi, dan dia bukan anak kecil dan bukan
pula wanita tua yang sudah tidak berhaid lagi, maka ‘iddahnya adalah dua kali
haid (menstruasi) dengan catatan, bahwa haidnya berlaku secara teratur.
b.
Apabila umurnya sudah mencapai masa haid (+ 9 – 10 th), namun belum juga
berhaid, maka haidnya adalah 45 hari.
c.
Apabila sedang dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dipilih yang paling lama di
antara dua hal: • Melahirkan • 4 bulan 10 hari. Dalam hal ini, Nikah Mu’tah
itu sama saja dengan yang berlaku pada nikah biasa. Nikah Mu’tah
diperkenankan dengan wanita Ahli kitab. yaitu wanita Nasrani, dan Yahudi, namun
tidak diperkenankan dengan wanita musyrik, dan yang telah murtad (keluar) dari Islam.
11. Pada nikah mu’tah, tidak diperkenankan
mengumpulkan (mengawini) dua wanita bersaudara sekaligus, sama seperti yang
berlaku pada nikah biasa.
12. Dengan adanya akad nikah, si isteri sudah
mempunyai hak pemilikan secara penuh atas mas kawin sehingga bila dia
memintanya maka si suami harus segera memberikannya. Kedua belah pihak tidak
saling mewarisi harta-benda masing-masing kecuali apabila keduanya sudah
membuat persyaratan atau perjanjian sebelumnya pada saat pelaksanaan akad
nikah, maka dalam hal ini keduanya mempunyai hak waris sesuai dengan isi
persyaratan atau perjanjian yang telah disepakati tersebut.
13. Suami tidak wajib memberikan nafkah kepada
isteri kecuali bila si isteri telah mensyaratkan adanya nafkah pada saat
pelaksanaan akad nikah dan disetujui, maka suami harus memberikan nafkah
kepadanya dalam bentuk dan jumlah sesuai dengan isi persyaratan yang telah
disetujuinya.
14. Pihak yang berhak memberikan akad nikah
(isteri) harus sudah baliqh, berakal, mengerti maksudnya dan memang sengaja
ingin mengadakan nikah Mu’tah, yakni ketika ia mengatakan kalimat :
Matta’tu (Aku mu’tahkan) atau Ankahtu (Aku nikahkan) atau Zawwajtu (Aku
kawinkan)
15. Masing-masing dari suami isteri yang
bersangkutan harus tertentu, dalam arti harus jelas dan tidak kabur dengan
orang lain yang bukan pasangannya, baik nama, gelar maupun sifatnya.
16. Pelaksanaan Ijab dan Qabul harus berlangsung
secara beruntun, dan tidak boleh terpisahkan pada saat pelaksanaan akad nikah
dan harus terlaksana tanpa menunggu keberadaan suatu syarat atau terkait dengan
datangnya waktu tertentu[36]
M. Nikah
Mut’ah yang
terjadi Di Bandung
Seorang sahabat yang juga satu
lingkungan tempat tinggal dengan penulis di Medan, yang bernama Uhlan, telah
tiga tahun lebih bergabung dengan salah satu Majelis Taklim Ahlul Bait di
Bandung. Majelis Taklim ini dipimpin oleh seorang Habib yang merupakan
keturunan Imam Ja’far as-Sadiq. Beliau meyakini dan mengatakan bahwa Majelis
Taklim yang dipimpin seorang Habib ini merupakan Majelis Taklim Syi’ah terbesar
di Indonesia.
Dalam jangka waktu tiga tahun lebih
dan hampir mencapai empat tahun ini, beliau lebih banyak tinggal di Kota
Bandung. Pada awalnya beliau berguru (nyantri) kepada Habib di majelis taklim
Ahlul Bait ini. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya beliau dipercaya sang
Habib menjadi sebagai salah seorang ustad untuk wakil Habib baik di majelis
taklimnya, maupun untuk Sumatera Utara. Majelis taklim ini terbuka melayani
jamaah selama 24 jam non stop, serta jamaah dan para ikhwan cukup banyak yang
datang setiap harinya, bahkan ada juga di antara mereka yang menginap.
Oleh karena itu para Ustadz yang
berasal dari luar Bandung harus lebih banyak tinggal di Bandung, di majelis
bersama sang Habib. Ketika beliau mendapatkan izin kembali ke Medan pada bulan
Juli 2009, maka kami sempatkan untuk berdiskusi dengannya mengenai nikah mut’ah
di kalangan para ikhwan dan akhwat[37]
di Bandung. Dan ketika kami sampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan kami
tadi, al-hamdulillah beliau menyambutnya dengan baik, serta menyatakan bersedia
untuk menjadi nara sumber.
Menurut nara sumber, para ikhwan di
Bandung sebenarnya banyak yang melakukan nikah mut’ah itu, termasuk nara sumber
sendiri. Hal itu mereka lakukan karena memang dibolehkan oleh agama, dimana
pembolehannya itu sendiri tercantum di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24.
Atas dasar ayat ini, maka para ulama dan para pengikut dan penganut mazhab
Syi’ah Imamiyah pada umumnya, termasuk orang-orang syi’ah yang ada di Indonesia,
dan khususnya majelis taklim Ahlul Bait yang berada di Bandung memahami bahwa
sebenarnya melakukan nikah mut’ah itu merupakan bahagian dari syi’ar agama.
Adapun letak syi’arnya adalah pada
upaya penghindaran atau pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat. Dalam hal ini
penghindaran atau pemeliharaan diri agar jangan sampai terjerumus pada
perbuatan zina. Termasuk ketika seorang ustad, muballigh, da’i, atau seorang
pria yang diberi amanah untuk menyampaikan syi’ar ahlul bait kepada anggota
perempuan yang tidak bersuami yang bukan mahramnya.
Jika berhadapan secara berduaan
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, sangat terbuka peluang dan
dikhawatirkan terjadi zina, paling tidak zina mata. Bukankah usaha memelihara
diri dari terjerumus kepada zina, juga melakukan pencerahan kepada orang lain
(jamaah) agar mereka juga tidak terjerumus kepada perbuatan zina merupakan
bahagian dari syi’ar agama.
Oleh karena letak syi’ar dari
bermut’ah itu untuk memelihara diri agar tidak sampai terjerumus kepada berbuat
zina, maka di dalam melakukan nikah mut’ah itu tidak lepas begitu saja,
melainkan dibingkai dengan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Yang
menarik di sini adalah bahwa dengan melakukan mut’ah tidak mesti diikuti dengan
istimta’.
Di antara persyaratan yang harus
terpenuhi pada diri para ikhwan yang akan melakukan nikah mut’ah itu adalah;
pertama bahwa calon suami yang sudah beristeri tidak memiliki isteri di tempat.
Kedua, bagi yang perjaka atau duda tidak sanggup memenuhi
persyaratan-persyaratan untuk nikah daim. Ketiga, calon isteri harus seorang
janda atau perawan dewasa yang sudah mapan, tapi tak ada kesempatan untuk
mengikuti persyaratan-persyaratan nikah daim.
Adapun yang dimaksud oleh mereka
dengan janda disini, tidak terbatas pada perempuan yang pernah bersuami lalu
dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Akan tetapi semua wanita yang sudah
tidak perawan lagi, baik karena melakukan zina, ataupun karena kecelakaan dan
sebagainya. Keempat, atas dasar sukarela dan ada kesepakatan bersama. Kelima,
ada mahar. Keenam, ditentukan jangka waktunya. Ketujuh, bahwa semua persyaratan
di atas bermuara pada pemeliharaan diri agar jangan terjerumus pada perbuatan
zina.
Dengan dasar adanya
persyaratan-persyaratan seperti di atas, maka menurut nara sumber, para ikhwan
yang melakukan nikah mut’ah itu di Bandung umumnya adalah mereka-mereka yang
berasal dari luar Bandung, yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tidak
berkumpul dengan isteri.
Selain mereka yang berlama-lama tak
berkumpul dengan keluarga itu, adalah para ikhwan bahkan juga para akhwat yang
sebenarnya bertempat tinggal di Bandung, baik lajang maupun duda atau janda
namun super sibuk dengan pekerjaan. Karena kesibukan itu, sehingga sangat
sedikit sekali waktu bagi mereka untuk mengurusi berumah tangga, sementara
untuk menyalurkan hasrat seksual sangat mereka butuhkan.
Kemudian pihak lainnya adalah para
ustad dan orang-orang yang diberi amanah untuk mengembangkan syi’ar ahlul bait,
secara khusus di sini ketika berhadapan dengan anggota perempuan yang bukan
mahramnya. Tentu dalam penyampaian bimbingan atau syi’ar ahlul bait tadi, saat
berhadapan secara berduaan antara laki-laki dan perempuan mapan dengan status
sendiri, tidak bersuami dan tidak didampingi oleh mahram, dikhawatirkan timbul
fitnah dan zina.
Atas dasar kondisi seperti tersebut
di ataslah maka sebahagian dari para ikhwan dan akhwat kemudian melaksanakan
nikah mut’ah. Dan adapula di antara mereka melakukan nikah mut’ah itu setelah
adanya persyaratan-persyaratan tersebut di atas tadi, dalam rangka penjajakan
untuk memilih pasangan yang cocok untuk dilanjutkan kepada nikah daim
(permanen).
Oleh karena itu, ada beberapa di
antara mereka yang tadinya melakukan nikah mut’ah kemudian melanjutkannya ke
nikah daim. Kendatipun di antara mereka yang melanjutkan nikah mut’ahnya ke
nikah daim itu ada yang sempat memperpanjang nikah mut’ahnya sampai dua kali
dalam rangka pendalaman pengenalan diri masing-masing serta penyesuaian
kecocokan antara keduanya. Jika sudah terasa saling cocok, maka baru
dilanjutkan ke jenjang pernikahan permanen (nikah daim).
Berkenaan dengan masalah buku nikah
dalam pelaksanaan nikah mut’ah ini, informan atau nara sumber mengatakan dan
menjelaskan bahwa pernikahan tersebut tidak ada yang dilaksanakan dihapan
Pegawai Pencatat Nikah serta tidak menghadirkan Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinannya dilaksanakan dan dihadiri oleh para ikhwan dan akhwat yang
bermut’ah itu sendiri, hanya disaksikan oleh Ustadz dalam kapasitasnya sebagai
pembimbing. Akan tetapi, sebagaimana diinformasikan dan disebutkan di atas
bahwa ada sebahagian diantara pasangan yang me-nikah mut’ah tersebut yang
kemudian melanjutkannya ke jenjang nikah daim. Hal ini dilaksanakan terutama
bagi pasangan yang bermaksud untuk membeli KPR, mobil dan lainnya, yang untuk
pemenuhan persyaratan administrasinya diperlukan buku nikah.
Jika pasangan nikah mut’ah tersebut
membutuhkan buku nikah, maka mereka harus melangsungkan perkawinan dengan model
nikah daim. Dan jika pasangan nikah mut’ah tadi berkeinginan untuk melanjutkan
ke nikah daim, apakah hal itu didasari karena hendak mendapatkan buku nikah,
maupun karena didasari bahwa keduanya telah memenuhi kecocokan untuk nikah
daim, maka merekapun mengurus perkawinannya ke Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat.
Dengan demikian, berkenaan dengan
masalah pencatatan perkawinan dengan model nikah mut’ah di kalangan para
penganut mazhab syi’ah itu di Bandung, maka dalam nikah mut’ah tersebut tidak
ada buku nikah. Jika hendak menginginkan buku nikah, maka tidak ada alternatif
lain kecuali nikah mut’ah tersebut harus dilanjutkan dengan nikah daim.
Ketika dipertanyakan tentang mengapa
untuk mendapatkan pencatatan perkawinan (buku nikah) mereka kemudian harus
melanjutkannya ke jenjang pernikahan dalam bentuk nikah daim, tidak mencukupkan
dengan bentuk nikah mut’ah itu saja ? Lalu apakah para ikhwan dan akhwat yang
tadinya sudah melakukan perkawinan dalam bentuk nikah mut’ah, namun ketika
ingin memperoleh buku nikah harus melanjutkan ke jenjang atau melakukan nikah
daim lagi ? Informan atau nara sumber kemudian memberikan jawaban dan penjelsan
seperti berikut di bawah ini.
Bahwa pada prinsipnya mereka memang
keberatan dengan hal itu, yaitu melanjutkan perkawinan mut’ah-nya ke jenjang
perkawinan dalam bentuk nikah daim. Akan tetapi semua mereka memahami bahwa
para pejabat pencatat nikah tersebut adalah orang-orang yang berpaham sunni,
dimana dalam pemahamannya tidak mengakui nikah mut’ah, melainkan harus nikah
daim.
Atau paling tidak, mereka dipaksa
oleh aturan negara untuk melaksanakan seperti itu. Oleh karena itu, atas dasar
pertimbangan untuk kepentingan kebaikan, mereka ikuti saja aturan negara yang
diterapkan oleh para aparat negara tersebut. Namun yang paling penting sebagai
catatan di sini adalah bahwa menurut informan atau nara sumber, nikah mut’ah
yang ada dan terjadi dalam komunitasnya bukan kawin kontrak,4 serta menolak
dikatakan sebagai kawin kontrak, melainkan nikah mut’ah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nikah mu’tah adalah, seseorang yang menikah dengan
seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya
berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai,
maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Nikah
mu’tah haram hukumnya, baik menurut perspektif hukum Islam maupun hukum
yang berlaku di Indonesia. Karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan
belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling
mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan
menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan. Kawin mu’tah dulu
sempat diperbolehkan. Tetapi sekarang dalil itu telah dinasakh sampai hari
kemudian (maka tidak boleh berlaku lagi). Adapun beberapa pandangan yang
berbeda, dalam memandang nikah mu’tah ini, contohnya dalam aliran sunni
dan syi’i dan kebanyakan kaum syi’i masih melaksanakan hukum kawin kontrak ini.
Kawin kontrak yang masih berkembang
dizaman sekarang ini seharusnya ada tindakan tegas untuk aparatur negara dan
adanya tindakan tegas bagi pemilik hotel maupun wisma. Dikarenakan adanya kawin
kontrak ini akan sangat merugi bagi anaknya yang lahir yang tidak tentu akan
nasabnya.
B.
Saran
Dengan
dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca dapat mengerti tentang apa yang
diuraikan dalam makalah ini. Dengan mengerti, maka pembaca dapat mempraktekkan
dalam kehidupan untuk tidak melakukan nikah mu’tah. Penulis juga
menyarankan para pembaca yang budiman untuk memberi masukan, koreksi, serta
kritikan terhada makalah yang penuh dengan kekurangan ini
DAFTAR PUSTAKA
A
Dzarinna al-Hamidi. Nikah mutah dalam sorotan hukum Islam dan hukum positif.
2008
Abd.shomad.
hukum Islam. Jakarta.2010
Ahmad
Saebani. Fiqh Munakahat1. Bandung. CV. Pustaka Setia. 2009
Al-quran
dan terjemahan, departemen agama RI, Jakarta,Mekar Surabaya
Armen
Halim. Nikah mutah.2006
Dedi Supriyadi. Fiqh Munakahat
Perbandingan. CV.Pustaka Setia. Bandung. 2011
Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqh Keluarga. Jakarta. 2012
Drs. Mahjuddin .Masailul fiqhiyah. Jakarta. 1998
H. Abdurrohman Kasdi. Masail
Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer. Nora Media
Enterprise. STAIN Kudus. 2011
Mardani
. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta. Graha ilmu. 2011
Ramulyo.
Hukum Perkawinan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. 2002
Sabiq,Sayyid.
Fiqh Sunnah. Bandung. Al-maarif. 1998
Syaikh
al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqh Empat Mazhab.2013
Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar
Media. Yogyakarta. 2007
[1]Al-Qur’an
dan Terjemahan, Departemen Agama RI, jakarta:
Mekar Surabaya
[2]Ahmad.
Saebani, Beni FiqihMunakahat1. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009. hlm. 9
[3]Sabiq,
Sayyid. FiqhSunnah. Bandung: Al-Ma’arif. 1998. hlm. 107
[4] A.
Dzarrin al-Hamidy, Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif,
(Al-Qanun, Vol. 11, No. 1,
2008) hlm. 217
[8] H. Abdurrohman Kasdi, Masail Fiqhiyah :
Kajian Fiqih atas Masalah-masalah Kontemporer, Nora Media Enterprise, STAIN
Kudus, 2011, hlm. 88
[11]mardani, hukum perkawinan islam.hlm.77
[12]Ramulyo,
Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25
[13]
Mutawalli M. Assya’rawi, 2007, Anda Bertanya Islam Menjawab, Jakarta:
Gema Insani Press hlm. 172
[15]
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 312
[16]
Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Predana hlm. 313
[17] HR Muslim
[18] HR Muslim
[19] HR Muslim
[20] HR Muslim
[21] HR Muslim
[36] Fiqh keluarga, hlm 134
[37] Para jama’ah pria penganut
aliran Syi’ah Imamiyah yang merupakan pengikut sang Habib di Bandung ini
dipanggil dengan ikhwan, sedang bagi para wanitanya dipanggil akhwat. Wawancara dilakukan dengan Uher pada hari Kamis
tanggal 9 Juli 2009 di Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar